Share

Part 2

Author: Azuretanaya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Levin memelankan laju kuda besi yang dikendarainya saat melihat seorang perempuan sedang menuntun motor matic-nya. Tanpa mengetahui siapa perempuan tersebut, Levin langsung menepikan mobilnya. Setelah memastikan kendaraan roda empatnya yang terparkir tidak menghalangi pengguna jalan lain, ia pun segera keluar dari mobil tersebut.

“Kenapa dengan motornya, Mbak?” Levin bertanya setelah berjarak beberapa langkah dari perempuan tersebut.

Perempuan tersebut langsung menoleh ke belakang saat mendengar ada seseorang yang bertanya padanya. Alangkah terkejutnya perempuan tersebut saat mengetahui pemilik suara yang beberapa detik lalu bertanya padanya. “Pak Levin,” ucapnya kaget.

“Sandara?” Levin tak kalah terkejut setelah melihat wajah perempuan tersebut, yang ternyata dikenalnya. “Kenapa motormu?” tanyanya ulang setelah kembali dari keterkejutannya.

“Bannya pecah, Pak,” jawab Sandara sedikit gugup dan tanpa berani menatap wajah Levin yang kini telah berdiri di sampingnya.

“Sepertinya di depan ada bengkel motor,” ucap Levin sambil mengarahkan tatapannya jauh ke depan.

“Iya, Pak. Teman saya sedang memeriksanya ke sana, apakah bengkelnya masih buka atau sudah tutup,” Sandara kembali menjawab sambil ikut menatap ke arah bengkel yang dimaksud. “Sepertinya sudah tutup, mengingat hari telah menjelang petang,” imbuhnya bergumam.

“San!” panggil Ranty berteriak sambil melambaikan tangannya. “Cepat bawa kemari motormu,” pintanya.

Sandara tidak ikut berteriak, mengingat Levin masih berdiri di sampingnya. Bisa hancur reputasinya jika ia menanggapi panggilan Ranty dengan teriakan juga. Ia hanya mengacungkan jempol tangan kanannya ke arah Ranty, pertanda telah mengindahkan permintaan sahabatnya tersebut. “Saya permisi dulu, Pak,” pamitnya sopan kepada Levin.

Tanpa menunggu tanggapan Levin, Sandara bergegas kembali menuntun motor matic-nya menuju tempat Ranty berdiri. Entah mimpi apa dirinya kemarin malam sampai bisa berdiri sangat dekat dengan laki-laki yang selama ini dikaguminya tersebut.

Melihat sikap Sandara membuat Levin hanya mengangkat bahunya tak acuh. Saat punggung Sandara kian menjauh, ia memilih untuk kembali masuk ke mobilnya.

Di depan bengkel yang hampir tutup, Ranty menatap heran Sandara yang mendekat sambil menuntun motor matic-nya. Bagaimana Ranty tidak merasa heran saat melihat sahabatnya tersebut berjalan sambil senyum-senyum sendiri. Tadi Ranty memang melihat Sandara sedang berbicara dengan seorang laki-laki, sayangnya ia tidak bisa mengenalinya karena jarak mereka cukup jauh dan pandangannya kurang jelas akibat langit yang sudah mulai gelap. Merasa tidak enak ditunggu oleh pemilik bengkel, Ranty menghampiri Sandara dan membantunya menuntun motor matic tersebut.

“Besok jam sembilan atau sepuluh pagi diambil motornya ya, Mbak,” ucap pemilik bengkel setelah melihat sekilas ban belakang motor Sandara.

“Besok?” Sandara terkejut. “Berarti tidak bisa selesai hari ini juga ya, Pak?” tanyanya memastikan.

“Tidak bisa, Mbak,” jawab pemilik bengkel sambil menggeleng. “Kebetulan hari ini saya dan istri mau keluar,” jelasnya memberi alasan.

“Kita pulangnya naik angkutan umum saja, San. Titip saja dulu motornya di sini,” Ranty ikut bersuara. Seperti kesepakatannya tadi dengan pemilik bengkel.

“Baiklah,” jawab Sandara pada akhirnya karena tidak ada pilihan lain. “Kalau begitu saya titip motor saya ya, Pak,” ucapnya.

“Iya, Mbak. Tidak usah khawatir. Motor Mbak aman di sini,” pemilik bengkel menenangkan sekaligus meyakinkan.

“Semoga saja tidak turun hujan ya, San,” ucap Ranty penuh harap saat menyadari keadaan langit yang mendung.

“Iya,” Sandara menanggapinya dengan singkat. Ia sedang melihat pemilik bengkel memasukkan motornya sebelum pergi.

Setelah berpamitan kepada pemilik bengkel, Sandara dan Ranty berjalan bersisian menuju halte terdekat. Belum sempat Ranty menanyakan sosok yang tadi berbicara dengan Sandara, suara klakson mobil mengagetkan mereka dari belakang. Bola mata Ranty hampir saja keluar saat mengenali mobil yang suara klaksonnya tadi menginterupsi langkah mereka.

“Pak Levin?” ucap Ranty tak percaya. “San, aku tidak salah lihat kan?” tanyanya pada Sandara.

Tanpa mematikan mesin mobilnya, Levin keluar. “Bengkelnya tutup?” tanyanya retoris sambil melihat sekilas ke arah bengkel.

“Iya, Pak,” jawab Sandara singkat, sebab ia merasa tidak harus menjelaskan alasannya.

Levin mengangguk. “Jika kalian tidak keberatan, saya bisa memberikan tumpangan.”

“Yang benar, Pak?” tanya Ranty cepat dan penuh antusias. “Tentu saja ti … aw!” ringisnya saat Sandara cukup kuat meremas pergelangan tangannya.

“Tidak usah, Pak. Lagi pula haltenya tidak terlalu jauh dari sini,” Sandara menolak secara halus. Tentu saja ia mempunyai alasan kuat menolak tawaran Levin, yaitu demi kesehatan jantungnya.

Belum sempat Levin menanggapi penolakan Sandara, rintik hujan pun secara tiba-tiba turun. “Naiklah,” titahnya datar, kemudian mendahului kedua mahasiswanya tersebut naik ke mobil.

“I-iya, Pak,” Ranty mewakili Sandara menanggapi titah Levin. “Ayo, San, daripada kita kehujanan dan sakit,” bisiknya pada Sandara. Ia langsung menarik tangan Sandara dan berjalan menyusul Levin.

***

Suasana di dalam mobil yang ditumpangi oleh tiga orang sangat sunyi. Tidak ada salah satu dari mereka yang memulai membuka suara, termasuk sang pengemudi yang merupakan pemilik mobil. Tadi Ranty memohon kepada Sandara agar ia diizinkan duduk di bangku penumpang belakang. Bisa terserang stroke dini Ranty jika berada di bangku penumpang depan karena harus duduk bersebelahan dengan Levin.

Ranty memejamkan mata sekaligus menggigit bibir bawahnya ketika perutnya tidak bisa diajak berkompromi. Bahkan, sangat tidak tahu tempat dan situasi. Saking sunyinya suasana di dalam mobil, sehingga alarm yang dikeluarkan oleh perutnya sangat terdengar jelas. Ia merasakan kini wajahnya terasa panas karena malu atas kekurangajaran perutnya tersebut. Apalagi ia sempat melihat sang pengemudi meliriknya dari spion atas mobilnya.

“Shit!” umpat Ranty dalam hati.

“Ran, Ran, perutmu sangat tidak mempunyai urat malu,” ucap Sandara dalam hati dan berusaha keras untuk menahan tawanya. Ia sampai menggigit bibir bawah bagian dalamnya untuk menahan tawanya agar tidak lolos. Bahkan, ia sengaja melihat keluar jendela untuk mengalihkan perhatiannya.

“Kenapa ke sini, Pak?” Sandara bertanya spontan saat mobil yang dikemudikan Levin berbelok dan memasuki parkiran sebuah restoran.

“Tentu saja untuk makan. Memangnya kamu kalau datang ke restoran ingin membeli obat?” Walau Levin bermaksud bercanda untuk mencairkan suasana, sayangnya nada suara yang keluar dari mulutnya sangat datar. Bahkan, ekspresinya pun tak kalah datar. “Kasihan temanmu, cacing di dalam perutnya sudah berdemo ria,” imbuhnya sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil.

Ekspresi terkejut yang tadinya menghiasi wajah Sandara langsung berubah pias saat mendengar perkataan Levin. “Iya, aku ke restoran memang untuk membeli obat penghilang rasa lapar,” jawabnya dalam hati. “Anak kecil saja tahu tujuan utamanya datang ke restoran,” batinnya menambahkan.

“Tajam dan menohok sekali kata-kata yang dilontarkan Pak Levin. Aku sampai keluar keringat dingin mendengarnya,” gumam Ranty yang juga mendengar dengan jelas perkataan dosen muda tersebut kepada Sandara.

Sebelum keluar dari mobil, Sandara menoleh ke bangku penumpang belakang dan menatap tajam Ranty. “Para cacing di perutmu itu memang sangat tidak tahu situasi dan kondisi,” gerutunya setengah kesal.

Sandara tidak bisa menyalahkan sepenuhnya para cacing yang berulah di dalam perut Ranty, mengingat tadi sahabatnya tersebut melewatkan waktu makan siangnya karena mereka keasyikan berada di perpustakaan. Sebenarnya sekarang Sandara juga sudah lapar, hanya saja tadi ia sempat mengganjal perutnya dengan dua bungkus roti sebelum mendekam di perpustakaan.

“Maaf,” pinta Ranty sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

“Ayo kita turun,” ajak Sandara setelah menghela napas. “Yang punya mobil sudah berada di luar, masa penumpangnya masih anteng di dalam,” sambungnya.

Setelah melihat Sandara dan Ranty keluar dari mobilnya, Levin pun langsung mengunci kuda besinya tersebut. Ia memberi isyarat melalui anggukan kepada Sandara dan Ranty sebelum melangkahkan kakinya memasuki restoran.

“San, kira-kira kita akan ditraktir Pak Levin atau bayarnya nanti sendiri-sendiri?” Ranty berbisik sangat pelan kepada Sandara saat mereka menyusul Levin yang sudah lebih dulu memasuki restoran.

Sandara hanya mengangkat bahunya karena ia memang tidak mengetahui pasti jawabannya. “Yang penting uang di dompet kita cukup untuk membayar makanan masing-masing jika nanti memang tidak ditraktir,” sarannya. “Aku akan memesan makanan yang harganya paling murah di restoran itu,” sambungnya.

Ranty langsung mengangguk karena ia sependapat dengan Sandara. “Aku juga. Makanan dengan harga murah tidak masalah, yang penting bisa membuat perut kita kenyang,” ucapnya menambahkan.

***

Kaki Sandara dan Ranty saling menyikut di bawah meja. Mereka saling melirik dan memberi isyarat saat melihat Levin di hadapannya sedang sibuk memainkan ponsel. Setelah menanyakan makanan yang ingin mereka nikmati, Levin tidak bersuara lagi. Bahkan, hanya bertujuan sekadar basa-basi pun tidak ada. Seperti kesepatakannya tadi saat berjalan, mereka kompak memesan nasi goreng dan air putih, mengingat hanya menu tersebut yang keduanya minati sesuai kondisi dompet masing-masing.

“Maafkan kami, Pak. Gara-gara memberi tumpangan pada kami, Bapak jadi terlambat pulang.” Sandara memberanikan diri memecah keheningan di sela-sela mereka menunggu pesanan makanan masing-masing. “Ya, Tuhan, kenapa aku membuka obrolan dengan topik yang sangat garing?” batinnya bertanya pada diri sendiri.

Mendengar ada yang sedang berbicara dengannya, Levin mengalihkan perhatiannya dari ponsel di tangannya. “Saya yang menawarkan kalian, jadi kamu tidak perlu meminta maaf atau merasa bersalah,” ucapnya sambil menatap intens Sandara dengan sorot matanya yang datar.

Sandara merasakan jantungnya berhenti bekerja memompa darah saat melihat tatapan intens yang dipancarkan oleh mata Levin. Ia merasa semua yang dialaminya beberapa jam lalu dan kini tidaklah nyata, hanya bagian dari halusinasinya saja. Kejadian-kejadian mendadak seperti sekarang sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

“Terima kasih banyak, Pak,” ucap Sandara dengan nada gugup yang tidak bisa disembunyikannya.

“Nikmati makanan kalian masing-masing,” ucap Levin saat melihat kedatangan dua orang waitress membawakan makanan yang mereka pesan. “Pelan-pelan saja kalian menghabiskan makanan masing-masing. Terutama kamu, Ranty, agar perutmu tidak kaget atau sakit,” lanjutnya sambil mengingatkan Ranty.

“Iya, Pak,” jawab Sandara dan Ranty serempak yang disertai dengan anggukan canggung.

Di sela-sela kegiatannya menyuap nasi goreng yang dipesannya, Sandara diam-diam melirik ke arah Levin. Laki-laki tersebut sepertinya sangat menikmati menu makanan yang dipesannya. Tiba-tiba kedua sudut bibir Sandara tertarik ke samping sehingga membentuk sebuah senyuman tipis. Ia tidak pernah membayangkan walau di dalam mimpi sekalipun, bahwa dirinya bisa duduk bersama seperti sekarang menikmati santap malam dengan Levin.

“Saat sedang makan pun Pak Levin sangat mengagumkan, apalagi kalau beliau bercanda, pasti karismanya lebih menguar dan semakin memesona,” batin Sandara berucap. “Ekspresinya yang datar saja sudah membuatku terpana, apalagi saat beliau tersenyum, bisa-bisa aku terjebak hingga akhirnya tenggelam ke dasar pesonanya yang paling dalam,” sambungnya dalam hati.

Ranty yang diam-diam memerhatikan Sandara pun melihat senyum tipis tercetak pada kedua sudut bibir sahabatnya tersebut. Sebelum Levin menangkap basah tindakan Sandara, dengan sangat hati-hati ia menyenggol kaki sahabatnya tersebut di bawah meja. Sambil menikmati makanannya, ia memberi isyarat sekaligus peringatan kepada Sandara melalui tatapan. Ia memperingatkan sahabatnya tersebut untuk tetap mengontrol diri, sebelum mereka malu untuk kedua kalinya.

“Bisa-bisa Barry kejang-kejang jika mengetahui aku dan Ranty menikmati makan malam bersama dengan kakaknya yang sangat tampan,” ucap Sandara dalam hati. “Musibah yang membawa berkah,” batinnya menambahkan.

“Jika kalian ingin menambah makanan, silakan,” ucap Levin berbasa-basi sebelum meneguk jus jeruk tawar di gelasnya.

Sandara dan Ranty dengan cepat sekaligus kompak menggelengkan kepala. “Tidak, Pak. Makanan ini saja sudah membuat perut kami kenyang,” Sandara mewakili Ranty menegaskan.

Levin menanggapinya dengan anggukan. Ia memberi isyarat melalui tangannya kepada Sandara dan Ranty untuk melanjutkan kembali menikmati makanannya masing-masing yang belum habis.

***

Selama dalam perjalanan menuju tempat tinggalnya, Sandara hanya bersuara seadanya sesuai pertanyaan yang Levin lontarkan. Setelah berkendara cukup lama karena terjebak macet, akhirnya mereka tiba juga di indekosnya. Sandara dan Ranty sengaja tidak mengizinkan Levin mengantarnya tepat di tempat tinggalnya, karena banyak teman-teman di indekosnya menuntut ilmu di universitas yang sama dengan mereka. Sudah pasti teman-temannya mengenal Levin, apalagi sosok laki-laki tersebut sangat menonjol di lingkungan kampus dan terkenal di kalangan mahasiswa, terutama di fakultas mereka. Sandara dan Ranty tidak mau jika salah satu temannya di indekos melihat bahwa Levin yang mengantar mereka pulang. Jika hal tersebut sampai terjadi, besoknya nama mereka bisa langsung menggema di seantero kampus karena gosip yang beredar dari mulut ke mulut. Apalagi jika sampai ada yang merekamnya.

Sebenarnya setelah selesai makan di restoran tadi, Sandara dan Ranty sudah ingin pulang dengan menumpang kendaraan umum. Namun, Levin tidak menyetujuinya dengan alasan sudah malam setelah Sandara mewakili Ranty mengutarakan keinginan mereka tersebut. Sandara dan Ranty hanya merasa tidak enak hati saja jika diantar ke indekosnya oleh Levin, apalagi laki-laki tersebut sudah mentraktir mereka makan malam. Akhirnya dengan terpaksa keduanya kembali menerima tawaran Levin yang akan mengantar mereka pulang.

Setelah bertegur sapa sekaligus berbasa-basi sebentar dengan beberapa temannya yang bersantai di halaman indekos, Sandara dan Ranty langsung menuju kamar mereka di lantai dua. Tadi salah seorang temannya juga menanyakan mengenai kedatangan mereka yang tanpa kendaraan seperti biasanya. Sandara dan Ranty dengan jujur memberitahukan bahwa sepeda motornya sedang menginap di bengkel karena bannya pecah.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
no _8
lanjut dong thor...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Secret Romance   Part 3

    Levin mendengar rengekan Barry kepada ayah mereka saat ia memasuki rumah keluarganya. Selama ini ia memang masih tinggal dalam satu rumah bersama orang tua dan adiknya. Sebenarnya ia sangat ingin hidup mandiri dengan tinggal di rumah pribadinya, tapi sang ibu tidak menyetujui pemikirannya tersebut. Daripada membuat sang ibu sedih, akhirnya ia pun memutuskan untuk mengalah. Sang ibu mengizinkannya hidup terpisah saat ia telah berkeluarga nanti. “Vin,” panggil sang ibu dari arah dapur sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan segelas jus melon saat melihat kedatangan putra sulungnya. Karena melihat kedua tangan sang ibu masih memegang nampan, Levin memutuskan hanya mencium kening wanita yang sangat disayangi dan dihormatinya tersebut. “Mereka lagi bahas apa, Ma?” tanyanya pada sang ibu. “Pesta ulang tahun,” Dianti Cantika Adyatama menjawabnya sambil tersenyum. Levin hanya menanggapinya dengan anggukan kepala tak acuh. Bukannya Levin tidak peduli kepada Barry, hanya saja

  • Secret Romance   Part 4

    Levin melakukan kegiatan wajibnya di pagi hari sebelum melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai tenaga pengajar di kampus, yakni berjoging mengitari kompleks tempat tinggal keluarganya. Jika biasanya ia melakukannya seorang diri, tapi tidak dengan pagi ini. Barry ikut dengannya joging mengitari kompleks. Bukan Levin yang mengajaknya, melainkan Barry sendiri yang ingin ikut. Seperti biasa, aktivitas pagi Levin selalu diiringi oleh musik kesukaannya melalui earphone bluetooth yang terpasang pada telinganya. Menurut Levin ikut tidaknya Barry bersamanya, rasanya tetap saja sama. Tidak ada yang istimewa. Ia selalu menikmati kegiatan paginya seperti hari-hari biasa. Tidak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Barry pun menghentikan gerak kakinya. Ia mendengkus sambil mengembuskan napas dengan sedikit keras, walau yakin tidak akan didengar oleh Levin karena telinga kakaknya tersebut telah tersumpal earphone. Sejak mulai menggerakkan kakinya, sang kakak sedikit pun belum ada mengelu

  • Secret Romance   SR 5

    Hari ini kesialan tengah menimpa Sandara sehingga membuatnya harus menahan malu di hadapan semua teman-teman di kelasnya, termasuk Ranty dan Barry. Setelah kelas berakhir, Sandara langsung diminta ikut ke ruangan dosen oleh pengajar yang tadi memberinya materi perkualiahan. Alhasil, kini ia pun sedang duduk sambil menundukkan kepala di hadapan seorang dosen muda dan tampan. Rasa malunya semakin membumbung ketika di dalam ruangan dosen tersebut terdapat seseorang yang selama ini sangat dielu-elukannya. Terlebih kemarin sempat memberinya pertolongan dan mentraktirnya bersama Ranty makan malam di sebuah restoran ternama. Entah kenapa rasa malu yang menderanya kini jauh lebih besar kepada Levin dibandingkan dosen tampan di hadapannya. Padahal sangat jelas urusannya saat ini dengan dosen tampan yang duduk tepat di hadapannya. “Sampai kapan kamu akan terus menundukkan kepalamu seperti itu, Sandara?” Dimas bertanya sambil terkekeh melihat mahasiswi di hadapannya. “Saya tidak marah atas tinda

  • Secret Romance   Part 6

    Di kediaman Adyatama, pasangan Saguna dan putri bungsunya sedang berkunjung sekaligus untuk memenuhi undangan makan malam dari sang tuan rumah. Firman Saguna dan Gibran sudah menjalin persahabatan sejak keduanya masih menduduki bangku sekolah menengah pertama. Bahkan, setelah sukses dengan bisnis masing-masing dan sudah sama-sama berkeluarga pun keduanya masih menjadi sahabat akrab, meski mereka tidak selalu bisa menghabiskan waktu bersama. Sebenarnya acara makan malam berlangsung satu jam lagi, tapi keluarga Saguna sengaja datang lebih awal dari waktu yang diberitahukan, karena sang istri ingin membantu Dianti membuat hidangan. Lagi pula tidak ada salahnya juga bagi Firman untuk datang lebih awal, jadi ia bisa mengajak Gibran bermain catur sambil menunggu istri masing-masing dibantu sang putri membuat hidangan makan malam. “Anak-anakmu belum ada yang pulang, Bran?” Firman bertanya kepada Gibran saat mereka sedang bermain catur di ruang keluarga kediaman Adyatama. “Sudah. Mereka ada

  • Secret Romance   Part 7

    Menyadari saat ini dirinya masih bersama orang tuanya di dalam mobil setelah meninggalkan kediaman Adyatama, Sava berusaha keras mengontrol bibirnya agar tidak menyunggingkan senyuman lebar dan semringah karena besok ia akan bepergian bersama Levin satu hari penuh. Untuk mengalihkan pikirannya dari ingatan atas setiap obrolannya tadi bersama Barry dan Levin, Sava sibuk memainkan benda pipih kesayangannya. Sava hanya tidak ingin perasaan antusias sekaligus kegirangan hatinya disadari atau tertangkap basah oleh orang tuanya, karena hal tersebut akan membuatnya sangat malu. Sava langsung mengalihkan perhatiannya dari ponsel di tangannya saat mendengar pembicaraan orang tuanya yang menyebut nama Dinda, salah satu sepupu perempuannya dan yang paling dekat dengannya. Sava baru menyadari bahwa mobil yang ditumpanginya bersama orang tuanya ternyata sudah memasuki halaman rumah keluarga Saguna. Setelah mobil yang membawanya beserta orang tuanya terparkir rapi di carport, Sava pun turun lebih d

  • Secret Romance   Part 8

    Usai membeli bahan-bahan yang dibutuhkannya untuk nanti malam di salah satu supermarket yang tadi dilewatinya dan mengisi perut masing-masing di sebuah rumah makan, Barry mengajak ketiga sahabatnya melanjutkan perjalanan menuju vila. Kini di dalam mobil tidak ada lagi yang tidur, karena kuda besi milik Barry sudah memasuki lokasi vila yang menjadi tempat tujuan mereka. Sayang saja rasanya jika mereka mengabaikan pemandangan hijau sekaligus menyejukkan mata di sisi kanan dan kiri yang dilewati oleh mobil Barry. Tidak hanya itu, mereka juga melewati banyak vila yang dari luar terlihat sangat nyaman jika ditempati. “Kira-kira kapan ya aku bisa mempunyai vila seperti itu?” tanya Deni yang tengah memandangi bangunan yang dijumpainya. “Yang jelas nanti saat kamu kaya dan mempunyai banyak uang, Den. Pasti vila-vila di sini harganya ratusan juta. Bahkan, bisa jadi ada yang harganya sampai milyaran,” Ranty menjawab sekaligus menimpali. “Tujuanku ingin mempunyai vila bukan untuk dijadikan tem

  • Secret Romance   Part 9

    Sejak jam lima sore Barry dan para sahabatnya sudah mulai sibuk mempersiapkan acara makan malam bersama sekaligus sebagai perayaan sederhana ulang tahunnya. Berhubung cuaca mendukung, Barry pun memutuskan akan makan malam di luar ruangan sambil menikmati pemandangan alam di malam hari. Supaya acara memanggang nanti lancar, Barry menyuruh Sandara dan Ranty membantu Bi Sri menyiapkan semua bahan-bahannya di dapur, termasuk bumbu. Ketika tiba saatnya untuk memanggang, baru semua bahan-bahan yang telah siap tersebut dibawa ke halaman samping vila. Sandara menoleh di sela-sela kegiatannya mengiris jamur karena nanti ia juga ingin memanggang beberapa jenis sayuran. Ia tersenyum tipis saat melihat Dinda memasuki dapur. “Hai, Din,” sapanya berbasa-basi. “Hai,” Dinda membalas sapaan Sandara seadanya. Tujuannya ke dapur untuk melihat jenis minuman yang nanti mereka konsumsi saat acara makan malam. “Barry benar-benar payah. Perayaan macam apa yang akan dibuatnya, jika minuman beralkohol rendah

  • Secret Romance   Part 10

    Malam semakin larut, udara pun kian dingin menusuk pori-pori kulit walau tubuh telah berlapis pakaian tebal. Setelah bersama-sama menaruh kembali perlengkapan yang digunakan saat memanggang di halaman ke dapur, semua orang pun bergegas memasuki vila untuk melindungi diri dari dinginnya udara malam. Kecuali Levin, semuanya menempati kamar yang ada di lantai dua di vila tersebut. Sebelum memasuki kamar masing-masing dan mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah, Barry mengumpulkan teman-temannya di ruang keluarga. Ia mengajak teman-temannya tersebut membuat kegiatan untuk besok pagi, mengingat mereka akan kembali ke Jakarta ketika siang atau sore harinya. Tidak mungkin mereka akan menghabiskan waktunya untuk rebahan atau berdiam diri di dalam vila saja. “Bar, aku izin mengambil power bank sebentar ke kamar,” interupsi Dinda di sela-sela Barry dan yang lainnya merembugkan tentang kegiatan besok. “Din, tolong ambilkan juga power bank punyaku,” Sava menimpali karena daya baterai ponselnya

Latest chapter

  • Secret Romance   Part 37 – The End

    Sudah sebulan hubungan Sandara dan Levin tidak lagi sebatas menjadi orang tua untuk Stella. Sejak Levin mengatakan bersedia membuka hati untuk Sandara, kini hubungan suami istri yang mereka jalani sudah melibatkan hati. Walau Levin masih berusaha menerima sepenuhnya cinta yang diberikan oleh Sandara, tapi laki-laki tersebut sudah tidak terlalu canggung atau kaku ketika berinteraksi dengan sang istri yang kini juga sebagai kekasihnya. Rumah tangga mereka pun kini terasa lebih hidup dan berwarna dibandingkan sebelumnya, apalagi dengan perkembangan Stella yang sungguh mengagumkan. Di usia Stella yang kini telah menginjak tujuh bulan, batita mungil tersebut sudah mulai belajar berdiri. Selain itu, Stella juga sudah bisa memanggil orang tuanya walau hanya sebatas sebutan singkat. Sandara membawa beberapa potong cake yang dibeli setelah makan malam oleh Barry ke ruang keluarga untuk mereka nikmati bersama. Hari ini sahabat sekaligus adik iparnya tersebut ikut makan malam bersamanya dan Levi

  • Secret Romance   Part 36

    Memenuhi permintaan Dianti, akhirnya Levin mengajak Sandara dan Stella menginap di kediaman orang tuanya. Usai membicarakan urusan bisnis dengan Gibran di ruang kerja sang papa setelah mereka makan malam bersama yang lainnya, Levin memasuki kamarnya untuk beristirahat menyusul istri dan anaknya. Saat membuka pintu, Levin langsung disambut oleh keadaan kamar yang pencahayaannya sudah tidak terlalu terang karena lampu utama telah dipadamkan. Setelah berada di dalam kamar, Levin tidak melihat Sandara berbaring di atas ranjang mereka seperti dugaannya. Ketika Levin menoleh ke arah balkon, ia melihat Sandara tengah berdiri di sana seraya memeluk tubuhnya sendiri melalui pintu penghubung yang tirainya tidak tertutup sempurna. Sebelum menghampiri Sandara, terlebih dulu Levin melihat sekaligus memastikan Stella yang masih terlelap di dalam box bayinya. Sandara langsung menoleh ketika mendengar suara pintu di belakangnya terbuka. “Stella bangun, Kak?” tanyanya saat melihat Levin berjalan ke ar

  • Secret Romance   Part 35

    Walau sudah dua hari berlalu, tapi Levin masih bersikap tak acuh kepada Sandara. Interaksi keduanya pun kini tidak seakrab dulu dan hal tersebut membuat Sandara semakin merasa bersalah. Sandara mengerti jika Levin masih kesal sekaligus kecewa terhadapnya karena tindakan lancangnya, ia pun mencoba menerima konsekuensinya dengan lapang dada. Sejak pulang dari kantor tadi, Levin mengabaikan Sandara. Jika pun Sandara bertanya, Levin hanya menanggapi seadanya dengan nada datar. Makan malam yang biasanya mereka selingi dengan obrolan ringan pun menjadi hening. Ketika tadi Sandara mencoba membuka obrolan basa-basi dengan menceritakan tingkah Stella hari ini, Levin terlihat tidak tertarik. Suaminya tersebut hanya menanggapi ucapannya dengan tak acuh. Sandara juga sempat beranggapan bahwa Levin sengaja makan sedikit supaya suaminya tersebut tidak perlu berlama-lama berada di dekatnya. Bukan hanya itu, Sandara juga menduga jika Levin tidak mau memakan masakan yang sudah dibuatnya. Sandara kelu

  • Secret Romance   Part 34

    Setibanya di dalam rumah Levin langsung mencari Sandara di kamar mereka seperti yang tadi diberitahukan oleh Mirna yang sedang menyiram tanaman di halaman depan. Ketika membuka pintu kamar, Levin langsung disambut oleh suara Sandara yang sedang mengajak Stella bercengkerama dari arah kamar mandi. Biasanya ucapan Sandara hanya ditanggapi dengan gumaman tak jelas oleh putri semata wayang mereka. Tanpa membuang waktu lagi, Levin bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi karena ia tidak mau melewatkan ekspresi menggemaskan wajah Stella ketika sedang mendengarkan orang mengajaknya berinteraksi. Terlebih ketika Stella tersenyum manis dan tertawa renyah saat merespons perkataan yang ditujukan padanya. “Ternyata anaknya Papa yang paling cantik ini masih mandi,” Levin berkata setelah berdiri di depan kamar mandi yang pintunya sengaja tidak ditutup oleh Sandara. Levin menggulung lengan kemejanya sebatas siku sambil berjalan menghampiri Sandara yang masih memandikan Stella. Walau cukup t

  • Secret Romance   Part 33

    Sandara menyelesaikan makan siangnya terlebih dulu daripada Dianti dan Barry, sebab Stella yang tadi ia letakkan pada baby bouncer sudah mulai menangis karena haus. Sandara juga meminta izin kepada ibu mertua dan adik iparnya tersebut untuk ke kamar karena ia ingin menyusui sekaligus menidurkan Stella. Sandara yang tengah duduk di atas ranjang sambil menyusui Stella dan bersenandung kecil, menoleh ketika mendengar ponselnya di permukaan nakas berbunyi. Sandara mengangsurkan sebelah tangan yang tadi digunakan menepuk lembut paha Stella untuk mengambil benda pipih tersebut. “Ternyata Papamu yang menelpon, Nak. Pasti Papamu sudah merindukanmu,” ucap Sandara kepada Stella yang masih terjaga, seolah putrinya tersebut mengerti yang ia katakan. “Halo, Kak,” Sandara menjawab panggilan Levin sambil tetap menatap wajah putrinya. “Sudah makan siang?” Levin bertanya sambil memainkan pena di tangannya. “Sudah, Kak. Kebetulan hari ini Mama dan Barry berkunjung, jadi kita makan siang bersama. Kak

  • Secret Romance   Part 32

    Di tengah-tengah kebahagiaan Sandara atas kelahiran putrinya, di sudut hatinya yang lain ia merasakan kesedihan karena pesan singkat yang sengaja dirinya kirimkan kepada orang tuanya hingga kini belum juga mendapat tanggapan. Setelah menghadiri acara pernikahannya dan Levin, Sandara memang sudah tidak ada komunikasi lagi dengan orang tuanya. Bukan Sandara yang tidak mau berinteraksi, melainkan orang tuanya sendiri yang memutuskan untuk tidak menjalin komunikasi lagi dengannya. Beberapa bulan setelah berstatus sebagai seorang istri dan menjadi bagian dari keluarga Adyatama, Sandara pernah menghubungi orang tuanya, sayangnya pasangan Baskara tersebut mengabaikannya. Setiap kali Sandara menghubungi telepon rumah orang tuanya, yang menjawab selalu Bibi Puspa atau Asti. Walau Sandara kecewa, tapi ia tetap menanyakan kabar orang tuanya tersebut kepada Bibi Puspa atau Asti. Sandara bisa menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya dari kedua mertua dan adik iparnya, tapi ia tidak perlu melakuka

  • Secret Romance   Part 31

    Perjuangan panjang sekaligus melelahkan Sandara melahirkan sang anak membuat Levin sangat terharu. Bahkan, Levin sampai menitikkan air mata karena saking terharunya. Tepat jam dua pagi Sandara telah melahirkan anaknya yang berjenis kelamin perempuan melalui proses persalinan normal. Sejak membawa Sandara ke rumah sakit kemarin sore karena kontraksi yang dialaminya berkelanjutan, Levin sedikit pun tidak pernah meninggalkan istrinya tersebut. Levin selalu setia ada di dekat Sandara. Bahkan, Levin seperti ikut merasakan kesakitan Sandara setiap kali kontraksi menghampiri istrinya tersebut. Saat Sandara dipindahkan ke ruang bersalin, Levin juga meminta kepada Dokter Fitri untuk diizinkan ikut masuk agar ia bisa menemani sekaligus menyaksikan langsung kelahiran anaknya. Saat ini Sandara sedang duduk setengah bersandar di atas ranjang pasien. “Kakak tidak ke kantor?” tanyanya kepada Levin yang tengah menimang putri mereka. “Saya tidak apa-apa ditinggal, Kak. Sebentar lagi juga Mama datang d

  • Secret Romance   Part 30

    Bukan tindakan yang mudah bagi Levin dalam membujuk dan meyakinkan Dianti mengenai kepindahannya bersama Sandara ke apartemen. Tentu saja Levin mengetahui jelas alasan utama Dianti sulit mengizinkannya membawa Sandara pindah ke apartemen. Setelah Sandara turun tangan ikut membujuk dan meyakinkan Dianti, akhirnya keinginan Levin pun dikabulkan oleh wanita paruh baya yang sangat dihormati sekaligus disayanginya tersebut. Kini sudah dua bulan Levin dan Sandara tinggal hanya berdua di apartemen. Walau sudah tinggal terpisah, tapi Dianti sering datang ke apartemen Levin terutama ketika jam makan siang tiba. Kadang Dianti juga menyuruh sopir menjemput Sandara ke apartemen untuk datang ke kafenya dan mengajak menantunya tersebut makan siang bersamanya. Bukan hanya Dianti, Barry juga sering datang ke apartemen Levin bersama Ranty jika mereka sedang tidak ada jam kuliah. Tentu saja sebelumnya Barry sudah meminta izin dulu kepada Levin, mengingat saat ini status Sandara tidak hanya menjadi saha

  • Secret Romance   Part 29

    Sepulangnya keluarga Saguna dari kediaman Adyatama, Sandara langsung meminta maaf kepada mertuanya atas kelancangannya tadi. Sebelum meninggalkan kediaman Adyatama, Firman dan Jihan juga sempat meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Sandara atas perbuatan tidak terpuji yang telah dilakukan oleh Dinda selaku keponakan mereka. Sandara tidak memberikan maaf karena bukan Firman dan Jihan yang berbuat jahat padanya, meski Dinda adalah anggota keluarga mereka juga. Bagi Sandara, siapa yang telah berani melakukan perbuatan jahat, maka orang tersebutlah yang harus bertanggung jawab dan meminta maaf. Apalagi jika tindak kejahatan tersebut sudah direncanakan dan dilakukan secara sengaja. Setelah Levin memberikan penegasan kepada Sava tentang statusnya kini, perempuan tersebut tidak ada bersuara lagi. Sandara juga telah melupakan dimsum yang dipesannya. Malam ini Sandara tidur tidak menempel dengan Levin seperti biasanya. Posisi tidur Sandara saat ini berbaring menyamping dan memunggungi Levin. Ba

DMCA.com Protection Status