hmmm
Malam itu sangat sepi dan sunyi. Reina duduk di tepi tempat tidur, memandangi Regan yang tertidur lelap. Air mata mengalir di pipinya, menyadari bahwa hatinya sudah terlalu lelah untuk terus berjuang. Setelah hampir seminggu Regan belum mendapatkan bukti yang bisa membersihkan namanya, Reina merasa tidak ada harapan lagi. Dengan perasaan campur aduk, ia mengambil pena dan kertas. Lalu menulis sebuah surat yang menyakitkan namun perlu. --- Pak Regan yang aku cintai, Aku sudah mencoba untuk bertahan, untuk percaya bahwa kita bisa melalui semua ini bersama. Namun hatiku terlalu lelah. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian dan keraguan. Aku ingin kau bahagia, Pak Regan. Mungkin Kak Amel adalah jalanku untuk memberikanmu kebahagiaan itu. Aku akan pergi dan aku mohon, jangan mencariku. Segeralah ceraikan aku dan menikahlah dengan Kak Amel. Aku harap kamu bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang layak Bapak dapatkan. Selamat tinggal, cintaku. Reina. --- Dengan ta
Reina tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan keraguan yang ada di hatinya. “Tidak ada yang serius, Pak Reihan. Hanya masalah kecil yang bisa saya atasi sendiri.” Reihan menatapnya dengan penuh perhatian. “Kau tahu, Reina, kau tidak perlu berpura-pura kuat. Kita semua butuh bantuan sesekali.” Reina menunduk sejenak, lalu mengangkat pandangannya dengan tegas. “Terima kasih, Pak Reihan. Tapi saya bisa mengatasi ini.” Sesungguhnya Reina tidak ingin terlihat lemah. Ia juga tidak mau dianggap sebagai wanita yang butuh rasa simpatik dari lelaki lain. Reihan mengangguk pelan, mengerti bahwa Reina tidak ingin membahas lebih jauh. “Baiklah. Jika kau butuh sesuatu, aku selalu ada di sini.” Setelah makan siang, Reina kembali ke kantor dengan pikiran yang sedikit lebih tenang. Meski begitu, bayangan masalah yang sedang dihadapinya dengan Regan masih terus menghantui. Hari itu tidak banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Reina. Ia hanya perlu mempelajari lebih banyak tentang perusah
Alice langsung menggelengkan kepalanya. “Tidak, Kak. Aku masih mencintai Axel.” Gadis itu tertunduk lesu. Ia merasa sangat malu. Setelah ia berusaha mencari kebahagiaan sendiri dan menemukan Axel sebagai pencuri hatinya, ternyata lelaki itu justru memanfaatkannya. Reina tidak tahu harus bagaimana. Ia juga tidak mau dianggap terlalu ikut campur dengan masalah Alice. “Aku paham akan perasaanmu, Alice. Kita akan mencari solusi lain dari masalah ini.” Reina hanya bisa menenangkan Alice dan memastikan bahwa gadis itu nyaman. Meski hatinya sendiri pun masih dipenuhi oleh masalah pribadinya. Reina bertekad untuk membantu Alice melewati masa sulit ini. “Ya sudah. Kamu istirahat, ya? Apakah kamu sudah makan?” tanya Reina perhatian. “Alice tidak nafsu makan, Kak. Alice tidur saja.” “Baiklah. Aku masak dulu. Nanti kalau lapar, kamu bisa memanggilku. Atau kamu bisa langsung ambil di meja makan, ya?” Alice mengangguk pelan. Ia berusaha keras untuk memejamkan kedua matanya. Setelah menyur
Beberapa minggu telah berlalu sejak Reina pergi meninggalkan rumah dan hidup Regan terasa hampa tanpa kehadirannya. Meski Regan terus berusaha mencari Reina, namun hasilnya masih nihil. Di tengah usahanya untuk menemukan istri tercintanya, ia harus tetap menjalankan kewajiban profesionalnya. Pagi itu di kantornya yang megah, Regan duduk di meja kerjanya dengan pandangan kosong. Kepalanya dipenuhi dengan pikiran tentang Reina. Tumpukan dokumen di atas meja tampak seperti gunung yang tak bisa didaki dan setiap berkas yang dilihatnya hanya menambah beban di hatinya. Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan Jeffan masuk dengan ekspresi serius. “Pak Regan, kita ada perjanjian penting dengan klien di luar kota. Pertemuan ini tidak bisa ditunda lagi.” Regan mendesah panjang. Dia tahu pertemuan ini sangat penting bagi perusahaan, namun hatinya masih dipenuhi oleh kesedihan karena kepergian Reina. “Jeffan, aku ...” Regan berucap dengan pelan. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat.
Reina mengangguk lemah. “Apa yang terjadi?” tanya wanita itu sambil memegangi kepalanya yang terasa berat. “Kamu diculik, tapi kami berhasil menyelamatkanmu. Kamu sekarang aman,” ungkap Regan dengan lembut. Reina mengangguk pelan. “Sebaiknya kamu beristirahat. Aku akan menemui Reina sebentar.” Regan melihat Reihan duduk pada kursi panjang yang berasa di depan ruangan Reina. Sepertinya lelaki itu masih belum mau meninggalkan Reina. “Kamu belum pulang?” tanya Regan merasa penasaran. “Apakah Reina sudah sadar?” balas Reihan balik bertanya. “Em, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya mengkhawatirkan Reina. Karena dia juga bagian penting dari perusahaan.” Mendengar hal itu, Regan cukup merasa kesal. Seolah sekarang Reihan yang paling berarti dalam hidup Reina. “Ya, Reina sudah sadar. Aku akan menjaganya sampai istriku sembuh.” Reihan bernapas lega. Mungkin memang sekarang saatnya ia harus pulang karena sudah ada Regan di sana. “Sebenarnya Reihan, ada sesuatu yang belum aku ceritak
Beberapa hari Regan memaksakan diri untuk menemani Reina di kota yang jauh dari rumah mereka itu. Sementara Jeffan sudah kembali ke kantor milik Regan untuk menjalankan bisnis sehari-hari. Malam itu Reina dan Regan duduk di ruang tamu sebuah apartemen kecil yang mereka sewa sementara. Mereka berdua tampak lelah, namun kehadiran satu sama lain memberikan sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang mereka alami. Suasana ruangan tersebut hangat dengan cahaya lampu yang lembut, tetapi hati mereka masih dipenuhi kegelisahan. “Reina, aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku minta maaf atas semuanya. Aku benar-benar tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu,” ujar Regan dengan suara rendah namun penuh penyesalan. Reina menatap Regan dengan mata berkaca-kaca. Perasaan campur aduk antara cinta dan rasa sakit memenuhi hatinya. “Aku juga minta maaf, Pak Regan. Aku terlalu cepat mengambil keputusan untuk pergi. Aku seharusnya memberimu kesempatan untuk menjelaskan.” Regan merai
Regan dan Reina kembali ke apartemen mereka setelah menerima telepon dari Jeffan. Meskipun keduanya baru saja menikmati makan malam yang lezat di sebuah restoran, suasana hati mereka masih dipenuhi dengan ketegangan. Reina sangat penasaran dengan apa yang telah terjadi, namun ia berusaha untuk tetap tenang dan menahan kegelisahannya. “Pak Regan, apa kira-kira yang Jeffan temukan?” tanya Reina yang berusaha mengisi keheningan di dalam mobil. “Aku juga tidak tahu, Reina. Tapi aku yakin ini penting jika sampai dia merasa harus datang langsung ke sini malam-malam,” jawab Regan sambil menggenggam tangan Reina, mencoba memberikan sedikit ketenangan. Mereka tiba di apartemen dan langsung menuju lantai tempat mereka tinggal. Ketika pintu lift terbuka, mereka melihat Jeffan sudah menunggu di depan pintu apartemen dengan raut wajah serius. Jeffan terlihat lelah, namun ada semangat yang menyala di matanya. “Jeffan, apa yang terjadi?” tanya Regan begitu mereka mendekat. Jeffan mengangguk
Malam itu setelah Jeffan pergi, Regan dan Reina duduk bersama di ruang tamu. Meski suasana hati mereka masih dipenuhi dengan berbagai perasaan, ada secercah harapan yang mulai tumbuh. “Reina, aku sangat bersyukur karena kita akhirnya menemukan kebenaran,” ucap Regan sambil menatap dalam mata istrinya. “Aku juga, Pak Regan. Aku merasa lega, tapi aku juga merasa bersalah karena telah meragukan Bapak.” Regan meraih tangan Reina dan menggenggamnya erat. “Tidak apa-apa, Reina. Yang penting sekarang kita bisa melanjutkan hidup kita tanpa beban.” Reina tersenyum, meski matanya masih sedikit berkaca-kaca. “Aku mencintaimu, Pak Regan. Aku sangat berterima kasih karena kamu selalu sabar dan mencintaiku meskipun aku sempat meragukan Bapak.” Regan membalas senyuman Reina dengan penuh kasih. “Aku juga mencintaimu, Reina. Kita akan melalui ini bersama-sama.” Pagi harinya setelah tidur nyenyak untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Regan dan Reina bersiap untuk menghadapi hari baru dengan