Pagi ini Aldara sudah sadar, ia membuka mata dan melihat perawat yang tengah menyapa lembut ke arahnya.Ia hanya sesekali menggeleng atau menganggukkan kepala, karena selebihnya Aldara pun tidak terlalu paham akan apa yang dibicarakan perawat itu.Tidak lama kemudian Ernest masuk bersama Anetha dan Ryu, senyum di bibir Aldara langsung mengembang saat melihat putranya."Dara, bagaimana keadaan kamu hari ini?" tanya Ernest."Sudah agak baikan," jawab Aldara dengan suara lirih.Wanita itu mengalihkan pandangan kepada Ryu, putranya tersenyum lembut. Kendati demikian, Aldara tahu sorot mata anak laki-laki itu memancarkan kekhawatiran."Maafkan mama, ya, Ryu. Mama membuat kamu khawatir," bisik Aldara.Aldara berusaha menggapai jemari Ryu, tetapi Ryu lebih dulu menggenggam tangan sang mama."Aku yang seharusnya minta maaf, ma. Kalau aku tidak meminta beli komik, pasti kami bisa pulang lebih awal dan mama tidak akan dibawa oleh penjahat itu," jawab Ryu. "Aku minta maaf ...."Aldara menggeleng
Ernest dan Anetha mengajak Ryu keluar, mereka membiarkan Aldara bersama Alastair di ruang rawat ini.Namun, dua insan itu tetap diam dan menikmati keheningan sampai entah berapa lama jarum jam berputar. Alastair tidak tahan, tetapi Aldara terus memalingkan wajah darinya.Alastair merasa ini adalah titik terlemahnya. Ia yang biasanya kuat, kini rela memohon demi cintanya tidak meninggalkannya."Maaf atas kesalahan mamaku, Ra," ucap Alastair. "Mungkin kamu sudah muak dengan semua ini, aku juga tahu kalau kamu lelah. Tapi satu kali lagi ... bertahanlah. Aku akan membawamu dan Ryu ke luar negeri. Kita akan hidup di sana, aku bisa menjamin kalau kita akan aman," jelas pria itu panjang lebar.Tidak ada sahutan dari Aldara, tetapi tanpa siapapun tahu wanita itu menitikkan air matanya.Ia sudah menaruh cintanya, siapa yang tidak ingin berjuang dengan seseorang yang dicintai? Siapa yang menolak saat diperjuangkan?Namun, Aldara tahu bahwa ada marabahaya besar di depan sana yang akan selalu men
Alastair kembali ke kamarnya dengan membawa perasaan kesal. Ia sudah mempertaruhkan harga dirinya, tetapi bukannya Aldara sadar malah wanita itu semakin menyebalkan."Kapan Aldara bisa pulang?" tanya Alastair kepada Ernest.Asisten pribadinya itu sengaja ia panggil, karena tidak ada siapapun yang bisa ia andalkan selain Ernest."Sepertinya lusa, Pak. Tadi dokter mengatakan kondisi Aldara semakin membaik," jawab Ernest.Alastair mangut-mangut. "Bereskan semua barang-barang Aldara dan Ryu rumah. Aku akan membawa mereka ke luar negeri."Ernest jelas saja terkejut. Meskipun Alastair adalah bosnya, tetapi Aldara adalah sepupunya. Memastikan keselamatan Aldara adalah tanggung jawabnya."Kau tidak usah khawatir, Ernest," ujar Alastair saat menangkap raut terkejut pada wajah Ernest. "Aku akan menguras mereka selamat di sana," imbuhnya sambil menatap kosong ke arah depan.Alastair menarik napas, kemudian menghembuskannya kasar. Pria itu lantas berkata, "kau tahu sendiri mamaku sudah sangat kel
"B-Bagaimana bisa?!" Alastair panik, ia khawatir kesehatan mamanya terganggu.Akhir-akhir ini Elle tidak terlalu sehat. Wanita paruh baya itu menderita asam lambung kronis yang mengharuskan untuk banyak beristirahat dan tidak boleh memikirkan sesuatu yang berat."Setelah sarapan tadi papa mau ambil berkas di kamar, dan saat itu papa menemukan mama pingsan di dalam kamar, Al. Sekarang papa dalam perjalanan ke rumah sakit. Ernest masih di sana 'kan? Tolong minta dia pesankan kamar, Al," jelas Anthony."Baik, Pa. Hati-hati di jalan."TUT! Sambungan telepon terputus.Alastair langsung mengirim pesan kepada Ernest agar segera memesankan kamar, kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Ryu."Ryu, kamu mau di sini saja?" tanya Alastair yang sontak diangguki oleh Ryu."Baiklah. Paman akan keluar sebentar untuk melihat mamanya paman. Tadi papanya paman menelepon, mereka akan segera tiba di sini," jelas Alastair dengan lembut."Mamanya paman?"Alastair kembali mengangguk. "Iya. Kamu b
Alastair mengikuti Elle yang dipindahkan ke ruang rawat, wanita paruh baya itu sudah membaik setelah diberikan penanganan di UGD.Sementara Anetha sudah memisahkannya diri dan memilih mencari ruangan Aldara. Seolah takdir berpihak padanya, Aldara tengah menaiki kursi roda yang didorong oleh perawat melewati lorong menuju laboratorium. Di belakangnya berjalan dua orang pria berbadan besar, pakaian serba hitam menegaskan kalau mereka adalah bodyguard khusus yang ditugaskan untuk menjaga Aldara.Dari pin yang dipasang pada baju bodyguard tersebut, Megan bisa langsung tahu kalau bodyguard itu adalah suruhan Alastair.'Ah, pasti mereka takut padaku. Secara aku 'kan teman baiknya Alastair,' batin Megan penuh percaya diri.Kaki jenjangnya melangkah lebar mendekati Aldara, seringai senyum pada bibir merah itu terus tersungging seakan tengah menantang."Halo, Dara. Selamat pagi? Bagaimana kabarmu?" tanya Megan, penuh angkuh.Aldara menatap datar ke arah Megan, ia tidak berniat menimpali. Mal
"Wa-Wanitaku? Kau menganggap Aldara sebagai wanitamu? Kau waras, Al?!" sentak Megan.Aldara merasakan telinganya sakit, dengan cepat ia meminta suster untuk segera menuju laboratorium. Tanpa peduli Alastair dan Megan yang masih bertengkar di sana."Kau jangan gila, Al. Bisa saja dia hanya ingin hartamu," bisik Aldara, ekor matanya melirik Aldara yang sudah berlalu. Dengan cepat ia menggamit lengan Alastair, dan kemudian berkata, "dengarkan aku, Al. Aldara bukan perempuan baik-baik. Dia saja punya anak di luar nikah!" "Aku tidak peduli. Yang pasti aku hanya ingin Aldara!" tukas Alastair dan langsung melenggangkan pergi dari hadapan Megan.Kakinya melangkah lebar menuju laboratorium sambil tangannya menekan perut bagian bawah yang terasa nyeri. Ia menghiraukan suara teriakan Megan, malahan Alastair meminta bodyguard nya untuk membawa Megan pergi.Di dalam laboratorium, setelah menjalani pemeriksaan cukup lama, akhirnya Aldara keluar sambil menaiki kursi roda. Aldara memalingkan wajah sa
Sakit yang dirasakan Rangga mendadak hilang, pria itu bergegas turun untuk mengikuti Ernest. Langkah kakinya berjalan pelan, mengendap-endap di antara mobil hingga ia melihat Ernest memasukkan tas-tas itu ke dalam mobil. "Siapa yang dirawat di sini? Apa Aldara?" tanya Rangga.Ernest kembali ke dalam rumah sakit, sementara Rangga memilih berdiam diri di lobi. Pria itu sekuat mungkin menahan rasa nyeri pada ulu hatinya, tetapi tetap tidak mau meminta pertolongan tenaga medis karena takut kehilangan jejak Ernest.Namun, menit demi menit berlalu hingga tanpa terasa satu jam lamanya ia sudah menunggu di parkiran. Rangga sudah habis tiga bungkus roti dan obat maagh untuk menghalau rasa perih di perutnya. Kendati demikian, Ernest tidak kunjung muncul."Ke mana dia? Kenapa lama sekali?!" Rangga sudah mulai kesal, ia merasa penantiannya sia-sia.Rahangnya mengetat dan kedua tangannya terkepal sempurna, wajah garang itu memerah saat merasa penantiannya hanya sia-sia.Rangga hendak beranjak, t
Rangga memutuskan pergi setelah tubuhnya dilemparkan keluar oleh bodyguard. Pria itu pulang ke rumah lamanya dan kembali menyusun rencana. Ia tidak mau gegabah, khawatir Aldara semakin menjauh dan membencinya."Tapi bagaimana? Apa aku harus mengirim hadiah setiap hari? Untuk makan saja aku harus berhemat," gumam Rangga.Pikirannya kalut, keningnya mengerut bingung memikirkan masalah ini. Sungguh, Rangga ingin Aldara kembali padanya. Namun, kenapa Aldara tidak mau?"Aku akan datang ke rumah Ernest setiap hari. Semoga Aldara bisa melihat bagaimana perjuanganku meluluhkannya!" ucap Rangga, penuh keyakinan.Keesokan Harinya | Rumah Sakit.Alastair baru saja selesai membereskan barang-barangnya, ia sengaja melakukan sendiri karena meminta Ernest untuk menjaga Aldara di rumah daripada datang ke rumah sakit.Alastair sudah tahu tentang kedatangan Rangga, hal itu membuatnya geram, khawatir Rangga kembali menyentuh wanitanya."Pak, maaf," ucap salah satu bodyguard yang tiba-tiba membuka pintu