Reina tersenyum. “Reina merasa baik, Mama. Terima kasih sudah selalu ada untukku.” Olivia memegang tangan Reina dengan lembut. “Kamu tahu, Mama sangat senang melihatmu bahagia. Kamu dan Regan akan menjadi orang tua yang luar biasa.” “Terima kasih, Mama. Aku juga merasa sangat beruntung memiliki keluarga yang selalu mendukungku.” Ketika malam tiba, Regan pulang lebih awal seperti biasanya. Ia disambut oleh Reina dan Olivia dengan senyum hangat. “Selamat datang di rumah Sayang,” ucap Reina sambil mencium pipi Regan. “Terima kasih, Reina. Bagaimana harimu?” tanya Regan seraya mengelus lembut perut istrinya. “Hari ini baik. Aku berlatih yoga dan berjalan-jalan di taman. Mama selalu memastikan aku baik-baik saja.” Reina tersenyum. “Kalau begitu sebaiknya sekarang kita beristirahat,” ajak Regan ke kamar. Keesokan harinya Regan dan Reina pergi ke klinik bersama-sama. Dokter menyambut mereka dengan senyum ramah dan mulai melakukan pemeriksaan. “Semua tampak baik-baik saja. Bay
Dalam beberapa hari Regan telah mengatur segala sesuatunya untuk perjalanannya dengan Reina. Dia memilih sebuah vila di tepi pantai yang tenang dan indah, jauh dari hiruk-pikuk kota. Tempat itu sempurna untuk mereka berdua melepas penat dan menikmati momen-momen kebersamaan. Saat pagi keberangkatan tiba, Reina dan Regan berkemas dengan penuh semangat. “Aku tidak sabar untuk melihat tempat itu,” ucap Reina sambil memeriksa kembali barang-barang yang mereka bawa. “Aku yakin kamu akan menyukainya. Tempatnya sangat indah dan damai,” balas Regan sambil memasukkan koper ke dalam mobil. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Olivia, mereka pun berangkat. Perjalanan penuh dengan canda tawa dan obrolan ringan. Reina merasa lebih dekat dengan Regan dari sebelumnya. Mereka berhenti beberapa kali untuk menikmati pemandangan sepanjang jalan. Membuat perjalanan mereka semakin menyenangkan. Setibanya di vila, mereka disambut oleh angin sepoi-sepoi dan suara deburan ombak yang menenan
“Amel? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Regan dengan nada terkejut. Amel berdiri perlahan, wajahnya terlihat tegang. “Aku harus bicara dengan kalian berdua. Ini penting.” Reina dan Regan saling berpandangan, kebahagiaan mereka seketika berubah menjadi kekhawatiran. Mereka berjalan masuk ke ruang tamu, perasaan cemas mulai merayap di hati mereka. “Ada apa, Kak Amel?” tanya Reina dengan suara lembut namun waspada. Amel menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Aku hamil, Reina. Dan anak ini adalah anak Regan.” Kata-kata itu menghantam mereka seperti petir di siang bolong. Reina merasakan dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Matanya terbuka lebar, napasnya terasa sesak. “Kak Amel ... hamil?” Suara Reina bergetar. Sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. “Tidak. Ini semua tidak benar, Reina.” Regan angkat bicara. Ia mencoba untuk menenangkan istrinya. “Aku tidak tahu apa yang terjadi malam itu. Aku tidak ingat apa-apa. Tetapi aku yakin jika aku tidak pernah melakuk
Malam itu sangat sepi dan sunyi. Reina duduk di tepi tempat tidur, memandangi Regan yang tertidur lelap. Air mata mengalir di pipinya, menyadari bahwa hatinya sudah terlalu lelah untuk terus berjuang. Setelah hampir seminggu Regan belum mendapatkan bukti yang bisa membersihkan namanya, Reina merasa tidak ada harapan lagi. Dengan perasaan campur aduk, ia mengambil pena dan kertas. Lalu menulis sebuah surat yang menyakitkan namun perlu. --- Pak Regan yang aku cintai, Aku sudah mencoba untuk bertahan, untuk percaya bahwa kita bisa melalui semua ini bersama. Namun hatiku terlalu lelah. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian dan keraguan. Aku ingin kau bahagia, Pak Regan. Mungkin Kak Amel adalah jalanku untuk memberikanmu kebahagiaan itu. Aku akan pergi dan aku mohon, jangan mencariku. Segeralah ceraikan aku dan menikahlah dengan Kak Amel. Aku harap kamu bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang layak Bapak dapatkan. Selamat tinggal, cintaku. Reina. --- Dengan ta
Reina tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan keraguan yang ada di hatinya. “Tidak ada yang serius, Pak Reihan. Hanya masalah kecil yang bisa saya atasi sendiri.” Reihan menatapnya dengan penuh perhatian. “Kau tahu, Reina, kau tidak perlu berpura-pura kuat. Kita semua butuh bantuan sesekali.” Reina menunduk sejenak, lalu mengangkat pandangannya dengan tegas. “Terima kasih, Pak Reihan. Tapi saya bisa mengatasi ini.” Sesungguhnya Reina tidak ingin terlihat lemah. Ia juga tidak mau dianggap sebagai wanita yang butuh rasa simpatik dari lelaki lain. Reihan mengangguk pelan, mengerti bahwa Reina tidak ingin membahas lebih jauh. “Baiklah. Jika kau butuh sesuatu, aku selalu ada di sini.” Setelah makan siang, Reina kembali ke kantor dengan pikiran yang sedikit lebih tenang. Meski begitu, bayangan masalah yang sedang dihadapinya dengan Regan masih terus menghantui. Hari itu tidak banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Reina. Ia hanya perlu mempelajari lebih banyak tentang perusah
Alice langsung menggelengkan kepalanya. “Tidak, Kak. Aku masih mencintai Axel.” Gadis itu tertunduk lesu. Ia merasa sangat malu. Setelah ia berusaha mencari kebahagiaan sendiri dan menemukan Axel sebagai pencuri hatinya, ternyata lelaki itu justru memanfaatkannya. Reina tidak tahu harus bagaimana. Ia juga tidak mau dianggap terlalu ikut campur dengan masalah Alice. “Aku paham akan perasaanmu, Alice. Kita akan mencari solusi lain dari masalah ini.” Reina hanya bisa menenangkan Alice dan memastikan bahwa gadis itu nyaman. Meski hatinya sendiri pun masih dipenuhi oleh masalah pribadinya. Reina bertekad untuk membantu Alice melewati masa sulit ini. “Ya sudah. Kamu istirahat, ya? Apakah kamu sudah makan?” tanya Reina perhatian. “Alice tidak nafsu makan, Kak. Alice tidur saja.” “Baiklah. Aku masak dulu. Nanti kalau lapar, kamu bisa memanggilku. Atau kamu bisa langsung ambil di meja makan, ya?” Alice mengangguk pelan. Ia berusaha keras untuk memejamkan kedua matanya. Setelah menyur
Beberapa minggu telah berlalu sejak Reina pergi meninggalkan rumah dan hidup Regan terasa hampa tanpa kehadirannya. Meski Regan terus berusaha mencari Reina, namun hasilnya masih nihil. Di tengah usahanya untuk menemukan istri tercintanya, ia harus tetap menjalankan kewajiban profesionalnya. Pagi itu di kantornya yang megah, Regan duduk di meja kerjanya dengan pandangan kosong. Kepalanya dipenuhi dengan pikiran tentang Reina. Tumpukan dokumen di atas meja tampak seperti gunung yang tak bisa didaki dan setiap berkas yang dilihatnya hanya menambah beban di hatinya. Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan Jeffan masuk dengan ekspresi serius. “Pak Regan, kita ada perjanjian penting dengan klien di luar kota. Pertemuan ini tidak bisa ditunda lagi.” Regan mendesah panjang. Dia tahu pertemuan ini sangat penting bagi perusahaan, namun hatinya masih dipenuhi oleh kesedihan karena kepergian Reina. “Jeffan, aku ...” Regan berucap dengan pelan. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat.
Reina mengangguk lemah. “Apa yang terjadi?” tanya wanita itu sambil memegangi kepalanya yang terasa berat. “Kamu diculik, tapi kami berhasil menyelamatkanmu. Kamu sekarang aman,” ungkap Regan dengan lembut. Reina mengangguk pelan. “Sebaiknya kamu beristirahat. Aku akan menemui Reina sebentar.” Regan melihat Reihan duduk pada kursi panjang yang berasa di depan ruangan Reina. Sepertinya lelaki itu masih belum mau meninggalkan Reina. “Kamu belum pulang?” tanya Regan merasa penasaran. “Apakah Reina sudah sadar?” balas Reihan balik bertanya. “Em, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya mengkhawatirkan Reina. Karena dia juga bagian penting dari perusahaan.” Mendengar hal itu, Regan cukup merasa kesal. Seolah sekarang Reihan yang paling berarti dalam hidup Reina. “Ya, Reina sudah sadar. Aku akan menjaganya sampai istriku sembuh.” Reihan bernapas lega. Mungkin memang sekarang saatnya ia harus pulang karena sudah ada Regan di sana. “Sebenarnya Reihan, ada sesuatu yang belum aku ceritak