"Ning, assignment hari ini, nih." Dito menunjuk layar monitor laptop di meja kerjanya, seraya menoleh ke arah Bening.
"Apaan?" Bening masih sejurus ke depan layar, beberapa data base harus segera di input ke dalam data entry.
"Hari ini ada penjemputan tamu VIP, kamu dapet tugas ke bandara."
"What? Haduh, mana banyak banget lagi, nih, data yang harus aku beresin." Bening berdecak. Tugas di luar kantor adalah hal yang sangat Bening hindari karena sisi introvert-nya selalu merasa malas bersitatap dengan khalayak.
"Tenang aja. Si bos pasti ngertilah. Udah, siap-siap, tar telat lagi." Dito mengingatkan.
"Emang, jam berapa mendaratnya?"
"Masih empat jam lagi, sih. Cumanya, kan, jaga-jaga kalo jalanan macet, Ning. Tau sendiri sekarang Jogja udah mulai kek Jekardah." Gaya Dito menirukan anak-anak gaul Ibu kota.
"Detailnya udah kamu print, Dit?" Bening melirik Dito yang segera beralih pada data tamu rombongan di folder laptopnya.
"Bentar." Dito mengecek ulang data secara seksama untuk memastikan tidak keliru, kemudian segera mencetaknya.
"Nih, nama perusahaannya Pratama Corporation, dari Bal--" Ucapan Dito terhenti saat ponsel Bening berdering oleh panggilan masuk, dari nomor pondok Al Jabbar. Ia mengisyaratkan Dito untuk memasukkan data tersebut ke map coklat. Lalu menuju bilik di belakang ruang kerja.
"Halo, Assalamualaikum." Bening menyambut santun.
"Waalaikum salam. Ning, sibuk, gak?" Suara tak asing milik Ning Zil menerobos rungu Bening.
"Lumayan, Ning Zil. Gimana, ada kabar apa?"
"Aku sama Umi mau ngundang kamu lagi, nih." Ning Zil terdengar antusias.
"Acara apa, Ning?"
"Acara syukuran aja. Mas Toif, kan hari ini pulang dari Maroko. Kamu datang, ya, ke pondok?" pinta Ning Zil.
"Acaranya jam berapa?" Bening melirik Swatch yang melingkar di pergelangan lengan kirinya. Mengira-ngira, jika waktunya terjangkau.
"Acaranya bada Magrib. Pesawatnya baru mendarat jam satu siang. Tadinya mau ajak kamu jemput ke bandara, tapi kamu kerja pagi hari ini."
"Iya, Ning. Kalo jemput aku gak bisa ikut. Tapi acara syukurannya inshallah hadir."
"Bener, ya. Awas, loh, kalo gak dateng. Udah lama gak kumpul bertiga sama Evi di pondok." Kalimat itu justru membuat Bening sedikit mengerut, karena rasa minder itu selalu membayangi. Namun, ia juga merindukan suasana kebersamaan di pondok Al Jabbar.
"Iya, Ning Zil. Pasti saya datang. Salam buat Bu Nyai." Bening melengkungkan senyum seolah Ning Zil berada di hadapannya.
"Oke, sip. Sampai ketemu tar sore, ya. Assalamualaikum." Ning Zil mengakhiri percakapan.
"Waalaikum salam." Bening segera menyelipkan benda pipih itu ke dalam saku blazernya. Bergegas membereskan diri untuk berangkat ke bandara sesuai jadwal tugas hari ini.
***
Suara pengumuman pendaratan dari pengeras suara bandara telah berulang-ulang dikumandangkan. Bening kembali melihat detail penerbangan dan para tamu VIP siang ini.
Perusahaan : Pratama Corporation
Dari : Surabaya Ke : JogjakartaWaktu : 13.00 wibPesawat : Rajawali Airways.No pesawat : 085Alis Bening bertaut, saat detail yang ia lihat tidak sesuai dengan informasi yang dikumandangkan. Ia pun mengecek ulang dari layar LCD bancara. Detail yang ia terima dari Dito tidak ada di jam satu siang ini. Bening semakin bingung, segera menghubungi kantor untuk memburu Dito. Namun sayang, Dito telah raib dari kantor. Segera berlari menuju konter maskapai terkait untuk memastikan.
Ada perbedaan kota asal keberangkatan. Dari suara pengeras suara itu, pesawat yang saat ini mendarat dari Balikpapan. Sementara dari informasi data yang ia bawa, penerbangan itu berasal dari Surabaya. Petugas maskapai yang ia temui pun menerangkan jika pesawat yang mendarat saat ini langsung dari Balikpapan.
Putus asa, Bening akhirnya kembali ke titik penjemputan. Namun, sesuatu menghentikan langkahnya saat manik hitam itu melihat sosok yang dikenalnya tengah berdiri di depan pintu gerbang tempat menyambut para penumpang.
"Bu Nyai, Ning Zil?" Bening menghampiri seraya tersenyum ramah.
"Bening! Kamu tugas di bandara?" Ning Zil menyambut gembira.
"Kenapa gak bilang? Kan, bisa sekalian ikut nyambut Mas Toif." Ning Zil menambahkan. Bening hanya tersenyum, langsung menyalami Bu Nyai Rukayah.
"Si guru galak," bisik Ning Zil lagi. Keduanya terkekeh.
"Kok, jemputnya di kedatangan dalam negeri, Bu Nyai?" Bening melirik Bu Nyai dan Ning Zil bergantian. Sesaat Bening lupa dengan tugasnya.
"Iya, informasi terakhir dari Toif, belum ada pesawat langsung dari Casablanca ke Jogjakarta. Jadi harus via Soekarno-Hatta, lalu lanjut ke Jogja." Bu Nyai Rukayah menunjukkan detail informasi penerbangan Gus Toif, Soekarno-Hatta - Adi Sucipto. Bening mengangguk mengerti.
"Masih tigapuluh menitan lagi pesawatnya mendarat. Ya, mungkin Mas Toif ketemu di sini kira-kira satu jam lah," ujar Ning Zil. Bening memerhatikan layar LCD bandara mengenai detail penerbangan Gus Toif dari Jakarta. Kemudian ketiganya duduk di sebuah cafe sambil mengobrol, menunggu waktu.
***
Seseorang dalam balutan celana panjang hitam dan kaos oblong yang dilapisi jaket bertuliskan "PSP Corporation" mondar mandir gelisah mencari seseorang yang seharusnya menjemput rombongan dari perusahaannya. Ia bersama sembilan rekan lainnya mulai kelelahan menanti penyambut yang tak kunjung tampak. Setelah berkali-kali mencoba menghubungi nomor kantor pemesanan tiket tersebut, akhirnya mendapat jawaban.
"Dit, beneran Bening sudah ke bandara?" tanya Pak Bowo--Manajer Area, pada Dito yang baru saja kembali dari toilet.
"Sudah, bos. Dari pagi malah." Dito meyakinkan.
"Coba kamu cek lagi, di mana dia. Tamunya belum ada yang sambut. Mereka harus segera ke hotel sekarang. Data informasinya, kan, dibawa Bening. Aduh gawat, kemana, tuh, anak?" Pak Bowo mulai panik. Bahwasannya tamu VIP ini bukan sembarang tamu, mereka sudah mempunyai kerjasama yang cukup lama.
"Nomornya tidak aktif, bos." Dito ikutan panik.
"Data yang dia bawa udah bener, kan?" Pak Bowo memeriksa kembali data yang kemarin ia bagikan melalui email.
Dito tersentak ketika melihat map coklat dengan tulisan "Pratama Corporation" masih tergeletak di atas meja yang ia letakan tadi pagi.
"Waduh, gawat! Kenapa datanya masih ada di sini? Map mana yang Bening bawa? Jangan-jangan dia ambil yang di atas meja Danang." Batin Dito mulai berkecamuk tak karuan. Jika Bening mengambil map yang terletak di atas meja Danang, jelas itu data yang belum diupdate. Rencananya akan Dito buang kertas itu, tetapi karena terlalu sibuk jadinya tidak fokus. Bahkan tidak memerhatikan saat Bening beranjak mengambil map yang salah.
"Saya susul dia aja, bos." Dito berinisiatif, seraya mengambil map yang tertinggal.
"Saya ikut!" tegas si bos. Jelas perasaan Dito makin kacau.
"Jadi dia bawa informasi data yang salah?" Pak Bowo makin tak enak duduk saat ditengah perjalanan menuju bandara. Sesekali melonggarkan ikatan dasinya yang terasa mencekik. Rasanya ingin segera tiba dan menemui tamunya. Setelah itu baru mencari Bening. Ah, pasti akan ada kekacauan.
Tergopoh-gopoh Pak Bowo menuju ruang tunggu khusus VIP, diikuti Dito. Pasti tamunya berada di sana, dan benar saja semuanya sudah tampak kelelahan setelah menunggu hampir satu jam lamanya.
"Pak Putra, maaf ada kesalahan informasi dari rekan kerja saya. Saya betul-betul mohon maaf." Meski panik, tetapi tetap tenang Pak Bowo menyambut tamunya yang hampir saja terlantar.
"Bisa jelaskan pada rekan Bapak itu jika tidak paham tentang pekerjaan, sebaiknya tidak diberikan tugas untuk menyambut tamu VIP." Seseorang dengan pakaian rapi yang hampir kusut, menyembul dari belakang punggung Pak Putra. Tampaknya ia adalah asisten beliau.
"Sekali lagi mohon maaf, Pak. Mari langsung saja kita ke tempat penginapan yang sudah kami siapkan." Pak Bowo sedikit membungkukkan badannya. Di sampingnya berdiri Dito, sambil menenteng map berisi data tamu yang sudah tak ada gunanya.
"Sudah, tidak apa-apa. Laju aja kita langsung cari makan dan istirahat, ya?" ajak lelaki yang dipanggil Putra itu mengomando rekannya.
Informasi data perjalanan sudah Pak Bowo tangani dan pindahkan ke bagian resepsionis hotel yang dituju. Tugas pak Bowo usai setelah memastikan tamunya berada di tempat yang tepat. Ia bersama Dito kembali ke kantor.
Sang resepsionis menyambut ramah rombongan yang akan melakukan rapat pertemuan di hotel itu.
"Mari, silahkan saya bantu Bapak Putra Senja Pratama."
***
Bersambung...
Belum sempat bertemu dengan Gus Toif, Bening kembali tersadar akan tugasnya hari ini. Ia bergegas mohon diri pada Bu Nyai Rukayah dan Ning Zil. Berjalan tergesa ke ruangan VIP dan mencoba lagi menghubungi nomor kantor atau Dito. Namun, ah, sial! baterai ponselnya mati total. Ruang VIP telah benar-benar sepi siang itu, tak ada lagi daftar tamu yang akan tiba. Akhirnya dengan segala kepasrahan, ia kembali ke kantor."Bening, haduh! Saya gak ngerti, kok, bisa datanya ketuker, sih?" Pak Bowo langsung menyambut Bening dengan nada kecewa. Gadis itu melirik Dito yang sedari tadi hanya menunduk."Kamu juga Dito, kok, bisa kasih data yang salah? Kan, sudah saya update?" lanjut Pak Bowo memburu Dito."Maaf, Pak. Saya yang tidak teliti, tadi pagi buru-buru tidak cek ulang." Akhirnya Bening berucap. Pak Bowo menghembuskan nafas pendek dan keras."Ketahuilah, perusahaan Pratama Corporation ini sudah l
"Guys, ada kabar baik. Alhamdulillah, Pratama Corporation memberikan feedback positif. Meski ada kekecewaan, tapi pimpinan mereka masih berbaik hati." Pak Bowo membuka briefing pagi ini."Mereka juga selalu puas dengan hotel yang Kita rekomendasikan. Kemarin siapa yang ajukan hotelnya?" lanjut Pak Bowo lagi."Bening, Pak." Danang sebagai salah satu supervisor di sana, memang menugaskan Bening untuk survey hotel yang akan direkomendasikan pada tamu istimewa mereka."Good, Ning. Itu point plus. Cuma, please jangan sampe terulang lagi kejadian kemarin. Saya mengerti kadang itu terjadi di dunia kerja. Sengaja atau tidak sengaja, saya harap setiap kesalahan dapat jadi Pelajaran untuk kedepannya. Oke?""Siap!" Serentak jawab semua."Feedback dari Pratama Corporation terkirim via email saya, oleh direktur utamanya langsung, yaitu Bapak Putra.
Lari dari apa yang menyakitimu, akan semakin menyakitimu. Jangan lari, terlukalah sampai kamu sembuh._Maulana Jalaluddin Rumi_Situasi itulah yang tengah Senja rasakan. Sakit dan terluka. Terlalu lama menahan rindu dan memendamnya sendirian. Namun, kekuatan logikanya selalu dapat menyingirkan perasaannya. Tanpa disadari hatinyalah yang ia abaikan."Ah, mungkin aku masih terbawa suasana Jogja, makanya perasaan itu datang lagi." Pria itu membatin. Memandangi langit Balikpapan dari balik jendela kamarnya. Mendung tampak menggantung sore ini. Padahal pagi tadi masih cerah saat ia bermain golf.Kamar ini seakan menyerapnya dalam kesendirian, setelah tawa dan obrolan hangat dengan relasi, rekan bisnis atau orang terdekatnya. Hanya di kamar ini ia bisa menunjukkan sebenar-benar dirinya, tanpa seorang pun tahu yang ia pikirkan bahkan rasakan.Jalinan air dan bumi, semakin merapat hingga tak ada celah untuk tak membasahi setiap benda yang t
Hal yang sama sekali tidak terlintas dalam benak Bening, rencana pernikahannya terbentur permasalahan mengenai kelengkapan dokumen dari calon mempelai pria--Defri. Ternyata masih belum menyelesaikan urusan di pengadilan agama. Sehingga statusnya secara hukum masih terikat sebagai suami dari Sarita. Perempuan yang dinikahi Defri lima tahun silam. Akhirnya semua menjadi blur, apakah mereka telah resmi berpisah atau masih menyandang status perkawinan?Defri adalah lelaki yang sangat diinginkan oleh ibunda Bening sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah atas, dengan alasan kedekatan keluarga dan hal-hal berbau bisnis tentunya. Terkadang pemikiran orang tua terlalu memaksakan hanya untuk kepentingan mereka saja.Bening terlalu lama mendiamkannya, sehingga lelaki itupun mengambil keputusan menikah dengan gadis lain. Tak ada yang dapat menangkis takdir Tuhan, kabar perpisahan Defri mencuat ke seluruh antero kelurahan. Ibunda Bening langsung bergerak cepat. Membuat
"Bening, besok aku dan Umi diundang ke Pondok Kiyai Hafidz. Kamu ikut, ya?" ajak Ning Zil. Guru sekaligus sahabat Bening saat masih menjadi murid di Pondok Al Jabbar ini.Siang ini Bening sengaja bertandang ke Pondok karena waktu kerja yang senggang. Sudah hampir satu tahun ia kembali ke Jogjakarta dan menerima tawaran bekerja di kantor pemesanan tiket pesawat."Sekalian ketemu sama Evi. Sudah lama, kan, kalian tidak ketemu?" lanjut Ning Zil. Bening hanya tersenyum ragu.Dulu mereka selalu bertiga bersama Evi, sahabat Bening yang juga sama-sama tinggal di Pondok ini. Evi dan Bening kuliah di kampus yang berbeda. Keduanya dipertemukan takdir di tempat ini. Dulu sistem pesantren tidak seperti sekarang yang menyatu menjadi kurikulum pembelajaran. Setelah Bening pulang karena rencana pernikahannya itu, tak lama Evi dilamar oleh seorang putra Kiyai pengasuh pondok As Salam--Gus Qirom. Beliau masih sepupu Ning Zil."Gak enak, ah, Ning Zil." Ju
Berawal di titik nol kilometer Yogyakarta.Lalu,Menghilang seperti layang-layang yang putus dari benang. Akhir kisah cinta pantomim yang tak pernah tersentuh tetapi terasa runtuh.Dalam keputusasaan, masih tetap berharap ada asa. Meski harus terkapar karena memendamnya dalam-dalam. Jika Doa dan Takdir saling berkejaran, mungkinkah doa dapat menyalip takdir yang menunggu cinta dalam diam?"Menurutmu kenapa Ken Arok dalam cerita tadi harus terjerembab mencintai Ken Dedes yang statusnya adalah istri Tunggul Ametung?" Cerita pagelaran tadi rupanya masih melekatkan banyak tanda tanya di kepala lelaki bermata ala jepang itu.Hari menjelang sore saat Bening dan Senja selesai menikmati pagelaran seni tradisional di Monumen Jogja Kembali. Saat ini, mereka tengah menikmati sajian khas angkringan di perempatan Tugu dengan obrolan santai.Bening tampak berpikir menanggapi pertanyaan Senja, karena isi kepalanya tak mampu menyerap selur