Sarah membelalak. "Arnold, ini hanya salah paham, aku–" "DIAM!" sentak Arnold. Emosi yang sejak tadi ditahannya akhirnya meledak, Arnold hanya butuh satu pengakuan untuk mengungkapkan bahwa Sarahl-ah yang membuat rencana kecelakaan waktu itu, kecelakaan yang membuat Emily harus kehilangan anak di rahimnya. "Sayang, tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Aku mohon. Ini semua memang salahku, rem mobil yang aku pakai blong, sehingga aku tidak bisa mengendalikannya!" "Mobil di kediaman kita rutin dibawa ke bengkel, jadi berhenti mengada-ada." "Sungguh, Arnold. Kejadiannya begitu cepat, aku tidak bisa menghindar, kalau kamu tidak percaya padaku kamu bisa meminta datanya pada polisi." Sarah dengan putus asa membantah, berusaha membuat Arnold percaya pada kata-katanya. Tapi Arnold bertingkah dengan acuh dan tak acuh, lalu memandangnya dengan tenang. "Lalu, kenapa kamu bilang Emily yang menabrakkan mobilnya ke mobilmu?" Pertanyaan Arnold kali ini sukses membuat Sara
Raut wajah Arlen berubah, ia hendak menghampirinya, tetapi wanita muda tersebut langsung berdiri dan meninggalkan Emily dan Arlen tanpa permisi. Benar-benar tidak mencerminkan kesopanan. "Ada banyak pelamar tapi tidak ada yang memenuhi syarat. Bagaimana aku bisa cepat membawamu ke London kalau begini!" ucap Arlen pelan, tapi Emily masih bisa mendengarnya. "Kalau memang susah mencari pengganti saya, tidak apa apa kalau Tuan Arlen mencari calon sekretarisnya di London saja, biar saya tetap merawat Nyonya Audrey!" "Tidak bisa!" "Kenapa tidak bisa, Tuan? Bukankah di Kota justru kandidat sekretaris dengan pendidikan tinggi berhamburan!" Emily memberanikan diri menatap wajah Arlen, sesuatu yang awalnya sangat di hindarinya. Selain tidak sopan, Emily tidak mau terpesona dengan ketampanan sang majikan. Emily cukup tahu diri, masih lajang pun rasanya Emily tidak pantas bersanding dengan Arlen, apalagi dengan status sekarang yang masih menggantung. "Aku punya pertimbangan sendiri dalam
Arlen memelototi layar handphonenya dan menggeser geserkan layarnya berharap ada pesan lain yang tertutup, namun nihil. Arlen lantas menghubungi Mike untuk memberitahukan bahwa dia akan tinggal beberapa hari lagi di rumah neneknya. Sementara itu di taman belakang, Emily menemani Nyonya Audrey minum teh sembari mendengarkannya bercerita. "Arlen itu sangat penyayang, dia sedari kecil sudah sangat menyayangi binatang. Dulu tiap ada kucing di jalanan, dia selalu membawanya pulang!" Emily mengangguk. 'Pantas saja Arlen perhatian dan ingin membantunya, rupanya dia memang orangnya tidak tegaan,' batin Emily. "Nanti kalau kamu sudah bekerja dengannya, Nenek titip Arlen ya Emily, tolong perhatikan makanannya, Nenek takut dia makan sembarangan saat tidak bersama Nenek. "Iya, Nyonya!" "Panggil Nenek saja, kalau Nyonya terlalu kaku!" pintanya sembari mengusap jemari Emily. "Tapi…." "Tidak apa apa, ayo panggil Nenek!" "Iya, Nek!" Nyonya Audrey tersenyum, namun bukan hanya dia yang terse
"Jovanka sudah Arlen hapus dari hati Arlen, Nek. Nenek tidak usah cemas. Secepatnya akan ada yang mengisi hati Arlen kembali!" "Syukurlah. Nenek kira kamu masih mengharapkan wanita itu. Nenek pikir sudah cukup, lima tahun bukan waktu yang singkat untukmu. Nenek ingin melihat kau menikah, Arlen." Arlen bisa melihat tatapan sendu penuh harap dari sang nenek. Di usianya yang sudah senja, Arlen merasa bersalah karena belum bisa mengabulkan keinginan neneknya yang satu itu. "Syukur-syukur Nenek bisa menggendong anakmu, cicit Nenek." Seulas senyum kembali terbit di bibirnya. Arlen menggenggam jemari sang nenek dan mengecupnya. "Doakan Arlen, ya, Nek." "Emily?" Pertanyaan Nyonya Audrey sontak membuat Arlen membelalak. "Maksud Nenek?" "Kau menyukainya, bukan?" Nyonya Audrey tersenyum penuh arti. Dari awal, dia sudah bisa membaca gerak-gerik cucu kesayangannya. "Ti-tidak, itu tidak benar. Arlen tidak menyukainya!" bantah Arlen dengan wajah bersemu merah. Arlen terlihat salah tingkah, p
"Baik, Tuan. Tapi saya mohon Tuan bisa menahan diri Tuan, saya takut kejadian di rumah Tuan Arlen kembali terulang!" "Tenang saja, aku tidak akan terpancing lagi dengan ucapannya, aku tidak akan membiarkannya menertawakanku!" "Baik, Tuan. Saya akan segera menyiapkan penawarannya." Robert menunduk dan berlalu meninggalkan ruangan Arnold. "Aku harus segera membawa Emily kembali, aku tidak bisa membiarkannya dekat dengan Arlen. Emily, aku tidak akan melepaskanmu!" Keesokan paginya, Sarah pagi pagi sudah bersiap siap, hari ini dia akan menemui Rio untuk mengambil surat penyerahan saham Maurer Corp. Mumpung dia masih bersama Arnold, mudah saja untuknya mendapatkan cap jempol suaminya. Cukup dengan sedikit Wine dan obat tidur, Sarah sangat yakin dia tidak akan jatuh miskin saat berpisah dengan Arnold. "Kau mau kemana?" tanya Arnold yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. "Aku ada janji dengan sales property untuk melihat unit apartemen yang mau aku beli. Kau jadi
Sally bahkan menjepit bibirnya agar tidak berbicara apapun. Jantungnya berdebar kencang, jujur Sally takut mengatakan yang sebenarnya karena Sarah pernah mengancam para pelayan agar tutup mulut. "I-itu, Tuan…" "Katakan!" Suara Arnold terdengar dingin dan menusuk. "Tapi, Tuan!" "Kalian takut dengan Sarah?" bentakan Arnold sangat nyaring, bahkan terdengar hingga depan. Sally seketika mundur karena kaget. "Cepat katakan!" Kali ini lebih dalam dan pelan, namun tidak kalah menakutkan. "Nyo-Nyonya Sarah menyiram Nyonya Emily dengan air es di pagi pertamanya setelah menikah dengan Anda, Tuan!" "APA!" Tubuh Arnold mendadak bergetar hebat, jantungnya memacu kencang. Apa dia tidak salah dengar? Apa Sarah sejahat itu? Berbagai pertanyaan mengisi benak Arnold. "Apalagi!" tanyanya dengan suara yang semakin pelan, dadanya sesak. Sungguh Arnold bahkan tidak bernafas untuk sesaat. "Teruskan!" "Tapi, Tuan!" "Ku bilang teruskan!" Lebih baik perih menusuk tapi Arnold tahu ke
Arnold menoleh mencari asal suara. Dia lantas memalingkan wajahnya begitu tahu siapa yang barusan berbicara. "Kenapa? Kau marah istri kesayanganmu kukatai terkutuk?" Nyonya Ruby menarik kursi di sebelah kursi Arnold. Dia menatap tajam ke arah putra sulungnya yang sudah diracuni otaknya oleh wanita licik itu. "Mama sudah pernah bilang, dia tidak sebaik yang kau pikir Arnold!" Arnold tidak bergeming, tatapannya tampak kosong. "Sekarang ceraikan dia, cari Emily dan minta maaflah!" Nyonya Ruby sudah lama mencurigai Sarah, hanya saja dia tidak mempunyai bukti apa apa. Dan memang sejak awal dia tidak setuju dengan pernikahan Arnold dan Sarah, namun kala itu Arnold memaksa, sehingga Nyonya Ruby tak berkutik. Karena Sarah tidak kunjung hamil, Nyonya Ruby pun mencarikan istri kedua, tidak hanya agar Arnold memiliki keturunan, namun tujuan utamanya adalah agar Arnold mendapatkan istri yang baik. Emily sendiri bukanlah wanita asal asalan yang dipilihkannya. Nyonya Ruby mengenal E
"Sebentar lagi kau akan mengetahuinya!" Sarah mengerling nakal, bibirnya melengkung dengan senyum penuh arti. Rio menatapnya dengan penuh selidik sebelum akhirnya menghela napas. Dengan gerakan tergesa, ia melepas satu-satunya pelindungnya, seolah waktu adalah musuh yang harus dikalahkan. Ia tidak ingin berlama-lama, tidak ingin membuang kesempatan yang sudah di depan mata. Sarah tersenyum tipis, matanya bersinar puas setelah apa yang terjadi di antara mereka. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, sementara Rio duduk di sampingnya, mengeringkan rambut basahnya dengan handuk kecil. "Jangan cap jempol, harus tanda tangannya!" kata Sarah tiba-tiba, suaranya kembali terdengar serius. Rio meliriknya, lalu tertawa kecil. "Oh ya?" tanyanya dengan nada menggoda. Sarah mengangguk. "Iya." "Susah ya?" Rio menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi di wajah wanita itu. Sarah menghela napas panjang. "Entahlah, sepertinya tidak akan sesulit itu. Aku akan membuatnya mabuk te
Kening Emily berkerut, mencoba mencerna maksud dari ucapan Arnold yang begitu tegas dan penuh peringatan. "Apa maksudmu berkata seperti itu?" gumamnya pelan, namun belum sempat ia melanjutkan pertanyaannya... "Tapi, Say—" "Mulai sekarang belajarlah menuruti apa kataku. Aku hanya ingin kamu menjauh darinya. Dia sangat berbahaya." Nada suara Arnold tak dapat ditawar. Dingin. Tegas. Ada nada kekhawatiran yang terselip, tersembunyi di balik sorot matanya yang keras. Emily terdiam. Kalimat itu menggantung dalam pikirannya, tapi ia tahu—Arnold pasti punya alasan kuat hingga berkata sejauh itu tentang saudara tirinya sendiri. Dengan pelan, Emily mengangguk setuju. Meskipun hatinya masih dipenuhi tanya, ia memilih untuk mempercayai Arnold. "Istriku memang pintar," ucap Arnold sambil mengecup lembut puncak kepala Emily, kemudian mendekap tubuh mungilnya dengan erat, seolah ingin melindunginya dari dunia luar. Pagi itu, suasana meja makan terasa sunyi. Arnold dan Emily duduk berhadapan,
"Masuklah ke kamar!" pintanya sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. Emily mengangguk patuh, seulas senyum manis menghiasi wajahnya saat ia menatap Arnold sesaat. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan melangkah anggun meninggalkan ruang makan, langkah-langkahnya terdengar lembut di atas lantai kayu marmer yang mengkilap. Arnold dan Nicholas sama-sama menatap punggungnya yang perlahan menghilang di tangga. Tak satu pun dari mereka berbicara, seolah tengah membaca isi pikiran masing-masing. Nicholas akhirnya bersuara, suaranya ringan namun menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Kau tidak berniat mengenalkan istrimu kepadaku, Arnold?" Tidak ada jawaban. Hanya hening. Mata Arnold tetap menatap ke arah tangga, memastikan Emily benar-benar telah sampai di atas. Nicholas, sementara itu, masih mengikuti sosok wanita itu dengan pandangan yang sulit ditebak. Begitu Emily menghilang dari pandangan, Arnold berdiri. Ia melangkah pelan namun mantap ke arah Nich
Menjelang siang, sinar matahari mengintip malu-malu melalui sela tirai tipis yang menggantung di jendela kamar. Emily terbangun perlahan, kelopak matanya yang berat mengerjap beberapa kali. Tubuhnya terasa nyeri di berbagai bagian, seperti baru saja melewati perjalanan panjang yang melelahkan, namun tatkala ia menyadari di mana dirinya berada dan siapa yang sedang mendekapnya erat, seulas senyum manis langsung merekah di wajahnya yang memesona. Ada kebahagiaan dan ketenangan yang terpancar dari ekspresinya. Arnold, pria yang kini resmi menjadi suaminya, memeluk tubuh mungilnya dengan posesif. Kehangatan tubuhnya dan detak jantung yang terasa di dadanya membuat Emily merasa seperti sedang terkurung dalam mimpi indah yang enggan ia akhiri. Hatinya masih sulit percaya bahwa ia kini telah sah menjadi Nyonya Arnold Edward. "Sudah puas menatap wajahku yang tampan?" Suara berat Arnold yang menggodanya membuat Emily terperanjat kecil, rona merah muda segera merayapi pipinya. "Sejak kapan k
"Harusnya aku yang meminta seperti itu, bukan kau..." Arnold membenamkan Emily ke dalam pelukannya, air matanya ikut luruh. Dan tidak hanya mereka berdua, tapi juga Sally yang tahu awal mula kisah mereka ikut meneteskan air mata haru. "Sally, mulai sekarang aku akan mempercayakan Emily kepadamu saat aku tidak ada di rumah!" "Siap, Tuan. Saya akan menjaga Nyonya Emily dengan sepenuh hati." Sally membungkuk dengan senyum terukir di bibirnya. Emily mencubit pinggang Arnold pelan. "Aku bukan anak kecil yang harus dijaga!" "Kau memang bukan anak kecil, tapi kau sesuatu yang sangat berharga untukku." Emily menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, membuat Arnold mendadak gelisah. "Sally, bisakah kau membuatkan cake untukku dan Emily?" "Cake, tentu Tuan. Tuan mau dibuatkan cake apa? Red velvet? Cheese cake?" "Terserah kamu saja, kedua-duanya boleh juga." "Siap, Tuan!" Sally menunduk dan berlalu keluar dari kamar utama. "Sekarang hanya ada kita berdua," bisik Arnold
"Apa? Astaga aku belum mandi!" seru Emily panik. Ia berbalik secepat kilat, rambutnya yang panjang ikut terhempas, lalu langsung berlari menuju kamarnya meninggalkan Arnold yang hanya bisa menggeleng pelan, senyum kecil mengembang di wajahnya. Tatapannya mengikuti langkah Emily dengan penuh kasih, seperti melihat matahari pagi yang menyelinap masuk dari balik tirai jendela. Sembari menunggu Emily selesai mandi, Arnold duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponselnya dan segera menghubungi Robert. “Bisa tolong bawakan sarapan untukku dan Emily?” pintanya tenang. Tak lama berselang, dering bel rumah terdengar. Robert datang dengan senyum sopan dan nampan di tangannya. Ia membantu Arnold menata makanan dengan cekatan, seperti sudah sangat hafal dengan rutinitas majikannya. "Bagaimana, apa persiapan penandatanganan buku nikahnya sudah beres?" tanya Arnold, suaranya terdengar sedikit gemetar. "Sudah, Tuan!" jawab Robert mantap. "Terima kasih, Robert!" ujar Arnold, menahan gejolak emo
Emily menghela napasnya pelan, dadanya terasa sesak oleh beban yang selama ini dipendam. Perlahan, diraihnya tangan Arnold, erat namun tetap lembut. "Kamu bersamaku hampir dua puluh empat jam," ucapnya lirih, "apa kamu lihat aku memegang handphone?" Suara Emily terdengar lelah, seperti seseorang yang habis berlari jauh dan tak kunjung mencapai garis akhir. Tatapannya yang sayu menyorot kelelahan yang lebih dari sekadar fisik—itu adalah kelelahan batin, dari terus-menerus dicurigai, dari rasa sayang yang tak henti dipertanyakan. Tanpa menunggu respons Arnold, Emily menarik tangannya dan menggandengnya. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Mereka berdua mendekati sosok Arlen yang sedang berdiri di bawah cahaya temaram lampu taman depan. "Arlen!" seru Emily, lantang namun terdengar getir. Arlen menoleh, dan seketika keningnya berkerut saat melihat jemari Emily yang menggenggam tangan Arnold begitu erat. "Emily, Arnold, kalian…." Suaranya
“Jangan terlalu dekat dengan Alex, aku tidak suka,” ucap Arnold sambil mengusap bibir Emily yang masih tampak kemerahan setelah ciuman mereka. Suaranya pelan namun tegas, menyiratkan kecemburuan yang tak bisa disembunyikan. Emily menarik napas, berusaha mengontrol emosinya. “Aku sudah menganggap Alex dan Vania seperti saudaraku sendiri. Tidak lebih.” Wajah Arnold menegang. “Tetap saja aku tidak suka!” Tatapan keduanya saling mengunci. Dalam keheningan itu, seolah waktu berhenti. Hanya ada mereka berdua, saling menyelami isi hati melalui mata yang mengisyaratkan lebih dari sekadar kata-kata. Emosi, kekhawatiran, dan cinta yang campur aduk terpancar dalam diam. Akhirnya, Emily menghela napas panjang. “Baiklah,” ucapnya menyerah. Ia tahu Arnold sudah cukup bersabar menghadapi sikap keras kepalanya akhir-akhir ini. Arnold perlahan bangkit dari atas tubuh Emily dan duduk di sampingnya. Wajahnya serius. “Mana handphone-mu? Berikan padaku!” Suaranya dalam, sedikit mengandung nada perint
Rahang Arnold tampak mengetat, otot-ototnya menegang hingga tampak jelas dari garis wajahnya yang keras. Sejak awal, dia memang tidak pernah bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada Alex—lelaki yang tampak terlalu dekat dengan Emily, terlalu sering muncul di sisinya, dan terlalu membuatnya merasa terancam. Bukan hanya Alex. Bahkan dengan Arlen dan laki-laki lain yang sekadar bertukar tawa dengan Emily pun, Arnold tidak bisa menahan bara cemburu yang terus menyala dalam dirinya. Emily adalah miliknya. Dan ia tidak suka jika perempuan itu dekat dengan siapa pun yang berjenis kelamin laki-laki selain dirinya. "Emily tidak punya siapa-siapa lagi setelah kau menghancurkan keluarganya," ucap Arnold, suaranya bergetar oleh amarah yang tertahan. "Jadi aku, sebagai satu-satunya orang yang selalu ada untuknya sejak dia masih kecil, tidak akan membiarkanmu menyakiti Emily lagi untuk yang kedua kalinya." Matanya memerah, sorot matanya menusuk tajam ke arah Alex, penuh amarah dan tekad yang me
"Gak apa-apa, Arnold bisa nahan diri kok." Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily dan Arnold di depan pintu kamar. Emily menarik napas dalam, sementara Arnold hanya menatap pintu kamar yang baru saja tertutup. "Angel di mana, Sayang?" tanya Arnold sambil membalikkan badan menatap Emily. "Dia menginap di tempat Livia. Tadinya aku juga mau menginap di sana, terus Mama bilang Mama sudah memesankan kamar untukku," jawab Emily sambil memainkan ujung rambutnya, sedikit gugup. "Mama ini," desah Arnold, mengusap pelipisnya. "Tunggu sebentar!" Tanpa menunggu respons, Arnold masuk ke dalam dan beberapa detik kemudian keluar kembali dengan handphone dan dompet di tangan. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. "Ayo, aku pesankan kamar yang baru," ucapnya sambil menggenggam jemari Emily, menariknya perlahan menuju lobby. "Aku bukannya tidak mau tidur denganmu, tapi aku takut tidak bisa menahan diriku!" ucap Arnold dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. Ia mengecup puncak kepala Emily,