"Bening, besok aku dan Umi diundang ke Pondok Kiyai Hafidz. Kamu ikut, ya?" ajak Ning Zil. Guru sekaligus sahabat Bening saat masih menjadi murid di Pondok Al Jabbar ini.
Siang ini Bening sengaja bertandang ke Pondok karena waktu kerja yang senggang. Sudah hampir satu tahun ia kembali ke Jogjakarta dan menerima tawaran bekerja di kantor pemesanan tiket pesawat.
"Sekalian ketemu sama Evi. Sudah lama, kan, kalian tidak ketemu?" lanjut Ning Zil. Bening hanya tersenyum ragu.
Dulu mereka selalu bertiga bersama Evi, sahabat Bening yang juga sama-sama tinggal di Pondok ini. Evi dan Bening kuliah di kampus yang berbeda. Keduanya dipertemukan takdir di tempat ini. Dulu sistem pesantren tidak seperti sekarang yang menyatu menjadi kurikulum pembelajaran. Setelah Bening pulang karena rencana pernikahannya itu, tak lama Evi dilamar oleh seorang putra Kiyai pengasuh pondok As Salam--Gus Qirom. Beliau masih sepupu Ning Zil.
"Gak enak, ah, Ning Zil." Jujur dalam hati kecilnya, Bening masih enggan bertemu siapapun. Ia hanya menghabiskan waktu di tempat kerja, kontrakan dan sesekali ke pondok. Bukan karena belum move on dari kejadian itu tetapi lebih ke perasaan canggung dan minder.
"Heh, kenapa gak enak? Siapa tahu ketemu jodoh di sana." Ning Zil menggoda gadis yang siang ini memakai bergo biru muda itu. Tanpa disadari uacapannya membuat Bening tertohok. Selain rasa minder, ada cubitan kecil terasa di sana.
"Hus, kamu aneh-aneh aja, Nduk." Tiba-tiba Bu Nyai Rukayah muncul dari pintu depan. Sepertinya obrolan kedua gadis itu mencuri rungunya.
"Loh, siapa tahu, toh, Mi." Ning Zil melirik sungkan ke arah Bening.
"Saya masih belum siap."
"Sudah setahun, Ning. Sampe kapan terus-terusan bersembunyi? nanti malah jadi ansos, loh." Ning Zil menambahkan.
"Tapi yang dibilang Zilah ada benarnya, Ning." Bu Nyai Rukayah akhirnya menyamakan pendapat.
"Insyaallah, Bu Nyai, nanti saya pastikan bada asar. Nanti saya kabari lewat watsap." Bening mempertimbangkan.
"Saya pamit ke ruang admin dulu, Mi, Ning. Jangan lupa kabari, loh. Aku harap, sih, jadi ikut." Ning Zil terus saja membujuk, kemudian menghilang dari pandangan dua perempuan yang masih terduduk di teras rumah utama.
"Saya juga sekalian pamit, Bu Nyai." Bening mohon diri.
"Bening," panggil Bu Nyai. Bening urung melangkah keluar teras. Menoleh ke wajah teduh itu.
"Masih ingat dengan seseorang yang pernah saya ajukan untuk taaruf?" Pertanyaan Bu Nyai membuat ingatan Bening bergeser ke masa dua tahun silam.
Seseorang yang diajukan Bu Nyai, masih misteri dipikiran Bening. Belum menemukan jawaban pasti. Tak henti-henti berdoa disetiap istikharah-nya, memohon petunjuk. Kemunculan sosok dalam mimpinya masih dengan gambaran yang sama seperti saat ia melakukan istikharah sebelumnya. Namun, tetap belum bisa menangkap dengan jelas wajah itu. Hanya ciri-cirinya saja, sosok itu selalu muncul dengan kemeja yang dilipat hingga siku lengannya.
Awalnya ia berpikir sosok itu adalah Defri, karena ciri-ciri itu ia temukan dalam pria bertubuh tinggi itu. Saat bertemu kembali, ia melihat Defri mengenakan kemeja dengan gaya yang nampak dalam mimpinya. Namun, ketika kegagalan memorak-porandakan rencana itu, justru harapan hati kecilnya kembali tertuju pada lelaki yang hilang--Senja. Jika boleh memaksa, ia hanya meminta Senja. Mungkinkah kegagalan itu salah satu jalan untuknya bertemu kembali dengan Senja? tetapi sekarang Bu Nyai Rukayah kembali mempertanyakan tentang seseorang yang diajukannya dulu.
"Masih, Bu Nyai." Bening mengangguk pelan. Kemudian langkahnya kembali mendekat Bu Nyai, saat perempuan bijak itu mengisyaratkannya untuk kembali duduk.
"Apa sudah ada seseorang yang menjadi calonmu sekarang?" tanya Bu Nyai. Bening hanya menggeleng.
"Jika Allah mengizinkan dan kamu rida menerima, saya ajukan ulang orang tersebut." Entah kenapa raut Bu Nyai kali ini menunjukkan rona haru. Bening menangkap kristal menggantung di sudut mata beliau. Namun, Bu Nyai berusaha menekannya.
"Kamu tidak harus menjawab sekarang, silahkan yakinkan dirimu dulu. Kalo sudah yakin, saya akan beritahu orangnya."
"Apakah saya kenal orangnya, Bu Nyai?"
"Tentu, kamu mengenalnya. Dia pun mengenalmu sudah lama." Ucapan terakhir Bu Nyai membuat pikiran Bening terpencar kemana-mana. Ruang kosong di hati dan pikirannya mengundang halusinasi tentang Senja.
"Mungkinkah itu Senja? Tapi bagaimana mungkin mereka kenal satu sama lain?" Bening membatin.
Hatinya begitu tertutup rapat oleh nama itu. Harapannya terlalu besar terhadap Senja, sehingga ia selalu menduga-duga hal bodoh seperti itu.
"Apa Ning Zil dan Evi juga tahu orangnya?" Pertanyaan Bening membuat Bu Nyai tersenyum simpul.
"Tentu saja mereka tahu, tetapi belum tahu kalo orang itu mau mengkhitbahmu." Jawaban Bu Nyai membuat hati Bening makin sesak.
Dugaannya tentang Senja, tentu saja salah. Mana mungkin Ning Zil kenal Senja. Jadi siapa orang itu. Bening mencoba meraba dengan ingatannya.
***
Bersambung ...
Berawal di titik nol kilometer Yogyakarta.Lalu,Menghilang seperti layang-layang yang putus dari benang. Akhir kisah cinta pantomim yang tak pernah tersentuh tetapi terasa runtuh.Dalam keputusasaan, masih tetap berharap ada asa. Meski harus terkapar karena memendamnya dalam-dalam. Jika Doa dan Takdir saling berkejaran, mungkinkah doa dapat menyalip takdir yang menunggu cinta dalam diam?"Menurutmu kenapa Ken Arok dalam cerita tadi harus terjerembab mencintai Ken Dedes yang statusnya adalah istri Tunggul Ametung?" Cerita pagelaran tadi rupanya masih melekatkan banyak tanda tanya di kepala lelaki bermata ala jepang itu.Hari menjelang sore saat Bening dan Senja selesai menikmati pagelaran seni tradisional di Monumen Jogja Kembali. Saat ini, mereka tengah menikmati sajian khas angkringan di perempatan Tugu dengan obrolan santai.Bening tampak berpikir menanggapi pertanyaan Senja, karena isi kepalanya tak mampu menyerap selur
"Ning, assignment hari ini, nih." Dito menunjuk layar monitor laptop di meja kerjanya, seraya menoleh ke arah Bening."Apaan?" Bening masih sejurus ke depan layar, beberapa data base harus segera di input ke dalam data entry."Hari ini ada penjemputan tamu VIP, kamu dapet tugas ke bandara.""What? Haduh, mana banyak banget lagi, nih, data yang harus aku beresin." Bening berdecak. Tugas di luar kantor adalah hal yang sangat Bening hindari karena sisi introvert-nya selalu merasa malas bersitatap dengan khalayak."Tenang aja. Si bos pasti ngertilah. Udah, siap-siap, tar telat lagi." Dito mengingatkan."Emang, jam berapa mendaratnya?""Masih empat jam lagi, sih. Cumanya, kan, jaga-jaga kalo jalanan macet, Ning. Tau sendiri sekarang Jogja udah mulai kek Jekardah." Gaya Dito menirukan anak-anak gaul Ibu kota."Detailnya udah kamu print, Dit?" Bening melirik Dito yang segera beralih pada data tamu rombongan di folder laptop
Belum sempat bertemu dengan Gus Toif, Bening kembali tersadar akan tugasnya hari ini. Ia bergegas mohon diri pada Bu Nyai Rukayah dan Ning Zil. Berjalan tergesa ke ruangan VIP dan mencoba lagi menghubungi nomor kantor atau Dito. Namun, ah, sial! baterai ponselnya mati total. Ruang VIP telah benar-benar sepi siang itu, tak ada lagi daftar tamu yang akan tiba. Akhirnya dengan segala kepasrahan, ia kembali ke kantor."Bening, haduh! Saya gak ngerti, kok, bisa datanya ketuker, sih?" Pak Bowo langsung menyambut Bening dengan nada kecewa. Gadis itu melirik Dito yang sedari tadi hanya menunduk."Kamu juga Dito, kok, bisa kasih data yang salah? Kan, sudah saya update?" lanjut Pak Bowo memburu Dito."Maaf, Pak. Saya yang tidak teliti, tadi pagi buru-buru tidak cek ulang." Akhirnya Bening berucap. Pak Bowo menghembuskan nafas pendek dan keras."Ketahuilah, perusahaan Pratama Corporation ini sudah l
"Guys, ada kabar baik. Alhamdulillah, Pratama Corporation memberikan feedback positif. Meski ada kekecewaan, tapi pimpinan mereka masih berbaik hati." Pak Bowo membuka briefing pagi ini."Mereka juga selalu puas dengan hotel yang Kita rekomendasikan. Kemarin siapa yang ajukan hotelnya?" lanjut Pak Bowo lagi."Bening, Pak." Danang sebagai salah satu supervisor di sana, memang menugaskan Bening untuk survey hotel yang akan direkomendasikan pada tamu istimewa mereka."Good, Ning. Itu point plus. Cuma, please jangan sampe terulang lagi kejadian kemarin. Saya mengerti kadang itu terjadi di dunia kerja. Sengaja atau tidak sengaja, saya harap setiap kesalahan dapat jadi Pelajaran untuk kedepannya. Oke?""Siap!" Serentak jawab semua."Feedback dari Pratama Corporation terkirim via email saya, oleh direktur utamanya langsung, yaitu Bapak Putra.
Lari dari apa yang menyakitimu, akan semakin menyakitimu. Jangan lari, terlukalah sampai kamu sembuh._Maulana Jalaluddin Rumi_Situasi itulah yang tengah Senja rasakan. Sakit dan terluka. Terlalu lama menahan rindu dan memendamnya sendirian. Namun, kekuatan logikanya selalu dapat menyingirkan perasaannya. Tanpa disadari hatinyalah yang ia abaikan."Ah, mungkin aku masih terbawa suasana Jogja, makanya perasaan itu datang lagi." Pria itu membatin. Memandangi langit Balikpapan dari balik jendela kamarnya. Mendung tampak menggantung sore ini. Padahal pagi tadi masih cerah saat ia bermain golf.Kamar ini seakan menyerapnya dalam kesendirian, setelah tawa dan obrolan hangat dengan relasi, rekan bisnis atau orang terdekatnya. Hanya di kamar ini ia bisa menunjukkan sebenar-benar dirinya, tanpa seorang pun tahu yang ia pikirkan bahkan rasakan.Jalinan air dan bumi, semakin merapat hingga tak ada celah untuk tak membasahi setiap benda yang t
Hal yang sama sekali tidak terlintas dalam benak Bening, rencana pernikahannya terbentur permasalahan mengenai kelengkapan dokumen dari calon mempelai pria--Defri. Ternyata masih belum menyelesaikan urusan di pengadilan agama. Sehingga statusnya secara hukum masih terikat sebagai suami dari Sarita. Perempuan yang dinikahi Defri lima tahun silam. Akhirnya semua menjadi blur, apakah mereka telah resmi berpisah atau masih menyandang status perkawinan?Defri adalah lelaki yang sangat diinginkan oleh ibunda Bening sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah atas, dengan alasan kedekatan keluarga dan hal-hal berbau bisnis tentunya. Terkadang pemikiran orang tua terlalu memaksakan hanya untuk kepentingan mereka saja.Bening terlalu lama mendiamkannya, sehingga lelaki itupun mengambil keputusan menikah dengan gadis lain. Tak ada yang dapat menangkis takdir Tuhan, kabar perpisahan Defri mencuat ke seluruh antero kelurahan. Ibunda Bening langsung bergerak cepat. Membuat