Aku berjalan santai menuju ruang pemotretan yang sudah disiapkan untuk keperluan pembuatan aplikasi milik kami. Hari ini memang sedang berlangsung pemotretan model-model pria untuk konten produksi kami yaitu berupa wallpaper, video tips dan trik Hasil pemotretan ini akan dimasukkan ke dalam rubrik portal online milik kami
.
Berhubung aku sendiri yang memilih para model ini, maka aku ingin melihat bagaimana pekerjaan mereka. Aku tidak mau mengecewakan papa, meski aku tahu ini adalah usaha keluarga. Aku selalu berusaha bertindak profesional dengan memberikan hasil yang terbaik, sehingga tidak jarang aku sendirilah yang mengontrol pekerjaan pada setiap proyek milikku
.
Aku berada disini memang memiliki tujuan tersendiri, karena aku tahu bahwa seorang model keturunan Cina bernama Sean Ho ikut dalam pemotretan ini. Dia berusia dua puluh lima tahun dan sudah terbuka dengan orientasi seksualnya sebagai pria gay. Hal itu yang memicuku untuk melihatnya sekarang langsung.
Saat aku memasuki studio untuk pengambilan gambar dalam proyek ini, ternyata mereka sudah memulai proses pengerjaannya. Melihat aku yang datang ke ruang pemotretan membuat para karyawan sibuk menyapaku, aku seperti biasa menjawab mereka dengan senyuman. Saat aku mengedarkan pandangan mencari Sean, mata kami malah tidak sengaja saling bertemu satu sama lain
.
Ia menampilkan senyum manisnya di hadapan kamera, tapi kenapa aku malah merasa bahwa dia tersenyum padaku. Senyuman manis yang biasa kulihat di majalah maupun internet kini bisa kulihat langsung. Tapi entah kenapa aku malah secara spontan membalas senyumannya, biasanya aku sangat jarang tersenyum kepada orang yang baru aku kenal.
“Bagaimana Pak?” tanya Matt yang tiba-tiba sudah berdiri disampingku.
“Semuanya baik aku puas. Mereka model-model professional, sehingga mereka tahu untuk melakukan ini sebaik mungkin,” kataku sambil menepuk pundak Matt menenangkan dia.
Matt tersenyum senang padaku, “Baik terima kasih pak dan saya permisi dulu..”
Sambil menunggu jam makan siang aku putuskan mengikuti proses pengambilan gambar hari ini dan sambil sesekali melirik Sean. Jam dua belas siang aku langsung menuju Pacific Place untuk menemenui temanku-Gio di sana.
Gio bilang bahwa dia sudah menunggu di Fish & Co. yang ada di lantai empat. Gio sudah tiba lebih dulu ternyata, kulihat dia duduk dibangku depan dengan mengangkat tangan memanggilku begitu melihatku berjalan menghampirinya
“Udah lama Gio?” tanyaku seraya duduk dibangku yang berhadapan dengannya itu.
.
“Nope, tenang saja. Aku saja belum memesan makanan,” ia menggeleng serta tersenyum padaku.
“Tadi aku agak sedikit lupa sama janji kita hari ini, aku sibuk memperhatikan proyek terbaruku.”
“Proyek terbaru lagi ? Keren Will! Aku sendiri masih sedang menimbang-nimbang mau membuka usaha apa.”
Aku terkekeh mendengarnya, “Bukankah? Kamu dulu pernah bilang bahwa kamu mau ikut jejakku, tidak jadi Gio?”
Kami memesan ‘New York Fish And Chips’,‘Lime Cola’, ‘Seafood Platter’ dan ‘Orange juice’, kepada pelayan yang mendatangi meja kami.
“Aku belum yakin sih, Will. Tapi mungkin iya, aku masih harus diskusikan dengan orang tuaku dulu karena mereka pemberi modalnya,” jawab Gio sesaat sang pelayan meninggalkan meja kami.
Aku mengangguk setuju.
“Ngomong-ngomong, proyek barumu jadi pakai model yang udah bikin kamu tertarik?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan Billy, aku tidak menyangka bahwa dia masih ingat dengan ceritaku waktu itu. “Iya, jadi Gio…”
“Ah… pantas kamu betah lihat prosesnya, ternyata ada dia. Oh iya siapa namanya, Sean Ho yah? Diakan sudah jelas-jelas gay, Will. Kenapa tidak kamu dekati saja kalau memang kamu suka sama dia?”
“Entahlah, Gio. Aku belum terlalu yakin menjalin hubungan dengan pria lain lagi setelah kejadian yang waktu itu. Kamu juga kan tahu kalau hingga saat ini aku masih belum siap buat bilang ke orang tuaku.”
Gio menarik nafas, “Ya sampai kapan kamu mau terus merahasiakan tentang hal ini?”
“I don’t know Gio, aku bakal nunggu sampai aku benar-benar siap bicara sama mereka.”
Begitu makanan kami diantarkan oleh pelayan, kami lantas menikmati makanan dalam keheningan. Kami sama-sama diam karena kami enggan melanjutkan pembicaraan kami sebelumnya.
“Ngomong-ngomong setelah ini, aku harus balik ke kantor lagi, Gio. Kita atur waktu saja kapan kita bertemu lagi,” kataku begitu kami usai makan dan membayar tagihan kami.
Ia mengangguk, “Iya, aku juga masih ada yang harus aku urus, kan sementara ini aku bantu usaha papaku dulu.”
“Okay see you…”
Kami berpelukan sejenak sebelum kami berpisah, aku lantas berjalan kembali ke kantorku dan langsung menuju ruanganku. Sebenarnya aku tahu proses pengambilan gambar masih belum selesai, tapi aku tidak bisa terus berada di sana. Ya, aku masih ada yang harus aku kerjakan.
******
Satu minggu berlalu sejak pengambilan gambar itu dilakukan, entah kenapa aku juga masih belum bisa menghilangkan wajah Sean dari ingatanku. Kami beberapa kali saling curi pandang membuatku sulit untuk melupakannya. Tapi sayang aku terlalu takut untuk mendekatinya. Aku masih belum berani untuk mengenalnya secara personal.
Ponselku berdering, ternyata Gio yang kembali menghubungiku, “Hei Will, so how it’s going bro?” tanyanya langsung.
“Yeah, I am fine. how about you Gio?” balasku.
“I am fine too. oh ya, bagaimana sudah ada kemajuan untuk urusan Sean, huh?”
Sial kenapa dia malah membahas itu lagi, aku menarik nafas sebelum menjawab pertanyaan Gio, “Nothing, nothing happen.”
Gio malah tertawa mendengar jawabanku, “Hei come on man, be brave. Kamu mau Sean diambil pria lain ,huh?”
“Aku tidak tahu alasan apa untuk menemuinya Gio, karena yang selama ini berhubungan dengan Sean bukan aku, tapi bawah-bawahanku semua. Jadi aku memang belum sempat bicara apa pun dengannya.”
Mendengarkan penuturanku membuat Gio kembali tertawa lepas, “Apa? jadi kalian belum sempat bicara sama sekali? Aku pikir kalian sudah bicara satu sama lain.”
“Belum Gio, kami hanya saling bertemu pandang. That’s all bro.”
“I see… Tapi kamu harus beranilah, jika memang ingin kenal dengannya lebih dekat bro. Jangan sampai kamu menyesal.”
“Baik, nanti akan kucoba yah.”
“Gitu dong, baru sahabat terbaikku. Oh ya, udah dulu yah, kita sambung kapan-kapan lagi, ok?”
“Oke…” Gio pun memutuskan telepon lebih dulu.
Begitu menerima telepon dari Gio, aku kembali berfokus pada pekerjaanku yakni memeriksa laporan dari beberapa divisi di kantor ini. Terlebih-lebih sekarang aku juga disibukkan lagi dengan proyek terbaruku.
Siangnya Monica datang lagi ke ruanganku, ia membawakanku makan siang kembali, “Siang pak, ini makan siangnya,” katanya sambil meletakan nasi kotak dari catering yang memang disediakan oleh kantor kami.
“Iya terima kasih Mon…” kataku sambil tersenyum padanya.
“Sama-sama pak, dimakan ya pak. Jangan lupa.”
“Pasti Mon, kamu juga makan.”
Ia mengangguk sebelum keluar dari ruang kerjaku
.
Lima belas menit kemudian baru kuputuskan untuk makan siang dan begitu selesai makan aku kembali melanjutkan pekerjaanku hingga jam lima sore. Sebenarnya bisa saja aku langsung kembali menuju apartemenku hanya dengan berjalan kaki dari kantorku, tapi rasanya malam ini aku ingin memanjakan diri dengan pergi menikmati suasana kota Jakarta di malam hari dan berharap bisa menghapuskan pikiranku dari Sean. Dia sudah membuatku dalam seminggu belakangan ini selalu membayangkan dirinya, mungkin benar apa yang dibilang Gio agar aku mencoba mendekatinya.
Seperti hari-hari biasanya jalanan di Jakarta yang selalu macet kembali membuatku stuck beberapa menit sebelum akhirnya tiba di Menara BCA tujuanku. Selesai memarkirkan BMW X5-ku, aku langsung menuju lift yang akan membawaku ke lantai 56. Berhubung ini merupakan hari kerja aku tidak perlu terlalu berdesakan di dalam lift. Lift berdenting dan pintu perlahan membuka, kulangkahkan kaki ke sisi kiri menuju area outdoor, angin pun bertiup menyambut kedatanganku.
Aku langsung memilih kursi santai berada di pinggir kolam renang, tidak lama kemudian seorang pelayan menghampiriku dan aku langsung memesan segelas Mojito kepada pelayan tersebut.
Sambil menunggu minuman yang kupesan aku melayangkan pandangan sekeliling menikmati pemandangan malam dari ketinggian. Tapi sepertinya mataku menangkap sosok yang menggunakan kemeja putih berjalan perlahan mendekatiku dan rasanya aku kenal sosok itu. Ya, aku mengenalinya tapi mungkinkah benar dia atau ini hanya imajinasiku saja?
Setelah kurang lebih satu minggu aku berusaha merayu sahabatku Monica, yang notaben sekretaris pribadi William Wang. Aku tahu di mana William suka menghabiskan waktunya, dengan dibonceng Alan sahabat terbaikku, aku langsung menuju Menara BCA."ThanksLan, udah anterin gue..." ucapku seraya melepas helm."You're welcome and good luck,Sean." jawab Alan tersenyum. Kulambaikan tangan kepada Alan sebelum aku memasuki gedung untuk segera menaiki lift. Jam pun sudah menunjukan pukul delapan malam lewat dan semoga saja William.masih berada di sana.
Setelah pertemuanku dengan Sean seminggu yang lalu, aku dan Sean jadi semakin dekat, memang tentu saja Sean yang lebih dulu menghubungiku lewatmessenger.Tapi karena kami berkomunikasi menggunakanmessenger, aku jadi bisa lebih nyaman berbicara dengannya. Ya, aku memang terkadang lebih suka berkomunikasi dengan bahasa tulisan dibanding harus berbicara langsung dengan seseorang, tidak terkecuali dengan Sean juga. Aku merasa lebih nyaman dan aman, jika lawan bicaraku tidak bisa melihatku langsung dan aku pun tidak harus menjawabnya saat itu juga. Aku bisa memilih saat yang tepat untuk membalasnya, maka aku sering kali membuat orang menunggu. Hal itu juga yang membuatku sedikit mem
Perlahan aku beringsut bangun, tidak mau membangunkan William yang masih tertidur di ranjangku. Ya, semalam aku berhasil menahan agar ia tidak pulang dan bermalam di apartemenku. Mungkin permintaanku semalam terkesan kekanak-kanakan, tapi nyatanya William mau melakukannya. Aku meminta agar aku bisa tidur di dalam pelukannya dan ternyata akhirnya William ikut tertidur juga.Maka setelah berhasil bergeser bangun dari ranjang, aku bergegas untuk ke dapur. Aku ingin membuatkan sarapan untuk William sebelum ia berangkat ke kantornya. Aku yang sudah biasa hidup seorang diri semenjak kedua orang tuaku pergi meninggalkanku karena kecelakaan mobil, memaksaku untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri. Belajar memasak pun menjadi salah satu yang kulakukan, selain aku berusaha mendapatkan beasiswa di bangku kuliah.Setel
Rasanya masih tidak percaya bahwa aku dan Sean sudah saling mengutarakan rasa cinta satu sama lain. Dugaanku memang tidak salah jika Sean menyukaiku, sikap yang ditunjukan belakangan ini memang sudah cukup meyakinkan, hanya itu belum cukup kurasa hingga kemarin malam. Sean dengan berani mengungkapkan perasaannya kepadaku, hal itu membuatku bahagia sekali dan aku pun jadi tidak perlu memberanikan diri lagi.Sebuah ciuman yang tidak kupersiapkan sama sekali tiba-tiba saja terjadi, entah kenapa aku jadi ingin merasakan bibir Sean yang mungil itu. Bahasa tubuh yang ia berikan memang seakan menginginkan hal yang sama dengan apa yang kuinginkan. Awalnya kupikir aku telah berbuat lancang padanya tapi ternyata dugaanku salah, ia tidak keberatan atau pun marah dengan sikapku.Se
Aku melangkah dengan lesu keluar dari ruangan pimpinan redaksi, ya bagaimana tidak? Dipanggil hanya untuk dimarahi karena belakangan ini dinilai tidak bisa mencari isu yang menarik. Padahal aku juga sudah berusaha sekuat tenaga, tapi memang belakangan ini belum ada isu menarik lain selain film fenomenal 'Squid Game’ yang sedang viral dan ‘Kasus pernikahan Rizky Billar dan Lesti Kejora ’.Aku harus mencari ke mana lagi, tetapi sebagai atasan ia tetap saja tidak mau tahu, yang ia mau cuma isu yang menarik bisa menaikkan rating website dan tentu juga untuk pendapatan. Tapi yang tidak aku suka, dia bilang aku sudah tidak kompeten lagi dalam pekerjaan, makanya aku harus mampu bisa menemukan isu yang bisa menarik perhatian Prayoga
Note : Ada adegan 18+Sesuai dengan janjinya, William datang ke apartemenku dengan beberapa barang bawaannya, mobil miliknya pun ditinggalkan di parkiran , karena kami akan berangkat dengan mobilku. Kali ini aku yang duduk di kursi kemudi, sedangkan William hanya duduk manis di sampingku. Perlahan Jazz-ku berlalu meninggalkan kawasan apartemenku langsung menuju Ancol.Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, kulajukan mobilku santai sebab jalanan terlihat cukup sepi. “Kamu sudah menyiapkan semuanya, Sean?” suara William mengalihkan pikiranku yang hanya terfokus pada jalanan.“Yes, everything Will, so kamu tidak perlu takut,” jawabku seraya tersenyum padanya.
Hingga hari Senin, William dan Sean belum kembali, tapi kuputuskan untuk kembali lebih dulu. Sebab aku cukup banyak mendapat gambar kemesraan mereka berdua, mulai dari saat mereka menginap di tenda di pinggir pantai hingga kepindahan mereka ke cottage tempat aku menginap juga. Pada hari minggunya, aku berhasil mendapat gambar William yang menggendong Sean kembali ke kamar.Aku penasaran dengan apa yang mereka lakukan di dalam, tapi aku rasa mereka akan bercinta dan sayang aku tidak bisa mengabadikan momen tersebut. Senin pagi sebelum aku memutuskan untuk kembali, aku pun masih sempat membuntuti William dan Sean yang akan melakukan snorkeling.&
Entah apa yang bisa kugambarkan dari liburanku bersama Sean, ya lelah itu sudah pasti namun meski demikian rasa lelahku seakan terbayar dengan kehadiran Sean di sana. Dan rasanya aku masih tidak percaya sudah bercinta dengannya sore itu. Ya awalnya aku ragu ketika aku ingin mengajaknya, aku takut ia tidak mau. Ya yang kupikirkan saat itu memang hanya ingin mengembalikan momen kami yang sudah hilang, karena sepanjang siang aku hanya mendiamkannya dan bahkan meninggalkannya tidur.Sean memang bukan orang pertama yang kuajak bercinta, kekasihku yang dulu adalah yang pertama. Sedangkan Sean ada orang kedua yang kuajak bercinta, tapi tidak tahu dengan Sean apakah aku orang pertama yang merasakan tubuhnya. Sepanjang perjalanan dari Ancol menuju apartemen Sean, gantian aku yang mengemudi, aku kasihan jika ha
Aku Alan, Gillian, Cipta dan Monica kami pergi bersama-sama dan herannya kenapa mereka tidak mengajak William juga. Memang alasannya adalah karena William harus disibukan dengan pekerjaan sehingga aku tidak tetap memaksanya untuk tetap ikut bersama kami. Padahal aku juga ingin dia bisa ikut bersama kami. “Sean, kenapa kok diam aja?” tanya Monica begitu kami sudah bersantai di salah satu café mal tujuan kami. “Eum, gak apa-apa kok,” jawabku cepat. “Pasti pak William kan? Udah Sean dia gak apa-apa, dia kan memang lagi sibuk sama pekerjaan.” Aku menarik nafas, “Apa gue terlihat berlebihan Mon, tapi kan gue cuma takut kehilang
Sebenarnya Monica sempat berkata ingin menemaniku untuk business trip ke Cina, tapi aku melarangnya mengingat statusnya kini sudah menjadi istri orang. Meski aku sendiri sudah cukup mengenal suami Monica, tapi tetap saja aku merasa tidak enak jika aku mengajaknya. Maka sebagai gantinya dia akan selalu mengingatkan aku untuk meminum obatku selama berada di Cina Setelah tiga hari aku sibuk dengan pekerjaanku yakni membahas tentang aplikasi terbaru buatan perusahaan kami yang kini bekerja sama dengan pembuat game asal Cina. Semua berjalan dengan baik, meski aku kembali teringat Sean dan aku mulai berpikir apakah aku tidak mencoba mencarinya di sini? Aku masih ingat bahwa ayahnya berasal dari sini, mungkinkah Sean kembali ke tanah kelahiran ayahnya?
Tiga tahun berlalu dan selama itu pula juga aku berada di Chongqing, memulai kehidupan baruku di tempat kelahiran ayahku. Dengan uang yang diberikan oleh Mr Wang, aku mewujudkan impianku untuk membuka sebuah restoran bakmi di dekat kawasan wisata Xiuhu Park. Memang untuk itu aku mengeluarkan uang yang cukup banyak, sehingga aku menambahkan dengan uang tabunganku sendiri. Namun semua pengorbananku tidak sia-sia, karena aku berhasil wujudkan impianku. Selama tiga tahun ini mencoba untuk mengikuti semua permintaan Mr Wang untuk tidak sekalipun muncul dihadapan William, menghilang begitu saja bahkan aku menghilang dari semua teman-temanku dulu. Hal ini aku lakukan semata-mata untuk William, agar dia bisa kembali kepada kelu
Akhirya sampai juga di part ini, ya ini adalah part terakhir yang postig di W*****d, jadi pembaca cerita saya di w*****d mungkin berpikir ini adalah endingnya. Tapi ini bukanlah ending yang sebenarnya. Ending yang sebenarnya ada chapter 28 dan memang tiga chapter selanjutnya hanya saya berikan kepada pembaca yang membeli versi novelnya. Dan untuk di sini tenang,para pembaca bisa membaca cerita ini sampai chapter 28 hanya cukup dengan membeli menggunakan koin. Jadi pembaca yang penasaran mohon ditunggu, chapter selanjutnya akan tetap di update setiap hari hingga tiga hari kedepan. Semoga suka dan jangan lupa boleh minta komentar serta vote ya. Terima kasih...
Semenjak kepergian Sean yang tiba-tiba itu sudah membuat Pak William seperti kehilangan separuh jiwanya. Meski kini dia memang kembali tetap bekerja seperti biasa dan kembali pada kedua orang tuanya, aku tidak melihat sosok pak William yang dulu begitu ceria ketika bersama Sean. Semuanya hilang bersama perginya sahabatku, Sean.Aku sendiri tidak tahu di mana keberadaan dia sekarang, apakah dia memang sudah meninggalkan negara ini atau memang masih berada di negara ini juga ? Dalam setahun belakangan ini Sean tidak pernah sekali pun mencoba menghubungiku atau pun Alan yang aku tahu adalah sahabat terbaiknya. Ia seakan memang ingin tidak ditemukan oleh siapa pun juga.Seperti hari-hari biasanya pak William datang ke kantor melakukan pekerjaannya seperti biasa, tapi kini terlihat sangat memprihatinkan. Tubuhnya kurus dan rambutnya
“Sean…. aku pulang,” panggilku seraya mengunci kembali pintu apartemen . Tapi aneh sekali, apartemen ini begitu sepi, di mana Sean? Bukankah tadi dia bilang tidak pergi hari ini? Kemudian aku melihat kamar tidur kami namun Sean masih tak ada juga. Tidak biasanya Sean seperti ini, tapi sudahlah aku akan menunggunya dulu. Aku lantas kembali ke ruang tv untuk menunggunya di sana. Hingga jam enam sore Sean belum kembali, ponselnya pun sudah beberapa kali kucoba hubungi tapi tidak bisa. Ponselnya mati, aku sudah mulai tidak bisa tenang lagi. Sean, kamu ke mana ? Tunggu-tunggu aku tidak boleh panik, kali-kali saja teman-tem
Perkataan ayah William benar-benar membuatku gamang, bagaimana bisa aku disuruh memilih antara meninggalkan orang yang aku cintai atau bertahan dengan orang itu tapi juga membuatnya terus menderitaku denganku? Egoku sendiri berkata masih ingin bersama William, orang yang aku cintai dan tidak mau jauh dengannya cuma melihat kenyataan bagaimana keadaan William belakangan ini, dia sepertinya benar-benar sudah berada di titik terendahnya dan belum lagi ancaman ayahnya. Itu semua benar-benar membuatku kebingungan harus mengambil jalan apa, apalagi aku pun bisa menilai ancaman ayah William sungguh-sungguh.“Sean… are you alright?” tanya William khawatir di atas tempat tidur usai kami makan malam.“
William akhirnya memutuskan untuk keluar dari kantor Gio juga, sesuai dengan apa yang dia katakan padaku pada waktu lalu. Aku benar-benar kasihan padanya, di saat dia mulai bangkit ada saja yang membuatnya kembali jatuh. Dia bilang ia memutuskan keluar dari tempat Gio karena ia tahu jika ia masih berada di sana, ia hanya menjadi masalah di perusahaan itu, sedangkan perusahaan itu masih harus tetap berjalan.Ia pun bilang padaku bahwa Gio sempat menahan agar dia jangan keluar dulu, hanya aku juga tahu bagaimana keras kepalanya William itu sehingga meski dengan berat hati Gio mengizinkan William keluar dari tempatnya. William pun bilang padaku bahwa ia mencoba lagi dan tidak mau meminta pertolongan dari temannya lagi, sebab ia merasa telah membuat temannya kesulitan karena masalahnya.Sementara aku hanya bisa memberikan dia seman
Hari pertama di kantorku lebih banyak kami habiskan dengan berkenalan dan saling berdiskusi mengenai proyek pertama yang aku ajukan kepada Gio. Yang sebenarnya semalaman ini aku kerjakan hingga membuatku kurang tidur. Tapi itu semua terbayar, mereka nampak suka dengan ide proyek yang kuajukan.Gio pun setuju bahwa kami akan memulai proyek ini secepatnya, tim kami pun sudah siap. Ya proyek ini adalah membuat game dating simulation, sebab kami tahu game seperti ini cukup diminati oleh para pengguna gadget saat ini. Tujuan kami sendiri adalah menarik para wanita muda hingga para remaja putri.