Share

Harapan dan Perasaan

"Guys, ada kabar baik. Alhamdulillah, Pratama Corporation memberikan feedback positif. Meski ada kekecewaan, tapi pimpinan mereka masih berbaik hati." Pak Bowo membuka briefing pagi ini.

"Mereka juga selalu puas dengan hotel yang Kita rekomendasikan. Kemarin siapa yang ajukan hotelnya?" lanjut Pak Bowo lagi.

"Bening, Pak." Danang sebagai salah satu supervisor di sana, memang menugaskan Bening untuk survey hotel yang akan direkomendasikan pada tamu istimewa mereka.

"Good, Ning. Itu point plus. Cuma, please jangan sampe terulang lagi kejadian kemarin. Saya mengerti kadang itu terjadi di dunia kerja. Sengaja atau tidak sengaja, saya harap setiap kesalahan dapat jadi Pelajaran untuk kedepannya. Oke?"

"Siap!" Serentak jawab semua.

"Feedback dari Pratama Corporation terkirim via email saya, oleh direktur utamanya langsung, yaitu Bapak Putra. Nanti saya share ke email official. Hari ini mereka akan bertolak kembali ke Balikpapan."

Deg!

Dada Bening berdegup saat nama kota itu disebut. Baru hari ini ia menyadari ada desakan rindu dengan hanya mendengar kota Senja berasal. Pikirannya tiba-tiba kalut. Perasaan rindu yang semalam datang menghentak, kini semakin menggedor hati. Bening menggeleng, entah di mana laki-laki itu sekarang. Mungkinkah masih mengingatnya atau malah sudah melupakannya?

"Itu saja dari saya. Hari ini ada beberapa reservasi, ya. Untuk beberapa minggu ke depan kita akan sibuk banget karena reservasi setiap hari hampir selalu memenuhi kuota."

"Mohon lebih diperhatikan detailnya, ya. Semangat semua!" Tutup Sang Manajer. Semuanya kembali ke meja masing-masing.

Bening segera membuka beberapa file kerja dan mulai dari memeriksa email terlebih dahulu. Email masuk urutan pertama terkirim dari sang manajer.

"Forwarded: feedback Pratama Corporation" begitu subjek email-nya. Matanya membeliak sempurna saat melihat dengan jelas nama pimpinan perusahaan tersebut. Putra Senja Pratama. Lengkap dengan foto di file lampiran. Jelas  itu dia, sebuah foto yang menunjukkan Senja dalam balutan batik tengah menyalami rekan sejawatnya dan satu foto dengan beberapa lainnya. Hati Bening berdegup kencang. Ingatannya terputar pada kejadian tadi malam yang tiba-tiba merasakan kehadiran Senja. Ah, dia baru sadar ketika mengingat kembali kota yang disebut Pak Bowo barusan.

Ada rasa kesal bercampur sesal. Hampir saja bertemu dengan lelaki yang dicarinya selama ini, jika saja ia tidak ceroboh dan tiba-tiba lupa saat bertemu Bu Nyai di bandara. Gadis itu menepuk-nepuk jidat dengan kepalan tangannya. Di sisi lain hatinya, ia seperti menemukan celah harapan. Apakah ini kebetulan ataukah jawaban dari doa panjangnya? Meski masih tidak tahu kapan ada pertemuan kembali.

***

Putra Senja Pratama--anak bungsu dari empat bersaudara dan lelaki satu-satunya di keluarga Pratama Corporation--baru saja merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur king size di kamarnya. Menatap langit kamar bernuansa hitam putih dengan pandangan melayang. Wangi udara Jogjakarta masih terasa menusuk penciumannya. Suasana malam terakhir dengan gambaran wajah itu menari-nari di pelupuk mata. Gelora rindu masih bergejolak dalam hatinya. Suara ketukan dari luar menyadarkannya ke dunia nyata. Ia pun segera beranjak membuka pintu kamar. Dilihatnya sang asisten pribadi tengah berdiri tepat di hadapannya.

"Pak Putra, hanya mengingatkan untuk acara nanti malam, Bapak harus menghadiri makan malam dengan keluarga Ongkowijaya." Lelaki yang masih berbalut batik itu menyerahkan undangan berwarna golden peach.

"Ah, iya. Saya hampir lupa. Makasih, Dil." Senja meraih Benda lucu itu dari tangan Fadil. Lalu kembali menutup pintu. Bergegas membersihkan diri.

"Putra, jangan lupa besok, kita akan bermain golf bersama Pak Hadi, dirut PT. Bara Kaltim." Pak Pratama--ayah Senja--mengingatkan. Belum lagi acara makan malam dimulai, sudah diingatkan dengan jadwal berikutnya. Itulah keseharian Senja yang selalu ditenggelamkan dalam kesibukan.

"Iya, Pah. Saya ingat." Senja masih fokus mengenakan sepatu hitamnya.

"Nih!" Bu Silvy--Mama Senja--menyodorkan bingkisan kecil yang tersimpan di dalam box mewah. Entah apa yang mamanya persiapkan.

"Apa ini, Ma?" Senja menerima kotak mungil itu seraya menimangnya dalam genggaman.

"Hadiah kecil buat Cyntha. Kemarin Pas Mama temenin Papa jalan-jalan ke Martapura, ditawari temen gelang batu mutiara. Cantik banget pokoknya. Pas buat Cyntha." Bu Silvy tak henti memamerkan gigi putihnya.

"Mama aja yang kasih. Kan, hadiah dari Mama?"

"Loh, kamu, kan calon suaminya. Ya, kamu dong yang kasih. Basa basi aja, lagian kemarin dari Jogjakarta kamu gak belikan apa-apa buat dia, pang." Bu Silvy merengut dengan sikap cuek putra bungsunya itu. Sedangkan Pak Pratama terkekeh mendengar keluhan istrinya.

"Kamu itu nah, kayak belum tahu aja anak lelakimu ini." Setelah bersiap, mereka pun meninggalkan rumah. Menuju tempat yang ditentukan dalam surat undangan.

Seperti telah terbiasa dalam suasana ditengah keramaian, berbincang tentang bisnis, olah raga, kenaikan suku bunga, profit dan semacamnya adalah bagian dari hidup Senja setelah kembali menjalani harinya di Balikpapan. Percakapan mereka tak lagi tentang materi anak kampus atau hal-hal berbau budak cinta. Bahkan mencari hiburan lewat media sosial saja sangat jarang, apalagi sinetron. Meski ada diantara rekan bisnisnya bergerak dibidang pertelevisian.

Sesekali tawa riuh terdengar di salah satu kerumunan meja. Pasti tengah menertawakan seorang rekan bisnis yang kehilangan profit atau mengalami penurunan angka saham. Beberapa pejabat penting daerah pun menghadiri acara makan malam yang digelar oleh keluarga Ongkowijaya--pemilik perusahaan properti ternama di Balikpapan saat ini.

Tak heran jika keinginan keluarga Ongkowijaya mempersatukan Cyntha untuk Senja langsung mendapat sambutan dari keluarga Pratama.

"Putra, sini, yuk. Temenin Cyntha sebentar." Mama menggamit lengan bungsunya. Senja tak bersemangat tapi juga tak menolak. Ia mengikuti ke mana arah mamanya melangkah. Menuju meja yang dipenuhi ibu-ibu bergaya sosialita. Duduk di antara mereka, gadis muda dengan gaya elegant looks-nya. Cyntha Ongkowijaya.

Gadis berdarah Jawa-Manado itu tampak anggun malam ini. Cantik dan berkelas tentunya. Putra tersenyum saat mendekati meja para wanita kelas atas itu.

"Eh, ya ampun, Nak Putra, apa kabar?" sambut Bu Siska Ongkowijaya, istri dari juragan property Ongkowijaya, sekaligus Ibunda Cyntha.

"Baik, Tante." Senja menyalami Bu Siska dengan santun. Lalu pandangannya tertuju pada Cyntha yang duduk bersisian dengan ibunya.

"Pakabar, Jeng?" Bu Siska menyambut Bu Silvy dengan saling bercium pipi kiri dan kanan.

"Baik." Kemudian keduanya larut dengan keseruan bersama beberapa wanita sosialita di meja itu. Sedangkan Senja, akhirnya meleburkan diri dengan Cyntha dalam obrolan.

Kehidupan Senja tengah berada di atas titik kulminasi. Muda, tampan, sukses. Perusahaan tambang Pratama Corporation yang kini dikelolanya mengalami perkembangan pesat. Beberapa investor bergabung di sana. Bahkan kiprahnya sebagai pengusaha dilirik sebuah partai besar.

Meski di sisi lain hatinya yang sunyi, Senja pun sama seperti Bening yang selalu merindu tanpa tahu kapan akan bertemu. Namun, ia tak berani mengungkapkan pada siapapun. Apalagi saat mengetahui keluarga besar tengah mempersiapkan perjodohan dirinya dengan putri pengusaha developer ternama di kota Balikpapan.

Beberapa gambar dirinya dengan Bening dimasa lalu terpaksa harus ia kubur bersama harapan dan perasaannya, demi menyelamatkan kehormatan keluarga.

***

Bersambung ...

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status