Beranda / Romansa / Secret Identity / 2 || Pria Arogan

Share

2 || Pria Arogan

Penulis: Ayzahran
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-16 10:27:17

Seorang wanita sedang duduk di sebuah bangku, pinggiran danau. Pandangannya mengamati beberapa kawanan burung berputar-putar di atas permukaan danau. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menuju ke arahnya. Wanita itu mendongak melihat seseorang di hadapannya menyodorkan setangkai mawar putih. Dia bersimpuh, menatap kedua netra bening miliknya yang tampak teduh.

“Maaf karena membuatmu menunggu lama.”

Wanita itu tersenyum, lalu menerimanya. “Bukankah sudah biasa!”

“CUT!”

Lelaki paruh baya yang duduk tak jauh dari posisi mereka lantas bangkit dari tempat duduknya.

“Bagus Aldebaran! Aktingmu sempurna!” puji lelaki berkumis tebal yang berprofesi sebagai sutradara.

Pria dengan gaya rambut samping klimis itu menyunggingkan senyum. Kemudian ia berjalan menuju tempat yang sudah disiapkan untuknya.

“Syuting hari ini kita break sampai setelah makan siang,” ujar Arman.

Aldebaran hanya mengangguk singkat dan duduk melempar punggungnya pada sandaran kursi.

“Al, malam ini kau ada acara?” tanya Liona, lawan main Aldebaran.

Aldebaran tidak menjawab, dia melirik seklias ke arah manajernya. Firman Cahyono, pria bertubuh tambun yang duduk tak jauh dari Aldebaran.

“Dia punya banyak schedule. Lain kali saja!” sahut Firman.

“Kau masih saja bersikap dingin, Al. Padahal kita sudah kenal lama,” kata Liona lalu beranjak pergi.

Aldebaran tidak menanggapi ucapan Liona. Dia meneguk jus jambu hingga tandas.

“Aku mau pergi ke RAM Corp,” ucap Aldebaran sembari bangkit dari duduknya.

Firman mengangguk ringan dan berbicara dengan sutradara untuk keluar sebentar.

Setelah dua puluh menit menempuh perjalanan, mobil Aldebaran memasuki pelataran parkir. Dia segera turun dari mobil dan berjalan lebih dulu.

Masih sama seperti biasa, Aldebaran selalu menjadi pusat perhatian ketika langkahnya melewati pintu utama. Tampan dan karismatik serta pembawaannya yang dingin juga arogan sudah melekat pada kepribadiannya.

Langkahnya perlahan melambat saat netra amber itu memandang gadis yang sedang membersihkan lantai.

Dia gadis yang kemarin! Senyumnya tersungging. Aldebaran melanjutkan langkah, dengan entengnya dia melewati lantai yang baru saja di pel.

Tidak menunggu lama, Aldebaran kembali menahan langkah. Dia tampak terkejut saat ujung pel mengudara dan hampir mengenai hidung mancungnya. Hanya berjarak beberapa senti saja.

Aldebaran menoleh murka. Tatapannya menyorot tajam. Gadis itu telah berani melakukan hal tidak baik padanya. Firman hendak maju, kembali terdiam di tempat melihat isyarat tangan dari Aldebaran untuk tidak melakukan apa pun.

“Enak saja main pergi! Bukankah Anda lihat saya sedang membersihkan lantai ini? Di sana sangat luas jika hanya untuk berjalan menuju lift, kenapa tidak lewat sebelah sana?!”

Aldebaran melirik name tag yang tertera pada id card. Jihan Azzahra!

“Kau tidak berhak mengaturku. Jika kotor, tinggal bersihkan. Masalah selesai!” katanya angkuh.

“Mana bisa begitu? Anda bukan bos di perusahaan ini. Jadi, jika Anda berbuat salah, harus minta maaf!” sanggah Rara mulai kesal.

Aldebaran sedikit menunduk, menyejajarkan posisinya dengan Rara yang hanya tinggi sebahu. Tatapan Aldebaran mengunci sesaat. Rara menjauhkan wajahnya. Tidak sudi jika dekat-dekat dengan ‘pria arogan’. Itu sebutannya untuk Aldebaran.

“Aku salah satu pemilik perusahaan ini. Jadi, jangan coba-coba memerintah. Kita beda level!” sarkas Aldebaran lalu melanjutkan langkahnya dengan acuh.

Dasar menyebalkan. Pria tidak waras. Bagaimana mungkin ada orang seperti dia di muka bumi. Sepanjang Rara berteman dengan beberapa orang yang mungkin lebih waras darinya, baru kali ini Rara berjumpa dengan orang macam dia.

Rara mengambil napas alih-alih mencoba tenang. Dia harus menggosok lagi lantai yang dikotori jejak sepatu pria arogan itu.

***

Aldebaran memasuki ruangan utama tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Orang yang berada dalam ruangan itu sudah tahu persis kebiasaannya. Dia bahkan sama sekali tidak mengalihkan atensinya dari beberapa berkas di atas meja.

“Bukankah hari ini kau sedang syuting?” Dia menutup berkas dan bangkit dari duduknya.

Aldebaran melihat ke arah papan nama yang tertera di meja. Angga Wijaya, CEO.

“Akhirnya posisi itu terisi juga!” ujar Aldebaran—melempar punggung pada sandaran sofa.

Angga mendekat dan duduk di hadapannya. Dia ikut bersandar dengan satu tangan direntangkan pada punggung sofa.

“Itu harusnya kau yang tempati. Bukankah sudah menjadi tanggung jawabmu. Aku bahkan harus beralih ke sini hanya karena keras kepalamu!”

“Itu bukan profesiku. Lagi pula, itu cocok untukmu yang suka bekerja di balik meja.” Aldebaran menyahut santai.

“Bawakan aku kopi. Sepuluh menit lagi aku harus kembali ke lokasi syuting,” katanya lagi. Dia merebahkan badannya di sofa.

Angga hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Aldebaran. Tidak mengherankan, Angga satu-satunya orang yang bisa tahan menghadapi dia.

“Tunggu, aku ingin kau meminta pegawai baru yang membawakannya!” pinta Aldebaran kembali bangun lalu menyandarkan punggungnya.

Alis Angga mengernyit. “Ada sepuluh pegawai yang baru bekerja di perusahaan ini.”

“Jihan, namanya Jihan Azzahra. Aku mau dia yang membawakanku kopi,” tutup Aldebaran seraya memejamkan kedua matanya.

Angga menarik napas pelan sebelum mengangkat gagang telepon. Dia menekan tombol otomatis dan meminta pegawai yang bernama Jihan mengantarkan kopi ke ruangannya.

Berselang lima menit, suara ketukan pintu terdengar. Rara yang masuk dengan santun, mendadak raut wajahnya berubah datar. Dia harus bertemu lagi dengan pria arogan yang merusak pagi bahagianya.

“Ini kopinya, Pak!” Rara menaruh di meja Angga.

“Bukan untuk saya, tetapi untuk Al!” Angga menunjuk dengan dagu ke arah Aldebaran yang tampak dingin.

Rara tersenyum kikuk. Dia mengambil kembali kopi lalu meletakan dengan perlahan di hadapan Aldebaran.

“Ini kopinya, Pak!” Rara berusaha menahan diri, dia menarik bibir membentuk senyuman paksa.

Aldebaran tidak menanggapi. Dia segera meneguk kopi hitam itu.

“Terlalu manis!” protesnya sambil menaruh cangkir di atas meja dengan kasar.

Alis Rara menekuk samar. Rara dengan cepat menaruh cangkir kopi di nampan dan undur diri keluar. Tak lama setelah itu, Rara kembali dengan secangkir kopi baru. Kali ini dia memastikan takarannya pas. Rara mengetuk pintu dan masuk ke dalam.

Aldebaran melirik singkat lalu mencicipinya. Tampak jelas raut wajahnya berubah. Aldebaran menaruh di atas meja dengan tak kalah kasar.

“Tidak ada rasa! Pahit! Apa seperti ini cara menyajikan kopi?!” Nadanya meninggi. Kali ini Rara mulai hilang kesabaran. Sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak menanggapi pria arogan itu di depan bosnya.

“Al, jaga sikapmu. Tidak baik berlaku kasar seperti itu,” ucap Angga merasa tidak enak melihat ekspresi Rara yang terlihat jelas menahan kesal.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya akan buat yang baru!”

Rara mengambil lagi dan membawa keluar. Dia mendesah kasar alih-alih mengipas jemari karena asap kemarahan yang mulai mengepul. Rara kembali ke dapur. Dia menaruh nampan dengan kasar. Rara mengambil cangkir baru, sialnya stok kopi yang diminta pria arogan itu tersisa satu dan itu sudah dia seduh sebelumnya. Rara memutar otak mencari akal.

Rara menjentikkan jarinya. Dia membuang sedikit kopi sebelumnya hingga tersisa setengah dan menyiram air panas lalu menambahkan seperempat sendok gula. Rara mengangguk mantap ketika memastikan tidak ada lagi kesalahan.

Sebelum masuk ke dalam ruangan Angga, Rara mengambil napas panjang untuk menenangkan dirinya.

“Ini yang terakhir, Pak. Kali ini Bapak tidak akan kecewa!” kata Rara merasa yakin.

Tidak ada tanggapan, dia kembali mencicipi. Aldebaran menatap Rara beberapa detik. Dia menarik napas dalam dan menaruh cangkir kopi di meja dengan pelan.

“Kopi apa ini?” Sikapnya tidak lagi sama. Seakan aura dingin menyeruak. Bulu kuduk Rara bahkan sedikit meremang.

“Kau memberiku kopi yang sama! Dan itu adalah kesalahan besar,” ucap Aldebaran lebih lembut tetapi dengan penekanan.

Rara menundukkan wajahnya. Tidak ingin menatap Aldebaran seperti sebelumnya. Kilatan matanya benar-benar menunjukkan amarah yang terpendam.

“Maaf, Pak. Kopi yang Bapak mau, kebetulan stok sisa satu. Jadi, sebisa mungkin saya mengakalinya,” jelas Rara.

Aldebaran menggebrak meja. Tatapannya menyorot tajam ke arah Rara.

“Dasar bodoh! Kopi itu disimpan terpisah pada rak paling atas sebelah kanan.”

Mana aku tahu tempatnya di situ. Bukan salah aku kalau tidak tahu-menahu, batin Rara kesal.

“Maaf, Pak. Saya tidak tahu!”

“Mulai hari ini kamu dipecat!” tegas Aldebaran menyibakkan tangan menyuruh Rara keluar.

Rara bergeming. Dia menatap kaku ke arah Angga yang hanya mendesah pelan. Rara meremas ujung bajunya dengan kuat. Dia tidak bisa menerima perlakuan pria arogan itu padanya.

“Pak Angga kenapa diam saja? Mana bisa saya dipecat seperti ini. Bukankah Bapak pemilik perusahaan ini?” Rara rasanya ingin menangis. Dia mendekat pada Angga yang duduk di sebelah Aldebaran.

“Saya memang yang memimpin perusahaan ini, tetapi yang memiliki wewenang atas perusahaan ini adalah adik saya.”

Aldebaran bangkit dari duduknya dan beranjak dari tempat itu. Tidak ada senyum hanya raut arogan yang senantiasa ia tunjukkan.

Tangan Rara mengepal, berusaha menahan bulir bening yang hampir  saja menetes. Dengan cepat, Rara mengejar Aldebaran.

“Tunggu!” Rara merentangkan tangannya menghadang langkah pria arogan itu.

“Tolong jangan pecat saya! Saya harus membiayai pengobatan ibu saya, Pak!” Rara memohon. Dia harus melakukan apa pun untuk mendapatkan pekerjaan yang bahkan belum sehari dia lakukan.

Aldebaran tidak menanggapi, dia menggeser tubuh Rara dengan kasar.

“Saya mohon, Pak!” Rara menahan tangan Aldebaran.

Aldebaran menyentak tangan Rara. Dia mendekatkan wajahnya, menatap Rara lebih dekat. Senyumnya menyungging sempurna. Terlihat jelas kilatan matanya penuh dengan rasa puas. Rara menggigit bibir bawahnya. Dia menyadari arti senyuman itu.

Pria arogan ini membalas dendam padaku. Astaga, kenapa aku baru menyadarinya. Rara membatin.

“Firman, posisi asisten pribadi masih kosong kan? Suruh dia untuk bekerja mulai besok!” Aldebaran melirik sekilas dan melanjutkan langkahnya dengan acuh.

Pijakan Rara mendadak lemas. Bisa dipastikan hari-hari buruknya akan dimulai besok. Demi sang ibu, Rara tidak ada pilihan lain! []

Bab terkait

  • Secret Identity   3 || Di luar Dugaan

    Rara menarik napas lelah. Dia meluruskan kakinya. Aldebaran benar-benar menguras tenaganya hari ini. Rara harus membersihkan setiap sudut apartemen milik Aldebaran. Pria arogan itu bukan menjadikannya asisten pribadi, melainkan asisten rumah tangga. Tiga jam yang lalu .... Rara berlari menyusuri trotoar, dia berpacu dengan waktu. Angkutan umum yang dinaiki Rara, tiba-tiba mogok. Rara terpaksa mengambil jalan pintas untuk segera sampai, beruntungnya apartemen yang ditinggali Aldebaran sudah dekat. Rara mengatur napasnya yang tersengal, dia memegang kedua lutut lalu melirik jam di pergelangan tangan. Lima belas menit lagi. Dia tidak boleh terlambat, telat sedikit saja Rara akan kehilangan pekerjaannya. Dengan cepat Rara berlari masuk ke dalam. Rara segera menekan tombol lift. Dia berharap cemas menunggu pintu itu terbuka, terasa seakan nyawanya di ujung tanduk. Pekerjaan ini sangat penting baginya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-20
  • Secret Identity   4 || Canggung

    Rara saat ini sedang berada di dalam mobil Aldebaran. Dia tengah duduk diam sambil sesekali menoleh ke arah pria arogan itu. Suasana canggung menyelimuti, entah bagaimana dengan Aldebaran. Rara menimbang sejenak sebelum melontarkan pertanyaan yang sejak tadi mengganggunya.“Apa aku terlihat seperti sopir pribadimu?!” tegas Aldebaran masih dengan atensinya lurus ke depan. “Aku tidak suka basa-basi,” lanjutnya lagi.Rara menggigit bibir bawahnya. Aldebaran memang sangat tanggap. Dia bisa menebak gerak-gerik Rara. Rara sedikit membalikan badan ke arahnya.“Kita kau ke mana? Dan pekerjaan yang Pak Al maksud itu apa?” tanya Rara sedikit ragu-ragu.Tidak ada jawaban. Aldebaran memutar kemudi, lalu mengambil jalan lain. Alis Rara berkerut, ini jalan menuju rumahnya. Rara menoleh lagi, tidak ada penjelasan sedikit pun. Sebenarnya apa yang mau dilakukan Aldebaran. Dia ingin kembali bertanya—mengurungkan niat, menatap wajah A

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-24
  • Secret Identity   5 || Kemarahan yang Membingungkan

    Rara berjalan terhuyung-huyung sambil memegang barang belanjaan milik Aldebaran. Tangannya sudah tidak kuat lagi memegang paper bag dan beberapa dus yang berisi sepatu. Sebisa mungkin, Rara membawa dengan hati-hati. Dia tampak kelelahan, sejak tadi Rara berputar-putar mencari barang yang ditulisnya sesuai perintah Aldebaran. Sudah hampir sejam lebih, Rara berada dalam sebuah pusat perbelanjaan.“Pria arogan itu membuatku harus bekerja keras untuk ini. Mana semuanya berat. Ya, ampun tanganku tidak kuat lagi.”Rara melepaskan beberapa paper bag dan dus sepatu ke lantai begitu saja. Dia duduk bersandar pada pembatas pagar untuk melepas penat sejenak.Ponsel Rara berdering, pria arogan itu menelpon. Segera Rara menggeser icon berwarna hijau.“Iya, Pak.”“Sudah semua, Pak. Aku istirahat sebentar. Kakiku sangat lelah, sejak tadi berputar-putar mencari daftar barang yang Pak Al inginkan.”

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-26
  • Secret Identity   6 || Kehadiran mendadak

    Pagi-pagi buta Rara sudah melakukan olahraga lari. Aldebaran memang sangat menyebalkan. Dia menyuruh Rara datang menemuinya jam lima pagi. Jalanan masih tampak sepi, hanya beberapa kendaraan yang lalu-lalang. Rara bahkan tidak boleh terlambat walau satu detik pun. Pria arogan itu menunggu di taman.Napas Rara tersengal ketika baru saja sampai. Dia memegang dadanya yang naik turun. Aldebaran memakai earphone dengan kedua mata terpejam. Tangan Rara menggapai ujung bangku, masih mengatur napasnya, serasa jantungnya hampir copot. Rara duduk sebentar dan meluruskan kakinya.“Aku tidak menyuruhmu duduk,” ucap Aldebaran masih dengan mata terpejam.“Istirahat sebentar, Pak. Aku berlari sejauh 700 meter untuk sampai ke sini,” keluh Rara.“Aku tidak mendengar apa pun! Bawakan aku air. Ada di mobil. Cepat ambil!” perintah Aldebaran. Masih dengan mata terpejam. Entah lagu apa yang ia dengar.Rara mendengus. Dia

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-01
  • Secret Identity   7 || Pertemuan kembali

    Rara merasa tidak asing dengan suara wanita itu, dia seperti pernah mendengar suaranya. Tatapan Rara kembali mengarah pada Aldebaran yang menyentak tangan wanita itu dengan kasar. “Aku masih sama. Tidak berubah!” jawab Al tegas. Rara mengingatnya. Dia wanita yang pernah menelepon Aldebaran. Raut Rara berubah ketika mengingat perkataan Angga waktu itu. Dia pasti Monika, batin Rara menerka. “Aku merindukanmu, Al. Bisakah kita bicara berdua saja?” tanyanya. Dia menoleh ke arah Rara. Rara menyadari maksud tatapan wanita itu, mencoba untuk melepaskan diri. Tidak berhasil. Aldebaran makin mengencangkan cengkeramannya. Rara bahkan meringis dengan suara tertahan. Rasa perih menjalar di area pergelangan tangan. “Aku sibuk! Tidak punya waktu untuk bicara denganmu!” kata Aldebaran tanpa menatap wanita itu. “Sekali ini saja, biarkan aku

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-03
  • Secret Identity   8 || Kekesalan

    Range Rover hitam milik Aldebaran melaju di atas jalan bebas hambatan. Guratan tegas di wajahnya yang tampan sedang tidak baik-baik saja. Pikiran-pikiran meresahkan mulai tumbuh lebat di kepalanya. Semenjak pertemuan kembali dengan Monika setelah tiga tahun, Aldebaran tidak bisa mengontrol diri. Dia bahkan mengabaikan panggilan masuk dari Firman yang sejak tadi berharap cemas di tempat lain. Aldebaran melewatkan syuting hari ini. Pikirannya kalut, dia butuh tempat untuk menenangkan diri. Setelah membela jalanan lenggang ibukota, mobil mewah Aldebaran memasuki pelataran sebuah tempat yang tentunya masih sepi pengunjung, lalu menepikan mobilnya. Aldebaran segera masuk ke dalam, dia mengedarkan pandangannya, lalu menuju tempat yang biasa ia duduki, di sudut ruangan yang tenang dan nyaman. Seseorang datang dengan nampan berisi sebotol minuman dan gelas kaca. Sudah menjadi hal lumrah jika Aldebaran sudah datang berkunju

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-07
  • Secret Identity   9 || Merepotkan

    Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, Rara memarkirkan mobil Aldebaran. Di sana, Firman dan dua orang pria sudah menunggu mereka. Firman dan dua pria itu memapah Aldebaran menuju lift. Rara menghela napas. Tugasnya sudah selesai, dia harus segera pulang. Rara lantas beranjak, dia menapak santai hingga mendekati ke arah gerbang. Mendadak, Rara menahan langkah, tangannya meraba saku celana mencari ponselnya. Tidak ada. Rara menepuk dahi, ponselnya tertinggal di dalam mobil Aldebaran. Rara menghentak kesal, dia harus kembali dan meminta kunci mobil untuk mengambil ponselnya. Rara menarik napas kesal merutuki dirinya yang suka pelupa. Dia melangkah cepat ketika pintu lift itu terbuka, belum juga menutup sempurna, seseorang mengganjal dengan satu tangan. Rara sedikit bergeser, memberi ruang kepada seorang wanita yang seusia dengan Aldebaran. Dia terlihat menawan, rambut cokelat kemerahan dibiarkan tergerai dengan ujung yang men

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-08
  • Secret Identity   10 || Sumber Masalah

    Seorang pria dengan kisaran umur empat puluhan tengah mondar-mandir di ruangan kerjanya. Tampak dari interior bangunan itu terlihat sangat mewah. Beberapa mahakarya luar biasa terpajang berjejer di sana. Seseorang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam. Lelaki muda berpakaian semi formal dengan sebuah amplop berwarna cokelat di tangannya. Dia menunduk hormat dan menaruh di atas meja. Pria itu membuka amplop dengan cepat. Tatapannya memandang serius pada sebuah foto yang diambil secara diam-diam. Foto itu yang diambil saat Rara duduk di halte beberapa hari lalu. Pria itu kembali melihat foto berikutnya. Alisnya menukik melihat sosok laki-laki yang terasa tidak asing bersama Rara. “Bukankah dia putra tunggal Mahesa Wijaya?” “Benar, Pak. Dia Aldebaran.” “Kenapa gadis ini bisa bersamanya?” “Gadis itu bekerja sebagai asisten pribadinya. Sebelumnya, gadis

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-08

Bab terbaru

  • Secret Identity   EPILOG

    Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h

  • Secret Identity   EXTRA PART

    Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem

  • Secret Identity   77 || Akhir Dari Segalanya (END)

    Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.

  • Secret Identity   76 || Menerima Keputusan

    Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny

  • Secret Identity   75 || Akhirnya Terungkap (Part 2)

    "Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak

  • Secret Identity   74 || Akhirnya Terungkap (Part 1)

    Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di

  • Secret Identity   73 || Kebenaran yang Lain

    Rara baru saja tiba di depan sebuah restoran. Rara meminta bertemu dengan David secara pribadi. Dia sengaja reservasi rooftop hotel agar pertemuan mereka tidak diganggu. David sudah datang lebih dulu. Rara mengeluarkan ponsel, membuka kotak masuk. Aldebaran : Tidak perlu mampir! Aku akan keluar dengan Angga. Rara : Aku akan bertemu dengan Pak David hari ini. Aldebaran : Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Rara : Keputusanku sudah bulat! Rara menarik napas panjang, menguatkan batinnya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung. Langkah Aldebaran beranjak masuk. Rara melihat David duduk memunggunginya. “Maaf membuat Anda lama menunggu!” ucap Aldebaran begitu duduk berseberangan di hadapan David. “Saya juga baru sampai!” jawabnya singkat. Aldebaran memanggil waitress mendekat. “Mau

  • Secret Identity   72 || Pilihan Terbaik

    Suara bel terdengar saat Aldebaran baru saja selesai sarapan. Aldebaran mendekat ke arah pintu, dia tahu itu pasti Rara. Rara sudah menelepon dan mengatakan akan mampir ke sana. Raut wajah Rara seketika berubah kaku saat mendapati Angga yang berdiri di hadapannya seraya mengulurkan buket bunga berukuran sedang. Aldebaran menerima dengan diam, detik selanjutnya dia menarik bibir membentuk senyum manis. “Kak Angga! Kenapa tidak mengabariku jika mau ke datang kemari?” “Aku ingin memberimu kejutan!” “Ayo, masuk!” Aldebaran menaruh bunga dalam vas. Kebetulan sekali dia baru membuang bunga yang sudah mengering beberapa saat lalu. “Hari ini aku mau mengajakmu kencan. Boleh luangkan waktumu seharian? Katakan pada Al untuk izin tidak bekerja!” “Kencan? Aku pikir besok.” “Aku tidak sabar melakukannya, kebetulan hari ini aku sengaja mengajukan libur bekerja sehari untuk mengaj

  • Secret Identity   71 || Mengambil Keputusan

    Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status