Happy Reading*****"Bapak ingin menyuap saya dengan barang ini?" kata Tari dengan suara naik satu oktaf.Andrian sudah memprediksi bahwa hal itu pasti akan terjadi. Namun, tak menyangka jika ponsel yang diberikan dianggap sebagai suap oleh sang sekretaris. "Buat apa aku menyuap kamu, Tar. Nggak usah ngomong yang aneh-aneh. HP itu dibeli sebagai bentuk pertanggungjawaban karena aku sudah merusakkan punyamu semalam." Andrian menatap Tari yang terlihat benci dengan sikapnya."Bukannya semalam saya sudah berkata bahwa tidak perlu bertanggung jawab seperti ini. Bapak pasti sengaja memberikan ponsel ini kepada saya. Supaya saya makin terikat, benar begitu, kan. Maaf, saya bukan perempuan bodoh yang dengan mudah akan terjebak rayuan Anda."Emosi Tari meledak. Akan tetapi hal tersebut tak lantas membuat Andrian takut atau mundur. Dia makin terkekeh dengan kemarahan gadisnya. "Mengikat bagaimana, Tar? Kamu mau segera aku halalkan? Oke, dengan senang hati aku kabulkan."Andrian makin membuat
Happy Reading*****"Kenapa kalau Papa pulang lagi? Bukankah rumah ini masih rumahku juga?" tanya balik Andrian.Sedikit gugup, Lita meneguk teh hangat yang disediakan Nina. "Tidak apa-apa, Pa. Aku cuma tanya aja.""Bun, ada berkas yang tertinggal. Bisa minta tolong ambilkan ke kemar," suruh Andrian.Nina tersenyum dan menangguk. Lalu, meninggalkan sang suami dengan madunya. "Bentar, Mas. Bunda ambilkan. Warna map-nya apa?""Map hitam. Ada di atas meja. Sudah tak siapin tadi. Cuma lupa bawa saja,"terang sang suami.Sebenarnya, Andrian bisa mengambilnya sendiri tanpa meminta bantuan sang istri. Namun, karena tadi mendengar perkataan sekilas dari Lita. Maka, lelaki itu berniat untuk mengorek apa tujuan istri kedua datang ke rumah Nina pagi-pagi begini. Samar, lelaki itu mendengar nama Tari disebut.Andrian duduk di sebelah Lita. Tatapannya mulai tajam dengan mimik tidak suka. "Kamu kurang kerjaan. Sampai pagi-pagi gini mendatangi Nina. Katanya, kamu nggak suka sama bundanya anak-anak
Happy Reading*****Andrian sengaja membiarkan dua insan itu berbincang tanpa menyadari keberadaannya. Tentu hal itu sangat menguntungkan bagi si bos. Dia menjadi tahu apa yang akan Tio lakukan saat mengajak Tari nonton nanti."Jam makan siang nanti, kita keluar, ya," ajak Tio. Setelah mengatakan hal tersebut, sang manajer melihat ke belakang. Cepat Andrian masuk lift sebelum keberadaannya terdeteksi oleh dua insan itu."Telpon saja nanti, Mas. Aku takut banyak kerjaan, jadi tidak bisa makan siang bareng. Hari ini, Pak Andri ada dua meeting penting. Entah sampai jam berapa," terang Tari."Ya, sudah. Aku telpon nanti pas mau jam, ya. Aku duluan, ya," pamit Tio setelah selesai melakukan sidik jari.Baru akan duduk, telepon di ruangan Tari sudah berbunyi. Sang sekretaris langsung mengangkat."Meeting dengan Pihak Roxy mall nanti, kamu harus ikut, Tar. Materi meeting ada di ruanganku. Cepat kamu ambil dan pelajari," perintah Andrian tanpa menggoda dan mengucapkan kata-kata manis seperti
Happy Reading*****Tio menengok pada sumber suara. Ada Andrian dengan wajah marahnya. Sang manajer HRD tak gentar sama sekali. Lelaki yang usianya lebih muda dari atasannya itu mulai berpikir bahwa semua pekerjaan beratnya hari ini, pastilah ulah Andrian."Tidak masalah, Tari banyak kerjaan. Saya dengan setia akan menunggunya. Pak Andria silakan pulang terlebih dulu," kata Tio dengan berani. Sang pemilik malah dia usir.Andrian tertawa miring. "Untuk apa kamu menemani Tari? Dia akan lembur bersama saya. Pak Tio harus ingat. Perusahaan ini adalah milik saya. Berani-beraninya Anda mengusir pemiliknya."Tari mulai menggelengkan kepala, setelah ini kedua lelaki tersebut pasti akan berdebat dan ujung-ujungny terjadi pertengkaran. Perempuan itu, hanya berharap semoga tidak ada pertengkaran fisik di antara keduanya. Baru membatin, suara Tio sudah terdengar."Sudahlah Pak Andri," ucap Bramantio enteng, "saya tahu Bapak yang merencanakan semua ini supaya kami tidak bisa menonton. Bahkan mung
Happy reading***Tari masih duduk di tanah dengan lemah. Dia merasakan nyeri pada wajah. Tarikan tangan Andrian begitu kuat hingga menyebabkan keningnya menyentuh tanah yang terdapat banyak kerikil. Sakitnya mungkin tak seberapa, jika dibandingkan rasa malu yang dia dapat setelah ini.Setelah kepergian Bramantio, Andrian menghampiri Tari. Wajahnya sudah tak semarah tadi. Melihat gadisnya menunduk sambil memegang kening, si bos menjadi khawatir."Apa kamu terluka, Tar? Maaf ... maaf, aku terlalu cemburu melihatmu dengan Tio tadi," ucap Andrian penuh penyesalan.Tari berusaha berdiri, tetapi kedua kakinya seolah tak kuat lagi untuk menopang berat tubuh sehingga dia kembali terduduk. Andrian yang mengetahui kesakitan sekretarisnya menjulurkan tangan berusaha menolong. "Tidak perlu sok baik jika akhirnya menyakiti! Berulang kali Bapak melakukan ini pada saya. Pernahkah berpikir bagaimana rasanya menjadi saya? Apa yang sebenarnya Bapak inginkan? Semalam minta maaf, tapi pagi ini sudah me
Happy Reading*****Dalam perjalanan ke kantor, perasaan Andrian diliputi kecemasan. Dia merasa terancam dengan keberadaan Bramantio yang terus berusaha mendekati Tari. Seandainya bisa lelaki itu menyingkirkan sang manajer HRD, tentu sudah dilakukan beberapa minggu yang lalu saat pertemuan mereka di restoran. Sayang, Andrian tak dapat melakukan hal tersebut karena orang tua Bramantio merupakan investor di perusahaannya. Hal itu juga yang menjadi bahan pertimbangan, seseorang yang masih minim pengalaman bisa menempati posisi sebagai manajer. Papa Bramantio meminta Andrian mengajari putranya tentang bisnis sebelum menjadi pimpinan di perusahaan milik keluarga mereka."Sial! Masak iya, aku harus bersaing dengan anak bau kencur macam Tio. Apa kata dunia kalau aku sampai kalah darinya. Kenapa juga dia harus menyukai Tari." Andrian berbicara sendiri.Di tengah kekalutan hatinya, Andrian teringat pada Tari yang sendirian di kosnya. Lelaki itu, kemudian meraih ponsel yang ada di dasbor. Je
Happy Reading*****"Waalaikumsalam," jawab Tari tergagap. Salah tingkah, gadis itu merapikan hijab yang dia kenakan, rasa canggung dan takut menyelimuti jiwanya. "Lah, malah bengong. Kamu tidak menyuruh saya masuk, Tar?" Walau ada tangan tak kasat mata yang merobek hati perempuan itu, Nina tetap bersikap baik pada Tari. Apalagi saat melihat perban di kening gadis itu."Maaf, Bu. Saya terkejut sekali. Kok, Ibu bisa datang ke sini dan tahu alamat saya?" tanya Tari. Dia menyipitkan mata."Panjang ceritanya. Kita masuk dulu dan cerita di dalam."Nina menyerahkan keranjang buah yang dibelinya tadi disertai ucapan doa semoga gadis itu cepat sembuh. "Aku tidak disuruh duduk, nih?" tanya Nina."Astagfirullah. Silakan, Bu! Maaf jika tempatnya tidak senyaman di rumah Ibu." Tari sungguh tak enak pada Nina. Gadis itu bahkan membersihkan sofa sebelum diduduki oleh istri si bos."Jangan terlalu formal, Tar! Aku datang ke sini atas perintah Bapak. Sepertinya, beliau sangat khawatir dengan keadaanm
Happy Reading*****Dua perempuan cantik itu berpelukan dengan air mata yang terus mengalir. Nina bahkan tersedu mengingat semua tentang Andrian. "Maafkan aku, Tar. Seharusnya aku tidak menangis seperti ini. Setiap kali ada yang menanyakan tentang keikhlasanku terhadap pernikahan kedua Mas Andri, aku selalu terbawa suasana. Padahal, mulut ini sudah berucap ikhlas bahkan hatiku sudah merelakan semua, tapi terkadang ada sisi di mana rasa sakit itu tetap ada." Nina menjeda ucapannya. Dia mengusap seluruh air mata setelah mengurai pelukannya pada sang sekretaris."Apa yang Mbak Nina lakukan sangat manusiawi. Bukankah tadi saya sudah berkata bahwa tidak ada perempuan yang ikhlas saat suaminya mendua. Lalu, kenapa Mbak Nina melakukannya? Ada baiknya Mbak mengatakan terus terang tentang keberatan ini pada Bapak." Tari mengambil tisu dari meja riasnya dan memberikan pada Nina.Nina menyeka bulir-bulir air mata yang terus mengalir di pipinya dengan tisu pemberian Tari. "Ada satu hal yang tida