'Sudah tahu status Emily sekarang masih abu-abu, bisa-bisanya aku meminta Emily membuka hati untukku,’ batin Arlen. Ia tidak ingin terdengar bodoh karena telah menanyakan hal yang tidak seharusnya. Emily menatapnya lekat-lekat sebelum akhirnya bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. "Saya sudah tahu sejak awal kalau Tuan hanya bercanda." Ada nada sindiran dalam suaranya, membuat Arlen mengerjapkan mata. Ia tidak yakin apakah Emily benar-benar percaya bahwa ia hanya bercanda, ataukah wanita itu sengaja mengabaikan perasaannya. Bukankah malam dan siang tidak akan pernah bisa bertemu? Saat mereka berdua tengah meresapi isi hati masing-masing, seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. "Cappuccino, jus jeruk, dan es krim coklat," ucap pelayan itu sopan. "Iya," jawab Arlen singkat, sekilas melirik semangkuk es krim yang diletakkan di tengah meja. Ada dua sendok di dalamnya. Setelah memastikan semua pesanan telah tersaji, pelayan itu menunduk hormat lalu beranjak pe
Arlen kini tampak bersemangat. Dia meraih gadgetnya dengan cepat dan membuka email yang baru masuk. Bibirnya membentuk seringai kecil, matanya berbinar penuh antusias."Ini namanya kabar baik," ucap Arlen. Mike yang berdiri di depannya justru mengernyit bingung. "Kenapa ini bisa jadi kabar baik, Tuan? Bukannya Tuan sedang perang dengan Tuan Arnold?" Arlen mendongak, ekspresinya penuh percaya diri. "Justru itu. Ini kesempatan emas! Aku jadi bisa sering bertemu dengannya, terus memanas-manasi. Syukur-syukur dia terbawa emosi dan mau menceraikan Emily." Mike membelalakkan matanya, lalu tertawa kecil. "Wah, betul juga, Tuan! Saya tidak kepikiran sampai ke sana." Arlen menyeringai, kemudian bersandar ke kursinya. "Tapi ada satu hal lagi. Bisakah kau meminta Emily agar mau menjadi pacar pura-puraku?" Mike tersentak. "Kenapa tidak Tuan saja yang memintanya? Saya yakin Emily tidak akan menolak permintaan Tuan." Arlen mendengus kesal. "Aku bosnya. Kenapa malah kau yang menyuruhku?"
Sejenak Emily memejamkan matanya, apa memang harus begini jalannya agar Arnold melepaskannya? Emily mencoba mengingat lagi luka yang ditorehkan Arnold. Kalau Arnold saja pernah mempermainkannya dan memintanya datang ketika dia dan Sarah tengah memadu kasih, lantas Emily tidak seharusnya ragu berpura-pura menjadi kekasih Arlen. Toh hanya berpura-pura dan tidak akan melakukan hal yang di luar batas. Dengan satu tarikan nafas, Emily mengiyakan rencana Arlen dan Mike. "Oke! Aku setuju!" "Yes, bonus bakalan naik nih!" gumam Mike sambil menepuk meja. "Terima kasih, Emily!" "Aku yang seharusnya berterima kasih, kalian sudah bersedia membantuku." Hidup seorang diri tanpa ada seorangpun yang menemaninya, membuat Emily sangat menghargai bantuan yang sudah Arlen berikan padanya. Terlepas dari apapun masalah Arlen dengan Arnold, Emily tidak begitu peduli. Dia hanya ingin bebas, itu saja. Setelah selesai makan siang, Emily dan Mike kembali ke meja kerja masing-masing. Karena kebetul
Emily merebahkan dirinya di kasur empuk kediaman Arlen, setelah menerima tawaran untuk menjadi kekasih pura-pura bosnya demi membuat Arnold marah. Emily tidak bisa lagi mundur dari permainan yang akan mereka mainkan. "Ke mana angin akan membawaku, aku pasrah saja!" gumamnya sembari menatap langit-langit kamar. Baru saja matanya hampir terpejam, suara ketukan pintu kamarnya sontak membuat Emily membuka matanya kembali. Tok tok tok Emily mendengus pelan sebelum bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu. Dia membuka pintu dengan sedikit malas, tapi ekspresinya langsung berubah begitu melihat sosok yang berdiri di hadapannya. "Tuan!" serunya, sedikit terkejut. Arlen berbalik, menatap Emily dengan tatapan teduh. Pria itu hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek selutut, tampilan kasual yang justru semakin menonjolkan ketampanannya. Emily menelan ludah tanpa sadar. "Kau sudah mau tidur?" tanya Arlen. "Bisakah kita berbicara sebentar?" Emily mengangguk tanpa
Arlen menggeleng, dia tidak melanjutkan kata-katanya. "Tidak ada kata seandainya, yang ada sekarang hanyalah berjuang untuk mendapatkannya!" Arlen sudah menentukan pilihannya. Dan apa yang sudah Arlen pilih, maka tidak bisa diganggu gugat. Hingga tengah malam, Arlen masih betah menatap langit-langit kamarnya, bosan hanya berbaring, Arlen memilih beranjak menuju balkon dan duduk santai ditemani sebatang rokok. Bertemankan udara dingin, Arlen menghabiskan malamnya sendirian. Emily terjaga ketika mendengar alarm handphonenya berbunyi, dia mengaturnya pukul 5 pagi. Emily menggeliat dan meraba-raba nakas untuk mematikan handphonenya. Karena masih pagi, Emily berjalan jalan ke lantai bawah, para pelayan tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Karena kemarin pulang sudah sore dan Emily hanya turun ketika makan malam, Emily belum berkenalan dengan para pelayan. Saat Emily menuruni anak tangga, dua pelayan tampak berbisik. "Kekasih, Tuan Muda. Cantik ya!" "Iya, tapi
Napasnya memburu, wajahnya merah padam saat melihat Arlen tengah mengalungkan lengannya di leher Emily sambil mengecup puncak kepalanya singkat. Arlen lalu tersenyum, Emily tampak nyaman berada dalam dekapan Arlen. Dia tidak tampak terganggu walaupun sedang mengetikkan sesuatu di keyboardnya. Seakan tidak terpengaruh dengan kehadiran Arnold. Dua insan tersebut tampak tersenyum bahagia. Sesekali Arlen berbisik dan membuat Emily tersipu. Entah rayuan macam apa yang dibisikkan Arlen. Hati Arnold semakin mendidih melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Dunianya terasa runtuh, tidak pernah rasanya sesakit ini. Dan penyesalan itu semakin membuatnya sesak. "Tuan!" Panggilan Mike seketika membuat Arlen yang tengah menatap layar menoleh. Dia tampak kaget saat melihat Arnold. Berpura-pura kaget lebih tepatnya karena dia sudah tahu akan kedatangan Arnold. Selang beberapa saat kemudian, Emily ikut menoleh. Tidak ada ekspresi yang ditunjukkannya, wajahnya tampak datar, pa
'Sayang? Emily memanggilnya sayang? Apa aku salah dengar?' Jantung Arnold kembali terasa diremas-remas. Ketua divisi perencanaan berdiri dan mulai menjelaskan rancangan yang sudah mereka buat melalui layar proyektor. Arnold tampak tidak fokus, dia mencerna satu demi satu kejadian hari ini sambil sesekali mencuri pandang ke arah Emily dan Arlen. Mereka berdua tampak serius menatap layar, tapi Arnold bisa menebak bahwa Arlen memainkan tangannya di bawah meja. Tidak terlihat namun ekspresi wajah Emily menunjukkan segalanya. "Shit!" Arnold terbakar api cemburu, Emily adalah istrinya kenapa Arlen dengan lancang merengkuhnya bahkan memberikan kecupan di puncak kepalanya. Apa hubungan mereka? Tidak tahan lagi dengan keadaan yang semakin menghimpitnya, Arnold berdiri dan meminta izin ke kamar kecil. Arnold tidak takut kalau harus masuk penjara karena melukai Arlen, tapi Arnold menjaga perasaan Emily. Selama ini Arnold menyakitinya dan Arnold tahu tidak mudah bagi Emily un
Emily berbalik dan memajukan tubuhnya mendekat tanpa melepaskan genggaman tangannya dengan Arlen. "30 menit, kau hanya punya waktu 30 menit!" Emily menatapnya tajam. "Oke, tiga puluh menit. Kita sekaligus makan siang!" Tidak masalah bagi Arnold, yang penting Emily mau berbicara dengannya. Tidak peduli wanita di depannya ini menatap dengan jutaan kebencian, asalkan Emily mau memberinya waktu, Arnold sudah sangat bersyukur. "Aku tidak ma-" "Ayo kita berangkat sekarang!" potong Arnold. Arnold tidak ingin mendengar penolakan kali ini. Diraihnya tangan Emily namun Emily dengan cepat menepisnya. "Aku bisa jalan sendiri!" "Aku yang akan mengantarkan Emily!" Arlen akhirnya buka suara, dia tentu tidak akan membiarkan Emily pergi bersama Arnold. "Tidak perlu, aku suaminya!" gertak Arnold. "Aku kekasihnya!" Tantang Arlen tanpa ada rasa takut sedikitpun. "Sudah, cukup!" Emily merasa malu karena sejak tadi mereka menjadi pusat perhatian beberapa karyawan yang ada di sekitar
Emily menghela napasnya pelan, dadanya terasa sesak oleh beban yang selama ini dipendam. Perlahan, diraihnya tangan Arnold, erat namun tetap lembut. "Kamu bersamaku hampir dua puluh empat jam," ucapnya lirih, "apa kamu lihat aku memegang handphone?" Suara Emily terdengar lelah, seperti seseorang yang habis berlari jauh dan tak kunjung mencapai garis akhir. Tatapannya yang sayu menyorot kelelahan yang lebih dari sekadar fisik—itu adalah kelelahan batin, dari terus-menerus dicurigai, dari rasa sayang yang tak henti dipertanyakan. Tanpa menunggu respons Arnold, Emily menarik tangannya dan menggandengnya. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Mereka berdua mendekati sosok Arlen yang sedang berdiri di bawah cahaya temaram lampu taman depan. "Arlen!" seru Emily, lantang namun terdengar getir. Arlen menoleh, dan seketika keningnya berkerut saat melihat jemari Emily yang menggenggam tangan Arnold begitu erat. "Emily, Arnold, kalian…." Suaranya
“Jangan terlalu dekat dengan Alex, aku tidak suka,” ucap Arnold sambil mengusap bibir Emily yang masih tampak kemerahan setelah ciuman mereka. Suaranya pelan namun tegas, menyiratkan kecemburuan yang tak bisa disembunyikan. Emily menarik napas, berusaha mengontrol emosinya. “Aku sudah menganggap Alex dan Vania seperti saudaraku sendiri. Tidak lebih.” Wajah Arnold menegang. “Tetap saja aku tidak suka!” Tatapan keduanya saling mengunci. Dalam keheningan itu, seolah waktu berhenti. Hanya ada mereka berdua, saling menyelami isi hati melalui mata yang mengisyaratkan lebih dari sekadar kata-kata. Emosi, kekhawatiran, dan cinta yang campur aduk terpancar dalam diam. Akhirnya, Emily menghela napas panjang. “Baiklah,” ucapnya menyerah. Ia tahu Arnold sudah cukup bersabar menghadapi sikap keras kepalanya akhir-akhir ini. Arnold perlahan bangkit dari atas tubuh Emily dan duduk di sampingnya. Wajahnya serius. “Mana handphone-mu? Berikan padaku!” Suaranya dalam, sedikit mengandung nada perint
Rahang Arnold tampak mengetat, otot-ototnya menegang hingga tampak jelas dari garis wajahnya yang keras. Sejak awal, dia memang tidak pernah bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada Alex—lelaki yang tampak terlalu dekat dengan Emily, terlalu sering muncul di sisinya, dan terlalu membuatnya merasa terancam. Bukan hanya Alex. Bahkan dengan Arlen dan laki-laki lain yang sekadar bertukar tawa dengan Emily pun, Arnold tidak bisa menahan bara cemburu yang terus menyala dalam dirinya. Emily adalah miliknya. Dan ia tidak suka jika perempuan itu dekat dengan siapa pun yang berjenis kelamin laki-laki selain dirinya. "Emily tidak punya siapa-siapa lagi setelah kau menghancurkan keluarganya," ucap Arnold, suaranya bergetar oleh amarah yang tertahan. "Jadi aku, sebagai satu-satunya orang yang selalu ada untuknya sejak dia masih kecil, tidak akan membiarkanmu menyakiti Emily lagi untuk yang kedua kalinya." Matanya memerah, sorot matanya menusuk tajam ke arah Alex, penuh amarah dan tekad yang me
"Gak apa-apa, Arnold bisa nahan diri kok." Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily dan Arnold di depan pintu kamar. Emily menarik napas dalam, sementara Arnold hanya menatap pintu kamar yang baru saja tertutup. "Angel di mana, Sayang?" tanya Arnold sambil membalikkan badan menatap Emily. "Dia menginap di tempat Livia. Tadinya aku juga mau menginap di sana, terus Mama bilang Mama sudah memesankan kamar untukku," jawab Emily sambil memainkan ujung rambutnya, sedikit gugup. "Mama ini," desah Arnold, mengusap pelipisnya. "Tunggu sebentar!" Tanpa menunggu respons, Arnold masuk ke dalam dan beberapa detik kemudian keluar kembali dengan handphone dan dompet di tangan. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. "Ayo, aku pesankan kamar yang baru," ucapnya sambil menggenggam jemari Emily, menariknya perlahan menuju lobby. "Aku bukannya tidak mau tidur denganmu, tapi aku takut tidak bisa menahan diriku!" ucap Arnold dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. Ia mengecup puncak kepala Emily,
Arnold kembali melamarnya. Kali ini di depan butik branded yang berkilau, dipenuhi kaca besar dan lampu etalase yang memantulkan cahaya gemerlap malam Paris. Aksi Arnold spontan itu sontak mencuri perhatian, disaksikan banyak pasang mata yang lalu lalang di trotoar Champs-Élysées. "Arnold, bangun. Ada banyak orang di sini!" bisik Emily panik, wajahnya memerah menahan malu. "Aku tidak akan bangun sebelum kau memberiku jawaban. Maukah kau menikah denganku?" tanyanya sekali lagi, suara Arnold terdengar bulat dan mantap. "Kalau kau tidak mau, aku siap menggantikanmu, Emily!" seru Vania tiba-tiba, sambil mengarahkan kamera ponselnya ke Arnold yang masih berlutut. Sejak tadi ia sibuk merekam video lamaran itu dengan senyum geli dan semangat yang tak bisa disembunyikan. Emily langsung menatapnya tajam, membuat Angel dan Vania meledak dalam tawa kecil yang tertahan. Netra Emily kembali menatap lembut manik mata hitam Arnold. Ada keraguan yang perlahan luluh dalam tatapan penuh cinta itu.
"Pernahkah kau bertanya bagaimana perasaan Emily kepadamu? Apa kau tidak penasaran, Arnold?" Suara Vania terdengar tenang namun menusuk. Di dalam ruang tamu yang remang dan hangat itu, tiga orang duduk dalam diam sejenak. Robert menyandarkan dirinya ke kursi, sementara Arnold menatap mereka berdua bergantian, matanya menyiratkan kebingungan yang samar. Arnold akhirnya bersuara, suaranya terdengar mantap, namun ada bayangan keraguan yang tersembunyi. "Pernah," katanya sambil menarik napas dalam. "Aku bahkan menanyakannya langsung kepada Emily. Dia bilang dia mencintaiku." Vania mengerutkan kening. "Kalau dia cinta, harusnya dia tidak langsung minta putus, kan?" Perkataan itu membuat dada Arnold bergemuruh. Untuk sesaat, ia tidak tahu harus berkata apa. Keraguan yang selama ini ia pendam perlahan menyeruak ke permukaan. "Tapi aku bisa mengerti bagaimana perasaannya. Wajar kalau dia marah dan kesal saat melihatku bersama wanita lain, lalu meminta putus," jawab Arnold pelan, seolah
"Tuan, Nona pergi ke Paris!" Robert meletakkan data perjalanan Emily yang didapatnya barusan dari hacker andalannya. "Paris?" Robert mengangguk. "Atur jetpriku sekarang juga, aku harus segera ke Paris untuk menjemput Emily!" "Tapi kan kita tidak tahu Nyonya Emily ada di mana." "Itulah gunanya uang, buat apa uangku yang banyak itu kalau aku tidak bisa menemukan di mana calon istriku!" Robert tersenyum canggung. "Nah sekarang tunggu apalagi? Nunggu Emily di ambil orang baru kamu mau atur perjalananku?" Robert bergegas keluar ruangan Arnold dan menghubungi pihak bandara, setelah itu dia menghubungi detektif untuk mencari keberadaan Emily. "Susah kalau sudah berhubungan dengan cinta, sampai ke ujung dunia pun tampaknya Tuan Arnold akan mengejar Nyonya Emily. Aku kapan ya bisa merasakan cinta seperti itu?" gumam Robert dan terdengar oleh Gwen, sekretaris Arnold. "Makanya sesekali jalan ke Mall, jangan tahunya kemana mana ikut Tuan Arnold terus," celetuk Gwen sambil berlalu. "So
Alex membunyikan klaksonnya ketika Emily sudah memasuki halaman rumahnya. Bukan tanpa alasan Alex sangat baik kepada Emily, dengan statusnya yang sekarang masih sendiri. Alex merasa harus menjaga Emily karena Emily sebatang kara. Setelah memarkirkan mobilnya, Emily masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Tanpa Emily sadari sejak tadi ada seseorang yang memperhatikannya di balik kaca mobilnya. Arnold melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Emily setelah melihat sang kekasih masuk ke dalam rumah. Arnold yang mengikuti Emily sejak dari rumah makannya, juga melihat Emily berbincang dengan Alex hingga kekasihnya itu dikawal pulang oleh Alex. Cemburu, sudah pasti. Tapi mau bagaimana lagi. Arnold tidak ingin ingkar janji, dia sudah terlanjur mengatakan akan membiarkan Emily bebas dalam seminggu ini sembari memikirkan jawaban atas lamarannya. Setelah selesai membersihkan diri, Emily tidak langsung tertidur. Dia membuat secangkir teh hangat untuk menemaninya menonton televisi.
Emily menatap lekat wajah Arnold, wajah sendu yang memang jarang terlihat senyuman di bibirnya akhir-akhir ini. Sekali lagi Arnold mengecup bibir Emily, memagutnya lembut. Mencurahkan cintanya yang begitu besar, yang hanya dia yang merasakannya. Entah sudah berapa kali mereka mengalami ini, tetapi pagutan Arnold hari ini benar-benar berbeda. Manis, lembut, dan candu. Dan Emily benar-benar rindu pada pria ini. Tangan Arnold bergerak hingga mengelus punggungnya, tapi tak berapa lama ia menghentikan gerakannya dan memutus tautan bibir itu. Arnold melakukan itu karena ia tak ingin menyakiti dan memaksa Emily. "Aku ingin memberimu waktu yang cukup untuk memikirkannya, saat aku tak berada di sisimu, aku harap kau bisa menyadarinya, apa cinta itu ada untukku? Ataukah hanya aku yang mencinta." Terdengar getir, Arnold yang sangat menginginkan Emily, tentunya ingin perasaannya berbalas, tapi dia tidak bisa memaksakan kehendaknya. "Baiklah, aku akan memikirkannya." Emily mengusap