Maya dengan cekatan meletakkan piring terakhir berisi roti panggang di meja makan. Ia mencoba menghindari tatapan Clara yang sejak tadi mengawasinya dengan ekspresi tajam. Baru saja ia ingin melangkah kembali ke dapur, tiba-tiba Bagas keluar dari kamar tamu, sebuah kamar yang disebut Clara sebagai kamar pengantin.
“Pagi, Sayang.” kata Bagas dengan nada lembut namun tegas, sambil segera mencium pipi Clara. Maya terkejut, merasa canggung dengan perhatian yang diberikan Bagas kepada Clara. Clara melirik sekilas ke arah Maya yang kini menatap mereka dengan ekspresi canggung. Clara segera tersenyum lenbut. “Selamat pagi, Sayang.” “Bagaimana istirahatmu semalam, apa nyenyak?” tanya Clara sambil mulai mengambil sepotong roti yang sudah tersedia di atas meja. Bagas segera meraih tangan Clara dan menggenggamnya dengan erat. “Bagaimana aku bisa tidur nyenyak jika nggak ada kamu disampingku,” ucapnya, sambil tersenyum lembut ke arah Clara. “Kamu bisa aja, Mas. Ya udah sekarang kamu makan dulu, setelah itu kamu mandi dan berangkat ke kantor.” Clara meletakkan sepotong roti yang sudah ia olesi dengan selai kacang. Bagas segera meraih roti yang ada di hadapannya. “Terima kasih, Sayang. Kamu memang istri yang terbaik, kamu selalu tahu apa yang aku mau.” Clara yang baru saja selesai berbicara dengan Bagas tiba-tiba menyadari keberadaan Maya yang berdiri tak jauh dari tempat duduk mereka. Tatapan Clara langsung berubah dingin, matanya menatap tajam ke arah Maya yang terlihat gugup sambil memegang nampan kosong. "Maya! Apa yang kamu lakukan di sini?!" suara Clara meninggi, membuat suasana ruangan mendadak tegang. Maya menunduk, mencoba menjelaskan, "Maaf, Bu Clara. Saya hanya ingin memastikan—" Namun, Clara segera memotong. "Aku nggak butuh alasan mu! Cepat kembali ke dapur dan jangan pernah muncul dihadapanku lagi kecuali aku yang memanggil!" Maya mengangguk pelan, tanpa berani menatap langsung ke arah Clara. Ia segera melangkah pergi ke dapur dengan langkah tergesa, meninggalkan Bagas yang tampak menikmati makanan yang ada di hadapannya. Setelah Maya kembali ke dapur, suasana di ruang makan masih terasa tegang. Bagas, yang baru saja tiba dan mendengar ucapan Clara, mencoba menenangkan istrinya. Ia meraih tangan Clara dan berkata lembut, "Sayang, coba tenang dulu. Kamu nggak perlu terlalu memikirkan Maya. Anggap saja dia nggak ada." Clara memutar matanya dengan kesal, lalu menoleh tajam ke arah Bagas. "Bagaimana aku bisa sabar, Mas? Kamu nggak lihat tadi bagaimana dia memperhatikan kita? Tatapannya itu jelas-jelas penuh rasa cemburu!" Bagas tersenyum kecil, mencoba mengurangi ketegangan. Ia tersenyum, sambil terus menggenggam tangan Clara dan berkata dengan suara yang menenangkan, "Kamu terlalu cantik dan luar biasa untuk merasa terganggu dengan hal-hal kecil seperti itu. Jangan buang energimu untuk hal yang nggak penting, ya." Namun, Clara tampak masih tidak puas. "Hal kecil? Ini bukan hal kecil, Mas! Ini tentang harga diriku! Aku nggak mau ada orang lain yang merasa punya hak lebih di rumah ini, apalagi kalau itu Maya!" Bagas mengusap pipi Clara dengan lembut, serta menatapnya dengan lembut. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi aku cuma minta satu hal: jangan biarkan emosi kamu merusak kebahagiaan kita. Kamu tahu aku cuma sayang sama kamu." Meskipun ucapan Bagas terdengar meyakinkan, Clara tetap merasa ada sesuatu yang mengganjal. Namun, ia memilih diam, hanya menghela napas panjang sambil menatap Bagas. "Baiklah. Tapi kalau Maya berani macam-macam, aku nggak akan tinggal diam, Mas." Bagas mengangguk, tersenyum sambil mencium kening Clara. "Kamu nggak perlu khawatir. Aku akan selalu ada buat kamu." Clara hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi oleh rasa curiga terhadap Maya. Setelah suasana mulai mereda, Bagas mendekati Clara, menggenggam kedua bahunya, dan mengecup lembut bibirnya. "Aku pergi dulu, ya, Sayang. Jangan terlalu dipikirkan, semuanya akan baik-baik saja," katanya sambil tersenyum. Clara hanya mengangguk kecil, mencoba menenangkan dirinya meskipun rasa kesalnya belum sepenuhnya hilang. Bagas segera meraih tas kerjanya yang terletak di atas meja dan berjalan menuju pintu keluar. Saat membuka pintu, Bagas menoleh sekali lagi ke arah Clara. "Jaga diri kamu, ya. Kalau ada apa-apa, kabari aku." Clara hanya menjawab singkat, "Iya," sambil melipat tangannya di depan dada. Setelah Bagas pergi, Clara berdiri di tempatnya, memandangi pintu yang baru saja tertutup. Ia menghela napas panjang, berusaha menghilangkan rasa kesal yang masih tersisa. Namun, pikirannya kembali ke Maya, yang kini menjadi duri dalam rumah tangganya. "Aku nggak akan membiarkan ini terus terjadi," gumam Clara pelan, sambil berjalan menuju ruang tengah. Wajahnya menunjukkan tekad kuat untuk mengendalikan situasi di rumahnya. Setelah Bagas pergi, Clara segera berjalan menuju dapur dengan langkah tegas. Wajahnya menunjukkan kemarahan yang masih ia pendam sejak pagi. Sesampainya di dapur, ia melihat Maya yang sedang mencuci piring dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Clara berdiri di belakang Maya, menatap punggung wanita itu dengan tatapan tajam. "Maya," Clara memanggil dengan nada dingin. Maya terkejut mendengar suara Clara, tetapi ia segera berbalik, mencoba terlihat tenang meskipun ada ketegangan di wajahnya. "Iya, Bu?" jawab Maya sambil menunduk hormat. Clara mendekati Maya, matanya menyelidik setiap gerakan wanita itu. "Aku nggak suka caramu tadi memperhatikan aku dan Bagas. Tatapan kamu itu … menyebalkan," ucap Clara, penuh nada sinis. Maya menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Saya nggak bermaksud apa-apa, Bu. Saya hanya—" Clara memotong kalimat Maya. "Jangan beralasan! Kamu tahu posisi kamu di rumah ini, kan? Kamu itu cuma pembantu. Dan kalau bukan karena Mas Bagas menginginkan anak aku nggak akan pernah memintamu menikah dengan suamiku!” Maya terdiam, menundukkan kepalanya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Clara mendekatkan wajahnya ke arah Maya, suaranya semakin tajam. "Jaga sikapmu, Maya. Kalau kamu berani macam-macam lagi, aku nggak segan-segan menendang kamu keluar dari rumah ini. Paham?" Maya hanya mengangguk pelan tanpa berani menatap Clara. "Iya, Bu," jawabnya lirih. Clara menghela napas panjang, lalu melangkah pergi meninggalkan dapur tanpa menunggu respons lebih lanjut dari Maya. Di balik punggungnya, Maya hanya bisa berdiri terpaku, menggenggam erat kain celemeknya sambil menahan tangis. Setelah Clara meninggalkan dapur, Maya berdiri terpaku di tempatnya. Tubuhnya gemetar, dan air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. Ia mengusap wajahnya dengan cepat, mencoba menenangkan dirinya. Maya memandang ke luar jendela dapur, melihat sinar matahari pagi yang mulai menyinari halaman rumah. Dalam hatinya, ia mencoba menguatkan diri. "Aku harus sabar," bisiknya pelan. "Ini semua demi ayah, demi keluarga di kampung. Aku nggak boleh menyerah." Ia teringat wajah ayahnya, Handoko, yang selama ini selalu mendukungnya meskipun mereka hidup serba kekurangan. Maya tahu, keputusannya menikah siri dengan Bagas adalah demi membantu meringankan beban keluarganya. Tapi, ia tidak pernah membayangkan harus menghadapi situasi seperti ini. Maya menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan rasa sesak di dadanya. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, mencuci piring dengan tangan yang gemetar. Dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: bertahan. Untuk keluarganya, dan untuk harga dirinya. "Aku nggak boleh menyerah. Semua ini pasti ada akhirnya," pikir Maya sambil melanjutkan pekerjaannya dengan hati yang berat namun penuh tekad.Malam itu, suasana rumah terasa hening. Clara masih belum pulang dari aktivitasnya sebagai publik figur. Maya, yang sedang membereskan ruang tamu, mendengar suara mobil Bagas yang memasuki halaman. Jantungnya berdegup kencang. Ia segera merapikan penampilannya sebelum membuka pintu untuk menyambut Bagas.Begitu Bagas melangkah masuk, Maya tersenyum tipis, meskipun rasa canggung tak bisa ia sembunyikan. “Selamat malam, Tuan, ,” ucapnya dengan suara pelan.Bagas mengangguk kecil, memasukkan tangannya ke dalam saku celana sambil memandang Maya. “Clara belum pulang?” tanyanya singkat.Maya menggeleng. “Belum, Tuan. Sepertinya masih sibuk dengan pekerjaannya.”Bagas hanya menggumam pelan sambil berjalan ke arah sofa. Ia melepaskan dasinya dan menghela napas panjang, terlihat lelah. Maya berdiri di dekatnya, ragu-ragu untuk berbicara lebih jauh.“Maya,” panggil Bagas tiba-tiba, memecah keheningan.Maya menoleh cepat. “Iya, Tuan?”Bagas menatapnya sejenak, ada sesuatu yang ingin ia katakan,
Pagi itu, suasana rumah terasa tenang namun hangat. Bagas dan Clara, yang sudah rapi dengan pakaian formal, keluar dari kamar. Bagas mengenakan setelan jas abu-abu yang terlihat sempurna di tubuhnya, sementara Clara tampak anggun dalam blus putih dan rok pensil hitam.Mereka berjalan berdampingan menuju meja makan, di mana sarapan telah tertata rapi. Clara tersenyum kecil sambil melirik Bagas. "Pagi ini kita berangkat bareng, kan?" tanyanya lembut.Bagas mengangguk sambil menarik kursi untuk Clara. "Iya, aku sempat atur jadwal biar bisa antar kamu dulu. Lagipula, kapan lagi kita ada waktu pagi bareng kayak gini," jawabnya dengan nada penuh perhatian.Clara tersenyum lebih lebar. "Masih sempat romantis di tengah jadwal padat, ya?" godanya.Bagas hanya tertawa kecil sambil menuangkan kopi ke cangkirnya. Mereka menikmati sarapan bersama, berbincang ringan tentang rencana hari itu. Meskipun keduanya terlihat santai, ada kesan serius di balik percakapan mereka, seolah masing-masing menyimp
Malam itu, suasana rumah terasa sepi. Clara yang baru saja pulang dari tempat kerjanya terlihat elegan dengan blazer hitam yang membalut tubuhnya. Ia melepas sepatu hak tingginya di dekat pintu sebelum melangkah menuju meja makan.Maya, yang mendengar suara langkah Clara, segera keluar dari dapur. “Selamat malam, Nyonya. Apa Nyonya ingin saya siapkan makan malam sekarang?” tanya Maya dengan nada sopan, berdiri dengan kedua tangan saling menggenggam di depan.Clara memandang Maya dengan sorot mata dingin, lalu duduk di kursi meja makan sambil meletakkan tasnya di atas meja. “Kenapa belum siap? Kamu tahu kan, aku nggak suka menunggu,” ucapnya dengan nada penuh otoritas.Maya menunduk. “Maaf, Nyonya. Saya akan segera menyiapkannya,” katanya sambil bergegas kembali ke dapur.Clara mendesah kecil sambil membuka ponselnya, mencoba mengecek email pekerjaan yang belum selesai. Sambil menunggu makanan disajikan, ia bergumam, “Entah kenapa aku harus repot-repot membiarkan dia di sini. Semoga sa
Setelah memastikan Clara sudah masuk ke dalam kamar dan pintunya tertutup rapat, Bagas berjalan dengan langkah cepat menuju dapur. Wajahnya terlihat serius, dan pikirannya penuh dengan kegelisahan.Di dapur, Maya sedang merapikan piring-piring dengan hati-hati. Ia mencoba menenangkan dirinya setelah percakapan menyakitkan tadi, namun suara langkah Bagas membuatnya tersentak. Maya menoleh dan melihat Bagas berdiri di ambang pintu, tatapan matanya dingin seperti biasa.“Tuan?” Maya berkata dengan nada hati-hati.Bagas melangkah mendekat, suaranya rendah namun tegas. “Maya, aku nggak mau bertele-tele. Aku hanya ingin memperingatkanmu.”Maya menunduk, merasa takut dengan nada suara Bagas. “Apa yang ingin Tuan katakan?”Bagas mendekatkan tubuhnya, membuat Maya semakin merasa terpojok. “Dengar baik-baik. Aku nggak peduli apa yang kamu pikirkan atau rasakan, tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Jangan pernah, sekalipun, memberi tahu Clara kalau selama ini kita belum pernah melakukan hubungan s
Malam itu, Clara baru saja tiba di rumah setelah melewati hari yang panjang di kantor. Tanpa melepas sepatu atau merapikan dirinya terlebih dahulu, ia langsung berjalan ke arah meja makan. Wajahnya terlihat tidak senang, dan suaranya terdengar lantang saat ia memanggil.“Maya! Maya, ke sini sekarang!” serunya dengan nada tajam.Suara langkah kaki Maya terdengar dari dapur, dan beberapa detik kemudian, ia muncul dengan ekspresi gugup. Ia menundukkan kepala sedikit, merasa ada yang salah namun tidak tahu apa.“Ya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Maya dengan nada sopan, meskipun tangannya sedikit gemetar.Setelah Maya berdiri di hadapan Clara, ia langsung menunduk, menunggu Clara berbicara.“Bagas di mana?” tanya Clara dengan nada tegas, sambil melipat tangannya di depan dada. “Apa dia sudah makan malam?”Maya menelan ludah, mencoba menjawab dengan tenang meskipun
“Maya, menikahlah dengan suamiku.” Ucapan Clara terdengar penuh keyakinan, dan penekanan.Kalimat itu menghantam ruangan seperti bom yang meledak. Maya menatap Clara dengan mata membelalak, tangannya gemetar. Nampan kecil yang tadi diletakkan di meja hampir terjatuh. Sementara itu, Bagas langsung memutar tubuhnya ke arah Clara, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan.Clara Salsabila adalah seorang publik figure yang terkenal di dunia hiburan dan bisnis, dikenal dengan pesona dan karier cemerlangnya. Ia juga istri dari Bagas Pratama, seorang CEO sukses di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi dan inovasi. Sebagai pasangan yang tampak sempurna di mata publik, kehidupan mereka tampaknya penuh kemewahan dan kebahagiaan. Namun, di balik itu, mereka harus menghadapi tantangan besar yang menguji hubungan mereka, terutama mengenai perbedaan pendapat tentang keluarga dan karir.“Clara, apa maksudmu?” tanya Bagas dengan nada setengah berbisik, berusah
Di dalam kamar, Clara duduk dengan anggun di ranjang tempat tidur, sambil memainkan ponsel di tangannya. Bagas, yang sejak tadi berada di ruang tamu tiba-tiba masuk ke dalam kamar, ada ketegangan yang mengendap di udara. Mata Clara tetap terfokus pada ponselnya yang menampilkan beberapa pesan dari rekan bisnis, seolah ia tidak ingin memikirkan permasalahan yang belum selesai dengan Bagas.Clara meletakkan ponselnya di atas meja kecil yang ada di samping ranjang, memandang Bagas dengan mata yang tenang. Namun, penuh makna. "Aku harap kita bisa menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin, Mas. Aku nggak ingin ada perdebatan lagi," ujarnya, meskipun suaranya terdengar lebih seperti permintaan daripada sebuah pernyataan.Bagas menatap Clara dengan tatapan serius. "Kamu nggak bisa mengharapkan semuanya selesai begitu saja, Clara. Ini bukan masalah kecil. Aku ingin kita berbicara tentang apa yang sebenarnya kamu inginkan, bukan hanya tentang apa yang kamu takuti," jawabnya, meskipun ada ras
Beberapa hari berlalu, Clara, Maya dan Bagas sudah berkumpul di ruang kerja. Clara perlahan meletakkan sebuah map di atas meja, membuka isinya, dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Dengan tatapan tenang namun penuh otoritas, ia mendorong dokumen itu ke arah Maya. Maya menatap surat itu dengan bingung. Jemarinya yang gemetar mencoba menyentuh kertas itu, tetapi ia ragu untuk membacanya. "Apa ini, Nyonya?" tanyanya dengan suara pelan. Clara menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan di depan dada. "Ini surat perjanjian. Surat ini berisi syarat dan ketentuan yang harus kamu setujui sebelum menikah dengan Mas Bagas. Aku ingin memastikan bahwa kamu paham betul posisimu setelah menjadi istri kedua." Bagas menatap Clara dengan tatapan tajam. "Clara, ini sudah keterlaluan! Kamu nggak bisa memperlakukan Maya seperti ini. Dia sudah setuju dengan rencanamu, kenapa harus ada perjanjian segala?" suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan. Clara mengangkat alis, tetap tenang men
Malam itu, Clara baru saja tiba di rumah setelah melewati hari yang panjang di kantor. Tanpa melepas sepatu atau merapikan dirinya terlebih dahulu, ia langsung berjalan ke arah meja makan. Wajahnya terlihat tidak senang, dan suaranya terdengar lantang saat ia memanggil.“Maya! Maya, ke sini sekarang!” serunya dengan nada tajam.Suara langkah kaki Maya terdengar dari dapur, dan beberapa detik kemudian, ia muncul dengan ekspresi gugup. Ia menundukkan kepala sedikit, merasa ada yang salah namun tidak tahu apa.“Ya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Maya dengan nada sopan, meskipun tangannya sedikit gemetar.Setelah Maya berdiri di hadapan Clara, ia langsung menunduk, menunggu Clara berbicara.“Bagas di mana?” tanya Clara dengan nada tegas, sambil melipat tangannya di depan dada. “Apa dia sudah makan malam?”Maya menelan ludah, mencoba menjawab dengan tenang meskipun
Setelah memastikan Clara sudah masuk ke dalam kamar dan pintunya tertutup rapat, Bagas berjalan dengan langkah cepat menuju dapur. Wajahnya terlihat serius, dan pikirannya penuh dengan kegelisahan.Di dapur, Maya sedang merapikan piring-piring dengan hati-hati. Ia mencoba menenangkan dirinya setelah percakapan menyakitkan tadi, namun suara langkah Bagas membuatnya tersentak. Maya menoleh dan melihat Bagas berdiri di ambang pintu, tatapan matanya dingin seperti biasa.“Tuan?” Maya berkata dengan nada hati-hati.Bagas melangkah mendekat, suaranya rendah namun tegas. “Maya, aku nggak mau bertele-tele. Aku hanya ingin memperingatkanmu.”Maya menunduk, merasa takut dengan nada suara Bagas. “Apa yang ingin Tuan katakan?”Bagas mendekatkan tubuhnya, membuat Maya semakin merasa terpojok. “Dengar baik-baik. Aku nggak peduli apa yang kamu pikirkan atau rasakan, tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Jangan pernah, sekalipun, memberi tahu Clara kalau selama ini kita belum pernah melakukan hubungan s
Malam itu, suasana rumah terasa sepi. Clara yang baru saja pulang dari tempat kerjanya terlihat elegan dengan blazer hitam yang membalut tubuhnya. Ia melepas sepatu hak tingginya di dekat pintu sebelum melangkah menuju meja makan.Maya, yang mendengar suara langkah Clara, segera keluar dari dapur. “Selamat malam, Nyonya. Apa Nyonya ingin saya siapkan makan malam sekarang?” tanya Maya dengan nada sopan, berdiri dengan kedua tangan saling menggenggam di depan.Clara memandang Maya dengan sorot mata dingin, lalu duduk di kursi meja makan sambil meletakkan tasnya di atas meja. “Kenapa belum siap? Kamu tahu kan, aku nggak suka menunggu,” ucapnya dengan nada penuh otoritas.Maya menunduk. “Maaf, Nyonya. Saya akan segera menyiapkannya,” katanya sambil bergegas kembali ke dapur.Clara mendesah kecil sambil membuka ponselnya, mencoba mengecek email pekerjaan yang belum selesai. Sambil menunggu makanan disajikan, ia bergumam, “Entah kenapa aku harus repot-repot membiarkan dia di sini. Semoga sa
Pagi itu, suasana rumah terasa tenang namun hangat. Bagas dan Clara, yang sudah rapi dengan pakaian formal, keluar dari kamar. Bagas mengenakan setelan jas abu-abu yang terlihat sempurna di tubuhnya, sementara Clara tampak anggun dalam blus putih dan rok pensil hitam.Mereka berjalan berdampingan menuju meja makan, di mana sarapan telah tertata rapi. Clara tersenyum kecil sambil melirik Bagas. "Pagi ini kita berangkat bareng, kan?" tanyanya lembut.Bagas mengangguk sambil menarik kursi untuk Clara. "Iya, aku sempat atur jadwal biar bisa antar kamu dulu. Lagipula, kapan lagi kita ada waktu pagi bareng kayak gini," jawabnya dengan nada penuh perhatian.Clara tersenyum lebih lebar. "Masih sempat romantis di tengah jadwal padat, ya?" godanya.Bagas hanya tertawa kecil sambil menuangkan kopi ke cangkirnya. Mereka menikmati sarapan bersama, berbincang ringan tentang rencana hari itu. Meskipun keduanya terlihat santai, ada kesan serius di balik percakapan mereka, seolah masing-masing menyimp
Malam itu, suasana rumah terasa hening. Clara masih belum pulang dari aktivitasnya sebagai publik figur. Maya, yang sedang membereskan ruang tamu, mendengar suara mobil Bagas yang memasuki halaman. Jantungnya berdegup kencang. Ia segera merapikan penampilannya sebelum membuka pintu untuk menyambut Bagas.Begitu Bagas melangkah masuk, Maya tersenyum tipis, meskipun rasa canggung tak bisa ia sembunyikan. “Selamat malam, Tuan, ,” ucapnya dengan suara pelan.Bagas mengangguk kecil, memasukkan tangannya ke dalam saku celana sambil memandang Maya. “Clara belum pulang?” tanyanya singkat.Maya menggeleng. “Belum, Tuan. Sepertinya masih sibuk dengan pekerjaannya.”Bagas hanya menggumam pelan sambil berjalan ke arah sofa. Ia melepaskan dasinya dan menghela napas panjang, terlihat lelah. Maya berdiri di dekatnya, ragu-ragu untuk berbicara lebih jauh.“Maya,” panggil Bagas tiba-tiba, memecah keheningan.Maya menoleh cepat. “Iya, Tuan?”Bagas menatapnya sejenak, ada sesuatu yang ingin ia katakan,
Maya dengan cekatan meletakkan piring terakhir berisi roti panggang di meja makan. Ia mencoba menghindari tatapan Clara yang sejak tadi mengawasinya dengan ekspresi tajam. Baru saja ia ingin melangkah kembali ke dapur, tiba-tiba Bagas keluar dari kamar tamu, sebuah kamar yang disebut Clara sebagai kamar pengantin. “Pagi, Sayang.” kata Bagas dengan nada lembut namun tegas, sambil segera mencium pipi Clara. Maya terkejut, merasa canggung dengan perhatian yang diberikan Bagas kepada Clara. Clara melirik sekilas ke arah Maya yang kini menatap mereka dengan ekspresi canggung. Clara segera tersenyum lenbut. “Selamat pagi, Sayang.” “Bagaimana istirahatmu semalam, apa nyenyak?” tanya Clara sambil mulai mengambil sepotong roti yang sudah tersedia di atas meja. Bagas segera meraih tangan Clara dan menggenggamnya dengan erat. “Bagaimana aku bisa tidur nyenyak jika nggak ada kamu disampingku,” ucapnya, sambil tersenyum lembut ke arah Clara. “Kamu bisa aja, Mas. Ya udah sekarang kamu makan
Maya terdiam, tubuhnya terasa kaku saat Bagas mendekatkan wajahnya, perlahan-lahan mencium bibirnya. Ada perasaan campur aduk yang muncul dalam dirinya—takut, bingung, dan terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia inginkan. Namun, seiring dengan detakan jantungnya yang semakin keras, Maya mencoba untuk menahan perasaan itu, berusaha menghindari apa yang terjadi."Tuan, tolong...," kata Maya lirih, mencoba menarik mundur dirinya, tetapi Bagas, yang masih terlarut dalam dorongan emosinya, tidak segera melepaskannya.Maya pun membiarkan semua itu terjadi. Mulai menutup kedua mata dan menikmati setiap sentuhan dari suaminya. Malam itu, mungkin akan jadi malam yang selalu diingat oleh Maya. Malam di mana Bagas–Majikan sekaligus suaminya merenggut paksa keperawanannya. ***“Maya! Maya!” Clara berteriak dengan keras. Membuat suaranya menggema di seluruh ruangan tersebut.Maya terbangun dengan terkejut ketika mendengar suara Clara memanggil namanya dari luar kamar. Jantungnya berdebar ken
Hari itu, langit mendung seakan ikut merasakan beban yang dirasakan oleh semua pihak yang terlibat. Sebuah masjid kecil yang sederhana, terletak di sebuah kampung di pinggiran kota, menjadi saksi dari pernikahan yang penuh dengan ketegangan dan air mata. Clara sengaja memilih lokasi ini, jauh dari sorotan media, keramaian kota, bahkan dari keluarga mereka sendiri. Clara tiba lebih dulu dengan mengenakan pakaian rapi. Namun, sederhana, berbeda dari penampilan glamornya yang biasa. Di belakangnya, Bagas dan Maya mengikuti dengan langkah berat. Bagas tampak tidak bersemangat, sementara Maya menundukkan kepala sepanjang perjalanan ke dalam masjid, hatinya dipenuhi kegelisahan. Di dalam masjid, hanya ada seorang penghulu, dua saksi dari kampung setempat yang tidak mengenal mereka, dan suasana hening yang terasa mencekam. Clara memastikan semuanya berjalan sesuai rencananya. Ia berbicara kepada penghulu dengan nada tenang. Namun, tegas, menjelaskan bahwa ini adalah pernikahan siri atas pe
Beberapa hari berlalu, Clara, Maya dan Bagas sudah berkumpul di ruang kerja. Clara perlahan meletakkan sebuah map di atas meja, membuka isinya, dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Dengan tatapan tenang namun penuh otoritas, ia mendorong dokumen itu ke arah Maya. Maya menatap surat itu dengan bingung. Jemarinya yang gemetar mencoba menyentuh kertas itu, tetapi ia ragu untuk membacanya. "Apa ini, Nyonya?" tanyanya dengan suara pelan. Clara menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan di depan dada. "Ini surat perjanjian. Surat ini berisi syarat dan ketentuan yang harus kamu setujui sebelum menikah dengan Mas Bagas. Aku ingin memastikan bahwa kamu paham betul posisimu setelah menjadi istri kedua." Bagas menatap Clara dengan tatapan tajam. "Clara, ini sudah keterlaluan! Kamu nggak bisa memperlakukan Maya seperti ini. Dia sudah setuju dengan rencanamu, kenapa harus ada perjanjian segala?" suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan. Clara mengangkat alis, tetap tenang men