Malam.... kakak....
Beberapa hari Regan memaksakan diri untuk menemani Reina di kota yang jauh dari rumah mereka itu. Sementara Jeffan sudah kembali ke kantor milik Regan untuk menjalankan bisnis sehari-hari. Malam itu Reina dan Regan duduk di ruang tamu sebuah apartemen kecil yang mereka sewa sementara. Mereka berdua tampak lelah, namun kehadiran satu sama lain memberikan sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang mereka alami. Suasana ruangan tersebut hangat dengan cahaya lampu yang lembut, tetapi hati mereka masih dipenuhi kegelisahan. “Reina, aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku minta maaf atas semuanya. Aku benar-benar tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu,” ujar Regan dengan suara rendah namun penuh penyesalan. Reina menatap Regan dengan mata berkaca-kaca. Perasaan campur aduk antara cinta dan rasa sakit memenuhi hatinya. “Aku juga minta maaf, Pak Regan. Aku terlalu cepat mengambil keputusan untuk pergi. Aku seharusnya memberimu kesempatan untuk menjelaskan.” Regan merai
Regan dan Reina kembali ke apartemen mereka setelah menerima telepon dari Jeffan. Meskipun keduanya baru saja menikmati makan malam yang lezat di sebuah restoran, suasana hati mereka masih dipenuhi dengan ketegangan. Reina sangat penasaran dengan apa yang telah terjadi, namun ia berusaha untuk tetap tenang dan menahan kegelisahannya. “Pak Regan, apa kira-kira yang Jeffan temukan?” tanya Reina yang berusaha mengisi keheningan di dalam mobil. “Aku juga tidak tahu, Reina. Tapi aku yakin ini penting jika sampai dia merasa harus datang langsung ke sini malam-malam,” jawab Regan sambil menggenggam tangan Reina, mencoba memberikan sedikit ketenangan. Mereka tiba di apartemen dan langsung menuju lantai tempat mereka tinggal. Ketika pintu lift terbuka, mereka melihat Jeffan sudah menunggu di depan pintu apartemen dengan raut wajah serius. Jeffan terlihat lelah, namun ada semangat yang menyala di matanya. “Jeffan, apa yang terjadi?” tanya Regan begitu mereka mendekat. Jeffan mengangguk
Malam itu setelah Jeffan pergi, Regan dan Reina duduk bersama di ruang tamu. Meski suasana hati mereka masih dipenuhi dengan berbagai perasaan, ada secercah harapan yang mulai tumbuh. “Reina, aku sangat bersyukur karena kita akhirnya menemukan kebenaran,” ucap Regan sambil menatap dalam mata istrinya. “Aku juga, Pak Regan. Aku merasa lega, tapi aku juga merasa bersalah karena telah meragukan Bapak.” Regan meraih tangan Reina dan menggenggamnya erat. “Tidak apa-apa, Reina. Yang penting sekarang kita bisa melanjutkan hidup kita tanpa beban.” Reina tersenyum, meski matanya masih sedikit berkaca-kaca. “Aku mencintaimu, Pak Regan. Aku sangat berterima kasih karena kamu selalu sabar dan mencintaiku meskipun aku sempat meragukan Bapak.” Regan membalas senyuman Reina dengan penuh kasih. “Aku juga mencintaimu, Reina. Kita akan melalui ini bersama-sama.” Pagi harinya setelah tidur nyenyak untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Regan dan Reina bersiap untuk menghadapi hari baru dengan
Pagi yang cerah menyambut perjalanan Reina dan Regan untuk menemui Alice. Udara segar mengalir melalui jendela mobil yang setengah terbuka, membawa harapan baru setelah semua yang telah mereka lalui. Sinar matahari menyinari jalan-jalan kota, menciptakan bayangan panjang yang menambah keheningan suasana. Reina menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, pikirannya melayang pada pertemuan yang akan segera terjadi. Regan merasakan hatinya berdebar, tidak sabar untuk menyelesaikan semua masalah yang melibatkan keluarganya. Reina di sampingnya, menggenggam erat tangan Regan. “Apakah kamu yakin ini langkah yang tepat, Pak Regan?” “Kita harus menyelesaikan ini, Reina. Alice adalah adikku dan aku tidak akan membiarkan dia menderita lebih lama lagi. Alice perlu tahu bahwa kita ada di sini untuknya. Dia tidak sendirian.” Reina mengangguk paham. Beberapa waktu kemudian mereka berhenti di sebuah tempat makan sederhana membeli sarapan untuk Alice. Reina memilihkan makanan favorit adik ipar
Sesampainya di rumah, mereka disambut dengan penuh kebahagiaan oleh Olivia. Wanita paruh baya itu memeluk Reina erat, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. “Aku sangat bahagia melihat kamu kembali, Reina,” kata Olivia dengan suara gemetar. Reina membalas pelukan itu dengan penuh kehangatan. “Aku juga, Mama. Terima kasih sudah selalu mendukung kami.” Olivia mulai menanyakan semua hal yang telah terjadi. Ia penasaran bagaimana Regan bisa menemukan Reina dan berhasil membawanya pulang kembali. Reina dan Regan menceritakan dengan detail dan jujur. Mereka tidak ingin menutupi apapun itu. Kecuali tentang Alice. “Apakah kalian sudah makan? Kalau tidak keberatan mama akan memasakkan menu spesial untuk kalian berdua.” “Tentu saja kami tidak keberatan Ma,” balas Reina. “Dan Regan sangat merindukan masakan Mama,” imbuh Regan penuh semangat. Malam itu Regan sangat bahagia bisa berkumpul bersama mama dan sang istri kembali. Ia benar-benar merasa bersyukur atas segala nikmat yang ia rasa
Reina membisikkan sesuatu di dekat telinga Regan. “Iya aku mengerti, Reina. Tentu saja aku mau. Tapi setelah sarapan, ya?” balas Regan. “Dan kita harus memberitahukan hal ini kepada Mama.” Regan mengangguk setuju. Mengungkapkan niat mereka kepada Olivia. Setelah sarapan pagi yang penuh dengan percakapan hangat, mereka bersiap-siap untuk pergi ke rumah Danny. Dengan bukti-bukti yang sudah dikumpulkan, mereka merasa lebih kuat dan siap untuk menghadapi Amel. Sesampainya di rumah Danny, mereka disambut oleh Amel yang tampak sangat gembira. Amel tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya. Ia berpikir jika Regan datang untuk menyatakan bahwa lelaki itu akan segera menikahinya. “Regan, aku tahu kamu akan melakukan hal yang benar,” ucapnya penuh harap. Namun senyum di wajahnya perlahan memudar saat melihat ekspresi tegas Regan dan tatapan penuh kecewa dari Reina. Regan menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Amel, kami datang untuk menyelesaikan semua ini. Aku punya bukti b
Setelah beberapa hari di rumah sakit, akhirnya dokter memberikan izin kepada Danny untuk pulang. Kondisinya sudah stabil meskipun ia masih membutuhkan banyak istirahat dan perhatian. Reina dan Regan dengan hati-hati merencanakan segala sesuatunya untuk kepulangan Danny. Mereka memutuskan untuk membawa Danny ke rumah baru yang telah mereka siapkan. Pagi itu Reina dan Regan tiba di rumah sakit dengan penuh semangat. Mereka siap membawa Danny pulang dan memulai babak baru dalam hidup mereka. Danny tampak lebih baik, meskipun masih lemah. Ia tampak senang bisa pulang dari rumah sakit. “Bagaimana perasaanmu, Ayah?” tanya Reina dengan lembut. Ia membantu ayahnya duduk di kursi roda. “Aku merasa lebih baik. Terima kasih, Reina. Terima kasih Regan,” jawab Danny dengan senyum tipis. Regan mengangguk dan tersenyum. “Kita akan segera sampai di rumah, Ayah. Tempat yang tenang dan nyaman untukmu beristirahat.” Mereka bergerak perlahan menuju mobil yang sudah diparkir di depan rum
Reina terpesona mendengar suara suaminya. Suara Regan yang dalam dan penuh perasaan membuatnya merasa hangat dan tenang. Setiap lirik yang dinyanyikan Regan membawa kenangan indah dan harapan baru dalam hati Reina. Regan melanjutkan lagunya, matanya tak pernah lepas dari wajah istrinya. “Kaulah bintang dalam gelapku, sinarmu menerangi jalanku. Bersamamu, aku merasa hidup.” Reina menutup matanya, meresapi setiap kata dan melodi yang mengalun dari suara suaminya. ‘Rasanya seperti mimpi. Mendengarkan Pak Regan menyanyi khusus untuknya. Hatiku terasa penuh dengan cinta dan kebahagiaan yang melimpah.’ Setelah lagu itu berakhir, Regan kembali menatap Reina. “Bagaimana, Sayang? Apakah aku berhasil membuatmu merasa lebih baik?” Reina membuka matanya dan tersenyum. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. “Itu sangat indah, Pak Regan. Terima kasih.” Regan mendekat dan menghapus air mata di pipi Reina. “Aku akan selalu ada untukmu, Reina. Aku berjanji.” Reina mengangguk pelan, meras
Hari pernikahan Xavier dan Karin telah tiba. Udara pagi terasa segar dan cerah, seakan menyambut kebahagiaan yang akan segera berlangsung. Keluarga dan sahabat berkumpul di sebuah taman indah yang telah dihias dengan bunga-bunga warna-warni dan lampu-lampu gemerlapan. Suasana penuh dengan tawa dan senyum. Regan dan Reina tiba lebih awal bersama bayi kembar mereka, Alana dan Bianca, yang tertidur pulas di kereta dorong. Mereka disambut oleh Olivia dan Danny yang sudah tak sabar menantikan momen bahagia itu. “Aku tak percaya Xavier akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Karin,” ucap Reina dengan mata berkaca-kaca. “Dia memang pantas mendapatkannya,” jawab Regan sambil tersenyum, merangkul Reina yang terlihat anggun dalam gaun biru muda. “Kita semua pantas bahagia.” Tak lama kemudian, para tamu mulai berdatangan. Leon, mantan pacar Reina dan Karin juga hadir dengan pasangan barunya. Mereka tampak sangat bahagia, saling berpegangan tangan dan tertawa bersama. Leon menghampiri Reg
Tanpa disangka, suatu hari Regan menemukan fakta baru yang mengejutkan. Saat itu, dia sedang bekerja di ruangannya. Berkas-berkas tersebar di atas meja ketika ponselnya berdering. Panggilan itu berasal dari salah satu anak buah kepercayaannya. “Ada apa, Roni?” tanya Regan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ada perkembangan baru, Pak Regan. Kami berhasil melacak beberapa transaksi mencurigakan yang berhubungan dengan Shadow Phoenix. Dan yang mengejutkan, ada keterlibatan Alex Ricardo di dalamnya,” lapor Roni. Regan terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. “Apa kamu yakin? Alex Ricardo? Bukankah dia masih berada di dalam penjara?” “Betul, Pak. Tapi tampaknya dia masih mengendalikan beberapa hal dari dalam penjara. Kami menemukan bukti bahwa beberapa anak buahnya masih menjalankan perintahnya dan menggunakan nama Shadow Phoenix untuk menyamarkan identitas asli mereka,” jelas Roni. Regan merasakan darahnya mendidih. “Teruskan penyelidikannya, Roni. Dan pastikan ki
Tanpa terasa, usia kehamilan Reina sudah memasuki trimester ketiga. Perutnya semakin membesar, membuatnya sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Setiap malam menjadi tantangan baru bagi Reina. Sementara Regan berusaha sebaik mungkin untuk membuat istrinya merasa nyaman dan bisa tidur nyenyak. Malam itu setelah mencoba berbagai posisi tidur dan tidak menemukan yang pas, Reina merasa frustasi. Ia berguling-guling di tempat tidur sambil menghela napas panjang. Regan yang melihatnya merasa kasihan dan ingin membantu. “Ada yang bisa aku lakukan, Sayang?” tanya Regan lembut. Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengelus rambut istrinya. Reina menggeleng lemah. “Aku tidak tahu, Pak Regan. Aku sudah mencoba semua posisi tapi tetap saja tidak nyaman. Perutku terlalu besar.” Regan berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru? Tunggu sebentar.” Ia keluar dari kamar dan kembali dengan bantal-bantal tambahan. “Ayo, kita coba dengan bantal-banta
Pagi itu di kantor, suasana di ruang CEO terasa lebih sibuk dari biasanya. Regan tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen dan panggilan telepon yang tak henti-hentinya. Di luar ruangan, para karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Reina pergi ke toilet sebentar untuk menyegarkan diri. Saat Reina keluar dari ruangan, pintu lift terbuka dan dua orang masuk ke lantai itu. Claudia dan Xavier melangkah dengan hati-hati menuju kantor CEO. Claudia tampak sedikit gugup, sementara Xavier berusaha tampak tenang meskipun jelas terlihat gelisah. Mereka mengetuk pintu dan menunggu sebentar sebelum mendengar suara Regan dari dalam yang mempersilakan mereka masuk. Ketika pintu terbuka, Claudia dan Xavier masuk dengan hati-hati. Regan yang tadinya duduk di balik mejanya langsung berdiri. Ekspresi wajahnya berubah dari fokus keheranan. “Mama Claudia? Xavier? Apa yang membawa kalian berdua datang ke sini?” tanya Regan dengan nada sedikit terkejut. Claudia mendekat de
Saat kehamilan Reina menginjak usia lima bulan, Regan memutuskan untuk mengajak Reina jalan-jalan di taman kota. Hari itu cerah, dengan langit biru dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana terasa sejuk. Reina tampak sangat bahagia, mengenakan gaun hamil berwarna pastel yang membuat perutnya yang semakin membesar terlihat menawan. Regan tak henti-hentinya tersenyum, menikmati momen kebersamaan mereka. Mereka berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan taman yang indah. Banyak anak-anak bermain di taman bermain, pasangan-pasangan duduk di bangku menikmati suasana, dan para pedagang menjajakan makanan ringan di kios-kios kecil di sepanjang jalan setapak. “Ini hari yang sangat indah, ya?” ungkap Reina sambil menggenggam tangan Regan erat. “Ya, benar-benar indah,” jawab Regan, menatap istrinya dengan penuh cinta. “Aku senang kita bisa meluangkan waktu bersama seperti ini.” Mereka melanjutkan berjalan, berhenti sesekali untuk melihat bunga-bunga yang sedang mekar dan menikmati
Kehamilan Reina telah memasuki usia empat bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setiap hari Regan semakin takjub melihat perubahan pada tubuh istrinya dan merasa tidak sabar untuk menyambut kehadiran anak mereka. Pagi itu Regan memutuskan untuk membawa Reina ke klinik untuk melakukan USG. “Sayang, hari ini kita akan ke klinik untuk melihat bayi kita,” ucap Regan dengan senyum lebar. Reina tersenyum bahagia, merasa tak sabar untuk melihat perkembangan bayinya. “Aku tidak sabar, Pak Regan. Pasti mereka sudah semakin besar sekarang.” Regan mengangguk. "Aku juga sangat bersemangat. Ayo kita bersiap-siap." Setelah bersiap-siap, mereka berdua berangkat ke klinik dengan penuh semangat. Dalam perjalanan, mereka terus berbicara tentang rencana masa depan dan bagaimana mereka akan merawat anak mereka. Regan menggenggam tangan Reina dengan erat, memberikan rasa tenang dan nyaman. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter dan perawat yang ramah. “Selamat pag
Reina berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Matanya menyapu pemandangan yang indah, tetapi pikirannya jauh dari sana. Di luar, matahari mulai terbenam, menyinari langit dengan warna-warna keemasan, tetapi dalam hati Reina, ada kegelapan yang sulit hilang. Regan, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian dari rumah mulai memperhatikan istrinya. Ia berjalan mendekat dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Reina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya dengan suara penuh perhatian. Reina tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Regan. “Aku masih memikirkan Kak Amel,” jawabnya dengan suara lirih. “Aku merasa bersalah dan cemas tentang apa yang terjadi padanya.” “Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kadang-kadang, kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi pada Amel adalah akibat dari pilihannya sendiri.” “Tapi, aku tetap merasa harus melakukan sesuatu,” lanjut Reina dengan nad
Linda dan Amel tampak berjalan menuju mereka. Kehadiran dua orang itu seakan membawa aura negatif. Amel, dengan tatapan jahat, mulai merencanakan sesuatu yang licik terhadap Reina. Linda dan Amel berpura-pura bergabung dengan kebersamaan keluarga Danny, tapi Amel dengan hati-hati mendekati Reina yang sedang berjalan di atas bebatuan. Amel mengatur langkahnya agar Reina terpeleset di atas batu licin. Namun, rencana jahat itu berbalik. Saat Amel mendorong Reina, dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan. Amel terjatuh keras di atas batu tajam. Semua orang terkejut dan bergegas menghampiri. Linda berteriak panik, “Amel! Apa yang terjadi?!” Regan, yang melihat situasi tersebut, segera memanggil bantuan. Amel tampak mengalami pendarahan hebat. Regan memeluk Reina erat-erat, memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Reina mengangguk. “Aku baik-baik saja, Pak Regan. Tapi Kak Amel ... dia tampak sangat parah.” Ambulans segera
Liburan keluarga besar ke pantai adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Reina dan Regan memang telah merencanakan hal itu jauh-jauh hari. Hanya saja baru terealisasi saat ini. Dengan persiapan yang matang, mereka berangkat dari rumah dengan semangat tinggi. Olivia, Bi Nita, Danny, Rafa, Alya, dan Bi Siti bergabung dalam perjalanan tersebut, ikut memastikan tidak ada yang tertinggal. Mereka membawa perbekalan lengkap, termasuk makanan, minuman, mainan pantai, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sesampainya di pantai, suasana langsung berubah menjadi ceria. Mereka menata tempat dengan menyiapkan tenda, menggelar tikar, dan menata makanan piknik. Rafa dan Alya segera berlari ke air, bermain dengan ombak dan tertawa riang. Danny dan Bi Siti membantu Olivia dan Bi Nita menyiapkan makanan. Regan dan Reina berkeliling, memastikan semuanya tertata dengan baik. “Ayah, jangan terlalu jauh, ya!” teriak Reina sambil melambai ke arah Danny yang sedang membawa ko