Kira-kira siapa ya, ada yang bisa tebak???
“Amel? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Regan dengan nada terkejut. Amel berdiri perlahan, wajahnya terlihat tegang. “Aku harus bicara dengan kalian berdua. Ini penting.” Reina dan Regan saling berpandangan, kebahagiaan mereka seketika berubah menjadi kekhawatiran. Mereka berjalan masuk ke ruang tamu, perasaan cemas mulai merayap di hati mereka. “Ada apa, Kak Amel?” tanya Reina dengan suara lembut namun waspada. Amel menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Aku hamil, Reina. Dan anak ini adalah anak Regan.” Kata-kata itu menghantam mereka seperti petir di siang bolong. Reina merasakan dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Matanya terbuka lebar, napasnya terasa sesak. “Kak Amel ... hamil?” Suara Reina bergetar. Sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. “Tidak. Ini semua tidak benar, Reina.” Regan angkat bicara. Ia mencoba untuk menenangkan istrinya. “Aku tidak tahu apa yang terjadi malam itu. Aku tidak ingat apa-apa. Tetapi aku yakin jika aku tidak pernah melakuk
Malam itu sangat sepi dan sunyi. Reina duduk di tepi tempat tidur, memandangi Regan yang tertidur lelap. Air mata mengalir di pipinya, menyadari bahwa hatinya sudah terlalu lelah untuk terus berjuang. Setelah hampir seminggu Regan belum mendapatkan bukti yang bisa membersihkan namanya, Reina merasa tidak ada harapan lagi. Dengan perasaan campur aduk, ia mengambil pena dan kertas. Lalu menulis sebuah surat yang menyakitkan namun perlu. --- Pak Regan yang aku cintai, Aku sudah mencoba untuk bertahan, untuk percaya bahwa kita bisa melalui semua ini bersama. Namun hatiku terlalu lelah. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian dan keraguan. Aku ingin kau bahagia, Pak Regan. Mungkin Kak Amel adalah jalanku untuk memberikanmu kebahagiaan itu. Aku akan pergi dan aku mohon, jangan mencariku. Segeralah ceraikan aku dan menikahlah dengan Kak Amel. Aku harap kamu bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang layak Bapak dapatkan. Selamat tinggal, cintaku. Reina. --- Dengan ta
Reina tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan keraguan yang ada di hatinya. “Tidak ada yang serius, Pak Reihan. Hanya masalah kecil yang bisa saya atasi sendiri.” Reihan menatapnya dengan penuh perhatian. “Kau tahu, Reina, kau tidak perlu berpura-pura kuat. Kita semua butuh bantuan sesekali.” Reina menunduk sejenak, lalu mengangkat pandangannya dengan tegas. “Terima kasih, Pak Reihan. Tapi saya bisa mengatasi ini.” Sesungguhnya Reina tidak ingin terlihat lemah. Ia juga tidak mau dianggap sebagai wanita yang butuh rasa simpatik dari lelaki lain. Reihan mengangguk pelan, mengerti bahwa Reina tidak ingin membahas lebih jauh. “Baiklah. Jika kau butuh sesuatu, aku selalu ada di sini.” Setelah makan siang, Reina kembali ke kantor dengan pikiran yang sedikit lebih tenang. Meski begitu, bayangan masalah yang sedang dihadapinya dengan Regan masih terus menghantui. Hari itu tidak banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Reina. Ia hanya perlu mempelajari lebih banyak tentang perusah
Alice langsung menggelengkan kepalanya. “Tidak, Kak. Aku masih mencintai Axel.” Gadis itu tertunduk lesu. Ia merasa sangat malu. Setelah ia berusaha mencari kebahagiaan sendiri dan menemukan Axel sebagai pencuri hatinya, ternyata lelaki itu justru memanfaatkannya. Reina tidak tahu harus bagaimana. Ia juga tidak mau dianggap terlalu ikut campur dengan masalah Alice. “Aku paham akan perasaanmu, Alice. Kita akan mencari solusi lain dari masalah ini.” Reina hanya bisa menenangkan Alice dan memastikan bahwa gadis itu nyaman. Meski hatinya sendiri pun masih dipenuhi oleh masalah pribadinya. Reina bertekad untuk membantu Alice melewati masa sulit ini. “Ya sudah. Kamu istirahat, ya? Apakah kamu sudah makan?” tanya Reina perhatian. “Alice tidak nafsu makan, Kak. Alice tidur saja.” “Baiklah. Aku masak dulu. Nanti kalau lapar, kamu bisa memanggilku. Atau kamu bisa langsung ambil di meja makan, ya?” Alice mengangguk pelan. Ia berusaha keras untuk memejamkan kedua matanya. Setelah menyur
Beberapa minggu telah berlalu sejak Reina pergi meninggalkan rumah dan hidup Regan terasa hampa tanpa kehadirannya. Meski Regan terus berusaha mencari Reina, namun hasilnya masih nihil. Di tengah usahanya untuk menemukan istri tercintanya, ia harus tetap menjalankan kewajiban profesionalnya. Pagi itu di kantornya yang megah, Regan duduk di meja kerjanya dengan pandangan kosong. Kepalanya dipenuhi dengan pikiran tentang Reina. Tumpukan dokumen di atas meja tampak seperti gunung yang tak bisa didaki dan setiap berkas yang dilihatnya hanya menambah beban di hatinya. Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan Jeffan masuk dengan ekspresi serius. “Pak Regan, kita ada perjanjian penting dengan klien di luar kota. Pertemuan ini tidak bisa ditunda lagi.” Regan mendesah panjang. Dia tahu pertemuan ini sangat penting bagi perusahaan, namun hatinya masih dipenuhi oleh kesedihan karena kepergian Reina. “Jeffan, aku ...” Regan berucap dengan pelan. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat.
Reina mengangguk lemah. “Apa yang terjadi?” tanya wanita itu sambil memegangi kepalanya yang terasa berat. “Kamu diculik, tapi kami berhasil menyelamatkanmu. Kamu sekarang aman,” ungkap Regan dengan lembut. Reina mengangguk pelan. “Sebaiknya kamu beristirahat. Aku akan menemui Reina sebentar.” Regan melihat Reihan duduk pada kursi panjang yang berasa di depan ruangan Reina. Sepertinya lelaki itu masih belum mau meninggalkan Reina. “Kamu belum pulang?” tanya Regan merasa penasaran. “Apakah Reina sudah sadar?” balas Reihan balik bertanya. “Em, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya mengkhawatirkan Reina. Karena dia juga bagian penting dari perusahaan.” Mendengar hal itu, Regan cukup merasa kesal. Seolah sekarang Reihan yang paling berarti dalam hidup Reina. “Ya, Reina sudah sadar. Aku akan menjaganya sampai istriku sembuh.” Reihan bernapas lega. Mungkin memang sekarang saatnya ia harus pulang karena sudah ada Regan di sana. “Sebenarnya Reihan, ada sesuatu yang belum aku ceritak
Beberapa hari Regan memaksakan diri untuk menemani Reina di kota yang jauh dari rumah mereka itu. Sementara Jeffan sudah kembali ke kantor milik Regan untuk menjalankan bisnis sehari-hari. Malam itu Reina dan Regan duduk di ruang tamu sebuah apartemen kecil yang mereka sewa sementara. Mereka berdua tampak lelah, namun kehadiran satu sama lain memberikan sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang mereka alami. Suasana ruangan tersebut hangat dengan cahaya lampu yang lembut, tetapi hati mereka masih dipenuhi kegelisahan. “Reina, aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku minta maaf atas semuanya. Aku benar-benar tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu,” ujar Regan dengan suara rendah namun penuh penyesalan. Reina menatap Regan dengan mata berkaca-kaca. Perasaan campur aduk antara cinta dan rasa sakit memenuhi hatinya. “Aku juga minta maaf, Pak Regan. Aku terlalu cepat mengambil keputusan untuk pergi. Aku seharusnya memberimu kesempatan untuk menjelaskan.” Regan merai
Regan dan Reina kembali ke apartemen mereka setelah menerima telepon dari Jeffan. Meskipun keduanya baru saja menikmati makan malam yang lezat di sebuah restoran, suasana hati mereka masih dipenuhi dengan ketegangan. Reina sangat penasaran dengan apa yang telah terjadi, namun ia berusaha untuk tetap tenang dan menahan kegelisahannya. “Pak Regan, apa kira-kira yang Jeffan temukan?” tanya Reina yang berusaha mengisi keheningan di dalam mobil. “Aku juga tidak tahu, Reina. Tapi aku yakin ini penting jika sampai dia merasa harus datang langsung ke sini malam-malam,” jawab Regan sambil menggenggam tangan Reina, mencoba memberikan sedikit ketenangan. Mereka tiba di apartemen dan langsung menuju lantai tempat mereka tinggal. Ketika pintu lift terbuka, mereka melihat Jeffan sudah menunggu di depan pintu apartemen dengan raut wajah serius. Jeffan terlihat lelah, namun ada semangat yang menyala di matanya. “Jeffan, apa yang terjadi?” tanya Regan begitu mereka mendekat. Jeffan mengangguk
Hari pernikahan Xavier dan Karin telah tiba. Udara pagi terasa segar dan cerah, seakan menyambut kebahagiaan yang akan segera berlangsung. Keluarga dan sahabat berkumpul di sebuah taman indah yang telah dihias dengan bunga-bunga warna-warni dan lampu-lampu gemerlapan. Suasana penuh dengan tawa dan senyum. Regan dan Reina tiba lebih awal bersama bayi kembar mereka, Alana dan Bianca, yang tertidur pulas di kereta dorong. Mereka disambut oleh Olivia dan Danny yang sudah tak sabar menantikan momen bahagia itu. “Aku tak percaya Xavier akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Karin,” ucap Reina dengan mata berkaca-kaca. “Dia memang pantas mendapatkannya,” jawab Regan sambil tersenyum, merangkul Reina yang terlihat anggun dalam gaun biru muda. “Kita semua pantas bahagia.” Tak lama kemudian, para tamu mulai berdatangan. Leon, mantan pacar Reina dan Karin juga hadir dengan pasangan barunya. Mereka tampak sangat bahagia, saling berpegangan tangan dan tertawa bersama. Leon menghampiri Reg
Tanpa disangka, suatu hari Regan menemukan fakta baru yang mengejutkan. Saat itu, dia sedang bekerja di ruangannya. Berkas-berkas tersebar di atas meja ketika ponselnya berdering. Panggilan itu berasal dari salah satu anak buah kepercayaannya. “Ada apa, Roni?” tanya Regan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ada perkembangan baru, Pak Regan. Kami berhasil melacak beberapa transaksi mencurigakan yang berhubungan dengan Shadow Phoenix. Dan yang mengejutkan, ada keterlibatan Alex Ricardo di dalamnya,” lapor Roni. Regan terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. “Apa kamu yakin? Alex Ricardo? Bukankah dia masih berada di dalam penjara?” “Betul, Pak. Tapi tampaknya dia masih mengendalikan beberapa hal dari dalam penjara. Kami menemukan bukti bahwa beberapa anak buahnya masih menjalankan perintahnya dan menggunakan nama Shadow Phoenix untuk menyamarkan identitas asli mereka,” jelas Roni. Regan merasakan darahnya mendidih. “Teruskan penyelidikannya, Roni. Dan pastikan ki
Tanpa terasa, usia kehamilan Reina sudah memasuki trimester ketiga. Perutnya semakin membesar, membuatnya sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Setiap malam menjadi tantangan baru bagi Reina. Sementara Regan berusaha sebaik mungkin untuk membuat istrinya merasa nyaman dan bisa tidur nyenyak. Malam itu setelah mencoba berbagai posisi tidur dan tidak menemukan yang pas, Reina merasa frustasi. Ia berguling-guling di tempat tidur sambil menghela napas panjang. Regan yang melihatnya merasa kasihan dan ingin membantu. “Ada yang bisa aku lakukan, Sayang?” tanya Regan lembut. Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengelus rambut istrinya. Reina menggeleng lemah. “Aku tidak tahu, Pak Regan. Aku sudah mencoba semua posisi tapi tetap saja tidak nyaman. Perutku terlalu besar.” Regan berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru? Tunggu sebentar.” Ia keluar dari kamar dan kembali dengan bantal-bantal tambahan. “Ayo, kita coba dengan bantal-banta
Pagi itu di kantor, suasana di ruang CEO terasa lebih sibuk dari biasanya. Regan tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen dan panggilan telepon yang tak henti-hentinya. Di luar ruangan, para karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Reina pergi ke toilet sebentar untuk menyegarkan diri. Saat Reina keluar dari ruangan, pintu lift terbuka dan dua orang masuk ke lantai itu. Claudia dan Xavier melangkah dengan hati-hati menuju kantor CEO. Claudia tampak sedikit gugup, sementara Xavier berusaha tampak tenang meskipun jelas terlihat gelisah. Mereka mengetuk pintu dan menunggu sebentar sebelum mendengar suara Regan dari dalam yang mempersilakan mereka masuk. Ketika pintu terbuka, Claudia dan Xavier masuk dengan hati-hati. Regan yang tadinya duduk di balik mejanya langsung berdiri. Ekspresi wajahnya berubah dari fokus keheranan. “Mama Claudia? Xavier? Apa yang membawa kalian berdua datang ke sini?” tanya Regan dengan nada sedikit terkejut. Claudia mendekat de
Saat kehamilan Reina menginjak usia lima bulan, Regan memutuskan untuk mengajak Reina jalan-jalan di taman kota. Hari itu cerah, dengan langit biru dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana terasa sejuk. Reina tampak sangat bahagia, mengenakan gaun hamil berwarna pastel yang membuat perutnya yang semakin membesar terlihat menawan. Regan tak henti-hentinya tersenyum, menikmati momen kebersamaan mereka. Mereka berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan taman yang indah. Banyak anak-anak bermain di taman bermain, pasangan-pasangan duduk di bangku menikmati suasana, dan para pedagang menjajakan makanan ringan di kios-kios kecil di sepanjang jalan setapak. “Ini hari yang sangat indah, ya?” ungkap Reina sambil menggenggam tangan Regan erat. “Ya, benar-benar indah,” jawab Regan, menatap istrinya dengan penuh cinta. “Aku senang kita bisa meluangkan waktu bersama seperti ini.” Mereka melanjutkan berjalan, berhenti sesekali untuk melihat bunga-bunga yang sedang mekar dan menikmati
Kehamilan Reina telah memasuki usia empat bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setiap hari Regan semakin takjub melihat perubahan pada tubuh istrinya dan merasa tidak sabar untuk menyambut kehadiran anak mereka. Pagi itu Regan memutuskan untuk membawa Reina ke klinik untuk melakukan USG. “Sayang, hari ini kita akan ke klinik untuk melihat bayi kita,” ucap Regan dengan senyum lebar. Reina tersenyum bahagia, merasa tak sabar untuk melihat perkembangan bayinya. “Aku tidak sabar, Pak Regan. Pasti mereka sudah semakin besar sekarang.” Regan mengangguk. "Aku juga sangat bersemangat. Ayo kita bersiap-siap." Setelah bersiap-siap, mereka berdua berangkat ke klinik dengan penuh semangat. Dalam perjalanan, mereka terus berbicara tentang rencana masa depan dan bagaimana mereka akan merawat anak mereka. Regan menggenggam tangan Reina dengan erat, memberikan rasa tenang dan nyaman. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter dan perawat yang ramah. “Selamat pag
Reina berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Matanya menyapu pemandangan yang indah, tetapi pikirannya jauh dari sana. Di luar, matahari mulai terbenam, menyinari langit dengan warna-warna keemasan, tetapi dalam hati Reina, ada kegelapan yang sulit hilang. Regan, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian dari rumah mulai memperhatikan istrinya. Ia berjalan mendekat dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Reina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya dengan suara penuh perhatian. Reina tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Regan. “Aku masih memikirkan Kak Amel,” jawabnya dengan suara lirih. “Aku merasa bersalah dan cemas tentang apa yang terjadi padanya.” “Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kadang-kadang, kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi pada Amel adalah akibat dari pilihannya sendiri.” “Tapi, aku tetap merasa harus melakukan sesuatu,” lanjut Reina dengan nad
Linda dan Amel tampak berjalan menuju mereka. Kehadiran dua orang itu seakan membawa aura negatif. Amel, dengan tatapan jahat, mulai merencanakan sesuatu yang licik terhadap Reina. Linda dan Amel berpura-pura bergabung dengan kebersamaan keluarga Danny, tapi Amel dengan hati-hati mendekati Reina yang sedang berjalan di atas bebatuan. Amel mengatur langkahnya agar Reina terpeleset di atas batu licin. Namun, rencana jahat itu berbalik. Saat Amel mendorong Reina, dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan. Amel terjatuh keras di atas batu tajam. Semua orang terkejut dan bergegas menghampiri. Linda berteriak panik, “Amel! Apa yang terjadi?!” Regan, yang melihat situasi tersebut, segera memanggil bantuan. Amel tampak mengalami pendarahan hebat. Regan memeluk Reina erat-erat, memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Reina mengangguk. “Aku baik-baik saja, Pak Regan. Tapi Kak Amel ... dia tampak sangat parah.” Ambulans segera
Liburan keluarga besar ke pantai adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Reina dan Regan memang telah merencanakan hal itu jauh-jauh hari. Hanya saja baru terealisasi saat ini. Dengan persiapan yang matang, mereka berangkat dari rumah dengan semangat tinggi. Olivia, Bi Nita, Danny, Rafa, Alya, dan Bi Siti bergabung dalam perjalanan tersebut, ikut memastikan tidak ada yang tertinggal. Mereka membawa perbekalan lengkap, termasuk makanan, minuman, mainan pantai, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sesampainya di pantai, suasana langsung berubah menjadi ceria. Mereka menata tempat dengan menyiapkan tenda, menggelar tikar, dan menata makanan piknik. Rafa dan Alya segera berlari ke air, bermain dengan ombak dan tertawa riang. Danny dan Bi Siti membantu Olivia dan Bi Nita menyiapkan makanan. Regan dan Reina berkeliling, memastikan semuanya tertata dengan baik. “Ayah, jangan terlalu jauh, ya!” teriak Reina sambil melambai ke arah Danny yang sedang membawa ko