Aldara dan Ryu pulang saat waktu menunjukkan sore hari, hanya tinggal Ernest yang menemani di penginapan.Selama perjalanan pulang, Aldara terus diam di dalam taksi. Ia tidak mengajak putranya berbicara, meskipun tahu anak laki-laki itu berkali-kali meliriknya.Hingga taksi berhenti tepat di depan pagar rumah Aldara, wanita itu segera mengajak putranya keluar dan masuk rumah. "Nak, bisa kita bicara sebentar?" ucap Aldara, dengan suara setengah berbisik.Ryu mengangguk. Kemudian mendudukkan diri di sofa dan disusul Aldara setelahnya."Mama ingin tahu, bagaimana perasaan kamu saat ada di dekat Paman Alastair. Kenapa meskipun berulang kali mama melarang kamu mendekatnya, kamu tetap dekat-dekat dia," kata Aldara.Ryu tidak langsung menjawab. Ia bingung harus bilang apa, yang ia rasakan hanya nyaman dan hatinya menghangat.Namun, apakah jawaban itu tidak akan melukai mamanya? Ia tahu persis bagaimana mamanya melarang untuk dekat-dekat dengan Paman Alastair."Nak .., katakan saja. Mama tid
Ernest membelalakkan mata dan lekas meminta dua bodyguard untuk membawa Alastair ke rumah sakit, sementara pria itu langsung menemui pengacara untuk menaikkan kasus Kenneth.Sambil menunggu Dokter menangani Alastair, Kenneth kembali dibawa ke sel. Ia bertemu Rangga di sana dan lekas menceritakan semua kejadiannya."Apa kau bisa memastikan kalau racun itu akan membuat Alastair meninggal?" tanya Rangga.Kenneth menatap lurus ke dalam mata Rangga. Entah apa yang pria itu pikirkan, tetapi tergambar kekhawatiran besar di dalam matanya."Kau kenapa?" Rangga kembali bertanya.Pria pemilik mata biru itu menggeleng. "Tidak. Aku hanya berpikir, mungkin ... aku tidak bisa lagi bertemu Aldara."Helaan napas kasar keluar dari bibir Kenneth, selaras dengan matanya yang mulai mengembun."Aku tahu Alastair tidak akan melepaskanku. Pasti aku akan dijatuhi hukuman yang sangat berat. Tapi, tidak apa-apa ... asal Alastair juga pergi dari dunia ini. Dan itu artinya, baik aku maupun Alastair tidak ada yang
Elle bersiap menerjang Aldara, beruntung Anthony sigap menahan istrinya. Wanita paruh baya itu mengamuk, menggeram marah melihat Aldara yang terus tertunduk."Semua kesialan yang menimpa Alastair, selalu disebabkan oleh dia, Pa!" ucap Elle sambil menunjuk ke arah Aldara. "Aku ingin memberinya pelajaran. Agar dia tahu seperti apa sakit yang dirasakan putraku!""Ma—""Sudah benar dia pergi. Tapi kenapa sekarang kembali lagi ke hidup putraku?! Putraku jadi tertimpa kesialan lagi!" teriak Elle, memotong ucapan suaminya.Anthony semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Elle, pria paruh baya itu meminta Ernest membawa Aldara pergi. Takut kalau Elle semakin histeris."Mau ke mana kau, wanita jalang?! Jangan pergi sebelum aku menghajarmu ...." Elle bersiap berdiri, tetapi Anthony langsung menarik tubuh sang istri hingga kembali terjatuh ke lantai."Tenang, Ma ...," bisik Anthony.Elle menolehkan kepala, menatap suaminya dengan tatapan memicing tajam."Jangan memintaku untuk tenang sebelum ak
kediaman Ernest | Malam Hari."Kamu yakin tidak mau ikut ke rumah sakit?" tanya Ernest untuk yang kesekian kalinya.Aldara masih terus menggeleng. "Tidak ""Pak Anthony dan Bu Elle sudah pulang dari sore tadi, Ra. Tidak apa-apa kalau kamu mau ke sana," kata Ernest.Namun, Aldara tetap kukuh pada gelengan kepalanya. "Baiklah. Aku pergi dulu kalau begitu," ucap Ernest.Aldara tidak menimpali, wanita itu hanya menatap datar ke arah Ernest yang sudah keluar dari pintu utama.Ernest menutup pintu, detik itu juga Aldara menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa sambil menghela napas kasar."Aku belum siap," gumamnya.Air mata kembali luruh membasahi pipi. Sebenernya Aldara benci dengan dirinya yang tampak sangat lemah, sepanjang hari terus menangis memikirkan Alastair yang masih koma.Ia juga tidak ingin seperti ini, tetapi entah kenapa hatinya ngilu sekali.Hingga beberapa saat kemudian terdengar suara deru mobil memasukkan halaman. Aldara langsung menghapus air matanya dan beranjak menuj
Aldara berusaha menghubungi Ernest secara diam-diam, tetapi sayangnya cahaya ponselnya membuat salah satu pria berbadan besar tersebut menoleh ke belakang.Jantung Aldara serasa mau rontok ketika pria itu menatap garang ke arahnya, tetapi sejurus kemudian pria itu tergelak sambil menatap ke arah rekannya."Kau lihat, Don? Wanita ini mau menghubungi seseorang," katanya.Don turut terkekeh. "Dia tidak tahu kalau di hutan ini tidak ada sinyal, Roy," sahutnya.Keduanya kembali tertawa, sementara Aldara semakin nelangsa saat ponselnya benar-benar tidak ada sinyal.Ia tidak bisa kabur karena pintu mobil terkunci, apalagi ketika mendapati baterai ponselnya semakin berkurang."Kalian ini sebenarnya siapa? Mau kalian apa?" tanya Aldara dengan suara lirih.Wanita itu berusaha menekan ketakutannya. Khawatir kou melawan, dua orang tersebut justru akan melukainya."Kenapa kalian membawaku ke sini? Apa uang kalian mau dariku?" Aldara kembali bertanya, tetapi masih tidak ada sahutan.Aldara semakin
CTARR! Kaca mobil berhasil dipecahkan.Sekuat mungkin Aldara berusaha keluar meskipun tubuh mungilnya harus tergores pinggiran kaca yang tajam. Wanita itu tidak memperdulikan kulitnya yang terasa perih, ia ingin segera keluar."Aaargh ...!" pekiknya saat berhasil melompat, meskipun kedua lututnya harus berdarah saat beradu dengan aspal hitam.Beruntung kobaran api yang paling besar di depan, jadi ia tidak khawatir terkena luka bakar. Aldara berlari pincang menjauh dari mobil, suara ledakan besar membuat tangisnya kian meraung pilu. "Terima kasih, Tuhan," rintihnya di sela-sela isak tangis. Lututnya terasa bergetar dan kakinya mendadak lemas, tubuh Aldara terjatuh di tepi jalan. Ambruk tak berdaya dengan napas yang semakin sesak.Netranya menatap nanar pada mobil yang sudah meledak, api melahap habis dan tidak menyisakan satu pun ruang kosong.Aldara tidak membayangkan kalau ia tidak bisa keluar dari sana, pasti sudah terpanggang dan hidupnya berakhir."Akh!" Wanita itu kembali memek
Pagi ini Aldara sudah sadar, ia membuka mata dan melihat perawat yang tengah menyapa lembut ke arahnya.Ia hanya sesekali menggeleng atau menganggukkan kepala, karena selebihnya Aldara pun tidak terlalu paham akan apa yang dibicarakan perawat itu.Tidak lama kemudian Ernest masuk bersama Anetha dan Ryu, senyum di bibir Aldara langsung mengembang saat melihat putranya."Dara, bagaimana keadaan kamu hari ini?" tanya Ernest."Sudah agak baikan," jawab Aldara dengan suara lirih.Wanita itu mengalihkan pandangan kepada Ryu, putranya tersenyum lembut. Kendati demikian, Aldara tahu sorot mata anak laki-laki itu memancarkan kekhawatiran."Maafkan mama, ya, Ryu. Mama membuat kamu khawatir," bisik Aldara.Aldara berusaha menggapai jemari Ryu, tetapi Ryu lebih dulu menggenggam tangan sang mama."Aku yang seharusnya minta maaf, ma. Kalau aku tidak meminta beli komik, pasti kami bisa pulang lebih awal dan mama tidak akan dibawa oleh penjahat itu," jawab Ryu. "Aku minta maaf ...."Aldara menggeleng
Ernest dan Anetha mengajak Ryu keluar, mereka membiarkan Aldara bersama Alastair di ruang rawat ini.Namun, dua insan itu tetap diam dan menikmati keheningan sampai entah berapa lama jarum jam berputar. Alastair tidak tahan, tetapi Aldara terus memalingkan wajah darinya.Alastair merasa ini adalah titik terlemahnya. Ia yang biasanya kuat, kini rela memohon demi cintanya tidak meninggalkannya."Maaf atas kesalahan mamaku, Ra," ucap Alastair. "Mungkin kamu sudah muak dengan semua ini, aku juga tahu kalau kamu lelah. Tapi satu kali lagi ... bertahanlah. Aku akan membawamu dan Ryu ke luar negeri. Kita akan hidup di sana, aku bisa menjamin kalau kita akan aman," jelas pria itu panjang lebar.Tidak ada sahutan dari Aldara, tetapi tanpa siapapun tahu wanita itu menitikkan air matanya.Ia sudah menaruh cintanya, siapa yang tidak ingin berjuang dengan seseorang yang dicintai? Siapa yang menolak saat diperjuangkan?Namun, Aldara tahu bahwa ada marabahaya besar di depan sana yang akan selalu men