Savana yang menghubungiku saja sudah bisa menghangatkan hati. Apalagi saat aku melihat huruf demi huruf yang terpampang di pesan masuk. Aku tidak bisa menyembunyikan kalau aku tersipu malu saat ini.
[Savana: Terima kasih sudah menemaniku sampai Jacob datang. Oh, jaketmu ada padaku. Aku akan mengembalikannya saat kita bertemu nanti.]
Dahi mengerut dalam saat aku mulai menyadari kalau jaketku masih ada bersama Savana. Gawat! Bagaimana jika Jacob tahu sang istri mengenakan jaket seorang pria?
Aku segera membalas pesan itu dan bertanya, apakah semuanya baik-baik saja? Sangat bagus jika hubungan rumah tangga Savana retak, tetapi aku bukan pemeran antagonis yang menginginkan hal itu terjadi.
Tidak lama kemudian pesan masuk tampil di layar. Sebaiknya aku mendapatkan kabar gembira karena kalau tidak, aku akan menyesal seumur hidup karena telah membuat Savana bersedih.
[Savana: Ya. Semuanya baik-baik saja di sini.]
Aku bisa bernapas lega setelah membaca pesan terakhir. Tidak seperti apa yang dibayangkan, ternyata Jacob adalah suami yang pengertian. Tidak memarahi Savana karena mengenakan jaket pria lain.
Aku telah salah menilai pria yang mulanya aku anggap sebagai kerabat dan berubah menjadi saingan. Savana telah bertemu pria sejati yang akan membahagiakannya. Aku ternyata datang terlambat.
***
Aku duduk sambil menopang dagu di meja pelanggan seorang diri. Pikiranku masih tidak jauh-jauh dari Savana. Melihat jadwal kedatangan biasanya, Savana tidak akan datang hari ini.
Tidak tahu aktivitas yang sedang Savana lakukan sekarang, tetapi aku berpikiran buruk mengenai hal itu. Pasti Savana sedang menghabiskan waktu bersama keluarga kecil yang penuh kebahagiaan.
Wanita cantik dan pria rupawan memang pantas bersama. Sementara aku hanya butiran debu yang terbang tertiup angin.
"Kau tidak ingin bekerja?"
Rose berdiri di sampingku sambil melipatkan tangan di dada. Aku paling malas jika harus berhadapan dengan Rose. Selain perasaannya padaku, dia juga sangat usil. Aku tidak menyukai hal itu.
Aku bangkit tanpa melepaskan tangan dari meja. Kain lap diputar menyapu setiap sisi, mengilapkan meja sebelum digunakan nantinya. Kemudian aku berpindah ke meja lain untuk melakukan hal yang sama.
"Patah hati memang sangat menyakitkan." Rose yang berbicara seperti sedang meledekku.
Pada akhirnya mau tidak mau, aku harus mengangkat suara, "Kau membuat suasana hatiku semakin buruk."
"Wah, tadi kau baru saja mengakui kalau kau menyukai pelanggan tetap kita."
"Aku memang menyukainya," ucapku lantang. "Dan sebaiknya kau membersihkan meja ketimbang mengurus urusan orang lain." Aku memberikan kain lap yang aku gunakan ke tangan Rose, lalu berlalu menuju meja bar.
Tidak disangka jika Rose akan tetap mengikutiku, "Aku benar, bukan? Kau selalu menatap wanita itu dengan mata yang berbinar-binar. Aku sudah memperhatikannya sejak lama. Tadi malam kau juga memberikan jaketmu padanya dan pulang kehujanan. Kasihan sekali harus menjaga pasangan orang lain di saat kau sendiri sebenarnya menyukai orang itu," ledeknya tertawa lebar.
"Aku memang menyukai Savana dan hal itu tidak ada hubungannya denganmu!" hardikku begitu marah karena Rose selalu saja mengganggu.
Suara gemerincing membuat kami harus menyudahi pembicaraan. Kami berpaling untuk menyambut pelanggan, akan tetapi hal tidak terduga terjadi.
"Savana," ucapku tidak tahu bagaimana untuk bersikap.
Sudah berapa lama Savana berada di sana? Melihat ekspresi terkejut itu sepertinya Savana telah mendengar semua.
"Aku ... datang untuk mengembalikan jaketmu."
***
Aku tidak berani menatap langsung ke arah Savana. Sejak tadi hanya menundukkan kepala dan berharap kalau hal buruk tidak terjadi. Aku sangat khawatir mengenai apa yang dipikirkan Savana. Tidak sanggup pula untuk sekadar menebak-nebak. Kenyataan akan begitu pahit untuk didengar.
Percakapan kami dimulai dari Savana yang menyodorkan kantong kertas. Aku mengambilnya, lalu mengintip isi di dalam kantong. Jaket berwarna coklat tua yang aku berikan pada Savana tadi malam.
"Terima kasih sudah meminjamkannya padaku." Savana tersenyum. Aku bisa melihat kalau dia menunduk setelah itu.
Aku ingin menjelaskan kejadian tadi, tetapi sepertinya lebih baik tidak perlu disinggung. Suasana hati Savana hanya akan terganggu nanti. Sekarang saja sudah terlihat buruk.
"Hunter, maafkan aku. Kau menungguku sampai harus pulang kehujanan. Padahal kau juga kedinginan, tapi aku yang memakai jaketmu."
Apa itu yang menjadi beban pikiran bagi Savana? Bukan mengenai bagaimana perasaan yang aku miliki?
Aku berusaha bersikap tenang, lalu berkata, "Menunggumu atau tidak, kemarin hujan sangatlah lebat. Aku tetap akan pulang dalam keadaan basah. Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu."
Savana terlihat berkurang bebannya. Dia tersenyum ringan padaku sebelum berkata, "Pria yang kau lihat kemarin namanya Jacob, ayahnya Sunny."
Aku sudah menduga hal itu, "Kau pasti mencintainya."
"Ya ... dulu."
Aku yang tadinya mengepalkan tangan akibat menahan rasa sakit di hati seketika terdiam. Apa maksudnya dengan 'dulu'? Maksudnya sekarang Savana tidak mencintai Jacob lagi?
"Apa maksudmu?" tanyaku mulai tidak sabaran.
"Aku mencintainya dulu sebelum kami memutuskan untuk berpisah."
Aku menghela napas panjang dan menundukkan kepala. Mendengar kalau rumah tangga Savana hancur membuatku sedih. Namun, di sisi lain aku sangat gembira mengetahui ada kesempatan untukku.
"Maafkan aku harus membuatmu mengatakannya."
"Tidak apa-apa. Aku sudah tidak berada dalam fase menyedihkan itu lagi," ucap Savana ringan seolah benar-benar sudah lepas kesedihannya.
Aku juga tersenyum untuknya. Cukup lama kami berada dalam situasi yang hening. Tatapan mata bertemu beberapa kali, tetapi tidak ada yang mau bicara. Tidak tahu harus berkata apa. Entah mengapa kami menjadi semakin canggung tanpa alasan yang jelas.
"Espresso-mu akan segera dingin," ucapku mencoba untuk mencairkan suasana.
Savana tidak menolak untuk menyentuh gelas minuman. Dia mengambil beberapa teguk sebelum meletakkannya kembali. Melirikku sebentar, lalu mengalihkan pandangan. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan, tetapi aku juga melihat keraguan di sana.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
"Semua berjalan lancar," ucapnya singkat.
Kami seperti pertama kali bertemu. Suasana sangat canggung sekali dengan sikap ragu-ragu Savana. Biasanya yang paling banyak berbicara dan bertanya adalah Savana, tetapi aku tidak melihat itu sekarang.
Savana meneguk minumannya kembali dan meninggalkan gelas kosong di atas meja. Aku segera bangkit dengan maksud mengisi gelas itu, akan tetapi Savana menolak dan berkata kalau tidak haus.
Aku yang melihat pemandangan sebaliknya hanya bisa menurut. Mungkin Savana sedang mengumpulkan keberanian untuk menanyakan suatu hal padaku. Oleh karena itu, dia menandaskan minuman dengan cepat untuk meredakan keraguan.
"Savana," ucapku kemudian membuat tatapan kami bertemu. "kau bisa menanyakan apa pun padaku tanpa ragu."
"Ah, apa aku membuatmu terlalu lama menunggu? Aku hanya takut jika apa yang aku dengar tidak benar."
Arah pembicaraan ini kemungkinan besar adalah Savana mendengar pembicaraanku dengan Rose. Mungkin keraguan itu tercipta dari pernyataan perasaanku secara tidak langsung. Savana pasti serba salah saat ini.
Aku tidak bisa menghindar lagi karena semuanya sudah terungkap. Lagi pula bukankah Savana dan Jacob sudah berpisah? Ini adalah kesempatanku untuk mendapatkan Savana.
"Savana ...." Aku menatap matanya dalam-dalam. "Aku menyukaimu. Sejak pertama kali kita bertemu," ucapku sungguh-sungguh.
Savana tampak sangat terkejut mendengar pernyataanku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, aku sama sekali tidak tahu. Aku juga tidak ingin menebaknya karena hanya akan menggoyahkan kepercayaan diriku."Apa kau memiliki hubungan istimewa dengan seorang pria? Atau adakah pria yang menempati hatimu saat ini?"Savana masih terdiam saat menghadapi keberanianku. Tidak dapat berkata-kata. Meskipun begitu aku tidak mundur lagi untuk mengatakan bagaimana perasaanku yang sesungguhnya."Tidak. Untuk apa kau bertanya?" tanyanya seolah masih tidak percaya.Aku berpikir sesaat sebelum keyakinan semakin tumbuh di hatiku, "Selama jawaban itu masih sama, aku tidak akan menyerah untuk mendapatkanmu. Entah kau suka atau tidak, aku ingin kau mempertimbangkan kesungguhanku."Tiba-tiba Savana bangkit dari duduknya dan membuatku terbengong, "Maaf, Hunter. A-aku harus pergi bekerja sekarang."
Dari kaca jendela yang menampakkan pelanggan kafe, aku melihat Savana tengah duduk dengan ekspresi muram. Aku belum pernah melihat dia yang seperti itu. Sepertinya akibat pernyataan yang aku ungkapkan kemarin. Apakah Savana begitu tidak ingin jika aku memiliki perasaan padanya?Aku bergegas masuk ke dalam kafe dan menghampiri Savana. Di saat itu pula tatapan mata kami bertemu. Perasaanku saat ini sulit dijelaskan. Tumpang tindih antara ingin melanjutkan perjuangan dan tidak ingin melanjutkan perjuangan. Alasannya adalah karena aku tidak ingin melihat pemandangan semacam ini."Lupakan saja.""Apa yang harus aku lupakan?" tanyanya bingung."Kau tidak perlu mengkhawatirkan bagaimana perasaanku padamu. Lupakan saja jika hal itu membuatmu tidak nyaman."Satu hal lagi yang paling penting, aku tidak ingin membuat hubungan kami menjadi jauh. Sangat sulit bagiku jika Savana tidak lagi memunculkan diri. Aku t
Mulanya aku hanya memperhatikan mereka saja dari kejauhan. Pintu gerbang terlihat bergerak menampakkan sosok cantik Savana. Tidak lama mereka berdiri di sana sebelum Jacob masuk pula ke dalam rumah.Aku bergegas mendekati pagar yang telah tertutup rapat. Hanya suara pintu rumah yang terdengar setelah itu. Bagaimanapun aku mencuri dengar tetap saja suasana hening. Akutidak bisa tahu aktivitas apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.Aku semakin gelisah lagi karenanya. Apalagi mengingat perlakuan buruk Jacob. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Savana? Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?Aku berjalan ke sana kemari sambil berpikir keras mencari jalan keluar. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk memanjat dinding. Aku beranjak ke sisi samping rumah mencari posi
"A-aku kebetulan lewat." Alasan itu jelas tidak masuk akal untuk didengar. Mengalihkan suasana yang semakin canggung, aku kembali fokus pada tujuanku, "Savana sudah mengatakan agar kau segera pergi."Dari ekspresi itu Jacob tampaknya tidak senang dengan kehadiranku, "Kalau ada yang harus pergi, maka kau adalah orangnya."Memang benar di antara mereka, aku hanya orang asing yang tiba-tiba datang. Tetapi setelah Savana memberikan aku kesempatan, maka aku bukanlah orang asing lagi. Keberadaanku adalah bentuk dari perjuangan."Tidakkah kau mengerti kalau kau sudah ditolak? Pergilah sebelum kami memanggil polisi."Mata Jacob tampak merah setelah aku menyindirnya. Dia juga mengepalkan tangan seolah ingin melayangkan sebuah tinju padaku. Namun, aku sama sekali bergeming. Bagiku keberadaanku yang ingin membantu Savana, bukan sesuatu yang salah."Apa kau tidak mendengarnya? Savana ingin agar kau segera pergi
Aku mendapatkan pesan masuk dari Savana. Dia meminta bantuanku hari ini dan untuk yang ke-dua kalinya aku melihat sosok anak kecil yang berhasil mengguncang hidupku beberapa waktu lalu.Sampai detik ini tetap sama, Sunny memandangiku dengan ekspresi datar andalannya. Apalagi saat aku berinteraksi dengan Savana, kerutan kecil menghiasi wajah mungil itu. Sepertinya Sunny tidak begitu senang dengan kehadiranku di antara mereka."Maaf karena sudah menghubungimu tiba-tiba. Hari ini pegawai yang aku perkerjakan untuk mengawasi Sunny tidak bisa datang. Jacob tidak bisa dihubungi dan aku tidak tahu harus minta bantuan pada siapa selain dirimu."Aku melirik kembali pada gadis kecil yang tidak mengubah ekspresinya. Bagaimana cara agar Sunny tidak berekspresi seperti itu lagi? Apalagi kami akan menghabiskan waktu berdua saja sampai Savana selesai bekerja. Pasti akan sangat canggung karena kami yang tidak begitu saling mengenal.
Aku tersentak ketika mendengar suara yang tidak tahu apa. Saat membuka mata, tanpa diduga aku sudah berbaring di sofa. Sepertinya aku tertidur setelah bermain dengan Sunny.Aku juga mendapati tubuhku ditutupi oleh selimut. Langsung saja aku bangun untuk melihat apa yang sedang terjadi di dapur karena suara yang membangunkanku asalnya dari sana.Pemandangan yang aku lihat adalah Savana. Sebenarnya aku sudah tahu jawaban akan kebingunganku, akan tetapi aku ingin memastikannya lagi. Ternyata benar kalau Savana sudah pulang.Kini Savana sibuk di dapur dengan penampilan yang menurutku sangat menawan. Rambut diikat, apron, dan pakaian rumahan. Savana menggetarkan hati dan jiwaku pada saat yang bersamaan. Pemandangan seperti ini membuatku menjadi tenang.Di saat itu pula Savana yang selesai mencicipi makanan, menolehkan kepala seolah baru saja menyadari keberadaanku, "Kau sudah bangun?"
Aku datang lebih dulu dan menunggu di depan taman hiburan. Tidak lama untuk menunggu kedatangan Savana. Dari jauh hal pertama yang menarik perhatianku adalah ekspresi Sunny yang begitu girang. Sepertinya anak kecil itu sangat menantikan hari ini.Setelah sampai di hadapanku, Savana berkata, "Apa kau menunggu lama?"Aku menggelengkan kepala pelan. Hanya lima belas menit seharusnya bukan waktu yang lama. "Aku belum lama ini datang. Ah," aku menunjukkan apa yang ada di dalam genggaman, "aku sudah memesan tiketnya. Kita bisa masuk ke taman hiburan sekarang."Savana terlihat sedikit terkejut sekaligus menyayangkan sesuatu. “Padahal kau tidak perlu sampai seperti itu. Hari ini adalah ulang tahun Sunny dan aku memintamu untuk datang menemani. Sudah seharusnya aku yang membelikan tiket."Tiket hiburan yang aku genggam kini membuatku teringat akan suatu hal. Untuk membeli tiket hiburan yang terbilang ti
Sunny masih tersedu, tetapi perhatiannya sudah teralih. Perlahan tangisan mulai memudar dan tangannya tidak lagi sering mengusap air mata."Dari permen kapas itu, kita bisa mendapatkan kuda yang sangat besar," sambungku memperagakan kata 'besar' menggunakan kedua tangan."Apakah yang paman ... katakan ... itu benar?" ucap Sunny masih sedikit tersedu."Tentu saja!" Aku menunjuk salah satu stan yang mana menjual permen kapas. "Kita bisa mendapatkannya di sana. Apa kau menginginkannya?"Sunny menganggukkan kepala, lalu aku menggenggam tangannya untuk pergi. Hanya saja langkah anak kecil yang ingin aku bawa memberat dan membuatku segera menolehkan kepala. Saat ini aku melihat Sunny yang kini melihat ke satu titik. Di sana ada Savana yang sedang menelepon."Ada apa?""Sunny tidak boleh makan permen," ucapnya dengan tampang sedih.Tidak lama kemudian tampak Savana mengham
Aku duduk dengan canggung bersama Rose di salah satu meja. Semua orang di sekeliling kami berpakaian formal layaknya memiliki integritas tinggi. Tidak berbeda dengan apa yang menempel di tubuhku. Namun, dibandingkan hal itu, aku tertarik pada para tamu yang hadir di restoran yang mana duduk secara berpasang-pasangan. Didukung oleh ruangan yang didesain seolah menjadi latar tempat kencan.Menu makanan dihidangkan tanpa kami pesan terlebih dahulu. Berbeda dengan Rose yang tampak santai-santai saja, justru otakku dipenuhi oleh tanda tanya besar. Sampai saat ini belum ada jawaban yang aku dapatkan dari Rose mengenai keberadaan kami. Hingga para pegawai yang menghidangkan makanan pergi, baru aku memiliki kesempatan untuk berbicara dengan tenang."Apa—""Wah, semua terlihat sangat menggiurkan! Aku tidak sabar untuk memakan semua hidangan ini!"Aku menghentikan tangan yang akan bergerak mengambil sepotong daging, lalu berk
Aku memang masih bergantung pada orang tua, akan tetapi bukan berarti aku tidak berusaha memeras keringat. Sebisa mungkin aku ingin meringankan beban kedua orang tua dengan bekerja sambil menempuh pendidikan. Tidak seharusnya tingkatakanku begitu buruk.Namun, sudah sulit seperti itu, bukan berarti aku mendekati Savana karena ingin mencukupi kebutuhan. Tujuanku murni karena perasaan yang aku punya padanya. Bahkan, satu persen pun tidak pernah terpikirkan untuk mengambil keuntungan dari hubungan kami.Kini berganti aku yang menekan-nekan dada Jacob. "Kau memang menang dalam segi materi. Sayangnya materi bukan satu-satunya hal yang paling dibutuhkan dalam sebuah hubungan. Aku memang kerikil kecil dan kerikil kecil ini juga bisa membuatmu terpeleset."Tatapan Jacob semakin marah, ditambah dia menyingkirkan tanganku dengan kasar dan membuat kemarahan semakin jelas terlihat. Sepertinya kemarahan yang Jacob punya sudah terbakar, tetapi
Aku melebarkan kedua mata sambil menatap ke arah Savana yang terlihat sama terkejutnya denganku. Jika begitu, aku tidak mungkin salah dengar. Sunny benar-benar memanggilku dengan sebutan yang menurutku mustahil. Selama ini aku berpikir akan sulit membuat Sunny menerima kehadiranku, tetapi nyatanya tidak seburuk itu."Pa-paman Papa?""Sunny, sekarang sudah waktunya untuk istirahat. Ayo, kita sikat gigimu lebih dulu," ajak Savana tiba-tiba. Aku merasa kalau dia sengaja mengalihkan perhatian.Aku duduk saja memperhatikan mereka berlalu pergi membawa permen kapas kuda menuju kamar. Entah aku harus senang karena anak dari wanita yang aku sukai menerimaku atau aku harus sedih karena tidak terlihat kata 'setuju' di ekspresi wajah Savana. Meskipun begitu aku cukup senang karena Sunny tidak lagi bersedih di hari ulang tahunnya.Lama menunggu akhirnya Savana muncul dan menutup pintu kamar lambat-lambat. Dari gerakannya tampak
Sunny masih tersedu, tetapi perhatiannya sudah teralih. Perlahan tangisan mulai memudar dan tangannya tidak lagi sering mengusap air mata."Dari permen kapas itu, kita bisa mendapatkan kuda yang sangat besar," sambungku memperagakan kata 'besar' menggunakan kedua tangan."Apakah yang paman ... katakan ... itu benar?" ucap Sunny masih sedikit tersedu."Tentu saja!" Aku menunjuk salah satu stan yang mana menjual permen kapas. "Kita bisa mendapatkannya di sana. Apa kau menginginkannya?"Sunny menganggukkan kepala, lalu aku menggenggam tangannya untuk pergi. Hanya saja langkah anak kecil yang ingin aku bawa memberat dan membuatku segera menolehkan kepala. Saat ini aku melihat Sunny yang kini melihat ke satu titik. Di sana ada Savana yang sedang menelepon."Ada apa?""Sunny tidak boleh makan permen," ucapnya dengan tampang sedih.Tidak lama kemudian tampak Savana mengham
Aku datang lebih dulu dan menunggu di depan taman hiburan. Tidak lama untuk menunggu kedatangan Savana. Dari jauh hal pertama yang menarik perhatianku adalah ekspresi Sunny yang begitu girang. Sepertinya anak kecil itu sangat menantikan hari ini.Setelah sampai di hadapanku, Savana berkata, "Apa kau menunggu lama?"Aku menggelengkan kepala pelan. Hanya lima belas menit seharusnya bukan waktu yang lama. "Aku belum lama ini datang. Ah," aku menunjukkan apa yang ada di dalam genggaman, "aku sudah memesan tiketnya. Kita bisa masuk ke taman hiburan sekarang."Savana terlihat sedikit terkejut sekaligus menyayangkan sesuatu. “Padahal kau tidak perlu sampai seperti itu. Hari ini adalah ulang tahun Sunny dan aku memintamu untuk datang menemani. Sudah seharusnya aku yang membelikan tiket."Tiket hiburan yang aku genggam kini membuatku teringat akan suatu hal. Untuk membeli tiket hiburan yang terbilang ti
Aku tersentak ketika mendengar suara yang tidak tahu apa. Saat membuka mata, tanpa diduga aku sudah berbaring di sofa. Sepertinya aku tertidur setelah bermain dengan Sunny.Aku juga mendapati tubuhku ditutupi oleh selimut. Langsung saja aku bangun untuk melihat apa yang sedang terjadi di dapur karena suara yang membangunkanku asalnya dari sana.Pemandangan yang aku lihat adalah Savana. Sebenarnya aku sudah tahu jawaban akan kebingunganku, akan tetapi aku ingin memastikannya lagi. Ternyata benar kalau Savana sudah pulang.Kini Savana sibuk di dapur dengan penampilan yang menurutku sangat menawan. Rambut diikat, apron, dan pakaian rumahan. Savana menggetarkan hati dan jiwaku pada saat yang bersamaan. Pemandangan seperti ini membuatku menjadi tenang.Di saat itu pula Savana yang selesai mencicipi makanan, menolehkan kepala seolah baru saja menyadari keberadaanku, "Kau sudah bangun?"
Aku mendapatkan pesan masuk dari Savana. Dia meminta bantuanku hari ini dan untuk yang ke-dua kalinya aku melihat sosok anak kecil yang berhasil mengguncang hidupku beberapa waktu lalu.Sampai detik ini tetap sama, Sunny memandangiku dengan ekspresi datar andalannya. Apalagi saat aku berinteraksi dengan Savana, kerutan kecil menghiasi wajah mungil itu. Sepertinya Sunny tidak begitu senang dengan kehadiranku di antara mereka."Maaf karena sudah menghubungimu tiba-tiba. Hari ini pegawai yang aku perkerjakan untuk mengawasi Sunny tidak bisa datang. Jacob tidak bisa dihubungi dan aku tidak tahu harus minta bantuan pada siapa selain dirimu."Aku melirik kembali pada gadis kecil yang tidak mengubah ekspresinya. Bagaimana cara agar Sunny tidak berekspresi seperti itu lagi? Apalagi kami akan menghabiskan waktu berdua saja sampai Savana selesai bekerja. Pasti akan sangat canggung karena kami yang tidak begitu saling mengenal.
"A-aku kebetulan lewat." Alasan itu jelas tidak masuk akal untuk didengar. Mengalihkan suasana yang semakin canggung, aku kembali fokus pada tujuanku, "Savana sudah mengatakan agar kau segera pergi."Dari ekspresi itu Jacob tampaknya tidak senang dengan kehadiranku, "Kalau ada yang harus pergi, maka kau adalah orangnya."Memang benar di antara mereka, aku hanya orang asing yang tiba-tiba datang. Tetapi setelah Savana memberikan aku kesempatan, maka aku bukanlah orang asing lagi. Keberadaanku adalah bentuk dari perjuangan."Tidakkah kau mengerti kalau kau sudah ditolak? Pergilah sebelum kami memanggil polisi."Mata Jacob tampak merah setelah aku menyindirnya. Dia juga mengepalkan tangan seolah ingin melayangkan sebuah tinju padaku. Namun, aku sama sekali bergeming. Bagiku keberadaanku yang ingin membantu Savana, bukan sesuatu yang salah."Apa kau tidak mendengarnya? Savana ingin agar kau segera pergi
Mulanya aku hanya memperhatikan mereka saja dari kejauhan. Pintu gerbang terlihat bergerak menampakkan sosok cantik Savana. Tidak lama mereka berdiri di sana sebelum Jacob masuk pula ke dalam rumah.Aku bergegas mendekati pagar yang telah tertutup rapat. Hanya suara pintu rumah yang terdengar setelah itu. Bagaimanapun aku mencuri dengar tetap saja suasana hening. Akutidak bisa tahu aktivitas apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.Aku semakin gelisah lagi karenanya. Apalagi mengingat perlakuan buruk Jacob. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Savana? Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?Aku berjalan ke sana kemari sambil berpikir keras mencari jalan keluar. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk memanjat dinding. Aku beranjak ke sisi samping rumah mencari posi