Sepanjang perjalan pulang, Pijar berpikir keras tentang apa yang baru saja terjadi. Pertemuannya dengan Manda sungguh membuatnya dipenuhi banyak pertanyaan yang belum bisa terjawab. Apakah dia akan bertanya kepada Elang tentang siapa Manda? Tentu itu jauh tidak mungkin. Maka satu-satunya jalan adalah dia hanya perlu diam menunggu waktu yang memberikan dirinya jawaban. “Sudah sampai, Mbak.” Suara supir taksi menyadarkannya dari lamunan panjang. Pijar mendesah panjang melihat gedung tinggi yang ada di depannya. Pijar akan mengantarkan pakaian-pakaian milik Elang di apartemen milik lelaki itu. Sebenarnya dia ingin membawa barang-barang itu ke rumahnya dan akan mengantarkan esok hari, tetapi Elang tidak mengizinkan. Maka mau tak mau, dia harus kembali datang ke tempat tinggal lelaki itu. “Terima kasih, Pak.” Pijar mengulurkan uang lembaran seratus ribu sebelum keluar dari dalam taksi. Berjalan dengan pasti untuk masuk ke dalam apartemen. Petugas apartemen mengangguk untuk sekedar memb
Rahang Elang mengetat mendengar ucapan Pijar. Amarah yang menumpuk di dalam kepalanya seolah tumpah ke permukaan. Lelaki itu tanpa banyak kata kembali menarik Pijar untuk masuk ke dalam lift. Jika Elang mau mengakui, jauh di dalam hatinya adalah kemarahan karena kecemburuannya kepada Pijar yang didekati oleh lelaki lain di depan matanya. Pijar terseok-seok sepanjang jalan. Elang benar-benar memperlakukannya seperti seekor kambing. Bahkan ketika mereka sudah masuk ke dalam unit, Elang melemparkan Pijar ke sofa. Tas yang sejak tadi disandangnya itu dilemparkan. Lelaki itu lantas mendekati Pijar, lalu mengurungnya dengan tubuh besarnya.“Apa yang ingin kamu lakukan!” Pijar terlihat ketakutan ketika menatap mata Elang. “Sudah berapa banyak lelaki yang tidur denganmu, Pijar?” Pertanyaan itu menampar wajah Pijar tak kasat mata. Setelah kata-kata buruk itu lama tak keluar dari mulut Elang, kini kembali lagi. “Nggak ada salahnya kalau aku ambil bagian, ‘kan?” tanya Elang dengan seringai kej
Elang memukul setir mobilnya ketika pikirannya begitu berisik. Jalanan sudah macet karena ini adalah waktu orang-orang berangkat kerja. Dia bahkan belum sempat mencuci mukanya ketika keluar dari unitnya. Di dalam hatinya muncul keresahan yang tidak bisa ditutupi. Ada rasa takut kalau terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan dengan Pijar. “Argh!” Lagi-lagi dia berteriak di kencang untuk sekedar meluapkan emosi yang ada di dalam hatinya. Setelah hampir dua jam di perjalanan, Elang akhirnya sampai di depan rumah Pijar. Dia keluar dari mobil dan segera masuk melewati pagar yang tidak terkunci. Sialnya, tidak ada mobil di sana. Mencoba peruntungan, Elang tetap menggedor pintu rumah Pijar. Tentu, tidak ada jawaban sama sekali. “Ke mana dia?” tanyanya pada dirinya sendiri. Di dalam kepalanya membentuk bayangan-bayangan buruk yang barangkali terjadi. Bagaimana kalau Pijar pergi dalam keadaan kacau lalu bertemu dengan lelaki jahat dan dia diperkosa? Elang kembali ke dalam mobil dan mencoba
“Aku nggak melihat Pijar. Dia di mana?” Manda baru saja masuk ke dalam ruangan Elang ketika mengeluarkan pertanyaanya. Langkah kakinya pasti mendekati meja kerja Elang. Di tangannya memegang berkas. Menarik kursi yang ada di depan Elang, lalu tanpa permisi segera duduk di sana. “Oh, dia nggak masuk.” Elang menjawab asal. Jika dia bisa, dia juga ingin bertemu dengan Pijar. “Nggak masuk dengan alasan apa?” pancing Manda lagi. “Urusan keluarga.” Manda justru terkekeh mendengar ucapan Elang. “Dia benar-benar pembohong ulung,” katanya menarik perhatian Elang. Lelaki itu kini memberikan perhatian kepada Manda sepenuhnya. Meninggalkan fokusnya pada komputer di depannya untuk sekedar meminta penjelasan kepada perempuan itu. “Kamu tahu sesuatu?” tanyanya dengan tegas. Manda menyeringai sebelum mengangguk. “Bukan hanya tahu sesuatu, tapi aku punya buktinya juga.” “Berikan!” Elang menyodorkan tangannya yang tanpa basa-basi mendapatkan sambutan dari Manda. Perempuan itu meletakkan ponse
“Kamu takut denganku?” Pertanyaan bodoh itu keluar juga dari mulut Elang.Mungkin dia berpikir Pijar akan tetap baik-baik saja ketika dia sudah melakukan sesuatu yang begitu jauh dari kata normal. Dia sudah mengeluarkan kata-kata buruk yang menyakiti Pijar, tidak hanya itu, dia bahkan dengan tidak punya hati menjamah tubuh Pijar. Bukan hanya Pijar, perempuan mana pun pasti akan ketakutan untuk melihat orang yang sudah menyakitinya. “Bapak datang pasti ada hal penting yang ingin Bapak bicarakan kepada saya.” Pijar berusaha kuat untuk tidak lari ketakutan berhadapan dengan Elang. “Bapak bisa bicara sekarang.” Elang masih memberikan atensinya kepada Pijar dengan tatapan menilai. Sejak tadi, Pijar benar-benar tidak ingin menatap wajahnya. Perempuan itu hanya terus menunduk menatap lantai. “Besok berangkatlah kerja. Aku nggak mau jadwalku menjadi berantakan hanya karena tidak ada yang membantu.” Bohong sekali. Di sana pun ada tim sekretaris yang bisa membantu Elang untuk mengatur jadwa
“Pijar, kamu mau ke mana?” “Pijar, kamu resign?” “Jar, kamu serius mau pergi dari kantor ini?” Pertanyaan demi pertanyaan itu Pijar dapatkan ketika dia keluar dari ruangannya dengan membawa kotak berisi barang-barangnya, kemudian masuk ke dalam lift untuk ke lantai dasar. Dia belum bertemu dengan Vira dan mungkin gadis itu nanti akan sangat terkejut melihat Pijar memilih untuk pergi dari Infinity setelah semua yang terjadi. “Iya, aku resign.” Begitulah dia menjawab dengan santai kepada siapa pun yang mengajukan pertanyaan tersebut. Tidak perlu dia menjelaskan apa pun kepada siapapun tentang keputusan yang sudah diambil. Mentalnya lebih penting daripada harus terus bertahan di tempat kerja yang sudah tidak sehat. Pijar segera meninggalkan Infinity setelah menatap gedung itu lama. Hatinya sakit luar biasa, tetapi ini adalah konsekuensi yang harus dia tanggung. Dalam perjalanan, Leo tiba-tiba saja menghubungi dirinya. Pijar hanya menatap layar ponselnya tak segera menjawab panggila
“Jar, kamu nggak papa?” Bagas melihat wajah pucat Pijar, cengkraman di tangannya juga kencang luar biasa. Perempuan itu seolah tengah ketakutan. Namun, apa yang tengah ditakutkan oleh Pijar sedangkan di depannya hanya ada Elang. “Jar.” Bagas kembali memanggil. “Aku pergi dulu.” Buru-buru, dia mendorong troli belanjaannya dengan tergesa. Bagas mengejar Pijar setelah menganggukkan kepalanya kepada Elang. Pijar tengah mengantri di kasir dengan gerak-gerik tak nyaman. Dia ingin segera pergi dari sana, tetapi sayangnya dia harus menunggu sampai belanjaannya dibayar. Dia harus menunggu dua orang yang ada di depannya selesai terlebih dulu. Pijar menunduk dan berusaha untuk tidak mencari-mencari Elang, jangan sampai tatapan mereka bertemu. Pijar hanya fokus pada ketakutannya pada Elang dan tidak peduli dengan Bagas yang juga menunggunya di depan deretan kasir. Lelaki itu menatap Pijar dengan aneh seolah dia mengerti ada yang terjadi dengan mantan kekasihnya tersebut. “Pijar, biar aku ba
“Kalau aku hamil bagaimana, Lang?” Elang baru saja membuka matanya ketika kepalanya terasa sakit luar biasa. Dia ingat betul semalam dia memang tengah minum-minum di club malam hanya untuk melepaskan segala pikiran tentang Pijar. Sayup-sayup dia mengingat ada Manda di sampingnya. Setelah itu dia lupa apa yang terjadi.Ketika kesadarannya sekarang kembali, Manda segera menodongnya dengan pertanyaan yang membuatnya semakin pusing. Apa yang perempuan itu bilang? Hamil? Tidak masuk akal. “Lang, semalam kita benar-benar melakukannya.” Elang bangun sebelum memijat pelipisnya, berusaha meredam rasa sakitnya. Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah di ruangan tersebut. Pakaiannya bercecer di mana-mana. Tanpa peduli dengan ocehan Manda, dia memilih untuk berdiri meninggalkan ranjang, memungut pakaiannya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Tidak ada jawaban yang diberikan oleh Elang atas ucapan Manda. Dia seolah-olah tidak mendengarkan apa pun yang dikatakan oleh perempuan itu. Tak lama s
Pernikahan itu tidak mewah seperti yang diinginkan oleh Ruby sebelumnya. Namun, bisa dirasakan begitu khidmatnya acara akad nikah tersebut. Tamu yang datang benar-benar hanya teman dekat dari dua belah keluarga sehingga acara itu sungguh begitu nyaman.Sepanjang acara, Orion tidak melepaskan Ruby sama sekali. Entah itu dengan menggenggam tangannya, memeluk pinggangnya, atau hanya menempelkan bahunya dengan bahu Ruby. Lelaki itu seolah tidak ingin ditinggalkan oleh Ruby. Acara itu hanya berjalan dua jam, tetapi Orion merasa dia lelah luar biasa.“Pa, Ma, aku pamit.” Ruby berdiri di depan anggota keluarganya untuk pergi dari rumah dan tinggal berdua dengan Orion. Mereka bahkan tidak ingin seharipun menginap di rumah orang tua Ruby.“Kamu baik-baik, ya. Sekarang kamu sudah menjadi istri. Yang nurut sama suami. Kalau ada sesuatu yang dirundingkan dan jangan asal ambil keputusan sendiri,” pesan ibunya dengan mata berkaca-kaca.“Iya, Ma. Aku ngerti.” Ruby mengangguk dan tidak lagi banyak bic
Ruby tampak anggun dengan dress navy di bawah lutut. Rambutnya diurai dengan model curly, make up tipis menghiasi wajahnya. Keseluruhan penampilannya begitu cantik luar biasa. Sebelumnya dia tak pernah berpenampilan seperti ini. Tentu saja hal itu membuat Orion tampak terpesona. Senyum tipis penuh makna itu terlihat di bibirnya. Dua keluarga itu duduk berhadapan untuk membicarakan masalah pernikahan. Pada akhirnya, hubungan yang dianggap tidak akan bertahan lama itu ternyata akan berakhir di pelaminan. “Untuk mengikat keduanya, kami sudah menyiapkan cincin pertunangan untuk mereka. Maaf kalau sebelumnya kami tidak mengatakan apa pun terkait ini, tapi, akan lebih baik kalau mereka tunangan lebih dulu.” Pijar meletakkan kotak cincin di atas meja dengan keadaan terbuka. Dua cincin berkilauan itu terlihat. Satu cincin bertahtakan berlian itu tampak begitu mewah dan indah. Cincin itu diperuntukkan untuk Ruby dan satu cincin polos tentu saja untuk Orion. “Bu Pijar, bukankah ini terlalu
“Pasti ada hal penting yang ingin dr. Daniel katakan kepada kami sehingga jauh-jauh datang ke kantor kami.” Elang menyambut dengan baik kedatangan Daniel. Setelah mengetahui jika Elang adalah seorang CEO, lelaki itu tampaknya mengubah pandanganya tentang Orion. Dia belum tahu mendalam tentang Orion dan keluarganya dan hanya dengan semua ini saja dia sudah terkejut luar biasa. Daniel mengangguk sebelum berbicara. “Ruby menerima tawaran Orion. Dia mau menikah dengan Orion dan saya diminta Papa untuk menemui Pak Elang untuk membicarakan tentang ini. Kapan keluarga kami bisa datang ke kediaman Pak Elang untuk membahas pernikahan?” Elang menatap Orion yang juga tengah menatapnya dengan serius. Dia tak memiliki apa pun untuk dikatakan. Lelaki itu hanya diam seolah masih mencerna setiap kejadian yang terjadi hari ini. “Kalau memang ingin membicarakan pernikahan, kami saja yang akan datang. Sekalian melamar secara resmi.” Elang menjawab dengan lugas dan tegas. “Tidak, Pak. Bapak dan kelu
“Aku sudah memutuskan untuk menikah. Nggak peduli kalau hanya menjadi ibu rumah tangga.” Setelah memikirkan selama berhari-hari, akhirnya Ruby mengambil keputusan dan mengatakan kepada keluarganya. setelah makan malam, dia mengumpulkan empat anggota keluarganya untuk diajak berbicara serius. Baginya semua akan sama saja. Dia sekarang terkurung di rumah besar orang tuanya tanpa melakukan apa pun. Semua yang dia mau sudah tersedia dan sekedar menginginkan es krim saja sudah tersedia. Ruby sudah merasa lelah dengan semua yang terjadi sekarang. Biarlah dia menikah dan menjadi istri Orion. Dia tidak pernah apa keputusannya menikah muda adalah keputusan yang tepat, tetapi baginya ini lebih baik. “Aku sudah memikirkan secara matang dan mendalam. Aku akan menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku banyak cinta dan Orion adalah orang itu.” Ruby menatap satu per satu keluarganya. Bisa dilihat bagaimana mereka tampak terkejut yang berusaha ditutupi. Rahang sang ayah tampak mengerat, pun d
Seluruh anggota keluarga Ruby dibuat terkejut dengan kemunculan Orion di rumah mereka. Orion tidak datang sendiri melainkan bersama dengan kedua orang tuanya. Lelaki itu seolah ingin menunjukkan keseriusannya kepada Ruby atas hubungannya dengan gadis itu. Ayah Ruby tentu saja menerima kedatangan mereka dengan santun selayaknya tuan rumah menerima tamu. “Maafkan kami, Pak, kalau kedatangan kami mengejutkan Bapak dan keluarga.” Elang mengawali. “Tujuan kami ke sini tak lain adalah untuk itikad baik kami dalam hubungan Orion dan Ruby.” Ruby yang juga berada di sana pun terlihat terdiam tak mengatakan apa pun. Elang adalah bos besar dan dia bahkan tidak pernah berhadapan langsung dengan lelaki itu sejauh dia bekerja di Infinity. Namun, sekarang lelaki itu tiba-tiba datang dan membicarakan masalah hubungan putranya dengan mantan karyawannya. Sungguh, dalam bayangan Ruby pun dia tak pernah menyangka hari ini akan tiba. “Orion mengatakan jika dia sangat mencintai Ruby dan tidak siap jika
Total sudah dua bulan Orion tidak bertemu dengan Ruby. Jangan tanyakan bagaimana rindunya lelaki itu kepada sang pujaan hati. Setelah dia mendapatkan alamat rumah orang tua Ruby, alih-alih segera mendatangi rumah gadis itu, dia justru terus memutar ucapan sang ayah di dalam kepalanya. Dia selama ini tidak pernah mendapatkan penolakan dalam hal apa pun. Tentu saja ada sebuah ketakutan yang muncul di dalam hatinya jika orang tua Ruby akan menolaknya mentah-mentah. Oleh karena itu, dia belum berani ambil resiko. Namun, semakin dia merasakan rindu itu menggebu, semakin tidak bisa dia mengendalikan emosinya. Hampir setiap hari dia marah kepada orang-orang di sekitarnya. “Silakan, Mas.” Orion terhenyak ketika seorang pelayan datang membawa pesanan makan siangnya. Dia mengangguk dan berterima kasih kepada pelayan tersebut sebelum memulai makan. Merasa ada yang memperhatikan, Orion mendongak dan seperti ada tamparan di wajahnya, tepat di depannya ada Ruby yang menatap ke arahnya. Orion den
Perjalanan cinta Orion sama sekali tidak mudah. Pertentangan itu bukan hanya muncul dari satu orang, tetapi satu keluarga Ruby. Orion memang belum pernah bertemu dengan ayah Ruby, tetapi dia pun yakin semua ucapan Daniel sudah mewakili ayahnya. Sekarang dia hanya menunggu sebuah keajaiban barangkali dia akan bertemu dengan Ruby tanpa disengaja. “Mas Orion.” Orion mendongak menatap dua orang yang ada di depannya. Dia memanggil dua orang tersebut untuk ke ruangannya. “Duduk!” perintahnya setelah itu. “Di antara kalian, apa ada yang tahu sesuatu tentang Ruby?” tanya Orion. “Kalian satu divisi dengan Ruby saya rasa mungkin ada sesuatu yang bisa kalian bagi tentang dia.” Dua orang itu saling menatap sebelum salah satu dari mereka menjawab. “Jujur saja selama kami bekerja bersama dengan Ruby selama ini, nggak pernah sekalipun dia bercerita tentang kehidupan pribadinya, Pak.” Orion sudah menduga jawaban itu yang diberikan. Namun, dia memilih untuk tidak berbicara lebih dulu. “Ruby itu ti
Seorang lelaki berbadan kekar berdiri di depan Ruby dengan wajah garangnya. Ruby tidak tahu kenapa ada lelaki asing itu di rumah orang tuanya, tetapi tiba-tiba saja dia mengingat ucapan ayahnya saat itu. Jika Ruby ingin ke mana-mana, maka ada seorang bodyguard yang akan menemaninya. Apa jangan-jangan ….“Namanya Brama.” Ayah Ruby tiba-tiba bersuara. “Dia yang akan menemani kamu ke mana pun kamu pergi. Kamu bisa jalan-jalan ke mana pun kamu mau dan Brama yang akan membayar semuanya. Papa sudah memberikan kartu debitmu kepadanya.” Ruby tahu kenapa ayahnya melakukan itu karena memang kartu debit yang diberikan kepadanya bahkan tidak diterima. “Aku nggak mau ke mana-mana.” Ruby berlalu dari hadapan sang ayah untuk pergi ke ruang makan. Ruby tidak berlama-lama mogok makan. Bagaimanapun dia tidak ingin mati secara mengenaskan hanya karena kelaparan. “Aku butuh HP-ku, Pa.” Ruby duduk di kursi makan. Menerima roti yang baru saja dibuatkan oleh ibunya. “Daniel bilang kalau kamu sudah dibel
“Semua urusan di kantormu sudah Abang selesaikan. Kamu per hari ini sudah nggak tercatat lagi sebagai karyawan Infinity.” Daniel baru saja pulang dari rumah sakit ketika melihat adiknya tengah melamun di halaman samping rumah dengan sebuah buku di tangannya. Lelaki itu meletakkan barang belanjaan di atas meja sebelum duduk di kursi berseberangan dengan kursi yang diduduki oleh Ruby. “Ini Abang belikan HP dan tablet baru buat kamu. Nomornya sudah ada dan kamu tinggal pakai.” Ruby melirik tanpa minat seolah dia tak membutuhkan itu. Untuk apa barang-barang mewah itu? Toh dia sebenarnya membutuhkan itu untuk bekerja. Sekarang semuanya sudah berakhir dan sudah tidak menyisakan apa pun lagi di dalam hidupnya. “Non Ruby, dipanggil untuk ke ruangan Bapak.” Belum satu terjawab, dia sudah diminta menghadap sang ayah. Betapa kakunya hidupnya sekarang. Ini adalah hal yang paling tidak disenangi ketika dia berada di rumahnya. Segalanya terasa begitu berat untuknya. Ruby beranjak untuk menemui