Malam itu, suasana rumah terasa sepi. Clara yang baru saja pulang dari tempat kerjanya terlihat elegan dengan blazer hitam yang membalut tubuhnya. Ia melepas sepatu hak tingginya di dekat pintu sebelum melangkah menuju meja makan.
Maya, yang mendengar suara langkah Clara, segera keluar dari dapur. “Selamat malam, Nyonya. Apa Nyonya ingin saya siapkan makan malam sekarang?” tanya Maya dengan nada sopan, berdiri dengan kedua tangan saling menggenggam di depan. Clara memandang Maya dengan sorot mata dingin, lalu duduk di kursi meja makan sambil meletakkan tasnya di atas meja. “Kenapa belum siap? Kamu tahu kan, aku nggak suka menunggu,” ucapnya dengan nada penuh otoritas. Maya menunduk. “Maaf, Nyonya. Saya akan segera menyiapkannya,” katanya sambil bergegas kembali ke dapur. Clara mendesah kecil sambil membuka ponselnya, mencoba mengecek email pekerjaan yang belum selesai. Sambil menunggu makanan disajikan, ia bergumam, “Entah kenapa aku harus repot-repot membiarkan dia di sini. Semoga saja dia cepat memberi hasil yang aku harapkan.” Tak lama, Maya kembali dengan nampan berisi makanan yang telah disiapkan. Dengan hati-hati, ia meletakkan piring-piring di depan Clara. “Silakan, Nyonya. Jika ada yang kurang, tolong beri tahu saya,” ujarnya sambil mundur perlahan. Clara memandang makanan itu sejenak, lalu melirik Maya. “Kamu boleh pergi sekarang. Aku ingin makan sendiri,” katanya singkat. Maya mengangguk dan segera kembali ke dapur, meninggalkan Clara yang mulai menikmati makan malamnya dengan wajah serius, sementara pikiran tentang rencananya ke depan terus berputar di benaknya. Saat Clara sedang menikmati makan malamnya, suara mesin mobil terdengar dari luar. Clara melirik jam dinding, lalu menghela napas. "Akhirnya pulang juga," gumamnya pelan. Pintu utama terbuka, dan Bagas masuk dengan wajah yang tampak lelah. Ia melepas jas dan meletakkannya di gantungan dekat pintu sebelum berjalan menuju meja makan, di mana Clara masih duduk. “Sayang, baru pulang?” Clara bertanya tanpa menoleh, nada suaranya terdengar biasa saja. Bagas mendekatinya dan menundukkan badan untuk mencium pipi Clara. “Iya, tadi ada meeting tambahan. Kamu sudah makan?” Clara mengangguk sambil menyesap air putihnya. “Aku baru mulai. Kamu sendiri? Mau makan sekarang atau mau istirahat dulu?” Bagas melirik ke arah dapur, lalu menjawab singkat, “Aku makan nanti saja. Aku mau mandi dulu.” Clara mengangguk tanpa banyak bicara, tetapi matanya mengamati suaminya yang tampak terburu-buru. “Jangan terlalu capek, Mas,” ucapnya dengan nada ringan namun penuh makna. Bagas hanya tersenyum tipis sebelum melangkah ke kamarnya. Namun, di dalam hatinya, ia merasa ada hal yang tak bisa ia abaikan—hubungannya dengan Clara dan pernikahan yang rumit ini mulai terasa seperti beban yang semakin berat. Setelah selesai makan, Clara duduk santai di kursinya sambil memainkan ponselnya. Jemarinya dengan lincah menggulir layar, sesekali terlihat senyum kecil di wajahnya, entah karena membaca pesan atau sesuatu yang menarik perhatiannya. Namun, beberapa menit kemudian, ekspresi Clara berubah serius. Ia meletakkan ponselnya di atas meja dengan perlahan, lalu memanggil Maya dengan nada tegas. “Maya! Ke sini sebentar,” panggil Clara sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak lama, Maya muncul dari dapur dengan langkah cepat, mengenakan celemeknya yang sederhana. “Iya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Maya sambil berdiri dengan sikap sopan, matanya menunduk sedikit. Clara menatap Maya dengan tatapan yang tajam. “Aku sudah selesai makan. Bersihkan meja ini sekarang,” ujarnya singkat namun dengan nada otoritas yang tak bisa dibantah. Maya mengangguk dengan cepat. “Baik, Nyonya,” jawabnya, lalu mulai membereskan piring-piring dan gelas di atas meja makan. Clara masih duduk di kursinya, memperhatikan Maya yang sibuk membereskan meja makan. Tatapan tajamnya terus mengikuti setiap gerakan Maya. Tiba-tiba, Clara membuka suara, dengan nada yang tenang namun penuh sindiran. “Maya,” Clara memanggil. Maya menghentikan sejenak pekerjaannya dan menoleh. “Iya, Nyonya?” jawabnya sopan, sedikit bingung dengan arah pembicaraan Clara. Clara menyandarkan tubuhnya ke kursi dan melipat tangannya di depan dada. “Aku jadi penasaran. Sudah hampir tujuh bulan kamu menikah dengan Mas Bagas, tapi kenapa sampai sekarang kamu belum juga hamil?” Pertanyaan itu langsung membuat Maya terdiam. Wajahnya pucat, dan ia menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. “Saya… saya belum tahu, Nyonya,” ucapnya pelan, mencoba mengatur napas agar tidak terdengar gugup. Clara memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit tajam. “Belum tahu? Kamu sadar kan, tujuan utama aku membiarkan kamu menikah dengan Mas Bagas itu hanya supaya kamu bisa memberikan keturunan. Kalau sampai sekarang kamu belum juga hamil, buat apa kamu ada di sini?” Maya baru saja hendak menjawab, suaranya pelan namun jelas penuh tekanan. "I … itu, Nyonya. " Namun, sebelum kata-kata itu selesai, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan tiba-tiba Bagas sudah berdiri di samping Clara. "Apa yang kalian bicarakan?" suara dingin Bagas memotong pembicaraan, membuat Maya langsung terdiam dan menunduk. Clara menoleh dengan alis terangkat, sedikit terkejut dengan kehadiran Bagas. “Oh, Mas. Aku cuma bertanya pada Maya kenapa sampai sekarang dia belum juga hamil. Kamu sendiri nggak penasaran?” ucap Clara santai, tapi nadanya penuh sindiran. Bagas menarik napas panjang, menatap Clara dengan wajah datar. "Clara, apa kamu harus menanyakan itu sekarang? Ini sudah malam. Maya sudah lelah bekerja seharian." Clara menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya berubah menjadi kesal. “Jadi, aku nggak boleh tanya soal hal yang jelas-jelas penting buat kita? Mas tahu kan, tujuan aku membiarkan pernikahan ini hanya supaya dia bisa memberi anak untuk kita?” Maya tetap menunduk, menggenggam erat kain celemeknya, merasa seolah tak punya hak untuk berbicara. Bagas menghela napas lagi, lalu beralih menatap Maya sekilas, dingin seperti biasanya. “Maya, kamu boleh kembali ke dapur. Aku ingin bicara dengan Clara.” Maya mengangguk cepat, tanpa berani mengangkat wajahnya. “Baik, Tuan,” jawabnya pelan sebelum bergegas meninggalkan ruangan, hatinya terasa semakin hancur dengan situasi yang tak kunjung membaik. Setelah Maya pergi, Bagas menatap Clara dengan tatapan tajam. "Sayang, aku tahu ini penting, tapi kamu harus tahu caranya bicara. Jangan membuat suasana jadi lebih buruk." Clara menatap Bagas balik, tidak mau kalah. “Aku cuma ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Kalau bukan aku yang bertanya, siapa lagi?” Bagas menggelengkan kepala, berusaha menahan emosinya. “Aku akan mengurus ini. Kamu nggak perlu khawatir. Tapi aku nggak mau kamu menekan Maya seperti itu. Kita harus bersabar.” Clara mendengus kecil, tapi tidak menjawab. Ia hanya mengambil tasnya dari meja dan berjalan menuju ruang tamu, meninggalkan Bagas berdiri sendiri dengan pikiran yang bercampur aduk.Setelah memastikan Clara sudah masuk ke dalam kamar dan pintunya tertutup rapat, Bagas berjalan dengan langkah cepat menuju dapur. Wajahnya terlihat serius, dan pikirannya penuh dengan kegelisahan.Di dapur, Maya sedang merapikan piring-piring dengan hati-hati. Ia mencoba menenangkan dirinya setelah percakapan menyakitkan tadi, namun suara langkah Bagas membuatnya tersentak. Maya menoleh dan melihat Bagas berdiri di ambang pintu, tatapan matanya dingin seperti biasa.“Tuan?” Maya berkata dengan nada hati-hati.Bagas melangkah mendekat, suaranya rendah namun tegas. “Maya, aku nggak mau bertele-tele. Aku hanya ingin memperingatkanmu.”Maya menunduk, merasa takut dengan nada suara Bagas. “Apa yang ingin Tuan katakan?”Bagas mendekatkan tubuhnya, membuat Maya semakin merasa terpojok. “Dengar baik-baik. Aku nggak peduli apa yang kamu pikirkan atau rasakan, tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Jangan pernah, sekalipun, memberi tahu Clara kalau selama ini kita belum pernah melakukan hubungan s
Malam itu, Clara baru saja tiba di rumah setelah melewati hari yang panjang di kantor. Tanpa melepas sepatu atau merapikan dirinya terlebih dahulu, ia langsung berjalan ke arah meja makan. Wajahnya terlihat tidak senang, dan suaranya terdengar lantang saat ia memanggil.“Maya! Maya, ke sini sekarang!” serunya dengan nada tajam.Suara langkah kaki Maya terdengar dari dapur, dan beberapa detik kemudian, ia muncul dengan ekspresi gugup. Ia menundukkan kepala sedikit, merasa ada yang salah namun tidak tahu apa.“Ya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Maya dengan nada sopan, meskipun tangannya sedikit gemetar.Setelah Maya berdiri di hadapan Clara, ia langsung menunduk, menunggu Clara berbicara.“Bagas di mana?” tanya Clara dengan nada tegas, sambil melipat tangannya di depan dada. “Apa dia sudah makan malam?”Maya menelan ludah, mencoba menjawab dengan tenang meskipun
Clara membuka pintu rumah dengan keras dan langsung masuk ke dalam, suaranya menggema di seluruh ruangan.“Mas! Mas Bagas, di mana kamu?!” serunya dengan nada tinggi, membuat suasana rumah yang semula tenang berubah tegang.Di belakang Clara, Maya berjalan dengan kepala tertunduk. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia berusaha menahan isakanya agar tidak terdengar. Tangannya gemetar, memegang sudut jilbabnya, mencoba menenangkan diri.Clara menoleh sekilas ke arah Maya, wajahnya penuh dengan emosi. “Jangan hanya diam di situ, Maya! Kau ikut ke sini.”Clara mendengus kesal, lalu kembali berteriak, “Mas Bagas! Keluar sekarang juga!”Dari arah tangga, langkah kaki terdengar mendekat. Bagas muncul dengan wajah kebingungan, melihat Clara berdiri dengan tatapan penuh amarah, sementara Maya di belakangnya terlihat menangis.“Ada apa ini, Sayang?” tanya Bagas dengan nada datar,
Saat makan malam berlangsung, suasana di meja makan terasa sedikit canggung. Clara duduk di sebelah Bagas, dengan ekspresi tenang namun penuh kewaspadaan. Aminah duduk di seberang mereka, memperhatikan kedua anak itu dengan tatapan lembut tapi penuh rasa ingin tahu.Bagas berusaha menjaga suasana tetap ringan. Ia menyendokkan makanan ke piringnya sambil tersenyum kecil. "Ibu, bagaimana masakan Maya hari ini? Tadi dia bilang mencoba resep baru."Aminah menatap piringnya sejenak sebelum mengangguk. "Masakan Maya selalu enak. Tapi, Bagas, aku merasa ada sesuatu yang berbeda di rumah ini akhir-akhir ini."Clara yang tengah menyuap makanan tiba-tiba berhenti. Ia meletakkan sendoknya dengan perlahan, lalu menatap Aminah dengan senyum tipis. "Oh, Ibu, apa maksudnya? Maksud Ibu suasananya berbeda seperti apa?" tanyanya dengan nada lembut, meskipun sorot matanya penuh arti.Aminah tersenyum kecil. "Entahlah, mungkin
Maya yang tertidur pulas di ranjang kecilnya langsung terbangun dengan nafas terengah saat mendengar pintu kamarnya dibuka dengan keras. Matanya yang masih setengah mengantuk menatap ke arah pintu, dan ia terkejut melihat Bagas berdiri di sana dengan ekspresi wajah tegang."Tuan... ada apa?" tanya Maya gugup sambil mencoba bangkit dari tempat tidur.Bagas berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya dengan sedikit keras. Ia menatap Maya tajam, membuat wanita itu semakin merasa kecil dihadapannya.Maya terkejut saat tangan Bagas dengan cepat meraih tangannya dan menariknya hingga tubuhnya terjatuh dalam pelukan pria itu. Napasnya memburu, matanya melebar menatap kosong ke arah bahu Bagas yang kini memeluknya erat. Ia terlalu bingung untuk berkata apa-apa."Tuan... apa yang Anda lakukan?" tanya Maya dengan suara gemetar, mencoba menjauh, namun pelukan Bagas justru semakin erat.Bagas menghel
“Clara, mau kemana kamu pagi-pagi begini?” tanya Aminah saat melihat Clara akan meninggalkan rumah. “Ibu? Hari ini ada jadwal syuting yang cukup pagi, jadi aku harus ke lokasi lebih awal dari biasanya.” Clara walaupun terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan Aminah. Namun, ia masih berusaha untuk menjawab pertanyaan mertuanya itu dengan lembut. “Syuting!” ucap Aminah dengan nada sedikit lebih keras. “Clara … Ibu tahu kamu adalah seorang artis terkenal, tapi kamu nggak bisa melupakan tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang istri untuk Bagas.”“Maksud ibu apa?” tanya Clara sambil menyilangkan tangannya di dada. Aminah dengan tatapan otoriter mulai mendekati Clara yang berdiri tidak jauh darinya. Tatapan Aminah begitu tajam menatap Clara, menantu yang selama ini selalu ia banggkan. “Asal kamu tahu, Clara. Tugas utama seorang istri adalah melahirkan seorang anak dan melayani suaminya di rumah.”
“Jam segini makanan belum juga siap?” ucap Clara saat sudah berdiri di meja makan. Clara melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kanannya. Terlihat jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi. Namun, meja makan masih terlihat begitu rapi tanpa ada makanan yang tersaji. Clara memegang salah satu kursi sambil tangan yang lain menyentuh pinggangnya. Tatapannya terlihat penuh dengan emosi yang sudah siap ia lampiaskan kepada Maya, asisten rumah tangga sekaligus madunya. “Dimana wanita itu, kenapa sampai jam segini masih belum ada sarapan untukku.” Clara segera berjalan ke arah paviliun. Dengan perlahan Clara membuka pintu kamar Maya yang tidak terkunci, terlihat Maya masih terlelap dalam tidurnya. Clara yang sudah tidak dapat menahan emosinya segera berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di pojok paviliun. Dengan segera ia mengambil seember air dan membawanya ke kamar Maya. Dengar gerakan cepat Clara langsung menyiramkan air ke arah Maya yang masih tertidur pulas. “Dasar pembant
“Sekarang cepat katakan, darimana kalian pergi?” tanya Clara dengan mata yang terliat menyelidiki. “Aku baru saja mengantar Maya ke rumah sakit, dan kamu tahu Dokter bilang apa?” Bagas menghentikan ucapannya. “Dokter bilang kalau Maya saat ini sedang mengandung, itu berarti sebentar lagi kita akan memiliki anak, Sayang.” Bagas dengan wajah bahagia segera meraih tangan Clara. Kebahagiaan yang di rasakan Bagas justru berbanding terbalik dengan Clara, wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan. Melainkan lebih pada kebencian. Clara langsung menarik kedua tangannya dengan kasar. “Kita,” ucapnya dengan senyum sinis. “Kamu yang menginginkan anak itu, bukan aku.” Jawaban Clara langsung membuat Bagas terdiam, ia tidak menyangka jika Clara yang awalnya ia pikir akan bahagia dengan kehamilan Maya justru menolak berita bahagia tersebut. “Sayang, aku tahu kalau selama ini aku yang menginginkan anak itu, tapi bukankah setelah anak itu lahir aku akan bercerai dengan Maya dan secara tidak langsung
“Sekarang cepat katakan, darimana kalian pergi?” tanya Clara dengan mata yang terliat menyelidiki. “Aku baru saja mengantar Maya ke rumah sakit, dan kamu tahu Dokter bilang apa?” Bagas menghentikan ucapannya. “Dokter bilang kalau Maya saat ini sedang mengandung, itu berarti sebentar lagi kita akan memiliki anak, Sayang.” Bagas dengan wajah bahagia segera meraih tangan Clara. Kebahagiaan yang di rasakan Bagas justru berbanding terbalik dengan Clara, wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan. Melainkan lebih pada kebencian. Clara langsung menarik kedua tangannya dengan kasar. “Kita,” ucapnya dengan senyum sinis. “Kamu yang menginginkan anak itu, bukan aku.” Jawaban Clara langsung membuat Bagas terdiam, ia tidak menyangka jika Clara yang awalnya ia pikir akan bahagia dengan kehamilan Maya justru menolak berita bahagia tersebut. “Sayang, aku tahu kalau selama ini aku yang menginginkan anak itu, tapi bukankah setelah anak itu lahir aku akan bercerai dengan Maya dan secara tidak langsung
“Jam segini makanan belum juga siap?” ucap Clara saat sudah berdiri di meja makan. Clara melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kanannya. Terlihat jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi. Namun, meja makan masih terlihat begitu rapi tanpa ada makanan yang tersaji. Clara memegang salah satu kursi sambil tangan yang lain menyentuh pinggangnya. Tatapannya terlihat penuh dengan emosi yang sudah siap ia lampiaskan kepada Maya, asisten rumah tangga sekaligus madunya. “Dimana wanita itu, kenapa sampai jam segini masih belum ada sarapan untukku.” Clara segera berjalan ke arah paviliun. Dengan perlahan Clara membuka pintu kamar Maya yang tidak terkunci, terlihat Maya masih terlelap dalam tidurnya. Clara yang sudah tidak dapat menahan emosinya segera berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di pojok paviliun. Dengan segera ia mengambil seember air dan membawanya ke kamar Maya. Dengar gerakan cepat Clara langsung menyiramkan air ke arah Maya yang masih tertidur pulas. “Dasar pembant
“Clara, mau kemana kamu pagi-pagi begini?” tanya Aminah saat melihat Clara akan meninggalkan rumah. “Ibu? Hari ini ada jadwal syuting yang cukup pagi, jadi aku harus ke lokasi lebih awal dari biasanya.” Clara walaupun terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan Aminah. Namun, ia masih berusaha untuk menjawab pertanyaan mertuanya itu dengan lembut. “Syuting!” ucap Aminah dengan nada sedikit lebih keras. “Clara … Ibu tahu kamu adalah seorang artis terkenal, tapi kamu nggak bisa melupakan tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang istri untuk Bagas.”“Maksud ibu apa?” tanya Clara sambil menyilangkan tangannya di dada. Aminah dengan tatapan otoriter mulai mendekati Clara yang berdiri tidak jauh darinya. Tatapan Aminah begitu tajam menatap Clara, menantu yang selama ini selalu ia banggkan. “Asal kamu tahu, Clara. Tugas utama seorang istri adalah melahirkan seorang anak dan melayani suaminya di rumah.”
Maya yang tertidur pulas di ranjang kecilnya langsung terbangun dengan nafas terengah saat mendengar pintu kamarnya dibuka dengan keras. Matanya yang masih setengah mengantuk menatap ke arah pintu, dan ia terkejut melihat Bagas berdiri di sana dengan ekspresi wajah tegang."Tuan... ada apa?" tanya Maya gugup sambil mencoba bangkit dari tempat tidur.Bagas berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya dengan sedikit keras. Ia menatap Maya tajam, membuat wanita itu semakin merasa kecil dihadapannya.Maya terkejut saat tangan Bagas dengan cepat meraih tangannya dan menariknya hingga tubuhnya terjatuh dalam pelukan pria itu. Napasnya memburu, matanya melebar menatap kosong ke arah bahu Bagas yang kini memeluknya erat. Ia terlalu bingung untuk berkata apa-apa."Tuan... apa yang Anda lakukan?" tanya Maya dengan suara gemetar, mencoba menjauh, namun pelukan Bagas justru semakin erat.Bagas menghel
Saat makan malam berlangsung, suasana di meja makan terasa sedikit canggung. Clara duduk di sebelah Bagas, dengan ekspresi tenang namun penuh kewaspadaan. Aminah duduk di seberang mereka, memperhatikan kedua anak itu dengan tatapan lembut tapi penuh rasa ingin tahu.Bagas berusaha menjaga suasana tetap ringan. Ia menyendokkan makanan ke piringnya sambil tersenyum kecil. "Ibu, bagaimana masakan Maya hari ini? Tadi dia bilang mencoba resep baru."Aminah menatap piringnya sejenak sebelum mengangguk. "Masakan Maya selalu enak. Tapi, Bagas, aku merasa ada sesuatu yang berbeda di rumah ini akhir-akhir ini."Clara yang tengah menyuap makanan tiba-tiba berhenti. Ia meletakkan sendoknya dengan perlahan, lalu menatap Aminah dengan senyum tipis. "Oh, Ibu, apa maksudnya? Maksud Ibu suasananya berbeda seperti apa?" tanyanya dengan nada lembut, meskipun sorot matanya penuh arti.Aminah tersenyum kecil. "Entahlah, mungkin
Clara membuka pintu rumah dengan keras dan langsung masuk ke dalam, suaranya menggema di seluruh ruangan.“Mas! Mas Bagas, di mana kamu?!” serunya dengan nada tinggi, membuat suasana rumah yang semula tenang berubah tegang.Di belakang Clara, Maya berjalan dengan kepala tertunduk. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia berusaha menahan isakanya agar tidak terdengar. Tangannya gemetar, memegang sudut jilbabnya, mencoba menenangkan diri.Clara menoleh sekilas ke arah Maya, wajahnya penuh dengan emosi. “Jangan hanya diam di situ, Maya! Kau ikut ke sini.”Clara mendengus kesal, lalu kembali berteriak, “Mas Bagas! Keluar sekarang juga!”Dari arah tangga, langkah kaki terdengar mendekat. Bagas muncul dengan wajah kebingungan, melihat Clara berdiri dengan tatapan penuh amarah, sementara Maya di belakangnya terlihat menangis.“Ada apa ini, Sayang?” tanya Bagas dengan nada datar,
Malam itu, Clara baru saja tiba di rumah setelah melewati hari yang panjang di kantor. Tanpa melepas sepatu atau merapikan dirinya terlebih dahulu, ia langsung berjalan ke arah meja makan. Wajahnya terlihat tidak senang, dan suaranya terdengar lantang saat ia memanggil.“Maya! Maya, ke sini sekarang!” serunya dengan nada tajam.Suara langkah kaki Maya terdengar dari dapur, dan beberapa detik kemudian, ia muncul dengan ekspresi gugup. Ia menundukkan kepala sedikit, merasa ada yang salah namun tidak tahu apa.“Ya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Maya dengan nada sopan, meskipun tangannya sedikit gemetar.Setelah Maya berdiri di hadapan Clara, ia langsung menunduk, menunggu Clara berbicara.“Bagas di mana?” tanya Clara dengan nada tegas, sambil melipat tangannya di depan dada. “Apa dia sudah makan malam?”Maya menelan ludah, mencoba menjawab dengan tenang meskipun
Setelah memastikan Clara sudah masuk ke dalam kamar dan pintunya tertutup rapat, Bagas berjalan dengan langkah cepat menuju dapur. Wajahnya terlihat serius, dan pikirannya penuh dengan kegelisahan.Di dapur, Maya sedang merapikan piring-piring dengan hati-hati. Ia mencoba menenangkan dirinya setelah percakapan menyakitkan tadi, namun suara langkah Bagas membuatnya tersentak. Maya menoleh dan melihat Bagas berdiri di ambang pintu, tatapan matanya dingin seperti biasa.“Tuan?” Maya berkata dengan nada hati-hati.Bagas melangkah mendekat, suaranya rendah namun tegas. “Maya, aku nggak mau bertele-tele. Aku hanya ingin memperingatkanmu.”Maya menunduk, merasa takut dengan nada suara Bagas. “Apa yang ingin Tuan katakan?”Bagas mendekatkan tubuhnya, membuat Maya semakin merasa terpojok. “Dengar baik-baik. Aku nggak peduli apa yang kamu pikirkan atau rasakan, tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Jangan pernah, sekalipun, memberi tahu Clara kalau selama ini kita belum pernah melakukan hubungan s
Malam itu, suasana rumah terasa sepi. Clara yang baru saja pulang dari tempat kerjanya terlihat elegan dengan blazer hitam yang membalut tubuhnya. Ia melepas sepatu hak tingginya di dekat pintu sebelum melangkah menuju meja makan.Maya, yang mendengar suara langkah Clara, segera keluar dari dapur. “Selamat malam, Nyonya. Apa Nyonya ingin saya siapkan makan malam sekarang?” tanya Maya dengan nada sopan, berdiri dengan kedua tangan saling menggenggam di depan.Clara memandang Maya dengan sorot mata dingin, lalu duduk di kursi meja makan sambil meletakkan tasnya di atas meja. “Kenapa belum siap? Kamu tahu kan, aku nggak suka menunggu,” ucapnya dengan nada penuh otoritas.Maya menunduk. “Maaf, Nyonya. Saya akan segera menyiapkannya,” katanya sambil bergegas kembali ke dapur.Clara mendesah kecil sambil membuka ponselnya, mencoba mengecek email pekerjaan yang belum selesai. Sambil menunggu makanan disajikan, ia bergumam, “Entah kenapa aku harus repot-repot membiarkan dia di sini. Semoga sa