Malam itu, suasana rumah terasa sepi. Clara yang baru saja pulang dari tempat kerjanya terlihat elegan dengan blazer hitam yang membalut tubuhnya. Ia melepas sepatu hak tingginya di dekat pintu sebelum melangkah menuju meja makan.
Maya, yang mendengar suara langkah Clara, segera keluar dari dapur. “Selamat malam, Nyonya. Apa Nyonya ingin saya siapkan makan malam sekarang?” tanya Maya dengan nada sopan, berdiri dengan kedua tangan saling menggenggam di depan. Clara memandang Maya dengan sorot mata dingin, lalu duduk di kursi meja makan sambil meletakkan tasnya di atas meja. “Kenapa belum siap? Kamu tahu kan, aku nggak suka menunggu,” ucapnya dengan nada penuh otoritas. Maya menunduk. “Maaf, Nyonya. Saya akan segera menyiapkannya,” katanya sambil bergegas kembali ke dapur. Clara mendesah kecil sambil membuka ponselnya, mencoba mengecek email pekerjaan yang belum selesai. Sambil menunggu makanan disajikan, ia bergumam, “Entah kenapa aku harus repot-repot membiarkan dia di sini. Semoga saja dia cepat memberi hasil yang aku harapkan.” Tak lama, Maya kembali dengan nampan berisi makanan yang telah disiapkan. Dengan hati-hati, ia meletakkan piring-piring di depan Clara. “Silakan, Nyonya. Jika ada yang kurang, tolong beri tahu saya,” ujarnya sambil mundur perlahan. Clara memandang makanan itu sejenak, lalu melirik Maya. “Kamu boleh pergi sekarang. Aku ingin makan sendiri,” katanya singkat. Maya mengangguk dan segera kembali ke dapur, meninggalkan Clara yang mulai menikmati makan malamnya dengan wajah serius, sementara pikiran tentang rencananya ke depan terus berputar di benaknya. Saat Clara sedang menikmati makan malamnya, suara mesin mobil terdengar dari luar. Clara melirik jam dinding, lalu menghela napas. "Akhirnya pulang juga," gumamnya pelan. Pintu utama terbuka, dan Bagas masuk dengan wajah yang tampak lelah. Ia melepas jas dan meletakkannya di gantungan dekat pintu sebelum berjalan menuju meja makan, di mana Clara masih duduk. “Sayang, baru pulang?” Clara bertanya tanpa menoleh, nada suaranya terdengar biasa saja. Bagas mendekatinya dan menundukkan badan untuk mencium pipi Clara. “Iya, tadi ada meeting tambahan. Kamu sudah makan?” Clara mengangguk sambil menyesap air putihnya. “Aku baru mulai. Kamu sendiri? Mau makan sekarang atau mau istirahat dulu?” Bagas melirik ke arah dapur, lalu menjawab singkat, “Aku makan nanti saja. Aku mau mandi dulu.” Clara mengangguk tanpa banyak bicara, tetapi matanya mengamati suaminya yang tampak terburu-buru. “Jangan terlalu capek, Mas,” ucapnya dengan nada ringan namun penuh makna. Bagas hanya tersenyum tipis sebelum melangkah ke kamarnya. Namun, di dalam hatinya, ia merasa ada hal yang tak bisa ia abaikan—hubungannya dengan Clara dan pernikahan yang rumit ini mulai terasa seperti beban yang semakin berat. Setelah selesai makan, Clara duduk santai di kursinya sambil memainkan ponselnya. Jemarinya dengan lincah menggulir layar, sesekali terlihat senyum kecil di wajahnya, entah karena membaca pesan atau sesuatu yang menarik perhatiannya. Namun, beberapa menit kemudian, ekspresi Clara berubah serius. Ia meletakkan ponselnya di atas meja dengan perlahan, lalu memanggil Maya dengan nada tegas. “Maya! Ke sini sebentar,” panggil Clara sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak lama, Maya muncul dari dapur dengan langkah cepat, mengenakan celemeknya yang sederhana. “Iya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Maya sambil berdiri dengan sikap sopan, matanya menunduk sedikit. Clara menatap Maya dengan tatapan yang tajam. “Aku sudah selesai makan. Bersihkan meja ini sekarang,” ujarnya singkat namun dengan nada otoritas yang tak bisa dibantah. Maya mengangguk dengan cepat. “Baik, Nyonya,” jawabnya, lalu mulai membereskan piring-piring dan gelas di atas meja makan. Clara masih duduk di kursinya, memperhatikan Maya yang sibuk membereskan meja makan. Tatapan tajamnya terus mengikuti setiap gerakan Maya. Tiba-tiba, Clara membuka suara, dengan nada yang tenang namun penuh sindiran. “Maya,” Clara memanggil. Maya menghentikan sejenak pekerjaannya dan menoleh. “Iya, Nyonya?” jawabnya sopan, sedikit bingung dengan arah pembicaraan Clara. Clara menyandarkan tubuhnya ke kursi dan melipat tangannya di depan dada. “Aku jadi penasaran. Sudah hampir tujuh bulan kamu menikah dengan Mas Bagas, tapi kenapa sampai sekarang kamu belum juga hamil?” Pertanyaan itu langsung membuat Maya terdiam. Wajahnya pucat, dan ia menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. “Saya… saya belum tahu, Nyonya,” ucapnya pelan, mencoba mengatur napas agar tidak terdengar gugup. Clara memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit tajam. “Belum tahu? Kamu sadar kan, tujuan utama aku membiarkan kamu menikah dengan Mas Bagas itu hanya supaya kamu bisa memberikan keturunan. Kalau sampai sekarang kamu belum juga hamil, buat apa kamu ada di sini?” Maya baru saja hendak menjawab, suaranya pelan namun jelas penuh tekanan. "I … itu, Nyonya. " Namun, sebelum kata-kata itu selesai, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan tiba-tiba Bagas sudah berdiri di samping Clara. "Apa yang kalian bicarakan?" suara dingin Bagas memotong pembicaraan, membuat Maya langsung terdiam dan menunduk. Clara menoleh dengan alis terangkat, sedikit terkejut dengan kehadiran Bagas. “Oh, Mas. Aku cuma bertanya pada Maya kenapa sampai sekarang dia belum juga hamil. Kamu sendiri nggak penasaran?” ucap Clara santai, tapi nadanya penuh sindiran. Bagas menarik napas panjang, menatap Clara dengan wajah datar. "Clara, apa kamu harus menanyakan itu sekarang? Ini sudah malam. Maya sudah lelah bekerja seharian." Clara menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya berubah menjadi kesal. “Jadi, aku nggak boleh tanya soal hal yang jelas-jelas penting buat kita? Mas tahu kan, tujuan aku membiarkan pernikahan ini hanya supaya dia bisa memberi anak untuk kita?” Maya tetap menunduk, menggenggam erat kain celemeknya, merasa seolah tak punya hak untuk berbicara. Bagas menghela napas lagi, lalu beralih menatap Maya sekilas, dingin seperti biasanya. “Maya, kamu boleh kembali ke dapur. Aku ingin bicara dengan Clara.” Maya mengangguk cepat, tanpa berani mengangkat wajahnya. “Baik, Tuan,” jawabnya pelan sebelum bergegas meninggalkan ruangan, hatinya terasa semakin hancur dengan situasi yang tak kunjung membaik. Setelah Maya pergi, Bagas menatap Clara dengan tatapan tajam. "Sayang, aku tahu ini penting, tapi kamu harus tahu caranya bicara. Jangan membuat suasana jadi lebih buruk." Clara menatap Bagas balik, tidak mau kalah. “Aku cuma ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Kalau bukan aku yang bertanya, siapa lagi?” Bagas menggelengkan kepala, berusaha menahan emosinya. “Aku akan mengurus ini. Kamu nggak perlu khawatir. Tapi aku nggak mau kamu menekan Maya seperti itu. Kita harus bersabar.” Clara mendengus kecil, tapi tidak menjawab. Ia hanya mengambil tasnya dari meja dan berjalan menuju ruang tamu, meninggalkan Bagas berdiri sendiri dengan pikiran yang bercampur aduk.Setelah memastikan Clara sudah masuk ke dalam kamar dan pintunya tertutup rapat, Bagas berjalan dengan langkah cepat menuju dapur. Wajahnya terlihat serius, dan pikirannya penuh dengan kegelisahan.Di dapur, Maya sedang merapikan piring-piring dengan hati-hati. Ia mencoba menenangkan dirinya setelah percakapan menyakitkan tadi, namun suara langkah Bagas membuatnya tersentak. Maya menoleh dan melihat Bagas berdiri di ambang pintu, tatapan matanya dingin seperti biasa.“Tuan?” Maya berkata dengan nada hati-hati.Bagas melangkah mendekat, suaranya rendah namun tegas. “Maya, aku nggak mau bertele-tele. Aku hanya ingin memperingatkanmu.”Maya menunduk, merasa takut dengan nada suara Bagas. “Apa yang ingin Tuan katakan?”Bagas mendekatkan tubuhnya, membuat Maya semakin merasa terpojok. “Dengar baik-baik. Aku nggak peduli apa yang kamu pikirkan atau rasakan, tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Jangan pernah, sekalipun, memberi tahu Clara kalau selama ini kita belum pernah melakukan hubungan s
Malam itu, Clara baru saja tiba di rumah setelah melewati hari yang panjang di kantor. Tanpa melepas sepatu atau merapikan dirinya terlebih dahulu, ia langsung berjalan ke arah meja makan. Wajahnya terlihat tidak senang, dan suaranya terdengar lantang saat ia memanggil.“Maya! Maya, ke sini sekarang!” serunya dengan nada tajam.Suara langkah kaki Maya terdengar dari dapur, dan beberapa detik kemudian, ia muncul dengan ekspresi gugup. Ia menundukkan kepala sedikit, merasa ada yang salah namun tidak tahu apa.“Ya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Maya dengan nada sopan, meskipun tangannya sedikit gemetar.Setelah Maya berdiri di hadapan Clara, ia langsung menunduk, menunggu Clara berbicara.“Bagas di mana?” tanya Clara dengan nada tegas, sambil melipat tangannya di depan dada. “Apa dia sudah makan malam?”Maya menelan ludah, mencoba menjawab dengan tenang meskipun
“Maya, menikahlah dengan suamiku.” Ucapan Clara terdengar penuh keyakinan, dan penekanan.Kalimat itu menghantam ruangan seperti bom yang meledak. Maya menatap Clara dengan mata membelalak, tangannya gemetar. Nampan kecil yang tadi diletakkan di meja hampir terjatuh. Sementara itu, Bagas langsung memutar tubuhnya ke arah Clara, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan.Clara Salsabila adalah seorang publik figure yang terkenal di dunia hiburan dan bisnis, dikenal dengan pesona dan karier cemerlangnya. Ia juga istri dari Bagas Pratama, seorang CEO sukses di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi dan inovasi. Sebagai pasangan yang tampak sempurna di mata publik, kehidupan mereka tampaknya penuh kemewahan dan kebahagiaan. Namun, di balik itu, mereka harus menghadapi tantangan besar yang menguji hubungan mereka, terutama mengenai perbedaan pendapat tentang keluarga dan karir.“Clara, apa maksudmu?” tanya Bagas dengan nada setengah berbisik, berusah
Di dalam kamar, Clara duduk dengan anggun di ranjang tempat tidur, sambil memainkan ponsel di tangannya. Bagas, yang sejak tadi berada di ruang tamu tiba-tiba masuk ke dalam kamar, ada ketegangan yang mengendap di udara. Mata Clara tetap terfokus pada ponselnya yang menampilkan beberapa pesan dari rekan bisnis, seolah ia tidak ingin memikirkan permasalahan yang belum selesai dengan Bagas.Clara meletakkan ponselnya di atas meja kecil yang ada di samping ranjang, memandang Bagas dengan mata yang tenang. Namun, penuh makna. "Aku harap kita bisa menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin, Mas. Aku nggak ingin ada perdebatan lagi," ujarnya, meskipun suaranya terdengar lebih seperti permintaan daripada sebuah pernyataan.Bagas menatap Clara dengan tatapan serius. "Kamu nggak bisa mengharapkan semuanya selesai begitu saja, Clara. Ini bukan masalah kecil. Aku ingin kita berbicara tentang apa yang sebenarnya kamu inginkan, bukan hanya tentang apa yang kamu takuti," jawabnya, meskipun ada ras
Beberapa hari berlalu, Clara, Maya dan Bagas sudah berkumpul di ruang kerja. Clara perlahan meletakkan sebuah map di atas meja, membuka isinya, dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Dengan tatapan tenang namun penuh otoritas, ia mendorong dokumen itu ke arah Maya. Maya menatap surat itu dengan bingung. Jemarinya yang gemetar mencoba menyentuh kertas itu, tetapi ia ragu untuk membacanya. "Apa ini, Nyonya?" tanyanya dengan suara pelan. Clara menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan di depan dada. "Ini surat perjanjian. Surat ini berisi syarat dan ketentuan yang harus kamu setujui sebelum menikah dengan Mas Bagas. Aku ingin memastikan bahwa kamu paham betul posisimu setelah menjadi istri kedua." Bagas menatap Clara dengan tatapan tajam. "Clara, ini sudah keterlaluan! Kamu nggak bisa memperlakukan Maya seperti ini. Dia sudah setuju dengan rencanamu, kenapa harus ada perjanjian segala?" suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan. Clara mengangkat alis, tetap tenang men
Hari itu, langit mendung seakan ikut merasakan beban yang dirasakan oleh semua pihak yang terlibat. Sebuah masjid kecil yang sederhana, terletak di sebuah kampung di pinggiran kota, menjadi saksi dari pernikahan yang penuh dengan ketegangan dan air mata. Clara sengaja memilih lokasi ini, jauh dari sorotan media, keramaian kota, bahkan dari keluarga mereka sendiri. Clara tiba lebih dulu dengan mengenakan pakaian rapi. Namun, sederhana, berbeda dari penampilan glamornya yang biasa. Di belakangnya, Bagas dan Maya mengikuti dengan langkah berat. Bagas tampak tidak bersemangat, sementara Maya menundukkan kepala sepanjang perjalanan ke dalam masjid, hatinya dipenuhi kegelisahan. Di dalam masjid, hanya ada seorang penghulu, dua saksi dari kampung setempat yang tidak mengenal mereka, dan suasana hening yang terasa mencekam. Clara memastikan semuanya berjalan sesuai rencananya. Ia berbicara kepada penghulu dengan nada tenang. Namun, tegas, menjelaskan bahwa ini adalah pernikahan siri atas pe
Maya terdiam, tubuhnya terasa kaku saat Bagas mendekatkan wajahnya, perlahan-lahan mencium bibirnya. Ada perasaan campur aduk yang muncul dalam dirinya—takut, bingung, dan terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia inginkan. Namun, seiring dengan detakan jantungnya yang semakin keras, Maya mencoba untuk menahan perasaan itu, berusaha menghindari apa yang terjadi."Tuan, tolong...," kata Maya lirih, mencoba menarik mundur dirinya, tetapi Bagas, yang masih terlarut dalam dorongan emosinya, tidak segera melepaskannya.Maya pun membiarkan semua itu terjadi. Mulai menutup kedua mata dan menikmati setiap sentuhan dari suaminya. Malam itu, mungkin akan jadi malam yang selalu diingat oleh Maya. Malam di mana Bagas–Majikan sekaligus suaminya merenggut paksa keperawanannya. ***“Maya! Maya!” Clara berteriak dengan keras. Membuat suaranya menggema di seluruh ruangan tersebut.Maya terbangun dengan terkejut ketika mendengar suara Clara memanggil namanya dari luar kamar. Jantungnya berdebar ken
Maya dengan cekatan meletakkan piring terakhir berisi roti panggang di meja makan. Ia mencoba menghindari tatapan Clara yang sejak tadi mengawasinya dengan ekspresi tajam. Baru saja ia ingin melangkah kembali ke dapur, tiba-tiba Bagas keluar dari kamar tamu, sebuah kamar yang disebut Clara sebagai kamar pengantin. “Pagi, Sayang.” kata Bagas dengan nada lembut namun tegas, sambil segera mencium pipi Clara. Maya terkejut, merasa canggung dengan perhatian yang diberikan Bagas kepada Clara. Clara melirik sekilas ke arah Maya yang kini menatap mereka dengan ekspresi canggung. Clara segera tersenyum lenbut. “Selamat pagi, Sayang.” “Bagaimana istirahatmu semalam, apa nyenyak?” tanya Clara sambil mulai mengambil sepotong roti yang sudah tersedia di atas meja. Bagas segera meraih tangan Clara dan menggenggamnya dengan erat. “Bagaimana aku bisa tidur nyenyak jika nggak ada kamu disampingku,” ucapnya, sambil tersenyum lembut ke arah Clara. “Kamu bisa aja, Mas. Ya udah sekarang kamu makan
Malam itu, Clara baru saja tiba di rumah setelah melewati hari yang panjang di kantor. Tanpa melepas sepatu atau merapikan dirinya terlebih dahulu, ia langsung berjalan ke arah meja makan. Wajahnya terlihat tidak senang, dan suaranya terdengar lantang saat ia memanggil.“Maya! Maya, ke sini sekarang!” serunya dengan nada tajam.Suara langkah kaki Maya terdengar dari dapur, dan beberapa detik kemudian, ia muncul dengan ekspresi gugup. Ia menundukkan kepala sedikit, merasa ada yang salah namun tidak tahu apa.“Ya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Maya dengan nada sopan, meskipun tangannya sedikit gemetar.Setelah Maya berdiri di hadapan Clara, ia langsung menunduk, menunggu Clara berbicara.“Bagas di mana?” tanya Clara dengan nada tegas, sambil melipat tangannya di depan dada. “Apa dia sudah makan malam?”Maya menelan ludah, mencoba menjawab dengan tenang meskipun
Setelah memastikan Clara sudah masuk ke dalam kamar dan pintunya tertutup rapat, Bagas berjalan dengan langkah cepat menuju dapur. Wajahnya terlihat serius, dan pikirannya penuh dengan kegelisahan.Di dapur, Maya sedang merapikan piring-piring dengan hati-hati. Ia mencoba menenangkan dirinya setelah percakapan menyakitkan tadi, namun suara langkah Bagas membuatnya tersentak. Maya menoleh dan melihat Bagas berdiri di ambang pintu, tatapan matanya dingin seperti biasa.“Tuan?” Maya berkata dengan nada hati-hati.Bagas melangkah mendekat, suaranya rendah namun tegas. “Maya, aku nggak mau bertele-tele. Aku hanya ingin memperingatkanmu.”Maya menunduk, merasa takut dengan nada suara Bagas. “Apa yang ingin Tuan katakan?”Bagas mendekatkan tubuhnya, membuat Maya semakin merasa terpojok. “Dengar baik-baik. Aku nggak peduli apa yang kamu pikirkan atau rasakan, tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Jangan pernah, sekalipun, memberi tahu Clara kalau selama ini kita belum pernah melakukan hubungan s
Malam itu, suasana rumah terasa sepi. Clara yang baru saja pulang dari tempat kerjanya terlihat elegan dengan blazer hitam yang membalut tubuhnya. Ia melepas sepatu hak tingginya di dekat pintu sebelum melangkah menuju meja makan.Maya, yang mendengar suara langkah Clara, segera keluar dari dapur. “Selamat malam, Nyonya. Apa Nyonya ingin saya siapkan makan malam sekarang?” tanya Maya dengan nada sopan, berdiri dengan kedua tangan saling menggenggam di depan.Clara memandang Maya dengan sorot mata dingin, lalu duduk di kursi meja makan sambil meletakkan tasnya di atas meja. “Kenapa belum siap? Kamu tahu kan, aku nggak suka menunggu,” ucapnya dengan nada penuh otoritas.Maya menunduk. “Maaf, Nyonya. Saya akan segera menyiapkannya,” katanya sambil bergegas kembali ke dapur.Clara mendesah kecil sambil membuka ponselnya, mencoba mengecek email pekerjaan yang belum selesai. Sambil menunggu makanan disajikan, ia bergumam, “Entah kenapa aku harus repot-repot membiarkan dia di sini. Semoga sa
Pagi itu, suasana rumah terasa tenang namun hangat. Bagas dan Clara, yang sudah rapi dengan pakaian formal, keluar dari kamar. Bagas mengenakan setelan jas abu-abu yang terlihat sempurna di tubuhnya, sementara Clara tampak anggun dalam blus putih dan rok pensil hitam.Mereka berjalan berdampingan menuju meja makan, di mana sarapan telah tertata rapi. Clara tersenyum kecil sambil melirik Bagas. "Pagi ini kita berangkat bareng, kan?" tanyanya lembut.Bagas mengangguk sambil menarik kursi untuk Clara. "Iya, aku sempat atur jadwal biar bisa antar kamu dulu. Lagipula, kapan lagi kita ada waktu pagi bareng kayak gini," jawabnya dengan nada penuh perhatian.Clara tersenyum lebih lebar. "Masih sempat romantis di tengah jadwal padat, ya?" godanya.Bagas hanya tertawa kecil sambil menuangkan kopi ke cangkirnya. Mereka menikmati sarapan bersama, berbincang ringan tentang rencana hari itu. Meskipun keduanya terlihat santai, ada kesan serius di balik percakapan mereka, seolah masing-masing menyimp
Malam itu, suasana rumah terasa hening. Clara masih belum pulang dari aktivitasnya sebagai publik figur. Maya, yang sedang membereskan ruang tamu, mendengar suara mobil Bagas yang memasuki halaman. Jantungnya berdegup kencang. Ia segera merapikan penampilannya sebelum membuka pintu untuk menyambut Bagas.Begitu Bagas melangkah masuk, Maya tersenyum tipis, meskipun rasa canggung tak bisa ia sembunyikan. “Selamat malam, Tuan, ,” ucapnya dengan suara pelan.Bagas mengangguk kecil, memasukkan tangannya ke dalam saku celana sambil memandang Maya. “Clara belum pulang?” tanyanya singkat.Maya menggeleng. “Belum, Tuan. Sepertinya masih sibuk dengan pekerjaannya.”Bagas hanya menggumam pelan sambil berjalan ke arah sofa. Ia melepaskan dasinya dan menghela napas panjang, terlihat lelah. Maya berdiri di dekatnya, ragu-ragu untuk berbicara lebih jauh.“Maya,” panggil Bagas tiba-tiba, memecah keheningan.Maya menoleh cepat. “Iya, Tuan?”Bagas menatapnya sejenak, ada sesuatu yang ingin ia katakan,
Maya dengan cekatan meletakkan piring terakhir berisi roti panggang di meja makan. Ia mencoba menghindari tatapan Clara yang sejak tadi mengawasinya dengan ekspresi tajam. Baru saja ia ingin melangkah kembali ke dapur, tiba-tiba Bagas keluar dari kamar tamu, sebuah kamar yang disebut Clara sebagai kamar pengantin. “Pagi, Sayang.” kata Bagas dengan nada lembut namun tegas, sambil segera mencium pipi Clara. Maya terkejut, merasa canggung dengan perhatian yang diberikan Bagas kepada Clara. Clara melirik sekilas ke arah Maya yang kini menatap mereka dengan ekspresi canggung. Clara segera tersenyum lenbut. “Selamat pagi, Sayang.” “Bagaimana istirahatmu semalam, apa nyenyak?” tanya Clara sambil mulai mengambil sepotong roti yang sudah tersedia di atas meja. Bagas segera meraih tangan Clara dan menggenggamnya dengan erat. “Bagaimana aku bisa tidur nyenyak jika nggak ada kamu disampingku,” ucapnya, sambil tersenyum lembut ke arah Clara. “Kamu bisa aja, Mas. Ya udah sekarang kamu makan
Maya terdiam, tubuhnya terasa kaku saat Bagas mendekatkan wajahnya, perlahan-lahan mencium bibirnya. Ada perasaan campur aduk yang muncul dalam dirinya—takut, bingung, dan terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia inginkan. Namun, seiring dengan detakan jantungnya yang semakin keras, Maya mencoba untuk menahan perasaan itu, berusaha menghindari apa yang terjadi."Tuan, tolong...," kata Maya lirih, mencoba menarik mundur dirinya, tetapi Bagas, yang masih terlarut dalam dorongan emosinya, tidak segera melepaskannya.Maya pun membiarkan semua itu terjadi. Mulai menutup kedua mata dan menikmati setiap sentuhan dari suaminya. Malam itu, mungkin akan jadi malam yang selalu diingat oleh Maya. Malam di mana Bagas–Majikan sekaligus suaminya merenggut paksa keperawanannya. ***“Maya! Maya!” Clara berteriak dengan keras. Membuat suaranya menggema di seluruh ruangan tersebut.Maya terbangun dengan terkejut ketika mendengar suara Clara memanggil namanya dari luar kamar. Jantungnya berdebar ken
Hari itu, langit mendung seakan ikut merasakan beban yang dirasakan oleh semua pihak yang terlibat. Sebuah masjid kecil yang sederhana, terletak di sebuah kampung di pinggiran kota, menjadi saksi dari pernikahan yang penuh dengan ketegangan dan air mata. Clara sengaja memilih lokasi ini, jauh dari sorotan media, keramaian kota, bahkan dari keluarga mereka sendiri. Clara tiba lebih dulu dengan mengenakan pakaian rapi. Namun, sederhana, berbeda dari penampilan glamornya yang biasa. Di belakangnya, Bagas dan Maya mengikuti dengan langkah berat. Bagas tampak tidak bersemangat, sementara Maya menundukkan kepala sepanjang perjalanan ke dalam masjid, hatinya dipenuhi kegelisahan. Di dalam masjid, hanya ada seorang penghulu, dua saksi dari kampung setempat yang tidak mengenal mereka, dan suasana hening yang terasa mencekam. Clara memastikan semuanya berjalan sesuai rencananya. Ia berbicara kepada penghulu dengan nada tenang. Namun, tegas, menjelaskan bahwa ini adalah pernikahan siri atas pe
Beberapa hari berlalu, Clara, Maya dan Bagas sudah berkumpul di ruang kerja. Clara perlahan meletakkan sebuah map di atas meja, membuka isinya, dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Dengan tatapan tenang namun penuh otoritas, ia mendorong dokumen itu ke arah Maya. Maya menatap surat itu dengan bingung. Jemarinya yang gemetar mencoba menyentuh kertas itu, tetapi ia ragu untuk membacanya. "Apa ini, Nyonya?" tanyanya dengan suara pelan. Clara menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan di depan dada. "Ini surat perjanjian. Surat ini berisi syarat dan ketentuan yang harus kamu setujui sebelum menikah dengan Mas Bagas. Aku ingin memastikan bahwa kamu paham betul posisimu setelah menjadi istri kedua." Bagas menatap Clara dengan tatapan tajam. "Clara, ini sudah keterlaluan! Kamu nggak bisa memperlakukan Maya seperti ini. Dia sudah setuju dengan rencanamu, kenapa harus ada perjanjian segala?" suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan. Clara mengangkat alis, tetap tenang men