Share

Part 4

Author: Azuretanaya
last update Last Updated: 2021-06-06 13:01:24

Levin melakukan kegiatan wajibnya di pagi hari sebelum melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai tenaga pengajar di kampus, yakni berjoging mengitari kompleks tempat tinggal keluarganya. Jika biasanya ia melakukannya seorang diri, tapi tidak dengan pagi ini. Barry ikut dengannya joging mengitari kompleks. Bukan Levin yang mengajaknya, melainkan Barry sendiri yang ingin ikut. Seperti biasa, aktivitas pagi Levin selalu diiringi oleh musik kesukaannya melalui earphone bluetooth yang terpasang pada telinganya. Menurut Levin ikut tidaknya Barry bersamanya, rasanya tetap saja sama. Tidak ada yang istimewa. Ia selalu menikmati kegiatan paginya seperti hari-hari biasa.

Tidak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Barry pun menghentikan gerak kakinya. Ia mendengkus sambil mengembuskan napas dengan sedikit keras, walau yakin tidak akan didengar oleh Levin karena telinga kakaknya tersebut telah tersumpal earphone. Sejak mulai menggerakkan kakinya, sang kakak sedikit pun belum ada mengeluarkan sepatah kata. Hanya dirinya sendiri yang dari tadi mengoceh tidak jelas dan berakhir tanpa mendapat tanggapan. Ia tidak habis pikir jika laki-laki yang menjadi kakaknya tersebut irit sekali bicara, sangat bertolak belakang dengan dirinya. Walau lebih banyak berbicara, bukan berarti juga ia laki-laki bermulut perempuan. Semakin hari ia kian menyadari bahwa kakaknya tersebut bukan hanya irit bicara dengan para anak didiknya di kampus, ternyata terhadap dirinya juga di rumah.

“Kenapa para penghuni kampus terutama kaum hawa sangat mengagumi sosok kulkas berjalan seperti Kakakku ini ya? Bahkan, kedua sahabatku sendiri sangat mengelu-elukan Kak Levin, terutama Sandara,” Barry bergumam sambil berkacak pinggang. “Apakah mereka semua sudah tidak bisa berpikir jernih lagi? Padahal menurutku tampang Kak Levin biasa-biasa saja. Dibandingkan dengannya, paras wajahku satu tingkat di atas Kak Levin.” Kini sebelah tangan Barry telah mengusap-usap rahangnya sendiri.

Tidak ingin tertinggal jauh, Barry pun bergegas menyusul kakaknya tersebut. Tidak lupa ia mengangguk ramah dan menebar senyum manisnya ketika berpapasan dengan beberapa orang yang juga tengah melakukan olahraga pagi, terutama kaum hawa. Bahkan, perempuan-perempuan yang disapanya tersebut juga terlihat terpukau saat berpapasan dengan sang kakak.

“Pantas saja Kakak betah setiap hari joging, ternyata banyak bertemu dengan pengagum rahasianya,” celetuk Barry setelah berjalan di samping Levin yang sedang memeriksa ponselnya. Ia ikut menyamakan langkah dengan laki-laki yang memiliki warna kulit putih bersih tersebut.

“Aku tidak mengenal mereka,” Levin menanggapinya tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel yang sedang diperiksanya.

“Tapi sepertinya mereka mengenal dan mengagumi Kakak,” ujar Barry walau menyadari Levin tetap fokus pada ponsel di tangannya.

Levin hanya mengangkat bahu tak acuh. “Terserah mereka. Bukan urusanku,” balasnya singkat.

“Kak, apakah salah satu dari mereka semua tidak ada yang menarik atau mencuri perhatianmu?” Barry menyuarakan rasa penasaran sekaligus keingintahuannya.

Tanpa menghentikan langkah kakinya, Levin melirik Barry yang berjalan di sampingnya melalui sudut matanya. “Tidak ada,” jawabnya kembali singkat dan tanpa intonasi.

   “Benarkah?” Barry menyangsikan jawaban kakaknya tersebut. Entah kenapa jawaban yang diberikan oleh sang kakak mengandung sebuah dusta. “Satu pun tidak ada?” tanyanya memastikan.

Levin langsung menjawabnya dengan anggukan kepala dan kembali memasukkan ponselnya ke saku celana selututnya. “Sepertinya Mama sudah hampir selesai menyiapkan sarapan,” ucapnya sebelum melanjutkan berlari kecil dan bergegas menuju rumahnya yang sudah terlihat.

Barry hanya menghela napas melihat anggukan kepala Levin, kemudian ia pun menyusul kakaknya tersebut menuju rumah dan mengakhiri aktivitas pagi mereka sebelum melanjutkan melakukan kegiatan masing-masing.

***

Sesuai dugaan Levin, sesampainya di rumah ia dan Barry sudah mendapati Dianti hampir selesai menyiapkan sarapan di atas meja makan. Walau ada dua orang asisten rumah tangga yang dipekerjakan, tapi wanita anggun tersebut tetap memilih menyiapkan menu sarapan atau makanan lainnya sendiri. Dua orang asistennya tersebut hanya diminta membersihkan rumah dan area di sekitarnya serta membantu pekerjaan Dianti dalam membeli bahan makanan. Urusan membuat hidangan sepenuhnya tetap menjadi tanggung jawab Dianti.

Levin bersama anggota keluarganya yang lain kini sudah mulai menikmati nasi goreng seafood buatan Dianti. Seperti biasa, apa pun yang dibuat sekaligus dihidangkan oleh Dianti pasti selalu tak bersisa. Ia bersama adik dan ayahnya sangat menyukai semua masakan yang dibuat oleh sang ibunda tercinta. Walau makanan yang dihidangkan oleh Dianti sangat umum sekaligus sederhana, tapi cita rasanya bukan kaleng-kaleng.

“Kalian berangkat pagi?” tanya Dianti setelah menghabiskan nasi goreng buatannya sendiri. Pertanyaannya tersebut lebih dialamatkan kepada kedua anak laki-lakinya, karena sang suami sudah pasti berangkat seusai sarapan.

“Iya, Ma,” Barry lebih dulu melontarkan jawabannya setelah meneguk air putihnya yang tersisa setengah gelas.

“Aku juga, Ma,” Levin menimpali sebelum mengisi cangkirnya dengan kopi yang telah diseduh oleh Dianti.

“Kalian berangkat bersama?” tanya Gibran karena kedua anaknya menuntut dan membagi ilmu di tempat yang sama.

“Tidak, Pa,” Barry kembali lebih dulu menjawab. “Aku akan menjemput kedua temanku terlebih dulu sebelum nanti bersama-sama ke kampus. Motor mereka sedang di bengkel,” imbuhnya memberi alasan.

“Laki-laki?” Dianti memastikan sambil menatap intens putra bungsunya.

Barry dengan santai menggeleng. “Perempuan, Ma. Sandara dan Ranty yang aku maksud, Ma,” beri tahunya jujur.

Dianti manggut-manggut karena ia sudah mengenal dan sempat bertemu dengan keduanya secara tak sengaja di sebuah supermarket.

“Mama mengenal mereka?” Gibran menatap Dianti saat melihat istrinya tersebut mengangguk.

“Iya, Pa. Saat Mama diantar Barry membeli kebutuhan dapur di supermarket, secara tak sengaja kami bertemu mereka,” beri tahu Dianti apa adanya. “Mereka anak-anak rantauan dari Bali. Mereka juga anak-anak yang ramah dan sopan,” imbuhnya memuji.

“Mereka juga bagian dari kelompok pengagum Kak Levin, Ma,” ungkap Barry sambil melirik sang kakak yang dari tadi terlihat tak acuh atas obrolan mereka.

Walau namanya diseret oleh Barry dalam obrolan mereka menyangkut dua orang gadis yang kemarin diberinya tumpangan sekaligus diajaknya makan malam bersama, tapi Levin tetap mempertahankan sikapnya. Ia hanya memberikan tanggapan dengan mengangkat bahu atas perkataan Barry.

“Jangan-jangan mereka mau bersahabat denganmu karena mempunyai tujuan terselubung, Bar? Misalnya, agar mempunyai kesempatan mendekati Kakakmu atau ingin mencari informasi tentangnya,” tanya Gibran kepada Barry dengan nada menggoda.

“Nanti aku tanyakan langsung alasan sekaligus tujuan utamanya kepada mereka, Pa,” Barry menanggapi candaan sang papa dengan berpura-pura serius.

“Jika alasan dan tujuan mereka bersahabat denganmu memang seperti itu, lebih baik dari sekarang kamu mulai menjauh,” Levin menimpali dengan nada sedatar ekspresi wajahnya.

Mendengar komentar Levin membuat Barry dan orang tuanya saling melemparkan tatapan terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa Levin akan menanggapi candaan Barry dan ayahnya dengan serius. Barry memberikan isyarat kepada orang tuanya melalui dagunya agar mengklarifikasi ucapannya supaya sang kakak tidak salah paham dalam menilai kedua sahabatnya tersebut. Barry kasihan kepada kedua sahabatnya tersebut jika dianggap memanfaatkannya oleh sang kakak yang salah paham menilai.

“Katakan juga kepada kedua temanmu itu untuk tidak menyia-nyiakan waktunya dengan mengagumiku. Lagi pula aku bukan artis, jadi tidak memerlukan pengagum dari siapa pun,” Levin menambahkan setelah menyesap cairan hitam pekat di cangkirnya.

Barry tertegun mendengar kata-kata yang dengan lancarnya terlontar dari mulut Levin. “Jika Sandara dan Ranty mendengarnya langsung, sudah pasti kedua anak itu akan sakit hati. Mereka ditolak secara halus,” batinnya menanggapi.

Dianti dan Gibran kembali saling tatap sebelum menggelengkan kepala karena perkataan Levin. Dianti dan Gibran mengerti maksud baik yang disampaikan oleh Levin, hanya saja menurut mereka cara penyampaian putra sulungnya tersebut terkesan frontal. Mereka bisa menjamin jika kedua teman Barry atau gadis-gadis lain yang mengagumi Levin mendengarnya langsung, pasti merasa tersinggung dan sakit hati karena perkataan tersebut.

“Papa dan Barry hanya bercanda, Vin. Kamu jangan menanggapinya terlalu serius,” Dianti meluruskan pembahasan mereka dengan nada lembut yang menjadi ciri khasnya. “Lagi pula menurut kacamata Mama, Sandara dan Ranty bukan anak-anak seperti itu,” imbuhnya memberikan penilaiannya.

“Jangan terlalu mudah memberikan penilaian hanya dengan melihat penampilan luarnya saja, Ma. Terlebih jika kalian baru bertemu sekali atau dua kali dan cukup singkat. Jaman sekarang banyak orang yang memakai topeng dan pandai bersilat lidah,” Levin kembali menyampaikan argumennya.

Menyadari Levin tidak akan dengan mudah berhenti memberikan balasan dan melihat Barry hendak ikut menimpali, Gibran pun langsung menegahi, “Sudah, sudah, jangan diteruskan lagi. Menurut Papa, pendapat Mama atau Levin tidak ada yang salah. Semuanya sangat masuk akal. Di antara Mama dan Levin tidak ada yang mengenal kedua teman Barry tersebut dengan dekat, jadi kalian tidak bisa menghakimi mereka secara sepihak.” Gibran mengangguk ke arah Dianti dan memberi isyarat kepada Barry untuk diam.

Levin hanya mengangguk, lagi pula menurutnya topik yang sedang dibahas sangat tidak berbobot. Bahkan, tidak ada untungnya untuk dirinya sendiri, melainkan hanya akan membuang-buang waktu mereka. “Terima kasih sarapannya, Ma. Aku mau mandi dan bersiap-siap dulu,” ucapnya setelah menghabiskan kopi di dalam cangkirnya dan berdiri dari kursi yang didudukinya.

Dianti mengangguk. “Sama-sama, Sayang,” balasnya sambil tersenyum. “Kamu tidak bersiap-siap juga, Bar?” tanyanya kepada Barry yang masih setia menempelkan bokongnya di permukaan kursi.

“Sebentar lagi, Ma,” jawab Barry singkat.

Sebelum Levin meninggalkan meja makan dan menuju kamarnya, ia mencium punggung tangan sang papa yang tidak akan dilihatnya lagi setelah dirinya usai bersiap karena laki-laki paruh baya tersebut hendak berangkat ke kantor.

***

Di sebuah kamar indekos yang ditempati oleh dua orang gadis, penghuninya tengah bergantian membersihkan diri sebelum berangkat mencari asupan untuk otak masing-masing. Sambil menunggu Ranty keluar dari kamar mandi, Sandara menyiapkan perlengkapan yang akan dibawanya ke kampus. Hari ini mereka akan dijemput oleh Barry setelah kemarin malam Ranty memberi tahu laki-laki tersebut jika motor Sandara sedang berada di bengkel. Bukan Ranty yang meminta ingin dijemput, melainkan Barry sendiri yang menawarkan jemputan. Sandara mendengar sendiri jika Ranty beberapa kali menolak tawaran Barry karena merasa tidak enak, tapi pada akhirnya dengan berat hati mereka menerimanya sebab sahabatnya tersebut tetap memaksa.

Sesuai keputusannya kemarin malam, Sandara dan Ranty sepakat merahasiakan pertolongan Levin sekaligus makan malam mereka bersama laki-laki tersebut kepada Barry. Mereka tidak mau dijadikan bahan olok-olok oleh sahabatnya tersebut, apalagi Barry dan Levin bersaudara. Kedua sudut bibir Sandara kembali tertarik sehingga membentuk seulas senyum tipis ketika bayangan kemarin sore dan malam bersama Levin terlintas silih berganti di benaknya.

Sesuai perkiraannya, Sandara tidak bisa tidur nyenyak karena kebersamaan singkatnya dengan Levin. Setiap kali ia memejamkan mata, maka wajah Levin pun secara jelas dan lancang akan terlintas di kepalanya. Alhasil, mau tidak mau hal tersebut membuatnya terjaga hingga jam dua dini hari tadi. Berbeda halnya dengan Ranty, sahabatnya yang satu itu malah tidur sangat nyenyak. Bahkan, Ranty tidak menyadari jika ia sedang terjaga dan menonton drama kesukaannya sambil membuat mi instant. Sebelum larut terlalu jauh dalam lamunannya, Sandara pun menggeleng-gelengkan kepalanya.

“San, kita sarapan roti bakar saja ya,” ucap Ranty saat baru keluar dari kamar mandi.

“Boleh, Ran. Kamu yang buat ya, aku mau mandi dulu,” Sandara menyetujui tawaran Ranty. “Kamu mau sarapan nasi pun percuma, kita sudah tidak mempunyai beras lagi. Persediaan beras sudah habis,” imbuhnya sambil terkekeh.

“Benar juga ya. Yang kita punya saat ini hanyalah sisa roti tawar kemarin lusa.” Ranty ikut terkekeh setelah menyadari ucapan Sandara.

“Sepulangnya dari kampus nanti kita langsung membeli beras dan keperluan dapur lainnya,” ucap Sandara sebelum memasuki kamar mandi.

“Memangnya kamu ada uang lebih, San?” tanya Ranty menyelidik karena sahabatnya tersebut beberapa hari lalu mengatakan bekalnya telah sangat menipis.

Sandara mengangguk. “Tadi Mamaku kirim pesan, katanya nanti siang beliau mau mentransfer uang untuk keperluanku,” jawabnya jujur. “Nanti kita beli kebutuhan dapur pakai uangku saja,” sambungnya sebelum menutup pintu kamar mandi.

“Baiklah, nanti pembelian selanjutnya giliranku ya,” Ranty menyetujui mengingat ia belum ada tanda-tanda akan mendapat kiriman uang dari orang tuanya.

“Setuju, Ran.” Usai menanggapi perkataan Ranty, Sandara langsung menutup pintu kamar mandi karena ia ingin segera membersihkan diri sebelum Barry datang menjemput mereka.

Azuretanaya

Hallo, Readers. Jangan lupa review cerita ini dan klik bintang 5 ya. Terima kasih banyak atas apresiasinya. Jaga kesehatan selalu.

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
no _8
lanjut ya thor...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Secret Romance   SR 5

    Hari ini kesialan tengah menimpa Sandara sehingga membuatnya harus menahan malu di hadapan semua teman-teman di kelasnya, termasuk Ranty dan Barry. Setelah kelas berakhir, Sandara langsung diminta ikut ke ruangan dosen oleh pengajar yang tadi memberinya materi perkualiahan. Alhasil, kini ia pun sedang duduk sambil menundukkan kepala di hadapan seorang dosen muda dan tampan. Rasa malunya semakin membumbung ketika di dalam ruangan dosen tersebut terdapat seseorang yang selama ini sangat dielu-elukannya. Terlebih kemarin sempat memberinya pertolongan dan mentraktirnya bersama Ranty makan malam di sebuah restoran ternama. Entah kenapa rasa malu yang menderanya kini jauh lebih besar kepada Levin dibandingkan dosen tampan di hadapannya. Padahal sangat jelas urusannya saat ini dengan dosen tampan yang duduk tepat di hadapannya. “Sampai kapan kamu akan terus menundukkan kepalamu seperti itu, Sandara?” Dimas bertanya sambil terkekeh melihat mahasiswi di hadapannya. “Saya tidak marah atas tinda

    Last Updated : 2021-06-11
  • Secret Romance   Part 6

    Di kediaman Adyatama, pasangan Saguna dan putri bungsunya sedang berkunjung sekaligus untuk memenuhi undangan makan malam dari sang tuan rumah. Firman Saguna dan Gibran sudah menjalin persahabatan sejak keduanya masih menduduki bangku sekolah menengah pertama. Bahkan, setelah sukses dengan bisnis masing-masing dan sudah sama-sama berkeluarga pun keduanya masih menjadi sahabat akrab, meski mereka tidak selalu bisa menghabiskan waktu bersama. Sebenarnya acara makan malam berlangsung satu jam lagi, tapi keluarga Saguna sengaja datang lebih awal dari waktu yang diberitahukan, karena sang istri ingin membantu Dianti membuat hidangan. Lagi pula tidak ada salahnya juga bagi Firman untuk datang lebih awal, jadi ia bisa mengajak Gibran bermain catur sambil menunggu istri masing-masing dibantu sang putri membuat hidangan makan malam. “Anak-anakmu belum ada yang pulang, Bran?” Firman bertanya kepada Gibran saat mereka sedang bermain catur di ruang keluarga kediaman Adyatama. “Sudah. Mereka ada

    Last Updated : 2022-06-06
  • Secret Romance   Part 7

    Menyadari saat ini dirinya masih bersama orang tuanya di dalam mobil setelah meninggalkan kediaman Adyatama, Sava berusaha keras mengontrol bibirnya agar tidak menyunggingkan senyuman lebar dan semringah karena besok ia akan bepergian bersama Levin satu hari penuh. Untuk mengalihkan pikirannya dari ingatan atas setiap obrolannya tadi bersama Barry dan Levin, Sava sibuk memainkan benda pipih kesayangannya. Sava hanya tidak ingin perasaan antusias sekaligus kegirangan hatinya disadari atau tertangkap basah oleh orang tuanya, karena hal tersebut akan membuatnya sangat malu. Sava langsung mengalihkan perhatiannya dari ponsel di tangannya saat mendengar pembicaraan orang tuanya yang menyebut nama Dinda, salah satu sepupu perempuannya dan yang paling dekat dengannya. Sava baru menyadari bahwa mobil yang ditumpanginya bersama orang tuanya ternyata sudah memasuki halaman rumah keluarga Saguna. Setelah mobil yang membawanya beserta orang tuanya terparkir rapi di carport, Sava pun turun lebih d

    Last Updated : 2022-07-04
  • Secret Romance   Part 8

    Usai membeli bahan-bahan yang dibutuhkannya untuk nanti malam di salah satu supermarket yang tadi dilewatinya dan mengisi perut masing-masing di sebuah rumah makan, Barry mengajak ketiga sahabatnya melanjutkan perjalanan menuju vila. Kini di dalam mobil tidak ada lagi yang tidur, karena kuda besi milik Barry sudah memasuki lokasi vila yang menjadi tempat tujuan mereka. Sayang saja rasanya jika mereka mengabaikan pemandangan hijau sekaligus menyejukkan mata di sisi kanan dan kiri yang dilewati oleh mobil Barry. Tidak hanya itu, mereka juga melewati banyak vila yang dari luar terlihat sangat nyaman jika ditempati. “Kira-kira kapan ya aku bisa mempunyai vila seperti itu?” tanya Deni yang tengah memandangi bangunan yang dijumpainya. “Yang jelas nanti saat kamu kaya dan mempunyai banyak uang, Den. Pasti vila-vila di sini harganya ratusan juta. Bahkan, bisa jadi ada yang harganya sampai milyaran,” Ranty menjawab sekaligus menimpali. “Tujuanku ingin mempunyai vila bukan untuk dijadikan tem

    Last Updated : 2022-07-04
  • Secret Romance   Part 9

    Sejak jam lima sore Barry dan para sahabatnya sudah mulai sibuk mempersiapkan acara makan malam bersama sekaligus sebagai perayaan sederhana ulang tahunnya. Berhubung cuaca mendukung, Barry pun memutuskan akan makan malam di luar ruangan sambil menikmati pemandangan alam di malam hari. Supaya acara memanggang nanti lancar, Barry menyuruh Sandara dan Ranty membantu Bi Sri menyiapkan semua bahan-bahannya di dapur, termasuk bumbu. Ketika tiba saatnya untuk memanggang, baru semua bahan-bahan yang telah siap tersebut dibawa ke halaman samping vila. Sandara menoleh di sela-sela kegiatannya mengiris jamur karena nanti ia juga ingin memanggang beberapa jenis sayuran. Ia tersenyum tipis saat melihat Dinda memasuki dapur. “Hai, Din,” sapanya berbasa-basi. “Hai,” Dinda membalas sapaan Sandara seadanya. Tujuannya ke dapur untuk melihat jenis minuman yang nanti mereka konsumsi saat acara makan malam. “Barry benar-benar payah. Perayaan macam apa yang akan dibuatnya, jika minuman beralkohol rendah

    Last Updated : 2022-07-04
  • Secret Romance   Part 10

    Malam semakin larut, udara pun kian dingin menusuk pori-pori kulit walau tubuh telah berlapis pakaian tebal. Setelah bersama-sama menaruh kembali perlengkapan yang digunakan saat memanggang di halaman ke dapur, semua orang pun bergegas memasuki vila untuk melindungi diri dari dinginnya udara malam. Kecuali Levin, semuanya menempati kamar yang ada di lantai dua di vila tersebut. Sebelum memasuki kamar masing-masing dan mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah, Barry mengumpulkan teman-temannya di ruang keluarga. Ia mengajak teman-temannya tersebut membuat kegiatan untuk besok pagi, mengingat mereka akan kembali ke Jakarta ketika siang atau sore harinya. Tidak mungkin mereka akan menghabiskan waktunya untuk rebahan atau berdiam diri di dalam vila saja. “Bar, aku izin mengambil power bank sebentar ke kamar,” interupsi Dinda di sela-sela Barry dan yang lainnya merembugkan tentang kegiatan besok. “Din, tolong ambilkan juga power bank punyaku,” Sava menimpali karena daya baterai ponselnya

    Last Updated : 2022-07-04
  • Secret Romance   Part 11

    Menyesal. Takut. Tentu saja Sandara didera oleh kedua perasaan tersebut. Bahkan, saat ini sangat berkecamuk di hati dan memenuhi pikirannya. Namun, sayangnya kedua perasaan tersebut kalah dengan rasa sakit hati yang menghantam harga diri dan martabatnya sebagai seorang perempuan. Walau berdosa karena telah melakukan perbuatan terlarang, tapi tetap saja Sandara masih memiliki harga diri. Betapa hina dan liciknya Sandara di mata Levin yang telah menuduhnya menjebak laki-laki tersebut dengan memasukkan obat ke dalam minuman hanya agar bisa menghabiskan malam bersama. Gara-gara tuduhan tersebut, hatinya tersayat sangat dalam sehingga menghadirkan rasa perih dan nyeri yang teramat menyakitkan. Kehilangan mahkotanya sebagai perempuan memang membuatnya sangat terpukul, karena hal tersebut menandakan bahwa ia telah lalai dalam menjaga dirinya sendiri. Pemikiran tersebut pun tidak patut dicontoh untuk membenarkan keadaan yang telah dialaminya. Namun jika kehilangan harga diri dan martabatnya, m

    Last Updated : 2022-11-03
  • Secret Romance   Part 12

    Sandara dan Levin berjalan menuju vila dengan aksi saling diam. Lebih tepatnya Sandara yang kembali tidak menganggap keberadaan Levin. Kini tidak ada lagi rasa kagum yang menggebu dari perempuan tersebut kepada dosen idolanya itu. Malah kekaguman tersebut seketika telah berubah drastis menjadi sebuah kebencian. “Saya serius akan menikahimu,” Levin akhirnya lebih dulu membuka suara tanpa basa-basi. Berhubung jarak vila masih cukup jauh, jadi ia ingin menyelesaikan urusannya dengan Sandara terlebih dulu. Sandara dengan jelas mendengar perkataan Levin yang berjalan tidak jauh di belakangnya, tapi ia lebih memilih untuk menulikan telinganya. “Sandara!” panggil Levin dengan nada dalam dan penuh penekanan karena Sandara mengabaikan perkataannya. Sandara tetap menulikan telinganya dan melanjutkan langkah kakinya dengan santai. Sedikit pun ia tidak menghiraukan panggilan Levin, meski intonasi laki-laki tersebut sudah terdengar kurang bersahabat di telinganya. Levin berdecak kesal karena S

    Last Updated : 2022-11-03

Latest chapter

  • Secret Romance   Part 37 – The End

    Sudah sebulan hubungan Sandara dan Levin tidak lagi sebatas menjadi orang tua untuk Stella. Sejak Levin mengatakan bersedia membuka hati untuk Sandara, kini hubungan suami istri yang mereka jalani sudah melibatkan hati. Walau Levin masih berusaha menerima sepenuhnya cinta yang diberikan oleh Sandara, tapi laki-laki tersebut sudah tidak terlalu canggung atau kaku ketika berinteraksi dengan sang istri yang kini juga sebagai kekasihnya. Rumah tangga mereka pun kini terasa lebih hidup dan berwarna dibandingkan sebelumnya, apalagi dengan perkembangan Stella yang sungguh mengagumkan. Di usia Stella yang kini telah menginjak tujuh bulan, batita mungil tersebut sudah mulai belajar berdiri. Selain itu, Stella juga sudah bisa memanggil orang tuanya walau hanya sebatas sebutan singkat. Sandara membawa beberapa potong cake yang dibeli setelah makan malam oleh Barry ke ruang keluarga untuk mereka nikmati bersama. Hari ini sahabat sekaligus adik iparnya tersebut ikut makan malam bersamanya dan Levi

  • Secret Romance   Part 36

    Memenuhi permintaan Dianti, akhirnya Levin mengajak Sandara dan Stella menginap di kediaman orang tuanya. Usai membicarakan urusan bisnis dengan Gibran di ruang kerja sang papa setelah mereka makan malam bersama yang lainnya, Levin memasuki kamarnya untuk beristirahat menyusul istri dan anaknya. Saat membuka pintu, Levin langsung disambut oleh keadaan kamar yang pencahayaannya sudah tidak terlalu terang karena lampu utama telah dipadamkan. Setelah berada di dalam kamar, Levin tidak melihat Sandara berbaring di atas ranjang mereka seperti dugaannya. Ketika Levin menoleh ke arah balkon, ia melihat Sandara tengah berdiri di sana seraya memeluk tubuhnya sendiri melalui pintu penghubung yang tirainya tidak tertutup sempurna. Sebelum menghampiri Sandara, terlebih dulu Levin melihat sekaligus memastikan Stella yang masih terlelap di dalam box bayinya. Sandara langsung menoleh ketika mendengar suara pintu di belakangnya terbuka. “Stella bangun, Kak?” tanyanya saat melihat Levin berjalan ke ar

  • Secret Romance   Part 35

    Walau sudah dua hari berlalu, tapi Levin masih bersikap tak acuh kepada Sandara. Interaksi keduanya pun kini tidak seakrab dulu dan hal tersebut membuat Sandara semakin merasa bersalah. Sandara mengerti jika Levin masih kesal sekaligus kecewa terhadapnya karena tindakan lancangnya, ia pun mencoba menerima konsekuensinya dengan lapang dada. Sejak pulang dari kantor tadi, Levin mengabaikan Sandara. Jika pun Sandara bertanya, Levin hanya menanggapi seadanya dengan nada datar. Makan malam yang biasanya mereka selingi dengan obrolan ringan pun menjadi hening. Ketika tadi Sandara mencoba membuka obrolan basa-basi dengan menceritakan tingkah Stella hari ini, Levin terlihat tidak tertarik. Suaminya tersebut hanya menanggapi ucapannya dengan tak acuh. Sandara juga sempat beranggapan bahwa Levin sengaja makan sedikit supaya suaminya tersebut tidak perlu berlama-lama berada di dekatnya. Bukan hanya itu, Sandara juga menduga jika Levin tidak mau memakan masakan yang sudah dibuatnya. Sandara kelu

  • Secret Romance   Part 34

    Setibanya di dalam rumah Levin langsung mencari Sandara di kamar mereka seperti yang tadi diberitahukan oleh Mirna yang sedang menyiram tanaman di halaman depan. Ketika membuka pintu kamar, Levin langsung disambut oleh suara Sandara yang sedang mengajak Stella bercengkerama dari arah kamar mandi. Biasanya ucapan Sandara hanya ditanggapi dengan gumaman tak jelas oleh putri semata wayang mereka. Tanpa membuang waktu lagi, Levin bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi karena ia tidak mau melewatkan ekspresi menggemaskan wajah Stella ketika sedang mendengarkan orang mengajaknya berinteraksi. Terlebih ketika Stella tersenyum manis dan tertawa renyah saat merespons perkataan yang ditujukan padanya. “Ternyata anaknya Papa yang paling cantik ini masih mandi,” Levin berkata setelah berdiri di depan kamar mandi yang pintunya sengaja tidak ditutup oleh Sandara. Levin menggulung lengan kemejanya sebatas siku sambil berjalan menghampiri Sandara yang masih memandikan Stella. Walau cukup t

  • Secret Romance   Part 33

    Sandara menyelesaikan makan siangnya terlebih dulu daripada Dianti dan Barry, sebab Stella yang tadi ia letakkan pada baby bouncer sudah mulai menangis karena haus. Sandara juga meminta izin kepada ibu mertua dan adik iparnya tersebut untuk ke kamar karena ia ingin menyusui sekaligus menidurkan Stella. Sandara yang tengah duduk di atas ranjang sambil menyusui Stella dan bersenandung kecil, menoleh ketika mendengar ponselnya di permukaan nakas berbunyi. Sandara mengangsurkan sebelah tangan yang tadi digunakan menepuk lembut paha Stella untuk mengambil benda pipih tersebut. “Ternyata Papamu yang menelpon, Nak. Pasti Papamu sudah merindukanmu,” ucap Sandara kepada Stella yang masih terjaga, seolah putrinya tersebut mengerti yang ia katakan. “Halo, Kak,” Sandara menjawab panggilan Levin sambil tetap menatap wajah putrinya. “Sudah makan siang?” Levin bertanya sambil memainkan pena di tangannya. “Sudah, Kak. Kebetulan hari ini Mama dan Barry berkunjung, jadi kita makan siang bersama. Kak

  • Secret Romance   Part 32

    Di tengah-tengah kebahagiaan Sandara atas kelahiran putrinya, di sudut hatinya yang lain ia merasakan kesedihan karena pesan singkat yang sengaja dirinya kirimkan kepada orang tuanya hingga kini belum juga mendapat tanggapan. Setelah menghadiri acara pernikahannya dan Levin, Sandara memang sudah tidak ada komunikasi lagi dengan orang tuanya. Bukan Sandara yang tidak mau berinteraksi, melainkan orang tuanya sendiri yang memutuskan untuk tidak menjalin komunikasi lagi dengannya. Beberapa bulan setelah berstatus sebagai seorang istri dan menjadi bagian dari keluarga Adyatama, Sandara pernah menghubungi orang tuanya, sayangnya pasangan Baskara tersebut mengabaikannya. Setiap kali Sandara menghubungi telepon rumah orang tuanya, yang menjawab selalu Bibi Puspa atau Asti. Walau Sandara kecewa, tapi ia tetap menanyakan kabar orang tuanya tersebut kepada Bibi Puspa atau Asti. Sandara bisa menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya dari kedua mertua dan adik iparnya, tapi ia tidak perlu melakuka

  • Secret Romance   Part 31

    Perjuangan panjang sekaligus melelahkan Sandara melahirkan sang anak membuat Levin sangat terharu. Bahkan, Levin sampai menitikkan air mata karena saking terharunya. Tepat jam dua pagi Sandara telah melahirkan anaknya yang berjenis kelamin perempuan melalui proses persalinan normal. Sejak membawa Sandara ke rumah sakit kemarin sore karena kontraksi yang dialaminya berkelanjutan, Levin sedikit pun tidak pernah meninggalkan istrinya tersebut. Levin selalu setia ada di dekat Sandara. Bahkan, Levin seperti ikut merasakan kesakitan Sandara setiap kali kontraksi menghampiri istrinya tersebut. Saat Sandara dipindahkan ke ruang bersalin, Levin juga meminta kepada Dokter Fitri untuk diizinkan ikut masuk agar ia bisa menemani sekaligus menyaksikan langsung kelahiran anaknya. Saat ini Sandara sedang duduk setengah bersandar di atas ranjang pasien. “Kakak tidak ke kantor?” tanyanya kepada Levin yang tengah menimang putri mereka. “Saya tidak apa-apa ditinggal, Kak. Sebentar lagi juga Mama datang d

  • Secret Romance   Part 30

    Bukan tindakan yang mudah bagi Levin dalam membujuk dan meyakinkan Dianti mengenai kepindahannya bersama Sandara ke apartemen. Tentu saja Levin mengetahui jelas alasan utama Dianti sulit mengizinkannya membawa Sandara pindah ke apartemen. Setelah Sandara turun tangan ikut membujuk dan meyakinkan Dianti, akhirnya keinginan Levin pun dikabulkan oleh wanita paruh baya yang sangat dihormati sekaligus disayanginya tersebut. Kini sudah dua bulan Levin dan Sandara tinggal hanya berdua di apartemen. Walau sudah tinggal terpisah, tapi Dianti sering datang ke apartemen Levin terutama ketika jam makan siang tiba. Kadang Dianti juga menyuruh sopir menjemput Sandara ke apartemen untuk datang ke kafenya dan mengajak menantunya tersebut makan siang bersamanya. Bukan hanya Dianti, Barry juga sering datang ke apartemen Levin bersama Ranty jika mereka sedang tidak ada jam kuliah. Tentu saja sebelumnya Barry sudah meminta izin dulu kepada Levin, mengingat saat ini status Sandara tidak hanya menjadi saha

  • Secret Romance   Part 29

    Sepulangnya keluarga Saguna dari kediaman Adyatama, Sandara langsung meminta maaf kepada mertuanya atas kelancangannya tadi. Sebelum meninggalkan kediaman Adyatama, Firman dan Jihan juga sempat meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Sandara atas perbuatan tidak terpuji yang telah dilakukan oleh Dinda selaku keponakan mereka. Sandara tidak memberikan maaf karena bukan Firman dan Jihan yang berbuat jahat padanya, meski Dinda adalah anggota keluarga mereka juga. Bagi Sandara, siapa yang telah berani melakukan perbuatan jahat, maka orang tersebutlah yang harus bertanggung jawab dan meminta maaf. Apalagi jika tindak kejahatan tersebut sudah direncanakan dan dilakukan secara sengaja. Setelah Levin memberikan penegasan kepada Sava tentang statusnya kini, perempuan tersebut tidak ada bersuara lagi. Sandara juga telah melupakan dimsum yang dipesannya. Malam ini Sandara tidur tidak menempel dengan Levin seperti biasanya. Posisi tidur Sandara saat ini berbaring menyamping dan memunggungi Levin. Ba

DMCA.com Protection Status