Siapa yang datang ya? Bisa tebak?
Reina membuka pintu dan melihat Dokter Morgan berdiri di sana dengan senyum hangat. “Selamat pagi, Reina. Bagaimana kabarnya hari ini?” tanyanya sambil melangkah masuk.“Selamat pagi, Dokter Morgan. Mama ada di ruang tamu. Silakan masuk,” jawab Reina sambil mengantar dokter itu ke dalam.Dokter Morgan langsung menghampiri Olivia dan memulai pemeriksaan rutin. “Bagaimana perasaan Anda hari ini, Nyonya Olivia?” tanyanya lembut.Olivia tersenyum tipis. “Saya merasa jauh lebih baik, Dokter. Terima kasih sudah sering datang memeriksa saya.”Dokter Morgan memeriksa tekanan darah dan denyut nadi Olivia dengan teliti. “Denyut nadi dan tekanan darah Anda bagus. Ini tanda yang baik. Saya senang mendengarnya.”Setelah beberapa saat, Dokter Morgan menyelesaikan pemeriksaannya dan duduk di kursi dekat Olivia. “Nyonya Olivia, dari hasil pemeriksaan hari ini, saya bisa bilang bahwa Anda semakin membaik. Jika terus seperti ini, kemungkinan besar Anda sudah sembuh dari depresi.”Olivia tersenyum le
Salah satu staf mengangguk dan dengan sopan mengantarkannya ke ruang kerja Regan. Pintu terbuka, dan di sana Regan sedang sibuk menatap layar monitor dengan wajah serius. “Pak Regan, saya Amel, sekretaris baru Anda,” ucap Amel dengan suara lembut dan manja. Regan mengangkat kepalanya. Tidak menyangka jika Amel akan bersikap seperti itu. “Ya, selamat datang Amel. Silakan duduk. Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan.” Amel duduk di kursi di depan meja Regan. Ia berusaha menjaga postur tubuh yang anggun. “Terima kasih, Pak Regan. Saya siap untuk mendengarkan dan belajar.” Regan mengangguk dan mulai menjelaskan tugas-tugas yang akan dikerjakan oleh Amel. CEO tampan itu berbicara tentang jadwal, rapat, dan tanggung jawab administratif lainnya. Amel mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya berkeliaran ke tempat lain. Ia lebih fokus memperhatikan cara Regan berbicara, gerak tubuhnya, dan ketegangan di wajahnya. Semua itu membuatnya semakin tertarik. Regan memberikan beb
Regan menurunkan tangan Amel dengan tegas. “Sebaiknya kamu kembali ke ruangan kamu.” Amel merasa sedikit tersinggung, tetapi tidak mau menyerah. “Kenapa kamu begitu dingin padaku, Pak Regan? Aku hanya ingin membantu.” Amel mendekat lagi. Kali ini dengan sentuhan lebih lembut di lengan Regan. Regan menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. “Ini bukan tempat untuk hal seperti itu, Amel. Kita di kantor dan aku adalah atasanmu.” Amel mengangguk meski dalam hatinya merasa kecewa. “Baiklah, Pak Regan. Saya minta maaf jika saya terlalu lancang.” Amel berbalik. Ia segera mengumpulkan dokumen yang berserakan di lantai. Setelah Amel pergi Regan duduk kembali di kursinya. Batinnya merasa sedikit terguncang. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan Amel. Tetapi Regan berusaha untuk tetap profesional dalam bekerja. Reina dan Olivia menghabiskan waktu seharian di mall. Selain berbelanja pakaian, mereka juga berbelanja kebutuhan bulanan. Dengan kereta belanjaan penuh, me
Reina merasa cemas. “Mama, sepertinya Pak Regan lembur lagi di kantor. Reina akan mengirim pesan untuk memastikannya.” Reina mengirim pesan kepada Regan. Beberapa saat kemudian balasan dari suaminya masuk. [Maaf, Sayang. Pekerjaan di kantor sangat banyak. Aku harus lembur. Mungkin aku akan pulang larut malam.] Reina merasakan sedikit kekhawatiran. Dia tahu bahwa pekerjaan Regan sebagai CEO memang menuntut banyak waktu, tetapi dia tidak bisa mengabaikan perasaan rindu yang mulai menyerang. “Pak Regan lembur di kantor. Mungkin akan pulang larut malam,” ucap Reina kepada Olivia. Olivia mengangguk mengerti. “Tidak apa-apa, Reina. Pekerjaannya memang berat. Kamu istirahat saja dulu.” Reina memutuskan untuk menunggu Regan di ruang tamu. Dia tidak ingin tidur tanpa memastikan suaminya pulang dengan selamat. Sementara itu di kantor, Regan dan Amel sedang sibuk menyelesaikan laporan keuangan yang harus diserahkan ke dewan direksi. Amel mencoba menjaga jarak profesional, tetapi sesekali
Hari demi hari Regan selalu pulang larut malam. Hal itu menimbulkan kecurigaan dalam benak Reina.Ia berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang aktivitas Regan di kantor.Tetapi di sisi lain, Reina merasa senang karena kondisi Mama Olivia semakin membaik. Dan suasana di rumah menjadi lebih ceria. Malam itu saat sedang di rumah, Regan berusaha menghindari pembicaraan tentang kantor. Ia lebih banyak diam.Sebenarnya Regan merasa bersalah kepada Reina. Tetapi ia juga tahu bahwa saat ini dirinya sedang membutuhkan bantuan seorang sekretaris.Reina sedang menyiapkan makan malam saat Regan hendak ke kamarnya. Wanita itu merasakan ada sesuatu yang mengganggu suaminya.“Bagaimana pekerjaan hari ini, Pak Regan?” tanya Reina dengan lembut.“Banyak pekerjaan seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Bagaimana keadaan Mama?” jawab Regan mengalihkan topik pembicaraan.“Mama semakin membaik. Terima kasih sudah mengizinkan Dokter Morgan untuk terus memeriksa Mama.” Reina tersenyum lalu mem
Amel tersenyum tipis. Ia mendekat dengan berkas di tangannya. Wanita itu kemudian duduk di kursi di depan meja Regan. “Bagian ini, Pak Regan.” Amel menunjuk pada satu paragraf. “Saya tidak yakin bagaimana cara menafsirkannya.” Regan melihat lebih dekat. Tetapi Amel memanfaatkan momen itu untuk menatap Regan dari jarak dekat. Ia berharap kedekatan fisik ini akan membuat Regan lebih mudah digoda.“Ini tentang proyek yang sedang berjalan. Angka-angka ini menunjukkan progresnya,” jelas Regan.“Terima kasih, Pak Regan. Bapak sangat baik hati.”Regan mengangguk tanpa banyak bicara. Ia berusaha mencari cara agar Amel segera pergi dari ruangannya. Tetapi sebelum Regan bisa mengatakan sesuatu, telepon di mejanya berbunyi. Hal itu merupakan kesempatan bagus baginya.“Maaf, saya harus mengangkat telepon ini,” ucap Regan.Amel merasa kecewa. Tetapi ia tidak punya pilihan lain selain meninggalkan ruangan CEO itu. Siang itu saat kantor sudah mulai sepi karena karyawan sedang beristirahat, Amel
Regan memandang Reina dengan penuh penyesalan. Ia tidak mau jika ada pertengkaran di antara mereka. Meski CEO tampan itu tahu bahwa semua ini memang salahnya. Reina tersenyum lembut melihat kesungguhan pada kedua mata suaminya. Hati wanita itu sedikit lega mendengar kata-kata Regan. “Reina hanya menginginkan kejujuran dan perhatian Pak Regan. Itu sudah lebih dari cukup.” Regan mengangguk mengerti. “Baiklah, Sayang. Sekali lagi, maafkan aku ya?” Reina tersenyum kembali. Kemudian ia menyentuh pipi suaminya dengan lembut. “Ngomong-ngomong Reina sebenarnya datang ke sini atas perintah Mama. Mama sudah mau ditinggalkan sendiri di rumah. Mama sudah kuat dan mandiri sekarang.” “Itu kabar yang baik, Sayang. Berarti kita bisa merencanakan sesuatu yang spesial.” Regan merangkul pundak Reina dengan penuh semangat. “Sesuatu yang spesial?” ulang Reina sambil menatap suaminya dengan penuh harap. “Bagaimana kalau hari ini kita makan malam di sebuah restoran? Untuk quality time kita. Dan hitu
Kedua mata Reina melotot tajam. Tetapi akhirnya ia hanya bisa pasrah dan menganggukkan kepalanya. Sementara di ruangannya, Amel berjalan mondar-mandir tak tenang. Ia penasaran apa yang sedang dilakukan Regan dan Reina di dalam ruangan CEO. Setelah beberapa saat Amel memutuskan untuk diam-diam membuka pintu ruangan CEO dan mengintip ke dalam. Pemandangan yang ia lihat membuat hatinya berdesir. Ruangan itu sudah sangat berantakan. Pakaian berserakan di lantai dan ia bisa mendengar suara desahan dan lenguhan dari dalam ruangan pribadi Regan. Amel berjalan perlahan, mengikuti jejak pakaian Reina yang berserakan di lantai. Setiap langkah kakinya semakin menambah perasaan cemburu dan sakit hati di hatinya. Saat dia mendekati ruangan pribadi Regan, suara desahan semakin jelas terdengar. Amel merasa dadanya sesak. Melihat betapa intimnya hubungan Regan dan Reina. Amel merasakan kebencian yang membara di hatinya. “Lihat saja, Reina. Apa yang akan aku lakukan kepada Regan nanti,” gumamny
Hari pernikahan Xavier dan Karin telah tiba. Udara pagi terasa segar dan cerah, seakan menyambut kebahagiaan yang akan segera berlangsung. Keluarga dan sahabat berkumpul di sebuah taman indah yang telah dihias dengan bunga-bunga warna-warni dan lampu-lampu gemerlapan. Suasana penuh dengan tawa dan senyum. Regan dan Reina tiba lebih awal bersama bayi kembar mereka, Alana dan Bianca, yang tertidur pulas di kereta dorong. Mereka disambut oleh Olivia dan Danny yang sudah tak sabar menantikan momen bahagia itu. “Aku tak percaya Xavier akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Karin,” ucap Reina dengan mata berkaca-kaca. “Dia memang pantas mendapatkannya,” jawab Regan sambil tersenyum, merangkul Reina yang terlihat anggun dalam gaun biru muda. “Kita semua pantas bahagia.” Tak lama kemudian, para tamu mulai berdatangan. Leon, mantan pacar Reina dan Karin juga hadir dengan pasangan barunya. Mereka tampak sangat bahagia, saling berpegangan tangan dan tertawa bersama. Leon menghampiri Reg
Tanpa disangka, suatu hari Regan menemukan fakta baru yang mengejutkan. Saat itu, dia sedang bekerja di ruangannya. Berkas-berkas tersebar di atas meja ketika ponselnya berdering. Panggilan itu berasal dari salah satu anak buah kepercayaannya. “Ada apa, Roni?” tanya Regan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ada perkembangan baru, Pak Regan. Kami berhasil melacak beberapa transaksi mencurigakan yang berhubungan dengan Shadow Phoenix. Dan yang mengejutkan, ada keterlibatan Alex Ricardo di dalamnya,” lapor Roni. Regan terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. “Apa kamu yakin? Alex Ricardo? Bukankah dia masih berada di dalam penjara?” “Betul, Pak. Tapi tampaknya dia masih mengendalikan beberapa hal dari dalam penjara. Kami menemukan bukti bahwa beberapa anak buahnya masih menjalankan perintahnya dan menggunakan nama Shadow Phoenix untuk menyamarkan identitas asli mereka,” jelas Roni. Regan merasakan darahnya mendidih. “Teruskan penyelidikannya, Roni. Dan pastikan ki
Tanpa terasa, usia kehamilan Reina sudah memasuki trimester ketiga. Perutnya semakin membesar, membuatnya sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Setiap malam menjadi tantangan baru bagi Reina. Sementara Regan berusaha sebaik mungkin untuk membuat istrinya merasa nyaman dan bisa tidur nyenyak. Malam itu setelah mencoba berbagai posisi tidur dan tidak menemukan yang pas, Reina merasa frustasi. Ia berguling-guling di tempat tidur sambil menghela napas panjang. Regan yang melihatnya merasa kasihan dan ingin membantu. “Ada yang bisa aku lakukan, Sayang?” tanya Regan lembut. Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengelus rambut istrinya. Reina menggeleng lemah. “Aku tidak tahu, Pak Regan. Aku sudah mencoba semua posisi tapi tetap saja tidak nyaman. Perutku terlalu besar.” Regan berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru? Tunggu sebentar.” Ia keluar dari kamar dan kembali dengan bantal-bantal tambahan. “Ayo, kita coba dengan bantal-banta
Pagi itu di kantor, suasana di ruang CEO terasa lebih sibuk dari biasanya. Regan tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen dan panggilan telepon yang tak henti-hentinya. Di luar ruangan, para karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Reina pergi ke toilet sebentar untuk menyegarkan diri. Saat Reina keluar dari ruangan, pintu lift terbuka dan dua orang masuk ke lantai itu. Claudia dan Xavier melangkah dengan hati-hati menuju kantor CEO. Claudia tampak sedikit gugup, sementara Xavier berusaha tampak tenang meskipun jelas terlihat gelisah. Mereka mengetuk pintu dan menunggu sebentar sebelum mendengar suara Regan dari dalam yang mempersilakan mereka masuk. Ketika pintu terbuka, Claudia dan Xavier masuk dengan hati-hati. Regan yang tadinya duduk di balik mejanya langsung berdiri. Ekspresi wajahnya berubah dari fokus keheranan. “Mama Claudia? Xavier? Apa yang membawa kalian berdua datang ke sini?” tanya Regan dengan nada sedikit terkejut. Claudia mendekat de
Saat kehamilan Reina menginjak usia lima bulan, Regan memutuskan untuk mengajak Reina jalan-jalan di taman kota. Hari itu cerah, dengan langit biru dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana terasa sejuk. Reina tampak sangat bahagia, mengenakan gaun hamil berwarna pastel yang membuat perutnya yang semakin membesar terlihat menawan. Regan tak henti-hentinya tersenyum, menikmati momen kebersamaan mereka. Mereka berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan taman yang indah. Banyak anak-anak bermain di taman bermain, pasangan-pasangan duduk di bangku menikmati suasana, dan para pedagang menjajakan makanan ringan di kios-kios kecil di sepanjang jalan setapak. “Ini hari yang sangat indah, ya?” ungkap Reina sambil menggenggam tangan Regan erat. “Ya, benar-benar indah,” jawab Regan, menatap istrinya dengan penuh cinta. “Aku senang kita bisa meluangkan waktu bersama seperti ini.” Mereka melanjutkan berjalan, berhenti sesekali untuk melihat bunga-bunga yang sedang mekar dan menikmati
Kehamilan Reina telah memasuki usia empat bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setiap hari Regan semakin takjub melihat perubahan pada tubuh istrinya dan merasa tidak sabar untuk menyambut kehadiran anak mereka. Pagi itu Regan memutuskan untuk membawa Reina ke klinik untuk melakukan USG. “Sayang, hari ini kita akan ke klinik untuk melihat bayi kita,” ucap Regan dengan senyum lebar. Reina tersenyum bahagia, merasa tak sabar untuk melihat perkembangan bayinya. “Aku tidak sabar, Pak Regan. Pasti mereka sudah semakin besar sekarang.” Regan mengangguk. "Aku juga sangat bersemangat. Ayo kita bersiap-siap." Setelah bersiap-siap, mereka berdua berangkat ke klinik dengan penuh semangat. Dalam perjalanan, mereka terus berbicara tentang rencana masa depan dan bagaimana mereka akan merawat anak mereka. Regan menggenggam tangan Reina dengan erat, memberikan rasa tenang dan nyaman. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter dan perawat yang ramah. “Selamat pag
Reina berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Matanya menyapu pemandangan yang indah, tetapi pikirannya jauh dari sana. Di luar, matahari mulai terbenam, menyinari langit dengan warna-warna keemasan, tetapi dalam hati Reina, ada kegelapan yang sulit hilang. Regan, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian dari rumah mulai memperhatikan istrinya. Ia berjalan mendekat dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Reina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya dengan suara penuh perhatian. Reina tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Regan. “Aku masih memikirkan Kak Amel,” jawabnya dengan suara lirih. “Aku merasa bersalah dan cemas tentang apa yang terjadi padanya.” “Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kadang-kadang, kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi pada Amel adalah akibat dari pilihannya sendiri.” “Tapi, aku tetap merasa harus melakukan sesuatu,” lanjut Reina dengan nad
Linda dan Amel tampak berjalan menuju mereka. Kehadiran dua orang itu seakan membawa aura negatif. Amel, dengan tatapan jahat, mulai merencanakan sesuatu yang licik terhadap Reina. Linda dan Amel berpura-pura bergabung dengan kebersamaan keluarga Danny, tapi Amel dengan hati-hati mendekati Reina yang sedang berjalan di atas bebatuan. Amel mengatur langkahnya agar Reina terpeleset di atas batu licin. Namun, rencana jahat itu berbalik. Saat Amel mendorong Reina, dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan. Amel terjatuh keras di atas batu tajam. Semua orang terkejut dan bergegas menghampiri. Linda berteriak panik, “Amel! Apa yang terjadi?!” Regan, yang melihat situasi tersebut, segera memanggil bantuan. Amel tampak mengalami pendarahan hebat. Regan memeluk Reina erat-erat, memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Reina mengangguk. “Aku baik-baik saja, Pak Regan. Tapi Kak Amel ... dia tampak sangat parah.” Ambulans segera
Liburan keluarga besar ke pantai adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Reina dan Regan memang telah merencanakan hal itu jauh-jauh hari. Hanya saja baru terealisasi saat ini. Dengan persiapan yang matang, mereka berangkat dari rumah dengan semangat tinggi. Olivia, Bi Nita, Danny, Rafa, Alya, dan Bi Siti bergabung dalam perjalanan tersebut, ikut memastikan tidak ada yang tertinggal. Mereka membawa perbekalan lengkap, termasuk makanan, minuman, mainan pantai, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sesampainya di pantai, suasana langsung berubah menjadi ceria. Mereka menata tempat dengan menyiapkan tenda, menggelar tikar, dan menata makanan piknik. Rafa dan Alya segera berlari ke air, bermain dengan ombak dan tertawa riang. Danny dan Bi Siti membantu Olivia dan Bi Nita menyiapkan makanan. Regan dan Reina berkeliling, memastikan semuanya tertata dengan baik. “Ayah, jangan terlalu jauh, ya!” teriak Reina sambil melambai ke arah Danny yang sedang membawa ko