“Jar, kamu nggak papa?” Bagas melihat wajah pucat Pijar, cengkraman di tangannya juga kencang luar biasa. Perempuan itu seolah tengah ketakutan. Namun, apa yang tengah ditakutkan oleh Pijar sedangkan di depannya hanya ada Elang. “Jar.” Bagas kembali memanggil. “Aku pergi dulu.” Buru-buru, dia mendorong troli belanjaannya dengan tergesa. Bagas mengejar Pijar setelah menganggukkan kepalanya kepada Elang. Pijar tengah mengantri di kasir dengan gerak-gerik tak nyaman. Dia ingin segera pergi dari sana, tetapi sayangnya dia harus menunggu sampai belanjaannya dibayar. Dia harus menunggu dua orang yang ada di depannya selesai terlebih dulu. Pijar menunduk dan berusaha untuk tidak mencari-mencari Elang, jangan sampai tatapan mereka bertemu. Pijar hanya fokus pada ketakutannya pada Elang dan tidak peduli dengan Bagas yang juga menunggunya di depan deretan kasir. Lelaki itu menatap Pijar dengan aneh seolah dia mengerti ada yang terjadi dengan mantan kekasihnya tersebut. “Pijar, biar aku ba
“Kalau aku hamil bagaimana, Lang?” Elang baru saja membuka matanya ketika kepalanya terasa sakit luar biasa. Dia ingat betul semalam dia memang tengah minum-minum di club malam hanya untuk melepaskan segala pikiran tentang Pijar. Sayup-sayup dia mengingat ada Manda di sampingnya. Setelah itu dia lupa apa yang terjadi.Ketika kesadarannya sekarang kembali, Manda segera menodongnya dengan pertanyaan yang membuatnya semakin pusing. Apa yang perempuan itu bilang? Hamil? Tidak masuk akal. “Lang, semalam kita benar-benar melakukannya.” Elang bangun sebelum memijat pelipisnya, berusaha meredam rasa sakitnya. Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah di ruangan tersebut. Pakaiannya bercecer di mana-mana. Tanpa peduli dengan ocehan Manda, dia memilih untuk berdiri meninggalkan ranjang, memungut pakaiannya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Tidak ada jawaban yang diberikan oleh Elang atas ucapan Manda. Dia seolah-olah tidak mendengarkan apa pun yang dikatakan oleh perempuan itu. Tak lama s
“Kamu membiarkan dia lahir tanpa pernikahan orang tuanya?” Manda tidak terima. “Dia akan mendapat label anak haram, Lang!” Elang mengedik tak acuh. “Tidak ada anak yang terlahir haram. Perbuatan orang tuanyalah yang haram. Hentikan perdebatan ini dan kita akan melakukan sesuatu yang aku katakan. Kamu terima atau tidak, itu urusan kamu.” Manda salah orang. Elang tidak bisa ditaklukkan begitu saja. Dia harus berupaya lebih keras lagi agar semuanya bisa berjalan sesuai rencana. Manda berpikir apa yang harus dia lakukan agar Elang bisa menuruti dirinya. Untuk sekarang, tidak harus pernikahan yang dia minta, tetapi hal lain yang barangkali bisa membuat dia dan Elang lebih dekat. “Bagaimana kalau aku ngidam ingin sesuatu dan itu malam hari? Lang, perempuan hamil itu tidak mudah. Ada kalanya dia akan mual setiap hari, ada juga bayi yang ingin dekat terus dengan ayahnya, menginginkan sesuatu yang kadang nggak masuk akal. Bagaimana aku bisa melakukan semua itu tanpa suami?” Elang tampak be
Pijar masih mematung di tempatnya berdiri meskipun Manda sudah tidak berada disana. Ada banyak hal yang dipikirkan di dalam kepalanya tentang kehamilan Manda. Ternyata Manda orang yang dicintai oleh Elang selama ini, mungkin karena itulah Elang mengatakan banyak hal kepada Manda tentang masa lalunya.Mencoba tidak terpengaruh, Pijar berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk dalam kepalanya. Jangan lagi memasukkan Elang dalam pikirannya atau hanya akan ada masalah yang muncul. Pulang dari rumah sakit, sebuah telepon dari ayahnya mengejutkan dirinya. Lelaki paruh baya itu bilang, dia akan mengenalkannya dengan seorang lelaki. Putra dari seorang teman lama yang kebetulan dia berada di kota yang sama dengan Pijar. “Datanglah besok di restoran yang sudah Ayah sebutkan tadi. Temui dia. Siapa tahu cocok.” Pikiran Pijar tentang membangun rumah tangga, ternyata juga diinginkan oleh sang ayah. Lelaki itu memang pernah bilang ingin memperkenalkan seseorang lelaki kepada Pijar, tetapi belum t
Elang tidak pernah menyangka kalau pada akhirnya, Pijar harus menginap di rumah sakit karena sesak yang luar biasa. Rasa takut dan tertekan nyatanya berdampak begitu buruk pada perempuan itu. Elang menatap Pijar yang terbaring di ranjang rumah sakit itu dengan sedikit penyesalan. “Apa pun yang membuat pasien merasa takut dan tertekan, tolong dijauhkan dulu, Pak. Pasien harus tenang dan tidak boleh memikirkan banyak hal.” Itulah yang dikatakan oleh dokter tadi. Elang kini tidak bisa berkutik ketika tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia menuduh Pijar hanya berpura-pura, tetapi nyatanya memang Pijar takut kepadanya. Deringan ponselnya membuat Elang menghentikan lamunannya. Nama Manda terlihat di sana. Dengusan itu keluar dari mulutnya. “Ada apa?” tanyanya ketika sudah menerima panggilan. “Apa kamu tidak tahu bagaimana cara menggunakan aplikasi untuk membeli sesuatu?” Elang terlihat kesal. “Aku akan menelpon restorannya. Tunggulah!” Elang segera mematikan panggilan tersebut sebelum
“Apa kira-kira Elang nggak akan ganggu kamu lagi, Jar?” tanya Leo kepada Pijar ketika di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua. “Aku khawatir dia hanya mengatakan iya sekarang, tapi dia akan kembali nanti dan membuat kamu tertekan.” Jika menurut cerita-cerita Pijar selama ini mengenai Elang, lelaki itu keras kepala dan tidak mengindahkan permintaan orang lain. Mungkin Elang sekarang tampak mengerti apa yang dikatakan oleh Rio, siapa yang tahu kalau itu hanya sebuah kepura-puraan. “Aku nggak tahu, Mas. Semoga saja dia nggak muncul lagi di hadapanku. Aku benar-benar merasa takut. Aku udah mencoba untuk menahan diriku, tapi nyatanya aku nggak bisa sama sekali,” papar Pijar tentang yang dialaminya hari ini. “Kamu bertemu dia di mana?” Rio mulai mengintrogasi. Maka Pijar segera menceritakan kejadian yang sebenarnya. Bahkan tak lupa dia juga menceritakan tentang Noah. “Mas, apa aku harus mulai membuka hati untuk orang lain?” Pijar menunduk memainkan jari-jarinya. “Aku sebenarnya masih
Elang tidak bisa mengabaikan senyum culas yang dikeluarkan oleh Manda ketika dia duduk sofa single di dalam ruang tamu tersebut. Elang jelas tidak tahu sudah berapa lama perempuan itu ada di rumahnya dan sudah berapa banyak kalimat yang dikeluarkan. Entah perempuan itu mengatakan tentang kehamilannya atau dia hanya bermain-main. “Kamu nggak pernah bilang kalau kamu sudah punya pacar.” Sang ayah memulai. “Kalian juga sedang kerjasama dalam beberapa proyek. Manda datang untuk memperkenalkan diri kepada kami siapa dia.” “Siapa bilang aku sudah punya pacar?” Elang mengernyit ketika menatap sang ayah. “Aku belum berminat untuk menjalin hubungan dengan siapa pun.” Alih-alih tersinggung, Manda justru hanya memasang senyum kecil mendengar ucapan Elang kepada orang tuanya. Dia seakan tidak malu dengan penolakan yang Elang berikan kepadanya. “Manda pacar kamu, ‘kan?” Kini sang ibu yang berbicara. “Manda bilang, hubungan kalian sudah sangat dalam sehingga dia meyakinkan diri untuk datang
Yang Elang lakukan akhir-akhir ini adalah menjadi seorang mata-mata. Dia bahkan harus mengganti mobilnya agar orang yang tengah dimata-matai tidak tahu jika itu dirinya. Elang melamun panjang di dalam mobilnya. Melihat sekeliling tempat tersebut dan sebuah pikiran muncul di dalam kepalanya. Sepertinya akan lebih baik kalau dia menyewa rumah di sana agar bisa memantau lebih banyak lagi tentang Pijar. Lamunan itu buyar ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah Pijar. Tak lama setelah itu, Pijar keluar dari sana bersama dengan Noah. Hal itu tentu saja membuat Elang geram luar biasa. “Sudah sedekat apa mereka?” Itulah yang menjadi pertanyaannya. Namun, kali ini Elang tidak gegabah untuk keluar dari mobil lalu menarik Noah dan menghajarnya. Dia tidak akan melakukan hal gila seperti itu. Elang terus melihat dua orang yang sekarang tengah duduk di teras rumah sambil mengobrol. Sesekali ada tawa yang dikeluarkan. Untungnya itu tak berlangsung lama karena Noah memilih pamit kepada P
Pernikahan itu tidak mewah seperti yang diinginkan oleh Ruby sebelumnya. Namun, bisa dirasakan begitu khidmatnya acara akad nikah tersebut. Tamu yang datang benar-benar hanya teman dekat dari dua belah keluarga sehingga acara itu sungguh begitu nyaman.Sepanjang acara, Orion tidak melepaskan Ruby sama sekali. Entah itu dengan menggenggam tangannya, memeluk pinggangnya, atau hanya menempelkan bahunya dengan bahu Ruby. Lelaki itu seolah tidak ingin ditinggalkan oleh Ruby. Acara itu hanya berjalan dua jam, tetapi Orion merasa dia lelah luar biasa.“Pa, Ma, aku pamit.” Ruby berdiri di depan anggota keluarganya untuk pergi dari rumah dan tinggal berdua dengan Orion. Mereka bahkan tidak ingin seharipun menginap di rumah orang tua Ruby.“Kamu baik-baik, ya. Sekarang kamu sudah menjadi istri. Yang nurut sama suami. Kalau ada sesuatu yang dirundingkan dan jangan asal ambil keputusan sendiri,” pesan ibunya dengan mata berkaca-kaca.“Iya, Ma. Aku ngerti.” Ruby mengangguk dan tidak lagi banyak bic
Ruby tampak anggun dengan dress navy di bawah lutut. Rambutnya diurai dengan model curly, make up tipis menghiasi wajahnya. Keseluruhan penampilannya begitu cantik luar biasa. Sebelumnya dia tak pernah berpenampilan seperti ini. Tentu saja hal itu membuat Orion tampak terpesona. Senyum tipis penuh makna itu terlihat di bibirnya. Dua keluarga itu duduk berhadapan untuk membicarakan masalah pernikahan. Pada akhirnya, hubungan yang dianggap tidak akan bertahan lama itu ternyata akan berakhir di pelaminan. “Untuk mengikat keduanya, kami sudah menyiapkan cincin pertunangan untuk mereka. Maaf kalau sebelumnya kami tidak mengatakan apa pun terkait ini, tapi, akan lebih baik kalau mereka tunangan lebih dulu.” Pijar meletakkan kotak cincin di atas meja dengan keadaan terbuka. Dua cincin berkilauan itu terlihat. Satu cincin bertahtakan berlian itu tampak begitu mewah dan indah. Cincin itu diperuntukkan untuk Ruby dan satu cincin polos tentu saja untuk Orion. “Bu Pijar, bukankah ini terlalu
“Pasti ada hal penting yang ingin dr. Daniel katakan kepada kami sehingga jauh-jauh datang ke kantor kami.” Elang menyambut dengan baik kedatangan Daniel. Setelah mengetahui jika Elang adalah seorang CEO, lelaki itu tampaknya mengubah pandanganya tentang Orion. Dia belum tahu mendalam tentang Orion dan keluarganya dan hanya dengan semua ini saja dia sudah terkejut luar biasa. Daniel mengangguk sebelum berbicara. “Ruby menerima tawaran Orion. Dia mau menikah dengan Orion dan saya diminta Papa untuk menemui Pak Elang untuk membicarakan tentang ini. Kapan keluarga kami bisa datang ke kediaman Pak Elang untuk membahas pernikahan?” Elang menatap Orion yang juga tengah menatapnya dengan serius. Dia tak memiliki apa pun untuk dikatakan. Lelaki itu hanya diam seolah masih mencerna setiap kejadian yang terjadi hari ini. “Kalau memang ingin membicarakan pernikahan, kami saja yang akan datang. Sekalian melamar secara resmi.” Elang menjawab dengan lugas dan tegas. “Tidak, Pak. Bapak dan kelu
“Aku sudah memutuskan untuk menikah. Nggak peduli kalau hanya menjadi ibu rumah tangga.” Setelah memikirkan selama berhari-hari, akhirnya Ruby mengambil keputusan dan mengatakan kepada keluarganya. setelah makan malam, dia mengumpulkan empat anggota keluarganya untuk diajak berbicara serius. Baginya semua akan sama saja. Dia sekarang terkurung di rumah besar orang tuanya tanpa melakukan apa pun. Semua yang dia mau sudah tersedia dan sekedar menginginkan es krim saja sudah tersedia. Ruby sudah merasa lelah dengan semua yang terjadi sekarang. Biarlah dia menikah dan menjadi istri Orion. Dia tidak pernah apa keputusannya menikah muda adalah keputusan yang tepat, tetapi baginya ini lebih baik. “Aku sudah memikirkan secara matang dan mendalam. Aku akan menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku banyak cinta dan Orion adalah orang itu.” Ruby menatap satu per satu keluarganya. Bisa dilihat bagaimana mereka tampak terkejut yang berusaha ditutupi. Rahang sang ayah tampak mengerat, pun d
Seluruh anggota keluarga Ruby dibuat terkejut dengan kemunculan Orion di rumah mereka. Orion tidak datang sendiri melainkan bersama dengan kedua orang tuanya. Lelaki itu seolah ingin menunjukkan keseriusannya kepada Ruby atas hubungannya dengan gadis itu. Ayah Ruby tentu saja menerima kedatangan mereka dengan santun selayaknya tuan rumah menerima tamu. “Maafkan kami, Pak, kalau kedatangan kami mengejutkan Bapak dan keluarga.” Elang mengawali. “Tujuan kami ke sini tak lain adalah untuk itikad baik kami dalam hubungan Orion dan Ruby.” Ruby yang juga berada di sana pun terlihat terdiam tak mengatakan apa pun. Elang adalah bos besar dan dia bahkan tidak pernah berhadapan langsung dengan lelaki itu sejauh dia bekerja di Infinity. Namun, sekarang lelaki itu tiba-tiba datang dan membicarakan masalah hubungan putranya dengan mantan karyawannya. Sungguh, dalam bayangan Ruby pun dia tak pernah menyangka hari ini akan tiba. “Orion mengatakan jika dia sangat mencintai Ruby dan tidak siap jika
Total sudah dua bulan Orion tidak bertemu dengan Ruby. Jangan tanyakan bagaimana rindunya lelaki itu kepada sang pujaan hati. Setelah dia mendapatkan alamat rumah orang tua Ruby, alih-alih segera mendatangi rumah gadis itu, dia justru terus memutar ucapan sang ayah di dalam kepalanya. Dia selama ini tidak pernah mendapatkan penolakan dalam hal apa pun. Tentu saja ada sebuah ketakutan yang muncul di dalam hatinya jika orang tua Ruby akan menolaknya mentah-mentah. Oleh karena itu, dia belum berani ambil resiko. Namun, semakin dia merasakan rindu itu menggebu, semakin tidak bisa dia mengendalikan emosinya. Hampir setiap hari dia marah kepada orang-orang di sekitarnya. “Silakan, Mas.” Orion terhenyak ketika seorang pelayan datang membawa pesanan makan siangnya. Dia mengangguk dan berterima kasih kepada pelayan tersebut sebelum memulai makan. Merasa ada yang memperhatikan, Orion mendongak dan seperti ada tamparan di wajahnya, tepat di depannya ada Ruby yang menatap ke arahnya. Orion den
Perjalanan cinta Orion sama sekali tidak mudah. Pertentangan itu bukan hanya muncul dari satu orang, tetapi satu keluarga Ruby. Orion memang belum pernah bertemu dengan ayah Ruby, tetapi dia pun yakin semua ucapan Daniel sudah mewakili ayahnya. Sekarang dia hanya menunggu sebuah keajaiban barangkali dia akan bertemu dengan Ruby tanpa disengaja. “Mas Orion.” Orion mendongak menatap dua orang yang ada di depannya. Dia memanggil dua orang tersebut untuk ke ruangannya. “Duduk!” perintahnya setelah itu. “Di antara kalian, apa ada yang tahu sesuatu tentang Ruby?” tanya Orion. “Kalian satu divisi dengan Ruby saya rasa mungkin ada sesuatu yang bisa kalian bagi tentang dia.” Dua orang itu saling menatap sebelum salah satu dari mereka menjawab. “Jujur saja selama kami bekerja bersama dengan Ruby selama ini, nggak pernah sekalipun dia bercerita tentang kehidupan pribadinya, Pak.” Orion sudah menduga jawaban itu yang diberikan. Namun, dia memilih untuk tidak berbicara lebih dulu. “Ruby itu ti
Seorang lelaki berbadan kekar berdiri di depan Ruby dengan wajah garangnya. Ruby tidak tahu kenapa ada lelaki asing itu di rumah orang tuanya, tetapi tiba-tiba saja dia mengingat ucapan ayahnya saat itu. Jika Ruby ingin ke mana-mana, maka ada seorang bodyguard yang akan menemaninya. Apa jangan-jangan ….“Namanya Brama.” Ayah Ruby tiba-tiba bersuara. “Dia yang akan menemani kamu ke mana pun kamu pergi. Kamu bisa jalan-jalan ke mana pun kamu mau dan Brama yang akan membayar semuanya. Papa sudah memberikan kartu debitmu kepadanya.” Ruby tahu kenapa ayahnya melakukan itu karena memang kartu debit yang diberikan kepadanya bahkan tidak diterima. “Aku nggak mau ke mana-mana.” Ruby berlalu dari hadapan sang ayah untuk pergi ke ruang makan. Ruby tidak berlama-lama mogok makan. Bagaimanapun dia tidak ingin mati secara mengenaskan hanya karena kelaparan. “Aku butuh HP-ku, Pa.” Ruby duduk di kursi makan. Menerima roti yang baru saja dibuatkan oleh ibunya. “Daniel bilang kalau kamu sudah dibel
“Semua urusan di kantormu sudah Abang selesaikan. Kamu per hari ini sudah nggak tercatat lagi sebagai karyawan Infinity.” Daniel baru saja pulang dari rumah sakit ketika melihat adiknya tengah melamun di halaman samping rumah dengan sebuah buku di tangannya. Lelaki itu meletakkan barang belanjaan di atas meja sebelum duduk di kursi berseberangan dengan kursi yang diduduki oleh Ruby. “Ini Abang belikan HP dan tablet baru buat kamu. Nomornya sudah ada dan kamu tinggal pakai.” Ruby melirik tanpa minat seolah dia tak membutuhkan itu. Untuk apa barang-barang mewah itu? Toh dia sebenarnya membutuhkan itu untuk bekerja. Sekarang semuanya sudah berakhir dan sudah tidak menyisakan apa pun lagi di dalam hidupnya. “Non Ruby, dipanggil untuk ke ruangan Bapak.” Belum satu terjawab, dia sudah diminta menghadap sang ayah. Betapa kakunya hidupnya sekarang. Ini adalah hal yang paling tidak disenangi ketika dia berada di rumahnya. Segalanya terasa begitu berat untuknya. Ruby beranjak untuk menemui