Berawal di titik nol kilometer Yogyakarta.
Lalu,
Menghilang seperti layang-layang yang putus dari benang. Akhir kisah cinta pantomim yang tak pernah tersentuh tetapi terasa runtuh.
Dalam keputusasaan, masih tetap berharap ada asa. Meski harus terkapar karena memendamnya dalam-dalam. Jika Doa dan Takdir saling berkejaran, mungkinkah doa dapat menyalip takdir yang menunggu cinta dalam diam?
"Menurutmu kenapa Ken Arok dalam cerita tadi harus terjerembab mencintai Ken Dedes yang statusnya adalah istri Tunggul Ametung?" Cerita pagelaran tadi rupanya masih melekatkan banyak tanda tanya di kepala lelaki bermata ala jepang itu.
Hari menjelang sore saat Bening dan Senja selesai menikmati pagelaran seni tradisional di Monumen Jogja Kembali. Saat ini, mereka tengah menikmati sajian khas angkringan di perempatan Tugu dengan obrolan santai.
Bening tampak berpikir menanggapi pertanyaan Senja, karena isi kepalanya tak mampu menyerap seluruh makna cerita tadi. Mungkin karena hatinya terlalu senang setiap kali dekat dengan lelaki kurus itu.
"Heh, malah bengong!" Senja menjentikkan jemari, mengalihkan perhatian Bening padanya. Gadis itu tersenyum tipis.
"Menurut kamu, kenapa coba?"
"Mungkin kalo tidak ada sejarah Ken Arok terjerembab, maka tidak akan ada sejarah kutuk mengutuk, tidak akan ada korban jiwa dan perasaan dan sepertinya tidak akan muncul fenomena tikung menikung, yang pastinya itu berkaitan dengan kutukan empu keris itu." Senja tersenyum. Bening menemukan kepuasan digaris lengkung itu.
"Tahu, gak? Kalo dicerita utuhnya ada bagian yang tidak diceritakan," lanjutnya.
"Apa itu?" Bening penasaran.
"Sebetulnya lelaki pertama yang mencintai Ken Dedes itu adalah Joko Lolo. Sebelum dinikah paksa oleh Tunggul Ametung." Bening semakin takjub dengan pengetahuan Senja tentang sejarah.
"Cuma karena dia gagal memenuhi syarat yang diminta Ken Dedes, akhirnya tidak jadi dipersunting. Ya, yang mengagalkan pihak Dedes." Ada sedikit perubahan di rautnya.
"Mungkin si ceweknya gak cinta, kali." Bening nyeletuk, membuat Senja menatap lama ke arahnya sampai ia merasa salah tingkah ditatap seperti itu.
"Dari dulu cinta memang rumit." Senja terkekeh. Bening tertegun dengan kalimat terakhir Senja.
"Rumit? Iya serumit mengartikan sikap kamu." Bening bergumam dalam hati.
"Kalo hanya Salah satu saja yang punya rasa, ya bertepuk sebelah tangan."
"Tapi setidaknya Joko Lolo sudah berusaha berjuang, loh." Bening melirik ke arah Senja yang masih asik menikmati teh manis hangat.
Disela-sela dzikir petang, pikirannya kembali teringat Senja dalam kenangan-kenangan yang sulit sekali dienyahkan. Ia sadar semakin mengingat lelaki itu, hatinya semakin sakit. Namun menyingkirkannya justru lebih sakit. Akhirnya hanya membiarkan saja lelaki itu tetap ada bersama kenangan yang masih terus hidup.
"Seandainya saja ada keajaiban untuk kembali bertemu, sekali saja. Aku hanya ingin tahu perasaannya, tak lebih. Meskipun jujur saja, berharap akan berbalas," ucapnya menutup doa petang ini.
Hatinya kembali berdesah gelisah mengingat kalimat Evi saat bertemu di Pondok Gus Qirom kemarin. Dia banyak bercerita tentang Gus Toif--putra sulung Abah Yai Hamid, yang tak lain juga adalah putra Bu Nyai Rukayah. Sempat bertanya-tanya apakah seseorang yang diajukan Bu Nyai itu adalah Gus Toif? tetapi hatinya tak ingin berharap terlalu tinggi. Ia cukup sadar posisinya yang tidak mungkin bersanding dengan anak seorang Kiyai.
"Ada yang titip salam."
"Siapa?"
"Dari guru yang sering menghukum." Evi mengedipkan sebelah matanya. Tawa mereka meledak seketika.
"Dia bilang pengantin baru gak mau diganggu, sampe-sampe tidak ada kabar sama sekali." Ada nyeri di hati Bening saat Evi mengatakan itu. Kemudian Evi terdiam saat teringat kegagalan pernikahan sahabatnya.
"Maaf, Ning. Gak bermaksud."
"Gak apa- apa, Vi." Obrolan pun berlanjut.
Dari cerita Evi, Gus Toif memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Doktornya di Maroko, satu bulan setelah kepulangan Bening dari pondok. Beliau adalah sosok pengajar yang paling Bening hindari. Terlalu banyak kehebohan yang Bening ciptakan di sana, sehingga membuat Gus Toif memberinya hukuman berkali-kali.
Sampai pada cerita tak terlupakan, saat Gus Toif hendak mengendarai sepeda onthel bersejarah milik pondok. Secara tak sadar ia mengayuh pedal yang rantainya copot karena Bening jatuhkan dihari sebelumnya. Lalu terjadilah adegan nyungsep yang mengakibatkan sarung bagian belakangnya robek parah. Hal tersebut membuat Gus Toif uring-uringan sepanjang hari karena keki. Tak ayal hukumanpun dilayangkan pada sasaran--Bening.
Bening terkekeh mengingat kejadian itu. Betapa badung dirinya saat masih tinggal di sana. Di kepalanya kini berputar-putar memori masa keemasan di pondok dan kisah Ken Arok di Monjali disuatu senja, lima tahun yang lalu.
***
Rasanya aneh ketika masih memikirkan orang yang telah lama hilang, apalagi tanpa pamit, tanpa kabar hingga kini. Belum tentu juga orang itu memiliki perasaan yang sama, tetapi itulah yang dirasakan Bening. Ia tidak peduli apakah yang dilakukannya adalah sebuah kesia-siaan. Hatinya menegaskan kalaupun Senja tidak pernah kembali, setidaknya ia telah berjuang untuk mempertahankan perasaannya.
"Bening, kamu punya akun media sosial, gak?" tanya salah satu rekan kerjanya, Dito. Saat jam istirahat. Bening menggeleng.
"Zaman udah canggih gini, masa' gak punya medsos, Ning!" lanjut Dito.
"Entahlah, rasanya malas. Lagian gak ada yang bisa aku post," ceracau Bening.
"Masa' gak punya medsos, Ning? Kamu, kan, kerjanya ngurusin marketing kantor." Danang yang mendengar percakapan mereka pun menambahkan.
"Kalo urusan marketing, kan, pake akun kantor, Nang." Bening baru saja selesai membuat kopi 3in1 kesukaannya.
"Nih, liat. Seru-seruan aja. Banyak informasi juga kita dapat dari medsos. Kita juga bisa silaturahmi dengan teman lama." Danang memperlihatkan layar ponselnya.
"Asal, jangan silaturahmi sama mantan. Bertanya apa kabar aja bahaya, loh." Dito berseloroh.
"Untunge, aku ra ndue mantan!" serobot Danang. Dito hanya mencebik menanggapi ucapan lelaki plontos itu.
Bening bergeming sambil menikmati kopi yang masih panas. Pikirannya fokus pada kalimat rekannya tadi, ia pun mulai berpikir untuk membuat akun media sosial. Tujuannya satu, menemukan Senja.
***
Bersambung ...
"Ning, assignment hari ini, nih." Dito menunjuk layar monitor laptop di meja kerjanya, seraya menoleh ke arah Bening."Apaan?" Bening masih sejurus ke depan layar, beberapa data base harus segera di input ke dalam data entry."Hari ini ada penjemputan tamu VIP, kamu dapet tugas ke bandara.""What? Haduh, mana banyak banget lagi, nih, data yang harus aku beresin." Bening berdecak. Tugas di luar kantor adalah hal yang sangat Bening hindari karena sisi introvert-nya selalu merasa malas bersitatap dengan khalayak."Tenang aja. Si bos pasti ngertilah. Udah, siap-siap, tar telat lagi." Dito mengingatkan."Emang, jam berapa mendaratnya?""Masih empat jam lagi, sih. Cumanya, kan, jaga-jaga kalo jalanan macet, Ning. Tau sendiri sekarang Jogja udah mulai kek Jekardah." Gaya Dito menirukan anak-anak gaul Ibu kota."Detailnya udah kamu print, Dit?" Bening melirik Dito yang segera beralih pada data tamu rombongan di folder laptop
Belum sempat bertemu dengan Gus Toif, Bening kembali tersadar akan tugasnya hari ini. Ia bergegas mohon diri pada Bu Nyai Rukayah dan Ning Zil. Berjalan tergesa ke ruangan VIP dan mencoba lagi menghubungi nomor kantor atau Dito. Namun, ah, sial! baterai ponselnya mati total. Ruang VIP telah benar-benar sepi siang itu, tak ada lagi daftar tamu yang akan tiba. Akhirnya dengan segala kepasrahan, ia kembali ke kantor."Bening, haduh! Saya gak ngerti, kok, bisa datanya ketuker, sih?" Pak Bowo langsung menyambut Bening dengan nada kecewa. Gadis itu melirik Dito yang sedari tadi hanya menunduk."Kamu juga Dito, kok, bisa kasih data yang salah? Kan, sudah saya update?" lanjut Pak Bowo memburu Dito."Maaf, Pak. Saya yang tidak teliti, tadi pagi buru-buru tidak cek ulang." Akhirnya Bening berucap. Pak Bowo menghembuskan nafas pendek dan keras."Ketahuilah, perusahaan Pratama Corporation ini sudah l
"Guys, ada kabar baik. Alhamdulillah, Pratama Corporation memberikan feedback positif. Meski ada kekecewaan, tapi pimpinan mereka masih berbaik hati." Pak Bowo membuka briefing pagi ini."Mereka juga selalu puas dengan hotel yang Kita rekomendasikan. Kemarin siapa yang ajukan hotelnya?" lanjut Pak Bowo lagi."Bening, Pak." Danang sebagai salah satu supervisor di sana, memang menugaskan Bening untuk survey hotel yang akan direkomendasikan pada tamu istimewa mereka."Good, Ning. Itu point plus. Cuma, please jangan sampe terulang lagi kejadian kemarin. Saya mengerti kadang itu terjadi di dunia kerja. Sengaja atau tidak sengaja, saya harap setiap kesalahan dapat jadi Pelajaran untuk kedepannya. Oke?""Siap!" Serentak jawab semua."Feedback dari Pratama Corporation terkirim via email saya, oleh direktur utamanya langsung, yaitu Bapak Putra.
Lari dari apa yang menyakitimu, akan semakin menyakitimu. Jangan lari, terlukalah sampai kamu sembuh._Maulana Jalaluddin Rumi_Situasi itulah yang tengah Senja rasakan. Sakit dan terluka. Terlalu lama menahan rindu dan memendamnya sendirian. Namun, kekuatan logikanya selalu dapat menyingirkan perasaannya. Tanpa disadari hatinyalah yang ia abaikan."Ah, mungkin aku masih terbawa suasana Jogja, makanya perasaan itu datang lagi." Pria itu membatin. Memandangi langit Balikpapan dari balik jendela kamarnya. Mendung tampak menggantung sore ini. Padahal pagi tadi masih cerah saat ia bermain golf.Kamar ini seakan menyerapnya dalam kesendirian, setelah tawa dan obrolan hangat dengan relasi, rekan bisnis atau orang terdekatnya. Hanya di kamar ini ia bisa menunjukkan sebenar-benar dirinya, tanpa seorang pun tahu yang ia pikirkan bahkan rasakan.Jalinan air dan bumi, semakin merapat hingga tak ada celah untuk tak membasahi setiap benda yang t
Hal yang sama sekali tidak terlintas dalam benak Bening, rencana pernikahannya terbentur permasalahan mengenai kelengkapan dokumen dari calon mempelai pria--Defri. Ternyata masih belum menyelesaikan urusan di pengadilan agama. Sehingga statusnya secara hukum masih terikat sebagai suami dari Sarita. Perempuan yang dinikahi Defri lima tahun silam. Akhirnya semua menjadi blur, apakah mereka telah resmi berpisah atau masih menyandang status perkawinan?Defri adalah lelaki yang sangat diinginkan oleh ibunda Bening sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah atas, dengan alasan kedekatan keluarga dan hal-hal berbau bisnis tentunya. Terkadang pemikiran orang tua terlalu memaksakan hanya untuk kepentingan mereka saja.Bening terlalu lama mendiamkannya, sehingga lelaki itupun mengambil keputusan menikah dengan gadis lain. Tak ada yang dapat menangkis takdir Tuhan, kabar perpisahan Defri mencuat ke seluruh antero kelurahan. Ibunda Bening langsung bergerak cepat. Membuat
"Bening, besok aku dan Umi diundang ke Pondok Kiyai Hafidz. Kamu ikut, ya?" ajak Ning Zil. Guru sekaligus sahabat Bening saat masih menjadi murid di Pondok Al Jabbar ini.Siang ini Bening sengaja bertandang ke Pondok karena waktu kerja yang senggang. Sudah hampir satu tahun ia kembali ke Jogjakarta dan menerima tawaran bekerja di kantor pemesanan tiket pesawat."Sekalian ketemu sama Evi. Sudah lama, kan, kalian tidak ketemu?" lanjut Ning Zil. Bening hanya tersenyum ragu.Dulu mereka selalu bertiga bersama Evi, sahabat Bening yang juga sama-sama tinggal di Pondok ini. Evi dan Bening kuliah di kampus yang berbeda. Keduanya dipertemukan takdir di tempat ini. Dulu sistem pesantren tidak seperti sekarang yang menyatu menjadi kurikulum pembelajaran. Setelah Bening pulang karena rencana pernikahannya itu, tak lama Evi dilamar oleh seorang putra Kiyai pengasuh pondok As Salam--Gus Qirom. Beliau masih sepupu Ning Zil."Gak enak, ah, Ning Zil." Ju