Aku memperhatikan Sunny yang masih tidur pulas meski sudah berpindah tangan. Anak perempuan ini sangat lucu dan juga cantik seperti ibunya. Hanya melihat seperti ini saja sudah membuatku merasa senang.
"Sunny terlihat begitu nyenyak."
"Tadi dia bermain banyak. Mungkin terlalu lelah dan butuh mengisi dayanya kembali."
Aku menganggukkan kepala tanpa melepaskan pandangan dari Sunny. Sebelumnya aku sering menjaga keponakanku. Jadi, aku tahu persis bagaimana anak seusia Sunny ketika bermain.
Lama kami berteduh hingga sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan kafe. Dari sana muncul satu sosok pria yang pernah aku temui. Pria itu datang menghampiri kami menggunakan payung berwarna hitam.
"Jacob!" seru Savana langsung mengambil alih anak perempuan yang ada di dalam pelukanku.
"Hunter, aku tidak tahu bagaimana untuk membalas kebaikanmu. Lain kali kita akan bicara lagi. Sampai jumpa," ucap Savana seraya berlalu pergi dengan terburu.
Mereka berada dalam satu payung yang sama menuju mobil. Tidak lama kemudian mereka menghilang dari pandangan perlahan. Meninggalkan aku seorang diri berteduh dari hujan yang tetap saja mendera tanpa henti. Mungkin yang aku rasakan saat ini adalah apa yang dinamakan dengan patah hati.
"Kasihan sekali." Itu suara Rose, salah seorang pelayan kafe.
Aku tidak menoleh padanya, lalu langsung saja berkata dengan lantang, "Bukan urusanmu!" Setelah itu aku berlari menggunakan ransel untuk melindungi kepala dari lebatnya hujan.
***
Aku meletakkan ransel yang basah ke dalam ember yang ada di dalam kamar mandi. Pakaian yang basah juga dilepaskan semua dan dimasukkan ke dalam ember yang sama. Tidak lupa membasuh diri untuk menyingkirkan air hujan yang masih menempel.
Tidak lama keberadaanku di kamar mandi karena sudah menggigil lebih awal. Hanya menggunakan handuk, aku bergegas menuju kamar dan menutupi tubuh dengan pakaian kering. Kini aku bisa menghamburkan diri ke atas tempat tidur dan tenggelam dalam hangatnya dekapan selimut.
"Ah, ponselku," gumamku langsung bergegas menuju kamar mandi.
Aku berharap kalau ponsel yang aku simpan di dalam tas akan baik-baik saja. Tadi hujan sangat lebat dan ditambah pikiran yang tidak lepas dari Savana membuatku lupa untuk menyimpan ponsel ke tempat yang lebih baik.
"Kau sangat ceroboh, Hunter!" makiku pada diri sendiri.
Lututku seakan lemas setelah mengetahui keadaan ponsel yang masih menyala. Tidak ada yang rusak. Hanya saja aku harus mengeringkan tiap sisi yang basah dan memeriksa konektornya, apakah masih berfungsi dengan baik?
Lebih baik kalau semuanya masih berfungsi. Aku tidak memiliki biaya untuk memperbaiki atau membeli yang baru. Bisa-bisa aku tidak makan selama satu bulan jika menggunakan tabunganku.
Kali ini takdir berpihak padaku karena harapanku terkabulkan. Fungsi ponsel berjalan dengan normal. Hal itu merupakan berita yang sangat baik untukku.
Di luar sana hujan masih saja deras dan aku tidak berminat untuk keluar dari kamar setelah ini. Meskipun perutku terasa lapar, akan tetapi kejadian tadi telah membuat selera makanku hilang.
Di dalam kamar yang sengaja dimatikan lampunya, aku tidur dengan posisi menyamping sembari memainkan ponsel. Tidak ada notifikasi apa pun sebenarnya. Namun, jemari tidak berhenti sibuk menggulir layar. Bolak-balik menu aplikasi.
Aku menghela napas panjang. Apa sebenarnya yang aku harapkan? Savana tidak akan menghubungiku. Seharusnya kejadian tadi menjadi pukulan keras bagiku untuk tidak menjalin hubungan dekat dengan Savana.
Savana telah memiliki keluarga kecil yang bahagia. Aku tidak boleh menjadi orang ke-tiga di dalam rumah tangga mereka. Bukan sesuatu yang baik bila merenggut kebahagiaan orang lain.
Sudahlah. Mungkin aku harus beristirahat sejenak untuk melupakan luka patah hati.
Aku meletakkan ponsel di samping bantal. Setelah itu memejamkan mata untuk tidur dengan nyenyak. Sayangnya lama waktu berlalu rasa kantuk tidak kunjung singgah. Pikiranku masih saja sibuk memikirkan kejadian tadi.
Mataku kembali memandang ke arah ponsel. Aku berpikir untuk menghubungi Savana lebih dulu. Menanyakan apakah sudah sampai dengan selamat, tidak sesuatu yang buruk untuk dilakukan, bukan?
Di sisi lain, pikiran bertolak belakang dengan logika saat ini. Bagaimana jika Jacob mengetahui seorang pria menghubungi sang istri? Pasti mereka akan bertengkar nantinya.
Aku tidak bisa melihat Savana bersedih hati. Terlebih Sunny yang masih kecil, melihat kedua orang tuanya bertengkar pasti akan sangat sedih. Ya. Aku harus menahan egoku demi masa depan seorang anak dan juga sebuah keluarga kecil. Biarlah aku yang menahan kesakitan di sini.
Aku berbaring membelakangi ponsel, lalu memejamkan mata. "Aku tidak akan melakukannya," ucapku seolah hati dan pikiran sedang berperang saat ini.
Namun, bunyi dering singkat berhasil merobohkan pertahanan. Aku segera mengambil ponsel untuk melihat siapa yang menghubungi malam-malam begini. Di dalam hati aku berharap kalau orangnya adalah Savana.
Ekspresiku langsung berubah saat mengetahui siapa yang mengirimkan pesan. Tidak lagi senang seperti tadi, melainkan sebaliknya. Pesan itu dari Rose.
[Rose: Besok aku harus pergi ke suatu tempat. Ganti sif, ya!]
Aku membalasnya dengan satu kata singkat 'ok'.
Aku dan Rose sebenarnya berada di kampus yang sama. Kami tidak sengaja bertemu ketika melamar pekerjaan di Sunrise. Dari situ kami saling mengenal meski tidak terlalu dekat karena aku yang membatasi diri.
Sengaja hal itu aku lakukan karena Rose menyukaiku. Memang tidak pernah mengatakan secara langsung, tetapi dari gerak-geriknya membuatku berpikir seperti itu. Rose selalu menggangguku tanpa tujuan yang jelas. Padahal pada orang lain sikapnya tidak begitu.
Aku tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Tidak ingin membuat Rose berharap lebih, aku memutuskan untuk memberikan jarak. Terlebih saat ini sudah ada orang yang menempati hatiku.
Meskipun Savana sudah menikah, tetapi aku tidak akan mudah untuk melupakan perasaanku. Menjalin hubungan dengan orang lain, sepertinya mustahil untuk aku lakukan sekarang. Lebih baik aku fokus untuk membangun masa depan.
Membayangkan hal itu rasanya agak sedikit sedih. Aku harus melupakan perasaan yang telah menetap lama di hatiku. Terhitung hari ini sudah 405 hari aku menyukai Savana. Aku menghitungnya karena hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menyenangkan hatiku.
Sekali lagi ponselku berdering dan sesuatu yang mengejutkan bisa melihat nama 'Savana' di layar. Aku segera bangkit dan menghidupkan lampu. Memeriksa betul kalau penglihatanku tidak salah.
"I-ini benar-benar Savana?" tanyaku sendiri masih tidak percaya. Setelah yakin dengan penglihatanku, baru aku bersuara kembali, "S-savana mengirimkan pesan padaku!" teriakku begitu senang dengan apa yang aku lihat. Aku tidak sedang bermimpi rupanya.
Kami memang sempat bertukar nomor setelah mengembalikan ponsel waktu lalu. Hanya saja ini adalah kali pertama Savana menghubungiku. Tidak tahu harus berkata apa, aku sangat senang sekali. Langsung saja layar notifikasi digulir ke bawah, lalu aku membaca isi pesannya.
Savana yang menghubungiku saja sudah bisa menghangatkan hati. Apalagi saat aku melihat huruf demi huruf yang terpampang di pesan masuk. Aku tidak bisa menyembunyikan kalau aku tersipu malu saat ini.[Savana: Terima kasih sudah menemaniku sampai Jacob datang. Oh, jaketmu ada padaku. Aku akan mengembalikannya saat kita bertemu nanti.]Dahi mengerut dalam saat aku mulai menyadari kalau jaketku masih ada bersama Savana. Gawat! Bagaimana jika Jacob tahu sang istri mengenakan jaket seorang pria?Aku segera membalas pesan itu dan bertanya, apakah semuanya baik-baik saja? Sangat bagus jika hubungan rumah tangga Savana retak, tetapi aku bukan pemeran antagonis yang menginginkan hal itu terjadi.Tidak lama kemudian pesan masuk tampil di layar. Sebaiknya aku mendapatkan kabar gembira karena kalau tidak, aku akan menyesal seumur hidup karena telah membuat Savana bersedih.[Savana: Ya. Semuanya baik-baik saja di
Savana tampak sangat terkejut mendengar pernyataanku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, aku sama sekali tidak tahu. Aku juga tidak ingin menebaknya karena hanya akan menggoyahkan kepercayaan diriku."Apa kau memiliki hubungan istimewa dengan seorang pria? Atau adakah pria yang menempati hatimu saat ini?"Savana masih terdiam saat menghadapi keberanianku. Tidak dapat berkata-kata. Meskipun begitu aku tidak mundur lagi untuk mengatakan bagaimana perasaanku yang sesungguhnya."Tidak. Untuk apa kau bertanya?" tanyanya seolah masih tidak percaya.Aku berpikir sesaat sebelum keyakinan semakin tumbuh di hatiku, "Selama jawaban itu masih sama, aku tidak akan menyerah untuk mendapatkanmu. Entah kau suka atau tidak, aku ingin kau mempertimbangkan kesungguhanku."Tiba-tiba Savana bangkit dari duduknya dan membuatku terbengong, "Maaf, Hunter. A-aku harus pergi bekerja sekarang."
Dari kaca jendela yang menampakkan pelanggan kafe, aku melihat Savana tengah duduk dengan ekspresi muram. Aku belum pernah melihat dia yang seperti itu. Sepertinya akibat pernyataan yang aku ungkapkan kemarin. Apakah Savana begitu tidak ingin jika aku memiliki perasaan padanya?Aku bergegas masuk ke dalam kafe dan menghampiri Savana. Di saat itu pula tatapan mata kami bertemu. Perasaanku saat ini sulit dijelaskan. Tumpang tindih antara ingin melanjutkan perjuangan dan tidak ingin melanjutkan perjuangan. Alasannya adalah karena aku tidak ingin melihat pemandangan semacam ini."Lupakan saja.""Apa yang harus aku lupakan?" tanyanya bingung."Kau tidak perlu mengkhawatirkan bagaimana perasaanku padamu. Lupakan saja jika hal itu membuatmu tidak nyaman."Satu hal lagi yang paling penting, aku tidak ingin membuat hubungan kami menjadi jauh. Sangat sulit bagiku jika Savana tidak lagi memunculkan diri. Aku t
Mulanya aku hanya memperhatikan mereka saja dari kejauhan. Pintu gerbang terlihat bergerak menampakkan sosok cantik Savana. Tidak lama mereka berdiri di sana sebelum Jacob masuk pula ke dalam rumah.Aku bergegas mendekati pagar yang telah tertutup rapat. Hanya suara pintu rumah yang terdengar setelah itu. Bagaimanapun aku mencuri dengar tetap saja suasana hening. Akutidak bisa tahu aktivitas apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.Aku semakin gelisah lagi karenanya. Apalagi mengingat perlakuan buruk Jacob. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Savana? Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?Aku berjalan ke sana kemari sambil berpikir keras mencari jalan keluar. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk memanjat dinding. Aku beranjak ke sisi samping rumah mencari posi
"A-aku kebetulan lewat." Alasan itu jelas tidak masuk akal untuk didengar. Mengalihkan suasana yang semakin canggung, aku kembali fokus pada tujuanku, "Savana sudah mengatakan agar kau segera pergi."Dari ekspresi itu Jacob tampaknya tidak senang dengan kehadiranku, "Kalau ada yang harus pergi, maka kau adalah orangnya."Memang benar di antara mereka, aku hanya orang asing yang tiba-tiba datang. Tetapi setelah Savana memberikan aku kesempatan, maka aku bukanlah orang asing lagi. Keberadaanku adalah bentuk dari perjuangan."Tidakkah kau mengerti kalau kau sudah ditolak? Pergilah sebelum kami memanggil polisi."Mata Jacob tampak merah setelah aku menyindirnya. Dia juga mengepalkan tangan seolah ingin melayangkan sebuah tinju padaku. Namun, aku sama sekali bergeming. Bagiku keberadaanku yang ingin membantu Savana, bukan sesuatu yang salah."Apa kau tidak mendengarnya? Savana ingin agar kau segera pergi
Aku mendapatkan pesan masuk dari Savana. Dia meminta bantuanku hari ini dan untuk yang ke-dua kalinya aku melihat sosok anak kecil yang berhasil mengguncang hidupku beberapa waktu lalu.Sampai detik ini tetap sama, Sunny memandangiku dengan ekspresi datar andalannya. Apalagi saat aku berinteraksi dengan Savana, kerutan kecil menghiasi wajah mungil itu. Sepertinya Sunny tidak begitu senang dengan kehadiranku di antara mereka."Maaf karena sudah menghubungimu tiba-tiba. Hari ini pegawai yang aku perkerjakan untuk mengawasi Sunny tidak bisa datang. Jacob tidak bisa dihubungi dan aku tidak tahu harus minta bantuan pada siapa selain dirimu."Aku melirik kembali pada gadis kecil yang tidak mengubah ekspresinya. Bagaimana cara agar Sunny tidak berekspresi seperti itu lagi? Apalagi kami akan menghabiskan waktu berdua saja sampai Savana selesai bekerja. Pasti akan sangat canggung karena kami yang tidak begitu saling mengenal.
Aku tersentak ketika mendengar suara yang tidak tahu apa. Saat membuka mata, tanpa diduga aku sudah berbaring di sofa. Sepertinya aku tertidur setelah bermain dengan Sunny.Aku juga mendapati tubuhku ditutupi oleh selimut. Langsung saja aku bangun untuk melihat apa yang sedang terjadi di dapur karena suara yang membangunkanku asalnya dari sana.Pemandangan yang aku lihat adalah Savana. Sebenarnya aku sudah tahu jawaban akan kebingunganku, akan tetapi aku ingin memastikannya lagi. Ternyata benar kalau Savana sudah pulang.Kini Savana sibuk di dapur dengan penampilan yang menurutku sangat menawan. Rambut diikat, apron, dan pakaian rumahan. Savana menggetarkan hati dan jiwaku pada saat yang bersamaan. Pemandangan seperti ini membuatku menjadi tenang.Di saat itu pula Savana yang selesai mencicipi makanan, menolehkan kepala seolah baru saja menyadari keberadaanku, "Kau sudah bangun?"
Aku datang lebih dulu dan menunggu di depan taman hiburan. Tidak lama untuk menunggu kedatangan Savana. Dari jauh hal pertama yang menarik perhatianku adalah ekspresi Sunny yang begitu girang. Sepertinya anak kecil itu sangat menantikan hari ini.Setelah sampai di hadapanku, Savana berkata, "Apa kau menunggu lama?"Aku menggelengkan kepala pelan. Hanya lima belas menit seharusnya bukan waktu yang lama. "Aku belum lama ini datang. Ah," aku menunjukkan apa yang ada di dalam genggaman, "aku sudah memesan tiketnya. Kita bisa masuk ke taman hiburan sekarang."Savana terlihat sedikit terkejut sekaligus menyayangkan sesuatu. “Padahal kau tidak perlu sampai seperti itu. Hari ini adalah ulang tahun Sunny dan aku memintamu untuk datang menemani. Sudah seharusnya aku yang membelikan tiket."Tiket hiburan yang aku genggam kini membuatku teringat akan suatu hal. Untuk membeli tiket hiburan yang terbilang ti
Aku duduk dengan canggung bersama Rose di salah satu meja. Semua orang di sekeliling kami berpakaian formal layaknya memiliki integritas tinggi. Tidak berbeda dengan apa yang menempel di tubuhku. Namun, dibandingkan hal itu, aku tertarik pada para tamu yang hadir di restoran yang mana duduk secara berpasang-pasangan. Didukung oleh ruangan yang didesain seolah menjadi latar tempat kencan.Menu makanan dihidangkan tanpa kami pesan terlebih dahulu. Berbeda dengan Rose yang tampak santai-santai saja, justru otakku dipenuhi oleh tanda tanya besar. Sampai saat ini belum ada jawaban yang aku dapatkan dari Rose mengenai keberadaan kami. Hingga para pegawai yang menghidangkan makanan pergi, baru aku memiliki kesempatan untuk berbicara dengan tenang."Apa—""Wah, semua terlihat sangat menggiurkan! Aku tidak sabar untuk memakan semua hidangan ini!"Aku menghentikan tangan yang akan bergerak mengambil sepotong daging, lalu berk
Aku memang masih bergantung pada orang tua, akan tetapi bukan berarti aku tidak berusaha memeras keringat. Sebisa mungkin aku ingin meringankan beban kedua orang tua dengan bekerja sambil menempuh pendidikan. Tidak seharusnya tingkatakanku begitu buruk.Namun, sudah sulit seperti itu, bukan berarti aku mendekati Savana karena ingin mencukupi kebutuhan. Tujuanku murni karena perasaan yang aku punya padanya. Bahkan, satu persen pun tidak pernah terpikirkan untuk mengambil keuntungan dari hubungan kami.Kini berganti aku yang menekan-nekan dada Jacob. "Kau memang menang dalam segi materi. Sayangnya materi bukan satu-satunya hal yang paling dibutuhkan dalam sebuah hubungan. Aku memang kerikil kecil dan kerikil kecil ini juga bisa membuatmu terpeleset."Tatapan Jacob semakin marah, ditambah dia menyingkirkan tanganku dengan kasar dan membuat kemarahan semakin jelas terlihat. Sepertinya kemarahan yang Jacob punya sudah terbakar, tetapi
Aku melebarkan kedua mata sambil menatap ke arah Savana yang terlihat sama terkejutnya denganku. Jika begitu, aku tidak mungkin salah dengar. Sunny benar-benar memanggilku dengan sebutan yang menurutku mustahil. Selama ini aku berpikir akan sulit membuat Sunny menerima kehadiranku, tetapi nyatanya tidak seburuk itu."Pa-paman Papa?""Sunny, sekarang sudah waktunya untuk istirahat. Ayo, kita sikat gigimu lebih dulu," ajak Savana tiba-tiba. Aku merasa kalau dia sengaja mengalihkan perhatian.Aku duduk saja memperhatikan mereka berlalu pergi membawa permen kapas kuda menuju kamar. Entah aku harus senang karena anak dari wanita yang aku sukai menerimaku atau aku harus sedih karena tidak terlihat kata 'setuju' di ekspresi wajah Savana. Meskipun begitu aku cukup senang karena Sunny tidak lagi bersedih di hari ulang tahunnya.Lama menunggu akhirnya Savana muncul dan menutup pintu kamar lambat-lambat. Dari gerakannya tampak
Sunny masih tersedu, tetapi perhatiannya sudah teralih. Perlahan tangisan mulai memudar dan tangannya tidak lagi sering mengusap air mata."Dari permen kapas itu, kita bisa mendapatkan kuda yang sangat besar," sambungku memperagakan kata 'besar' menggunakan kedua tangan."Apakah yang paman ... katakan ... itu benar?" ucap Sunny masih sedikit tersedu."Tentu saja!" Aku menunjuk salah satu stan yang mana menjual permen kapas. "Kita bisa mendapatkannya di sana. Apa kau menginginkannya?"Sunny menganggukkan kepala, lalu aku menggenggam tangannya untuk pergi. Hanya saja langkah anak kecil yang ingin aku bawa memberat dan membuatku segera menolehkan kepala. Saat ini aku melihat Sunny yang kini melihat ke satu titik. Di sana ada Savana yang sedang menelepon."Ada apa?""Sunny tidak boleh makan permen," ucapnya dengan tampang sedih.Tidak lama kemudian tampak Savana mengham
Aku datang lebih dulu dan menunggu di depan taman hiburan. Tidak lama untuk menunggu kedatangan Savana. Dari jauh hal pertama yang menarik perhatianku adalah ekspresi Sunny yang begitu girang. Sepertinya anak kecil itu sangat menantikan hari ini.Setelah sampai di hadapanku, Savana berkata, "Apa kau menunggu lama?"Aku menggelengkan kepala pelan. Hanya lima belas menit seharusnya bukan waktu yang lama. "Aku belum lama ini datang. Ah," aku menunjukkan apa yang ada di dalam genggaman, "aku sudah memesan tiketnya. Kita bisa masuk ke taman hiburan sekarang."Savana terlihat sedikit terkejut sekaligus menyayangkan sesuatu. “Padahal kau tidak perlu sampai seperti itu. Hari ini adalah ulang tahun Sunny dan aku memintamu untuk datang menemani. Sudah seharusnya aku yang membelikan tiket."Tiket hiburan yang aku genggam kini membuatku teringat akan suatu hal. Untuk membeli tiket hiburan yang terbilang ti
Aku tersentak ketika mendengar suara yang tidak tahu apa. Saat membuka mata, tanpa diduga aku sudah berbaring di sofa. Sepertinya aku tertidur setelah bermain dengan Sunny.Aku juga mendapati tubuhku ditutupi oleh selimut. Langsung saja aku bangun untuk melihat apa yang sedang terjadi di dapur karena suara yang membangunkanku asalnya dari sana.Pemandangan yang aku lihat adalah Savana. Sebenarnya aku sudah tahu jawaban akan kebingunganku, akan tetapi aku ingin memastikannya lagi. Ternyata benar kalau Savana sudah pulang.Kini Savana sibuk di dapur dengan penampilan yang menurutku sangat menawan. Rambut diikat, apron, dan pakaian rumahan. Savana menggetarkan hati dan jiwaku pada saat yang bersamaan. Pemandangan seperti ini membuatku menjadi tenang.Di saat itu pula Savana yang selesai mencicipi makanan, menolehkan kepala seolah baru saja menyadari keberadaanku, "Kau sudah bangun?"
Aku mendapatkan pesan masuk dari Savana. Dia meminta bantuanku hari ini dan untuk yang ke-dua kalinya aku melihat sosok anak kecil yang berhasil mengguncang hidupku beberapa waktu lalu.Sampai detik ini tetap sama, Sunny memandangiku dengan ekspresi datar andalannya. Apalagi saat aku berinteraksi dengan Savana, kerutan kecil menghiasi wajah mungil itu. Sepertinya Sunny tidak begitu senang dengan kehadiranku di antara mereka."Maaf karena sudah menghubungimu tiba-tiba. Hari ini pegawai yang aku perkerjakan untuk mengawasi Sunny tidak bisa datang. Jacob tidak bisa dihubungi dan aku tidak tahu harus minta bantuan pada siapa selain dirimu."Aku melirik kembali pada gadis kecil yang tidak mengubah ekspresinya. Bagaimana cara agar Sunny tidak berekspresi seperti itu lagi? Apalagi kami akan menghabiskan waktu berdua saja sampai Savana selesai bekerja. Pasti akan sangat canggung karena kami yang tidak begitu saling mengenal.
"A-aku kebetulan lewat." Alasan itu jelas tidak masuk akal untuk didengar. Mengalihkan suasana yang semakin canggung, aku kembali fokus pada tujuanku, "Savana sudah mengatakan agar kau segera pergi."Dari ekspresi itu Jacob tampaknya tidak senang dengan kehadiranku, "Kalau ada yang harus pergi, maka kau adalah orangnya."Memang benar di antara mereka, aku hanya orang asing yang tiba-tiba datang. Tetapi setelah Savana memberikan aku kesempatan, maka aku bukanlah orang asing lagi. Keberadaanku adalah bentuk dari perjuangan."Tidakkah kau mengerti kalau kau sudah ditolak? Pergilah sebelum kami memanggil polisi."Mata Jacob tampak merah setelah aku menyindirnya. Dia juga mengepalkan tangan seolah ingin melayangkan sebuah tinju padaku. Namun, aku sama sekali bergeming. Bagiku keberadaanku yang ingin membantu Savana, bukan sesuatu yang salah."Apa kau tidak mendengarnya? Savana ingin agar kau segera pergi
Mulanya aku hanya memperhatikan mereka saja dari kejauhan. Pintu gerbang terlihat bergerak menampakkan sosok cantik Savana. Tidak lama mereka berdiri di sana sebelum Jacob masuk pula ke dalam rumah.Aku bergegas mendekati pagar yang telah tertutup rapat. Hanya suara pintu rumah yang terdengar setelah itu. Bagaimanapun aku mencuri dengar tetap saja suasana hening. Akutidak bisa tahu aktivitas apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.Aku semakin gelisah lagi karenanya. Apalagi mengingat perlakuan buruk Jacob. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Savana? Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?Aku berjalan ke sana kemari sambil berpikir keras mencari jalan keluar. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk memanjat dinding. Aku beranjak ke sisi samping rumah mencari posi