Pagi ini Aldara melakukan kegiatan seperti biasanya. Ia mengantar Ryu sekolah dan kembali menyibukkan diri di toko, hingga datanglah sebuah mobil mewah yang tidak lain adalah milik Alastair."Ngapain dia datang ke toko?" gumam Aldara.Wanita itu berjalan mendekat ke arah Alastair, tetapi langkah kakinya sontak terhenti saat mendapati seorang wanita turun dari mobil mewah itu.Aldara mengerutkan kening, bukankah itu wanita yang kemarin cek-cok dengannya saat di toko tas?"Dara, kami datang ke sini untuk menemuimu. Apa kamu ada waktu senggang?" tanya Alastair.Aldara hanya mengangguk singkat, meskipun tatapan matanya tidak beralih dari Megan.Sama halnya dengan Megan yang terus menatap sinis pada Aldara, layaknya singa yang ingin menerkam mangsanya."Eum ... bisa kita bicara sekarang, Dara?" tanya Alastair, berusaha menarik perhatian Aldara.Aldara menoleh ke arah Alastair, wanita itu kembali mengangguk dan kemudian berkata, "aku hanya mau bicara sama kamu. Tapi tidak dengan wanita ini.
Aldara masih ke ruang rawat VIP yang sebelumnya sudah diberitahukan Ernest, ia mendapati Alastair terbaring di ranjang dengan selang infus yang menancap di punggung tangannya."Kamu datang, Ra?" tanya pria itu dengan suara lemah.Sejujurnya Aldara tidak tega melihat Alastair seperti ini, tetapi ia tetap menyembunyikannya agar Alastair tidak mengira kalau ia masih mencintai."Aku dipanggil Ernest, jadi aku datang." Aldara berdiri tepat di samping ranjang."Ryu tidak ikut?" Alastair menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan. "Aku kangen anak itu."Aldara tertawa sumbang mendengarnya. "Ryu nggak kangen kamu, jadi jangan terlalu percaya diri. Lagi pula ... aku juga nggak mau datang ke sini kalau tadi nggak dipaksa Ernest."Alastair tidak sakit hati saat mendengar kata-kata tersebut, ia tahu Aldara menanggung banyak kekecewaan.."Boleh minta tolong?" bisik Alastair, otaknya mulai mengatur banyak rencana."Boleh. Mau minta tolong apa?" tanya Aldara, masih dengan tatapan datarnya."Tolong e
Keesokan harinya.Alastair sudah di perbolehkan pulang oleh Dokter, lelaki itu di bantu oleh Ernest dan Aldara. Meskipun kondisinya tidak begitu parah, tetapi efek pusing dari obat masih ia rasakan."Nanti temenin aku dulu, ya, Ra." Alastair menoleh ke arah Aldara yang baru saja mendudukkan diri di kursi penumpang, wanita itu sontak mengangguk."Iya, siap," jawab Aldara."Ajak saja Ryu ke penginapanku, atau biar nanti dijemput Ernest." Alastair mengalihkan pandangannya pada Ernest yang duduk di kursi kemudi.Asisten pribadinya itu baru saja mengemudikan mobil."Aku nggak ada siapa-siapa. Takutnya kalau perutku sakit, malah bahaya," lanjut Alastair."Halah, kamu kenapa jadi manja keluar dari rumah sakit? Lagian juga ada Ernest, kok," timpal Aldara.Alastair mendengkus lirih."Kamu ini aku sakit nggak bisa lembut, ya? Masih judes terus," bisik Alastair.Diam-diam Ernest tersenyumlah mendengar interaksi sepupu dan atasannya tersebut. Ini pertama kalinya Ernest melihat Alastair bisa sanga
"Sudah, jangan marah-marah." Alastair tampak menarik napas panjang. "Megan selalu bergantung kepadaku dan Raymond, Ra. Jadi—""Jadi nggak seharusnya kamu meninggalkannya kemarin. Akhirnya dia panik, dan malah terjadi kekacauan seperti tadi." Aldara memotong ucapan Alastair dengan cepat.Membuat pria itu mengernyit bingung saat mendapati perubahan raut wajah yang begitu cepat. Yang tadinya masih sumringah, kini wajah cantik itu kembali datar."Setelah Ernest dan Ryu datang, aku akan langsung pulang. Ryu besok sekolah, kita tidak bisa menginap di sini," lanjutnya lagi.Alastair menundukkan kepala sambil kembali membuang napas kasar, kali ini ia tidak mampu menolak."Kapan kita bisa berbaikan, Ra?" tanya Alastair, sambil menatap wanita yang dicintainya itu. "Hampir enam tahun aku menahannya. Apa memang tidak ada kesempatan lagi?"Hening! Aldara tidak menyahut. Ia mendudukkan diri di sofa, tangannya dilipat di atas paha dan posisinya duduknya tegap menghadap ke arah Alastair.Pandangan i
Aldara dan Ryu pulang saat waktu menunjukkan sore hari, hanya tinggal Ernest yang menemani di penginapan.Selama perjalanan pulang, Aldara terus diam di dalam taksi. Ia tidak mengajak putranya berbicara, meskipun tahu anak laki-laki itu berkali-kali meliriknya.Hingga taksi berhenti tepat di depan pagar rumah Aldara, wanita itu segera mengajak putranya keluar dan masuk rumah. "Nak, bisa kita bicara sebentar?" ucap Aldara, dengan suara setengah berbisik.Ryu mengangguk. Kemudian mendudukkan diri di sofa dan disusul Aldara setelahnya."Mama ingin tahu, bagaimana perasaan kamu saat ada di dekat Paman Alastair. Kenapa meskipun berulang kali mama melarang kamu mendekatnya, kamu tetap dekat-dekat dia," kata Aldara.Ryu tidak langsung menjawab. Ia bingung harus bilang apa, yang ia rasakan hanya nyaman dan hatinya menghangat.Namun, apakah jawaban itu tidak akan melukai mamanya? Ia tahu persis bagaimana mamanya melarang untuk dekat-dekat dengan Paman Alastair."Nak .., katakan saja. Mama tid
Ernest membelalakkan mata dan lekas meminta dua bodyguard untuk membawa Alastair ke rumah sakit, sementara pria itu langsung menemui pengacara untuk menaikkan kasus Kenneth.Sambil menunggu Dokter menangani Alastair, Kenneth kembali dibawa ke sel. Ia bertemu Rangga di sana dan lekas menceritakan semua kejadiannya."Apa kau bisa memastikan kalau racun itu akan membuat Alastair meninggal?" tanya Rangga.Kenneth menatap lurus ke dalam mata Rangga. Entah apa yang pria itu pikirkan, tetapi tergambar kekhawatiran besar di dalam matanya."Kau kenapa?" Rangga kembali bertanya.Pria pemilik mata biru itu menggeleng. "Tidak. Aku hanya berpikir, mungkin ... aku tidak bisa lagi bertemu Aldara."Helaan napas kasar keluar dari bibir Kenneth, selaras dengan matanya yang mulai mengembun."Aku tahu Alastair tidak akan melepaskanku. Pasti aku akan dijatuhi hukuman yang sangat berat. Tapi, tidak apa-apa ... asal Alastair juga pergi dari dunia ini. Dan itu artinya, baik aku maupun Alastair tidak ada yang
Elle bersiap menerjang Aldara, beruntung Anthony sigap menahan istrinya. Wanita paruh baya itu mengamuk, menggeram marah melihat Aldara yang terus tertunduk."Semua kesialan yang menimpa Alastair, selalu disebabkan oleh dia, Pa!" ucap Elle sambil menunjuk ke arah Aldara. "Aku ingin memberinya pelajaran. Agar dia tahu seperti apa sakit yang dirasakan putraku!""Ma—""Sudah benar dia pergi. Tapi kenapa sekarang kembali lagi ke hidup putraku?! Putraku jadi tertimpa kesialan lagi!" teriak Elle, memotong ucapan suaminya.Anthony semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Elle, pria paruh baya itu meminta Ernest membawa Aldara pergi. Takut kalau Elle semakin histeris."Mau ke mana kau, wanita jalang?! Jangan pergi sebelum aku menghajarmu ...." Elle bersiap berdiri, tetapi Anthony langsung menarik tubuh sang istri hingga kembali terjatuh ke lantai."Tenang, Ma ...," bisik Anthony.Elle menolehkan kepala, menatap suaminya dengan tatapan memicing tajam."Jangan memintaku untuk tenang sebelum ak
kediaman Ernest | Malam Hari."Kamu yakin tidak mau ikut ke rumah sakit?" tanya Ernest untuk yang kesekian kalinya.Aldara masih terus menggeleng. "Tidak ""Pak Anthony dan Bu Elle sudah pulang dari sore tadi, Ra. Tidak apa-apa kalau kamu mau ke sana," kata Ernest.Namun, Aldara tetap kukuh pada gelengan kepalanya. "Baiklah. Aku pergi dulu kalau begitu," ucap Ernest.Aldara tidak menimpali, wanita itu hanya menatap datar ke arah Ernest yang sudah keluar dari pintu utama.Ernest menutup pintu, detik itu juga Aldara menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa sambil menghela napas kasar."Aku belum siap," gumamnya.Air mata kembali luruh membasahi pipi. Sebenernya Aldara benci dengan dirinya yang tampak sangat lemah, sepanjang hari terus menangis memikirkan Alastair yang masih koma.Ia juga tidak ingin seperti ini, tetapi entah kenapa hatinya ngilu sekali.Hingga beberapa saat kemudian terdengar suara deru mobil memasukkan halaman. Aldara langsung menghapus air matanya dan beranjak menuj