Silakan follow akun instagramku untuk mengetahui informasi seputar karya-karya terbaru yang aku kerjakan. IG: _azuretanaya
Di tengah-tengah kebahagiaan Sandara atas kelahiran putrinya, di sudut hatinya yang lain ia merasakan kesedihan karena pesan singkat yang sengaja dirinya kirimkan kepada orang tuanya hingga kini belum juga mendapat tanggapan. Setelah menghadiri acara pernikahannya dan Levin, Sandara memang sudah tidak ada komunikasi lagi dengan orang tuanya. Bukan Sandara yang tidak mau berinteraksi, melainkan orang tuanya sendiri yang memutuskan untuk tidak menjalin komunikasi lagi dengannya. Beberapa bulan setelah berstatus sebagai seorang istri dan menjadi bagian dari keluarga Adyatama, Sandara pernah menghubungi orang tuanya, sayangnya pasangan Baskara tersebut mengabaikannya. Setiap kali Sandara menghubungi telepon rumah orang tuanya, yang menjawab selalu Bibi Puspa atau Asti. Walau Sandara kecewa, tapi ia tetap menanyakan kabar orang tuanya tersebut kepada Bibi Puspa atau Asti. Sandara bisa menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya dari kedua mertua dan adik iparnya, tapi ia tidak perlu melakuka
Sandara menyelesaikan makan siangnya terlebih dulu daripada Dianti dan Barry, sebab Stella yang tadi ia letakkan pada baby bouncer sudah mulai menangis karena haus. Sandara juga meminta izin kepada ibu mertua dan adik iparnya tersebut untuk ke kamar karena ia ingin menyusui sekaligus menidurkan Stella. Sandara yang tengah duduk di atas ranjang sambil menyusui Stella dan bersenandung kecil, menoleh ketika mendengar ponselnya di permukaan nakas berbunyi. Sandara mengangsurkan sebelah tangan yang tadi digunakan menepuk lembut paha Stella untuk mengambil benda pipih tersebut. “Ternyata Papamu yang menelpon, Nak. Pasti Papamu sudah merindukanmu,” ucap Sandara kepada Stella yang masih terjaga, seolah putrinya tersebut mengerti yang ia katakan. “Halo, Kak,” Sandara menjawab panggilan Levin sambil tetap menatap wajah putrinya. “Sudah makan siang?” Levin bertanya sambil memainkan pena di tangannya. “Sudah, Kak. Kebetulan hari ini Mama dan Barry berkunjung, jadi kita makan siang bersama. Kak
Setibanya di dalam rumah Levin langsung mencari Sandara di kamar mereka seperti yang tadi diberitahukan oleh Mirna yang sedang menyiram tanaman di halaman depan. Ketika membuka pintu kamar, Levin langsung disambut oleh suara Sandara yang sedang mengajak Stella bercengkerama dari arah kamar mandi. Biasanya ucapan Sandara hanya ditanggapi dengan gumaman tak jelas oleh putri semata wayang mereka. Tanpa membuang waktu lagi, Levin bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi karena ia tidak mau melewatkan ekspresi menggemaskan wajah Stella ketika sedang mendengarkan orang mengajaknya berinteraksi. Terlebih ketika Stella tersenyum manis dan tertawa renyah saat merespons perkataan yang ditujukan padanya. “Ternyata anaknya Papa yang paling cantik ini masih mandi,” Levin berkata setelah berdiri di depan kamar mandi yang pintunya sengaja tidak ditutup oleh Sandara. Levin menggulung lengan kemejanya sebatas siku sambil berjalan menghampiri Sandara yang masih memandikan Stella. Walau cukup t
Walau sudah dua hari berlalu, tapi Levin masih bersikap tak acuh kepada Sandara. Interaksi keduanya pun kini tidak seakrab dulu dan hal tersebut membuat Sandara semakin merasa bersalah. Sandara mengerti jika Levin masih kesal sekaligus kecewa terhadapnya karena tindakan lancangnya, ia pun mencoba menerima konsekuensinya dengan lapang dada. Sejak pulang dari kantor tadi, Levin mengabaikan Sandara. Jika pun Sandara bertanya, Levin hanya menanggapi seadanya dengan nada datar. Makan malam yang biasanya mereka selingi dengan obrolan ringan pun menjadi hening. Ketika tadi Sandara mencoba membuka obrolan basa-basi dengan menceritakan tingkah Stella hari ini, Levin terlihat tidak tertarik. Suaminya tersebut hanya menanggapi ucapannya dengan tak acuh. Sandara juga sempat beranggapan bahwa Levin sengaja makan sedikit supaya suaminya tersebut tidak perlu berlama-lama berada di dekatnya. Bukan hanya itu, Sandara juga menduga jika Levin tidak mau memakan masakan yang sudah dibuatnya. Sandara kelu
Memenuhi permintaan Dianti, akhirnya Levin mengajak Sandara dan Stella menginap di kediaman orang tuanya. Usai membicarakan urusan bisnis dengan Gibran di ruang kerja sang papa setelah mereka makan malam bersama yang lainnya, Levin memasuki kamarnya untuk beristirahat menyusul istri dan anaknya. Saat membuka pintu, Levin langsung disambut oleh keadaan kamar yang pencahayaannya sudah tidak terlalu terang karena lampu utama telah dipadamkan. Setelah berada di dalam kamar, Levin tidak melihat Sandara berbaring di atas ranjang mereka seperti dugaannya. Ketika Levin menoleh ke arah balkon, ia melihat Sandara tengah berdiri di sana seraya memeluk tubuhnya sendiri melalui pintu penghubung yang tirainya tidak tertutup sempurna. Sebelum menghampiri Sandara, terlebih dulu Levin melihat sekaligus memastikan Stella yang masih terlelap di dalam box bayinya. Sandara langsung menoleh ketika mendengar suara pintu di belakangnya terbuka. “Stella bangun, Kak?” tanyanya saat melihat Levin berjalan ke ar
Sudah sebulan hubungan Sandara dan Levin tidak lagi sebatas menjadi orang tua untuk Stella. Sejak Levin mengatakan bersedia membuka hati untuk Sandara, kini hubungan suami istri yang mereka jalani sudah melibatkan hati. Walau Levin masih berusaha menerima sepenuhnya cinta yang diberikan oleh Sandara, tapi laki-laki tersebut sudah tidak terlalu canggung atau kaku ketika berinteraksi dengan sang istri yang kini juga sebagai kekasihnya. Rumah tangga mereka pun kini terasa lebih hidup dan berwarna dibandingkan sebelumnya, apalagi dengan perkembangan Stella yang sungguh mengagumkan. Di usia Stella yang kini telah menginjak tujuh bulan, batita mungil tersebut sudah mulai belajar berdiri. Selain itu, Stella juga sudah bisa memanggil orang tuanya walau hanya sebatas sebutan singkat. Sandara membawa beberapa potong cake yang dibeli setelah makan malam oleh Barry ke ruang keluarga untuk mereka nikmati bersama. Hari ini sahabat sekaligus adik iparnya tersebut ikut makan malam bersamanya dan Levi
Sepasang netra berwarna cokelat kehitaman memandang kagum sosok tinggi yang berjalan tegap melewati tempat duduknya. Walau mengetahui pasti senyuman tipis yang diterimanya merupakan sikap profesional dari laki-laki tersebut, tapi tetap saja berhasil menciptakan rona kemerahan pada kedua pipinya. Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Sandara Pramesthi Baskara saat diberi senyuman tipis sekaligus memabukkan oleh laki-laki yang sangat dielu-elukan di seantero tempatnya menuntut ilmu. Apalagi dari kabar yang didengarnya, laki-laki tersebut sangat banyak mempunyai penggemar rahasia. Salah satunya adalah dirinya sendiri. Mata Sandara langsung mengerjap. Bahkan, ia memekik nyaring karena saking terkejutnya saat tiba-tiba saja pipinya tersengat benda dingin. Ia spontan menutup mulutnya saat menyadari dirinya kini menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin. Sambil menyengir kaku ia mengangguk canggung sebagai tanda permintaan maafnya karena tanpa sengaja telah membuat kegaduhan
Levin memelankan laju kuda besi yang dikendarainya saat melihat seorang perempuan sedang menuntun motor matic-nya. Tanpa mengetahui siapa perempuan tersebut, Levin langsung menepikan mobilnya. Setelah memastikan kendaraan roda empatnya yang terparkir tidak menghalangi pengguna jalan lain, ia pun segera keluar dari mobil tersebut. “Kenapa dengan motornya, Mbak?” Levin bertanya setelah berjarak beberapa langkah dari perempuan tersebut. Perempuan tersebut langsung menoleh ke belakang saat mendengar ada seseorang yang bertanya padanya. Alangkah terkejutnya perempuan tersebut saat mengetahui pemilik suara yang beberapa detik lalu bertanya padanya. “Pak Levin,” ucapnya kaget. “Sandara?” Levin tak kalah terkejut setelah melihat wajah perempuan tersebut, yang ternyata dikenalnya. “Kenapa motormu?” tanyanya ulang setelah kembali dari keterkejutannya. “Bannya pecah, Pak,” jawab Sandara sedikit gugup dan tanpa berani menatap wajah Levin yang kini telah berdiri di sampingnya. “Sepertinya di d
Sudah sebulan hubungan Sandara dan Levin tidak lagi sebatas menjadi orang tua untuk Stella. Sejak Levin mengatakan bersedia membuka hati untuk Sandara, kini hubungan suami istri yang mereka jalani sudah melibatkan hati. Walau Levin masih berusaha menerima sepenuhnya cinta yang diberikan oleh Sandara, tapi laki-laki tersebut sudah tidak terlalu canggung atau kaku ketika berinteraksi dengan sang istri yang kini juga sebagai kekasihnya. Rumah tangga mereka pun kini terasa lebih hidup dan berwarna dibandingkan sebelumnya, apalagi dengan perkembangan Stella yang sungguh mengagumkan. Di usia Stella yang kini telah menginjak tujuh bulan, batita mungil tersebut sudah mulai belajar berdiri. Selain itu, Stella juga sudah bisa memanggil orang tuanya walau hanya sebatas sebutan singkat. Sandara membawa beberapa potong cake yang dibeli setelah makan malam oleh Barry ke ruang keluarga untuk mereka nikmati bersama. Hari ini sahabat sekaligus adik iparnya tersebut ikut makan malam bersamanya dan Levi
Memenuhi permintaan Dianti, akhirnya Levin mengajak Sandara dan Stella menginap di kediaman orang tuanya. Usai membicarakan urusan bisnis dengan Gibran di ruang kerja sang papa setelah mereka makan malam bersama yang lainnya, Levin memasuki kamarnya untuk beristirahat menyusul istri dan anaknya. Saat membuka pintu, Levin langsung disambut oleh keadaan kamar yang pencahayaannya sudah tidak terlalu terang karena lampu utama telah dipadamkan. Setelah berada di dalam kamar, Levin tidak melihat Sandara berbaring di atas ranjang mereka seperti dugaannya. Ketika Levin menoleh ke arah balkon, ia melihat Sandara tengah berdiri di sana seraya memeluk tubuhnya sendiri melalui pintu penghubung yang tirainya tidak tertutup sempurna. Sebelum menghampiri Sandara, terlebih dulu Levin melihat sekaligus memastikan Stella yang masih terlelap di dalam box bayinya. Sandara langsung menoleh ketika mendengar suara pintu di belakangnya terbuka. “Stella bangun, Kak?” tanyanya saat melihat Levin berjalan ke ar
Walau sudah dua hari berlalu, tapi Levin masih bersikap tak acuh kepada Sandara. Interaksi keduanya pun kini tidak seakrab dulu dan hal tersebut membuat Sandara semakin merasa bersalah. Sandara mengerti jika Levin masih kesal sekaligus kecewa terhadapnya karena tindakan lancangnya, ia pun mencoba menerima konsekuensinya dengan lapang dada. Sejak pulang dari kantor tadi, Levin mengabaikan Sandara. Jika pun Sandara bertanya, Levin hanya menanggapi seadanya dengan nada datar. Makan malam yang biasanya mereka selingi dengan obrolan ringan pun menjadi hening. Ketika tadi Sandara mencoba membuka obrolan basa-basi dengan menceritakan tingkah Stella hari ini, Levin terlihat tidak tertarik. Suaminya tersebut hanya menanggapi ucapannya dengan tak acuh. Sandara juga sempat beranggapan bahwa Levin sengaja makan sedikit supaya suaminya tersebut tidak perlu berlama-lama berada di dekatnya. Bukan hanya itu, Sandara juga menduga jika Levin tidak mau memakan masakan yang sudah dibuatnya. Sandara kelu
Setibanya di dalam rumah Levin langsung mencari Sandara di kamar mereka seperti yang tadi diberitahukan oleh Mirna yang sedang menyiram tanaman di halaman depan. Ketika membuka pintu kamar, Levin langsung disambut oleh suara Sandara yang sedang mengajak Stella bercengkerama dari arah kamar mandi. Biasanya ucapan Sandara hanya ditanggapi dengan gumaman tak jelas oleh putri semata wayang mereka. Tanpa membuang waktu lagi, Levin bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi karena ia tidak mau melewatkan ekspresi menggemaskan wajah Stella ketika sedang mendengarkan orang mengajaknya berinteraksi. Terlebih ketika Stella tersenyum manis dan tertawa renyah saat merespons perkataan yang ditujukan padanya. “Ternyata anaknya Papa yang paling cantik ini masih mandi,” Levin berkata setelah berdiri di depan kamar mandi yang pintunya sengaja tidak ditutup oleh Sandara. Levin menggulung lengan kemejanya sebatas siku sambil berjalan menghampiri Sandara yang masih memandikan Stella. Walau cukup t
Sandara menyelesaikan makan siangnya terlebih dulu daripada Dianti dan Barry, sebab Stella yang tadi ia letakkan pada baby bouncer sudah mulai menangis karena haus. Sandara juga meminta izin kepada ibu mertua dan adik iparnya tersebut untuk ke kamar karena ia ingin menyusui sekaligus menidurkan Stella. Sandara yang tengah duduk di atas ranjang sambil menyusui Stella dan bersenandung kecil, menoleh ketika mendengar ponselnya di permukaan nakas berbunyi. Sandara mengangsurkan sebelah tangan yang tadi digunakan menepuk lembut paha Stella untuk mengambil benda pipih tersebut. “Ternyata Papamu yang menelpon, Nak. Pasti Papamu sudah merindukanmu,” ucap Sandara kepada Stella yang masih terjaga, seolah putrinya tersebut mengerti yang ia katakan. “Halo, Kak,” Sandara menjawab panggilan Levin sambil tetap menatap wajah putrinya. “Sudah makan siang?” Levin bertanya sambil memainkan pena di tangannya. “Sudah, Kak. Kebetulan hari ini Mama dan Barry berkunjung, jadi kita makan siang bersama. Kak
Di tengah-tengah kebahagiaan Sandara atas kelahiran putrinya, di sudut hatinya yang lain ia merasakan kesedihan karena pesan singkat yang sengaja dirinya kirimkan kepada orang tuanya hingga kini belum juga mendapat tanggapan. Setelah menghadiri acara pernikahannya dan Levin, Sandara memang sudah tidak ada komunikasi lagi dengan orang tuanya. Bukan Sandara yang tidak mau berinteraksi, melainkan orang tuanya sendiri yang memutuskan untuk tidak menjalin komunikasi lagi dengannya. Beberapa bulan setelah berstatus sebagai seorang istri dan menjadi bagian dari keluarga Adyatama, Sandara pernah menghubungi orang tuanya, sayangnya pasangan Baskara tersebut mengabaikannya. Setiap kali Sandara menghubungi telepon rumah orang tuanya, yang menjawab selalu Bibi Puspa atau Asti. Walau Sandara kecewa, tapi ia tetap menanyakan kabar orang tuanya tersebut kepada Bibi Puspa atau Asti. Sandara bisa menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya dari kedua mertua dan adik iparnya, tapi ia tidak perlu melakuka
Perjuangan panjang sekaligus melelahkan Sandara melahirkan sang anak membuat Levin sangat terharu. Bahkan, Levin sampai menitikkan air mata karena saking terharunya. Tepat jam dua pagi Sandara telah melahirkan anaknya yang berjenis kelamin perempuan melalui proses persalinan normal. Sejak membawa Sandara ke rumah sakit kemarin sore karena kontraksi yang dialaminya berkelanjutan, Levin sedikit pun tidak pernah meninggalkan istrinya tersebut. Levin selalu setia ada di dekat Sandara. Bahkan, Levin seperti ikut merasakan kesakitan Sandara setiap kali kontraksi menghampiri istrinya tersebut. Saat Sandara dipindahkan ke ruang bersalin, Levin juga meminta kepada Dokter Fitri untuk diizinkan ikut masuk agar ia bisa menemani sekaligus menyaksikan langsung kelahiran anaknya. Saat ini Sandara sedang duduk setengah bersandar di atas ranjang pasien. “Kakak tidak ke kantor?” tanyanya kepada Levin yang tengah menimang putri mereka. “Saya tidak apa-apa ditinggal, Kak. Sebentar lagi juga Mama datang d
Bukan tindakan yang mudah bagi Levin dalam membujuk dan meyakinkan Dianti mengenai kepindahannya bersama Sandara ke apartemen. Tentu saja Levin mengetahui jelas alasan utama Dianti sulit mengizinkannya membawa Sandara pindah ke apartemen. Setelah Sandara turun tangan ikut membujuk dan meyakinkan Dianti, akhirnya keinginan Levin pun dikabulkan oleh wanita paruh baya yang sangat dihormati sekaligus disayanginya tersebut. Kini sudah dua bulan Levin dan Sandara tinggal hanya berdua di apartemen. Walau sudah tinggal terpisah, tapi Dianti sering datang ke apartemen Levin terutama ketika jam makan siang tiba. Kadang Dianti juga menyuruh sopir menjemput Sandara ke apartemen untuk datang ke kafenya dan mengajak menantunya tersebut makan siang bersamanya. Bukan hanya Dianti, Barry juga sering datang ke apartemen Levin bersama Ranty jika mereka sedang tidak ada jam kuliah. Tentu saja sebelumnya Barry sudah meminta izin dulu kepada Levin, mengingat saat ini status Sandara tidak hanya menjadi saha
Sepulangnya keluarga Saguna dari kediaman Adyatama, Sandara langsung meminta maaf kepada mertuanya atas kelancangannya tadi. Sebelum meninggalkan kediaman Adyatama, Firman dan Jihan juga sempat meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Sandara atas perbuatan tidak terpuji yang telah dilakukan oleh Dinda selaku keponakan mereka. Sandara tidak memberikan maaf karena bukan Firman dan Jihan yang berbuat jahat padanya, meski Dinda adalah anggota keluarga mereka juga. Bagi Sandara, siapa yang telah berani melakukan perbuatan jahat, maka orang tersebutlah yang harus bertanggung jawab dan meminta maaf. Apalagi jika tindak kejahatan tersebut sudah direncanakan dan dilakukan secara sengaja. Setelah Levin memberikan penegasan kepada Sava tentang statusnya kini, perempuan tersebut tidak ada bersuara lagi. Sandara juga telah melupakan dimsum yang dipesannya. Malam ini Sandara tidur tidak menempel dengan Levin seperti biasanya. Posisi tidur Sandara saat ini berbaring menyamping dan memunggungi Levin. Ba