Tubuhku meremang mendengar perintah Alvian. Terdengar nada bicara yang kesal penuh amarah darinya. apa yang membuatnya berubah sikap. Jangan-jangan Weni dan Dewi berhasil mempengaruhinya tentang Andini. Tidak mungkin dengan tiba-tiba dia memerintahkan hal itu. Kemarin Alvian dengan jelas menerima Andini sebagai anaknya tanpa persyaratan meski aku tidak memberitahu yang sebenarnya.Dengan pikiran campur aduk aku masuk ke ruang yang ditunjukkan oleh perawat. Mataku seketika berair melihat dua sosok yang selama ini menemaniku tergolek tidak berdaya di atas brankar Rumah Sakit.Siti terlihat menatap ke arah pintu sedangkan tubuh tungil anakku diam tidak bergerak.“Mbak Riana?” sapa Siti dengan lemah.“S-Siti … Siti, bagaimana keadaan kamu?” jawabku dengan tubuh bergetar mendekat.“Maafkan saya, tidak bisa menjaga Andini. Saya salah ….”“Sttt … diamlah. Jangan merasa bersalah. Ini cobaan,” aku mengela napas panjang, “apa yang sekarang kamu rasakan? Bagaimana bisa sampai di sini?”Meski dal
Melihat dokter yang masih muda tetapi perhatian dengan pasien membuat simpatiku naik. Jarang ada dokter yang perhatian lebih apalagi belum mengenal keluarga pasiennya. Kebanyak dokter muda lebih mementingkan kepentingan pribadi apalagi menyangkut uang. Waktu adalah uang untuk mereka dengan mengejar job-job di Rumah Sakit.Bukan semua dokter, tapi kebanyakan hampir sama yang kutemui baik dulu maupun sekarang. Sering mendapat kata yang tidak mengenakkan hati, terlebih untukku yang tidak punya uang.Dengan hati-hati kuceritakan masalahku kepada dokter Ferdi. Mulai dari riwayat Andini yang masuk Puskesmas hingga kondisinya sekarang. Terlihat dia memperhatikan setiap ucapan yang keluar dari bibirku tanpa menyela.“Seperti itu Dokter, ceritanya. Saya berniat untuk membawanya ke kota agar mendapatkan penanganan yang cepat. Bukan bermaksud untuk mengecilkan Puskesmas di sini, tapi alat-alat di sini kurang mendukung untuk percepatan kesembuhan anak saya.”“Baiklah, saya akan memeriksa anak And
Ferdi melihat kecemasanku segera mengambil posisi. Dia memberi isyarat supaya aku tenang. Mengajakku duduk di sofa sementara perawat yang ada di sampingnya membenahi alat yang menempel di lengan anakku. Miris, disaat seperti ini aku tidak punya tambahan hati untuk kuajak berbagi pikiran. Tubuhku serasa lemas saat mereka mengatakan jika Andini mempunyai golongan darah langka.“Maaf, jangan cemaskan masalah itu. Kami akan membantumu semaksimal mungkin. Saya visit ke pasien lain dulu, nanti kita ngobrol di tempat yang sama seperti kemarin setelah jam istirahatku berakhir,” kata Ferdi menenangkanku.“Benar, Mbak. Sebaiknya Mbak tenang dulu. Kalau Mbak Riana panik kasihan Andini. Sebaiknya dipikirkan matang-matang sebalum membawanya ke kota. Karena kondisi anak Mbak belum bisa diajak bepergian jauh. Kecuali ada mobil yang berfasilitas terbaik sehingga kesehatan Andini tetap terjaga,” sahut Siti dari tempatnya berbaring.Masih dengan hati kalut aku mengangukkan kepala. Memikirkan bagaimana
Dokter Ferdi kembali masuk ruangan. Dia yang sudah menjanjikan menolong mencarikan pendonor darah untuk Andini kini muncul dengan senyumnya. Aku tenang dengan kedatangannya yang membawa berita tentang Andini.“Riana, darah untuk Andini akan tiba lusa. Aku sudah berusaha untuk mencarinya di tempat temanku. Tapi untuk menunggu lusa kondisi Andini tentu akan semakin menurun. Alat yang ada di Puskesmas ini tidak memadai untuk menunggu sampai darah itu sampai.”“Lantas bagaimana caranya Dokter. Saya harus bisa menyelamatkan anak saya,” tangisku kembali meledak. Masalah datang silih berganti tanpa ada ujungnya.“Saya hanya bisa punya satu solusi dengan mendekatkan dia dengan Rumah Sakit yang sama tempat Ayahnya sekarang dirawat. Kalau darah itu pun tiba kita harus segera melakukan operasi pada otaknya untuk memastikan kondisi Andini stabil.”“Ya Tuhan, saya harus bagaimana, Dokter. Tidak ada mobil yang berani membawa Andini ke kota dengan kondisi seperti ini,” ucapku semakin bingung.Kemudi
Melihat kedatangan Sari dari arah depan mataku berkaca-kaca. Selama beberapa hari aku mengabaikan gadis itu, tapi dia tetap setia menunggu di sini. Tapi mengapa dia tidak ke ruangan Alvian?“Kamu kenapa di sini?”tanyaku penasaran.“Harusnya aku yang tanya. Kamu kemana saja, susah dihubungi. Aku tidak enak tinggal sendirian di apartement Tuan Alvian. Setiap hari kerjaanku di sini berharap bertemu dengan kamu.”Sari mulai bercerita sembari menatap kesal terhadapku yang mengabaikannya akhir-akhir ini. Bagaimana tidak kesal dia menghubungiku berulang kali tapi tidak kurespon sama sekali. Hal itu bukan karena tanpa sebab, aku masih tidak bisa berpikir dengan baik. Apalagi menyangkut keselamatan anakku yang masih dalam kondisi bahaya.Selama aku meninggalkan Sari banyak kejadian yang menimpa Alvian. Sari tahu dari Roy yang setia menemani selama dalam perawatan. Sebenarnya apa sakit yang diderita Alvian aku belum mengetahuinya. Sebagai teman tidak mampu mengorek keterangan dari Roy dan Alvia
Kutatap Roy yang juga balik menatapku. Kepercayaan seperti apa yang diberikan sehingga dia sangat yakin jika aku bisa membantu kesembuhan majikannya.“Akan kupikirkan. Apa Nyonya Weni dan istri Tuan masih sering ke sini?” tanyaku berhati-hati.“Cuma sekali pada waktu Nona di sini waktu itu. Nyonya Besar marah melihat saya tidak bisa memberikan keterangan tentang tempat tinggal Nona saat itu.” Roy memasukkan ponsel ke saku. “Nona pasti ada maksud tertentu datang menjenguk Tuan?”Aku gelagapan, penyakit Alvian membuatku lupa tentang misiku datang menjenguk. Kutarik napas dan menghembuskan pelan menata kalimat yang pas, demi Andini. Aku takut Roy tidak setuju dengan tindakanku mengingat majikannya masih dalam kondisi sakit.“Kamu tahu kondisi Andini sekarang, Roy. Dia sangat lemah dan sering pingsan. Itulah mengapa aku memidahkan ke Rumah Sakit besar atas saran Dokter di Puskesmas itu.”“Apa yang bisa saya lakukan untuk Nona kecil Andini?”“Roy, kamu percaya jika Andini adalah anak Bos k
Terlihat dengan jelas dada Alvian naik turun setelah aku menyebutkan nama dokter Ferdi. Aku panik dan takut sesuatu akan terjadi kepadanya. Roy masuk dan mendekati ranjang Alvian sembari melirik ke arahku.“Ya, Tuan.”“Jangan biarkan wanita ini masuk lagi. Bawa dia keluar dari ruanganku, CEPAT!” bentaknya.‘Tuan … saya ….”“DIAM …! Keluar dari sini atau aku menyuruh securiti menyeretmu, dasar wanita gatal!” bentaknya.Tes tes tesTubuhku terasa lemas mendengar tuduhan itu lagi yang ditunjukkan langsung ke arahku. Segera aku berlari keluar menuju ruang tunggu IGD. Sesak rasanya, mengingatkan aku beberapa tahun lalu saat dia menjatuhkan talak dan mengusirku dari rumah tanpa mendengar penjelasanku. Aku sudah memaafkannya tapi mengapa sekarang dia ulangi. Begitu rendahkah diriku di mata Alvian.Begitu tiba di ruang tunggu IGD aku duduk termenung. Merasa sangat bodoh mengharap sesuatu yang sudah lama terkubur. Rasa ini sangat sesak untuk dijabarkan sebagai rasa yang pernah kunikmati saat k
Kutepis bayangan Alvian yang sudah mengusirku. Sesekali keluar air mata tanpak bisa kutahan. Sakit … tapi buat apa menangisi pria yang tidak punya perasaan itu. Lebih baik aku fokus dengan kesembuhan Andini. Dia permata hatiku saat ini, masa depanku bersamanya.Selama 3 jam menunggu akhirnya Andini keluar dari ruang operasi. Tubuh mungilnya terbaring dengan selang infus di lengan dan sebagian ke monitor jantung. Hatiku lega meski sedih melihat anakku sdalam keadaan seperti ini. Seandainya bisa aku saja yang menggantikan rasa sakit itu.Terlihat tubuh Andini menggeliat meringis menatapku. Bibirnya kering berusaha mengucapkan panggilan yang lirih dengan memanggilku Ibu. Tubuhku bergetar melihat dia lemah tak berdaya tangan kecilnya menggapai meraih wajahku yang mulai berair. Sungguh pemandangan yang yang tidak bisa kugambarkan saat ini. Seandainya dia bisa menjerit dan menangis aku akan lebih merasa lega. Tapi Andini hanya diam dan meringis. Apa yang sedang dia rasakan tidak dapat dikel