Arnold terdiam, bak ditikam belati hatinya mendadak perih. "Ikut aku keluar!" Arnold beranjak dari tempat duduknya dan berjalan lebih dulu sedangkan Robert mengikutinya di belakang. Meeting memang sedang rehat karena pihak penyelenggara rapat tertutup untuk memutuskan perusahaan mana yang memenangkan tender. Arnold menghempaskan tubuhnya di sofa lobby hotel, disandarkannya kepalanya sambil tangannya memijat keningnya yang berdenyut. "Nyonya Sarah meminta laki-laki bernama Sergio yang tidak lain adalah kakak kandungnya sendiri untuk menusuk Anda hari itu dan Nyonya Sarah datang sebagai pahlawan yang menyelamatkan nyawa Anda," jelas Robert yang duduk di seberang Arnold. Arnold tidak habis pikir dengan apa yang barusan dia dengar, entah dirinya yang terlalu percaya ataukah Sarah yang terlalu pandai memerankan sandiwaranya. "Tapi Sarah berani sekali sampai mengorbankan dirinya, dia hampir kehilangan nyawanya dan setelah sadar dia juga harus menerima kenyataan menjadi mandul!" Bukanny
Felix mengangguk, tampaknya masalah yang dihadapi sahabatnya sebelas dua belas dengan masalahnya. "Ternyata beristri dua itu memang tidak mudah," gumam Felix. "Tapi akhirnya kau bisa tahu mana yang batu kali dan mana yang berlian. Bukankah begitu?" "Ya, tepat sekali." Arnold dan Felix menghabiskan waktu hingga petang, kedua sahabat itu saling bercerita tentang masalah pribadi tanpa ada yang ditutup-tutupi. Begitulah mereka, walaupun terpisah jarak namun tidak mengurangi kadar kedekatan dan kepercayaan terhadap satu sama lain. Setelah mengantarkan Felix ke hotel, Arnold kembali ke kediaman orang tuanya. Arnold belum siap kembali ke rumah yang penuh dengan kenangan buruk yang sudah dia torehkan di hati Emily. "Arnold, ada apa denganmu?" Nyonya Ruby yang sedang duduk minum teh menyapa Arnold yang tampak kacau. Arnold mendudukkan dirinya di sofa seberang papa dan mamanya. Dia diam membisu, matanya terpejam. Tuan dan Nyonya William saling menatap. Tahu anaknya sedang ada ma
Sementara itu di Hotel Prodeo, Sarah duduk meringkuk di lantai. Sejak ditangkap, dia hanya diam dan tidak mau membuka mulutnya. Dan sudah hampir setengah hari Sarah ditahan di ruangan berukuran tiga kali tiga dengan lantai ubin yang dingin dan kotor. Tidak ada karpet mahal yang menutupi lantainya. Dan parahnya lagi, pengacaranya belum kunjung datang. 'Apa Arnold belum tahu aku ditahan? Tidak mungkin!' batinnya. Tadi Sarah sempat menghubungi Arnold tapi teleponnya tidak diangkat, Sarah akhirnya menghubungi Robert dan memintanya untuk menyampaikan kabar penahanannya kepada suaminya. Gembok dibuka, Sarah sontak menoleh, seorang petugas tengah berdiri di depan pintu jeruji besi. "Silahkan keluar, ada tamu untuk Anda!" Sarah langsung berdiri. "Itu pasti suamiku," gumamnya dengan senyum terulas di bibirnya. Sarah yakin sekali Arnold datang untuk menjemputnya dan dia akan keluar dari tempat laknat ini. Sarah berjalan dengan cepat mengikuti penjaga, namun saat melihat siapa yang se
"Apa Anda jadi menemuinya?" Penjaga tahanan yang tadi membawa Sarah kembali ke selnya bertanya karena laki-laki yang memegang kartu identitas advokat di tangan kanannya itu tidak beranjak dari pintu yang menghubungkan ruang besuk dan sel sementara di mana Sarah tengah berada. Laki-laki itu menggeleng, dia tidak tega melihat Sarah terpuruk sedemikian rupa. Tapi untuk membantunya pun pasti berat mengingat Arnold sudah menyiapkan tim pengacara terbaik untuk menuntut Sarah. Rio berbalik dan meninggalkan kantor polisi. Sarah sudah pasti tidak bisa ditemui dalam kondisi seperti ini dia pasti akan mengamuk dan meminta agar Rio membantunya keluar dari tahanan, namun itu sangat mustahil. Rio memutuskan untuk kembali ke kantornya untuk mempelajari kasus yang sedang menimpa Sarah, jujur Rio tidak menyangka Sarah seberani itu. Rio sendiri cukup terkenal di London, dia bahkan termasuk dalam daftar pengacara terbaik namun lawannya kali ini Arnold. Tidak mudah tentunya terlebih Sarah terbukti b
Mendengar pertanyaan Arlen, Emily menghembuskan napasnya dalam, seolah ingin mengusir beban berat yang menekan dadanya. "Dia tidak bisa memaksaku!" suaranya terdengar tegas, meski ekspresi wajahnya tetap datar. "Bukankah aku berhak atas hidupku sendiri?" Arlen menghela napas, matanya menatap Emily dengan penuh pertimbangan. "Ya, kau berhak," katanya pelan, "tapi sayangnya, kau masih terikat dengan perjanjian kontrak dengannya." Mata Emily menyipit. Kontrak. Kata itu selalu mengingatkannya pada belenggu yang selama ini menjeratnya. Dia menelan ludah sebelum berbicara lagi. "Dia sudah melanggar kontrak itu, bisakah aku menuntutnya?" Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Emily menggigit bibir bawahnya, pikirannya melayang pada masa lalu—pada kedua orang tuanya yang telah tiada. Mereka yang seharusnya melindunginya, justru menyerahkannya pada Arnold tanpa mempertimbangkan perasaannya. Namun, mereka sendiri akhirnya menjadi korban dari ambisi dan kekejaman pria itu. Arle
'Sudah tahu status Emily sekarang masih abu-abu, bisa-bisanya aku meminta Emily membuka hati untukku,’ batin Arlen. Ia tidak ingin terdengar bodoh karena telah menanyakan hal yang tidak seharusnya. Emily menatapnya lekat-lekat sebelum akhirnya bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. "Saya sudah tahu sejak awal kalau Tuan hanya bercanda." Ada nada sindiran dalam suaranya, membuat Arlen mengerjapkan mata. Ia tidak yakin apakah Emily benar-benar percaya bahwa ia hanya bercanda, ataukah wanita itu sengaja mengabaikan perasaannya. Bukankah malam dan siang tidak akan pernah bisa bertemu? Saat mereka berdua tengah meresapi isi hati masing-masing, seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. "Cappuccino, jus jeruk, dan es krim coklat," ucap pelayan itu sopan. "Iya," jawab Arlen singkat, sekilas melirik semangkuk es krim yang diletakkan di tengah meja. Ada dua sendok di dalamnya. Setelah memastikan semua pesanan telah tersaji, pelayan itu menunduk hormat lalu beranjak pe
Arlen kini tampak bersemangat. Dia meraih gadgetnya dengan cepat dan membuka email yang baru masuk. Bibirnya membentuk seringai kecil, matanya berbinar penuh antusias."Ini namanya kabar baik," ucap Arlen. Mike yang berdiri di depannya justru mengernyit bingung. "Kenapa ini bisa jadi kabar baik, Tuan? Bukannya Tuan sedang perang dengan Tuan Arnold?" Arlen mendongak, ekspresinya penuh percaya diri. "Justru itu. Ini kesempatan emas! Aku jadi bisa sering bertemu dengannya, terus memanas-manasi. Syukur-syukur dia terbawa emosi dan mau menceraikan Emily." Mike membelalakkan matanya, lalu tertawa kecil. "Wah, betul juga, Tuan! Saya tidak kepikiran sampai ke sana." Arlen menyeringai, kemudian bersandar ke kursinya. "Tapi ada satu hal lagi. Bisakah kau meminta Emily agar mau menjadi pacar pura-puraku?" Mike tersentak. "Kenapa tidak Tuan saja yang memintanya? Saya yakin Emily tidak akan menolak permintaan Tuan." Arlen mendengus kesal. "Aku bosnya. Kenapa malah kau yang menyuruhku?"
Sejenak Emily memejamkan matanya, apa memang harus begini jalannya agar Arnold melepaskannya? Emily mencoba mengingat lagi luka yang ditorehkan Arnold. Kalau Arnold saja pernah mempermainkannya dan memintanya datang ketika dia dan Sarah tengah memadu kasih, lantas Emily tidak seharusnya ragu berpura-pura menjadi kekasih Arlen. Toh hanya berpura-pura dan tidak akan melakukan hal yang di luar batas. Dengan satu tarikan nafas, Emily mengiyakan rencana Arlen dan Mike. "Oke! Aku setuju!" "Yes, bonus bakalan naik nih!" gumam Mike sambil menepuk meja. "Terima kasih, Emily!" "Aku yang seharusnya berterima kasih, kalian sudah bersedia membantuku." Hidup seorang diri tanpa ada seorangpun yang menemaninya, membuat Emily sangat menghargai bantuan yang sudah Arlen berikan padanya. Terlepas dari apapun masalah Arlen dengan Arnold, Emily tidak begitu peduli. Dia hanya ingin bebas, itu saja. Setelah selesai makan siang, Emily dan Mike kembali ke meja kerja masing-masing. Karena kebetul
Emily menghela napasnya pelan, dadanya terasa sesak oleh beban yang selama ini dipendam. Perlahan, diraihnya tangan Arnold, erat namun tetap lembut. "Kamu bersamaku hampir dua puluh empat jam," ucapnya lirih, "apa kamu lihat aku memegang handphone?" Suara Emily terdengar lelah, seperti seseorang yang habis berlari jauh dan tak kunjung mencapai garis akhir. Tatapannya yang sayu menyorot kelelahan yang lebih dari sekadar fisik—itu adalah kelelahan batin, dari terus-menerus dicurigai, dari rasa sayang yang tak henti dipertanyakan. Tanpa menunggu respons Arnold, Emily menarik tangannya dan menggandengnya. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Mereka berdua mendekati sosok Arlen yang sedang berdiri di bawah cahaya temaram lampu taman depan. "Arlen!" seru Emily, lantang namun terdengar getir. Arlen menoleh, dan seketika keningnya berkerut saat melihat jemari Emily yang menggenggam tangan Arnold begitu erat. "Emily, Arnold, kalian…." Suaranya
“Jangan terlalu dekat dengan Alex, aku tidak suka,” ucap Arnold sambil mengusap bibir Emily yang masih tampak kemerahan setelah ciuman mereka. Suaranya pelan namun tegas, menyiratkan kecemburuan yang tak bisa disembunyikan. Emily menarik napas, berusaha mengontrol emosinya. “Aku sudah menganggap Alex dan Vania seperti saudaraku sendiri. Tidak lebih.” Wajah Arnold menegang. “Tetap saja aku tidak suka!” Tatapan keduanya saling mengunci. Dalam keheningan itu, seolah waktu berhenti. Hanya ada mereka berdua, saling menyelami isi hati melalui mata yang mengisyaratkan lebih dari sekadar kata-kata. Emosi, kekhawatiran, dan cinta yang campur aduk terpancar dalam diam. Akhirnya, Emily menghela napas panjang. “Baiklah,” ucapnya menyerah. Ia tahu Arnold sudah cukup bersabar menghadapi sikap keras kepalanya akhir-akhir ini. Arnold perlahan bangkit dari atas tubuh Emily dan duduk di sampingnya. Wajahnya serius. “Mana handphone-mu? Berikan padaku!” Suaranya dalam, sedikit mengandung nada perint
Rahang Arnold tampak mengetat, otot-ototnya menegang hingga tampak jelas dari garis wajahnya yang keras. Sejak awal, dia memang tidak pernah bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada Alex—lelaki yang tampak terlalu dekat dengan Emily, terlalu sering muncul di sisinya, dan terlalu membuatnya merasa terancam. Bukan hanya Alex. Bahkan dengan Arlen dan laki-laki lain yang sekadar bertukar tawa dengan Emily pun, Arnold tidak bisa menahan bara cemburu yang terus menyala dalam dirinya. Emily adalah miliknya. Dan ia tidak suka jika perempuan itu dekat dengan siapa pun yang berjenis kelamin laki-laki selain dirinya. "Emily tidak punya siapa-siapa lagi setelah kau menghancurkan keluarganya," ucap Arnold, suaranya bergetar oleh amarah yang tertahan. "Jadi aku, sebagai satu-satunya orang yang selalu ada untuknya sejak dia masih kecil, tidak akan membiarkanmu menyakiti Emily lagi untuk yang kedua kalinya." Matanya memerah, sorot matanya menusuk tajam ke arah Alex, penuh amarah dan tekad yang me
"Gak apa-apa, Arnold bisa nahan diri kok." Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily dan Arnold di depan pintu kamar. Emily menarik napas dalam, sementara Arnold hanya menatap pintu kamar yang baru saja tertutup. "Angel di mana, Sayang?" tanya Arnold sambil membalikkan badan menatap Emily. "Dia menginap di tempat Livia. Tadinya aku juga mau menginap di sana, terus Mama bilang Mama sudah memesankan kamar untukku," jawab Emily sambil memainkan ujung rambutnya, sedikit gugup. "Mama ini," desah Arnold, mengusap pelipisnya. "Tunggu sebentar!" Tanpa menunggu respons, Arnold masuk ke dalam dan beberapa detik kemudian keluar kembali dengan handphone dan dompet di tangan. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. "Ayo, aku pesankan kamar yang baru," ucapnya sambil menggenggam jemari Emily, menariknya perlahan menuju lobby. "Aku bukannya tidak mau tidur denganmu, tapi aku takut tidak bisa menahan diriku!" ucap Arnold dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. Ia mengecup puncak kepala Emily,
Arnold kembali melamarnya. Kali ini di depan butik branded yang berkilau, dipenuhi kaca besar dan lampu etalase yang memantulkan cahaya gemerlap malam Paris. Aksi Arnold spontan itu sontak mencuri perhatian, disaksikan banyak pasang mata yang lalu lalang di trotoar Champs-Élysées. "Arnold, bangun. Ada banyak orang di sini!" bisik Emily panik, wajahnya memerah menahan malu. "Aku tidak akan bangun sebelum kau memberiku jawaban. Maukah kau menikah denganku?" tanyanya sekali lagi, suara Arnold terdengar bulat dan mantap. "Kalau kau tidak mau, aku siap menggantikanmu, Emily!" seru Vania tiba-tiba, sambil mengarahkan kamera ponselnya ke Arnold yang masih berlutut. Sejak tadi ia sibuk merekam video lamaran itu dengan senyum geli dan semangat yang tak bisa disembunyikan. Emily langsung menatapnya tajam, membuat Angel dan Vania meledak dalam tawa kecil yang tertahan. Netra Emily kembali menatap lembut manik mata hitam Arnold. Ada keraguan yang perlahan luluh dalam tatapan penuh cinta itu.
"Pernahkah kau bertanya bagaimana perasaan Emily kepadamu? Apa kau tidak penasaran, Arnold?" Suara Vania terdengar tenang namun menusuk. Di dalam ruang tamu yang remang dan hangat itu, tiga orang duduk dalam diam sejenak. Robert menyandarkan dirinya ke kursi, sementara Arnold menatap mereka berdua bergantian, matanya menyiratkan kebingungan yang samar. Arnold akhirnya bersuara, suaranya terdengar mantap, namun ada bayangan keraguan yang tersembunyi. "Pernah," katanya sambil menarik napas dalam. "Aku bahkan menanyakannya langsung kepada Emily. Dia bilang dia mencintaiku." Vania mengerutkan kening. "Kalau dia cinta, harusnya dia tidak langsung minta putus, kan?" Perkataan itu membuat dada Arnold bergemuruh. Untuk sesaat, ia tidak tahu harus berkata apa. Keraguan yang selama ini ia pendam perlahan menyeruak ke permukaan. "Tapi aku bisa mengerti bagaimana perasaannya. Wajar kalau dia marah dan kesal saat melihatku bersama wanita lain, lalu meminta putus," jawab Arnold pelan, seolah
"Tuan, Nona pergi ke Paris!" Robert meletakkan data perjalanan Emily yang didapatnya barusan dari hacker andalannya. "Paris?" Robert mengangguk. "Atur jetpriku sekarang juga, aku harus segera ke Paris untuk menjemput Emily!" "Tapi kan kita tidak tahu Nyonya Emily ada di mana." "Itulah gunanya uang, buat apa uangku yang banyak itu kalau aku tidak bisa menemukan di mana calon istriku!" Robert tersenyum canggung. "Nah sekarang tunggu apalagi? Nunggu Emily di ambil orang baru kamu mau atur perjalananku?" Robert bergegas keluar ruangan Arnold dan menghubungi pihak bandara, setelah itu dia menghubungi detektif untuk mencari keberadaan Emily. "Susah kalau sudah berhubungan dengan cinta, sampai ke ujung dunia pun tampaknya Tuan Arnold akan mengejar Nyonya Emily. Aku kapan ya bisa merasakan cinta seperti itu?" gumam Robert dan terdengar oleh Gwen, sekretaris Arnold. "Makanya sesekali jalan ke Mall, jangan tahunya kemana mana ikut Tuan Arnold terus," celetuk Gwen sambil berlalu. "So
Alex membunyikan klaksonnya ketika Emily sudah memasuki halaman rumahnya. Bukan tanpa alasan Alex sangat baik kepada Emily, dengan statusnya yang sekarang masih sendiri. Alex merasa harus menjaga Emily karena Emily sebatang kara. Setelah memarkirkan mobilnya, Emily masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Tanpa Emily sadari sejak tadi ada seseorang yang memperhatikannya di balik kaca mobilnya. Arnold melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Emily setelah melihat sang kekasih masuk ke dalam rumah. Arnold yang mengikuti Emily sejak dari rumah makannya, juga melihat Emily berbincang dengan Alex hingga kekasihnya itu dikawal pulang oleh Alex. Cemburu, sudah pasti. Tapi mau bagaimana lagi. Arnold tidak ingin ingkar janji, dia sudah terlanjur mengatakan akan membiarkan Emily bebas dalam seminggu ini sembari memikirkan jawaban atas lamarannya. Setelah selesai membersihkan diri, Emily tidak langsung tertidur. Dia membuat secangkir teh hangat untuk menemaninya menonton televisi.
Emily menatap lekat wajah Arnold, wajah sendu yang memang jarang terlihat senyuman di bibirnya akhir-akhir ini. Sekali lagi Arnold mengecup bibir Emily, memagutnya lembut. Mencurahkan cintanya yang begitu besar, yang hanya dia yang merasakannya. Entah sudah berapa kali mereka mengalami ini, tetapi pagutan Arnold hari ini benar-benar berbeda. Manis, lembut, dan candu. Dan Emily benar-benar rindu pada pria ini. Tangan Arnold bergerak hingga mengelus punggungnya, tapi tak berapa lama ia menghentikan gerakannya dan memutus tautan bibir itu. Arnold melakukan itu karena ia tak ingin menyakiti dan memaksa Emily. "Aku ingin memberimu waktu yang cukup untuk memikirkannya, saat aku tak berada di sisimu, aku harap kau bisa menyadarinya, apa cinta itu ada untukku? Ataukah hanya aku yang mencinta." Terdengar getir, Arnold yang sangat menginginkan Emily, tentunya ingin perasaannya berbalas, tapi dia tidak bisa memaksakan kehendaknya. "Baiklah, aku akan memikirkannya." Emily mengusap