Melihat kedatangan Sari dari arah depan mataku berkaca-kaca. Selama beberapa hari aku mengabaikan gadis itu, tapi dia tetap setia menunggu di sini. Tapi mengapa dia tidak ke ruangan Alvian?“Kamu kenapa di sini?”tanyaku penasaran.“Harusnya aku yang tanya. Kamu kemana saja, susah dihubungi. Aku tidak enak tinggal sendirian di apartement Tuan Alvian. Setiap hari kerjaanku di sini berharap bertemu dengan kamu.”Sari mulai bercerita sembari menatap kesal terhadapku yang mengabaikannya akhir-akhir ini. Bagaimana tidak kesal dia menghubungiku berulang kali tapi tidak kurespon sama sekali. Hal itu bukan karena tanpa sebab, aku masih tidak bisa berpikir dengan baik. Apalagi menyangkut keselamatan anakku yang masih dalam kondisi bahaya.Selama aku meninggalkan Sari banyak kejadian yang menimpa Alvian. Sari tahu dari Roy yang setia menemani selama dalam perawatan. Sebenarnya apa sakit yang diderita Alvian aku belum mengetahuinya. Sebagai teman tidak mampu mengorek keterangan dari Roy dan Alvia
Kutatap Roy yang juga balik menatapku. Kepercayaan seperti apa yang diberikan sehingga dia sangat yakin jika aku bisa membantu kesembuhan majikannya.“Akan kupikirkan. Apa Nyonya Weni dan istri Tuan masih sering ke sini?” tanyaku berhati-hati.“Cuma sekali pada waktu Nona di sini waktu itu. Nyonya Besar marah melihat saya tidak bisa memberikan keterangan tentang tempat tinggal Nona saat itu.” Roy memasukkan ponsel ke saku. “Nona pasti ada maksud tertentu datang menjenguk Tuan?”Aku gelagapan, penyakit Alvian membuatku lupa tentang misiku datang menjenguk. Kutarik napas dan menghembuskan pelan menata kalimat yang pas, demi Andini. Aku takut Roy tidak setuju dengan tindakanku mengingat majikannya masih dalam kondisi sakit.“Kamu tahu kondisi Andini sekarang, Roy. Dia sangat lemah dan sering pingsan. Itulah mengapa aku memidahkan ke Rumah Sakit besar atas saran Dokter di Puskesmas itu.”“Apa yang bisa saya lakukan untuk Nona kecil Andini?”“Roy, kamu percaya jika Andini adalah anak Bos k
Terlihat dengan jelas dada Alvian naik turun setelah aku menyebutkan nama dokter Ferdi. Aku panik dan takut sesuatu akan terjadi kepadanya. Roy masuk dan mendekati ranjang Alvian sembari melirik ke arahku.“Ya, Tuan.”“Jangan biarkan wanita ini masuk lagi. Bawa dia keluar dari ruanganku, CEPAT!” bentaknya.‘Tuan … saya ….”“DIAM …! Keluar dari sini atau aku menyuruh securiti menyeretmu, dasar wanita gatal!” bentaknya.Tes tes tesTubuhku terasa lemas mendengar tuduhan itu lagi yang ditunjukkan langsung ke arahku. Segera aku berlari keluar menuju ruang tunggu IGD. Sesak rasanya, mengingatkan aku beberapa tahun lalu saat dia menjatuhkan talak dan mengusirku dari rumah tanpa mendengar penjelasanku. Aku sudah memaafkannya tapi mengapa sekarang dia ulangi. Begitu rendahkah diriku di mata Alvian.Begitu tiba di ruang tunggu IGD aku duduk termenung. Merasa sangat bodoh mengharap sesuatu yang sudah lama terkubur. Rasa ini sangat sesak untuk dijabarkan sebagai rasa yang pernah kunikmati saat k
Kutepis bayangan Alvian yang sudah mengusirku. Sesekali keluar air mata tanpak bisa kutahan. Sakit … tapi buat apa menangisi pria yang tidak punya perasaan itu. Lebih baik aku fokus dengan kesembuhan Andini. Dia permata hatiku saat ini, masa depanku bersamanya.Selama 3 jam menunggu akhirnya Andini keluar dari ruang operasi. Tubuh mungilnya terbaring dengan selang infus di lengan dan sebagian ke monitor jantung. Hatiku lega meski sedih melihat anakku sdalam keadaan seperti ini. Seandainya bisa aku saja yang menggantikan rasa sakit itu.Terlihat tubuh Andini menggeliat meringis menatapku. Bibirnya kering berusaha mengucapkan panggilan yang lirih dengan memanggilku Ibu. Tubuhku bergetar melihat dia lemah tak berdaya tangan kecilnya menggapai meraih wajahku yang mulai berair. Sungguh pemandangan yang yang tidak bisa kugambarkan saat ini. Seandainya dia bisa menjerit dan menangis aku akan lebih merasa lega. Tapi Andini hanya diam dan meringis. Apa yang sedang dia rasakan tidak dapat dikel
“Tuan, jangan sakiti anak saya. Dia tidak bersalah,” ucapku dengan hati-hati.Kembali Alvian tertawa meski lirih. Dia menatap Andini, entah apa yang dirasakannya setelah menyentuh lengan mungil anakku. Aku sangat khawatir tapi Roy memberi isyarat supaya aku tidak mengusik Tuannya.Setelah beberapa menit bersama dengan Andini, Alvian keluar dengan tatapan tajam ke arahku. Ingin aku menyusulnya tapi tangan kekar Ferdi menarikku agar aku tidak mengikutinya. Akupun menurut, Alvian yang terlihat marah tidak mungkin menerima apapun alasanku saat ini. Sedangkan Roy hanya diam tidak memberikan penjelasan kepadaku.Aku pasrah, yang penting saat ini kondisi Andini sudah selesai dioperasi dan menuju pemulihan. Mereka keluar ruangan dengan meninggalkan sejuta tanya. Aku tidak mengerti mengapa Alvian sampai datang ke ruang rawat Andini. Jangan-jangan dia akan bermaksud jahat dengan menculik Andini.“Apa yang kemu pikirkan, Riana? Jangan terpengaruh dengan kedatangan mantan suamimu. Yang penting se
Daripada pikiranku dipusingkan oleh sikap Ferdi mending aku berpikir positif. Jika yang dilakukan oleh Ferdi itu adalah untuk menolong anakku semata. Tidak ada maksud tersembunyi yang menyebabkan kerugian di pihakku. Apalagi kami baru saling kenal dan terlihat unsur indikasi buruk dari laki-laki itu.Setelah beberapa hari dirawat akhirnya Andini diperbolehkan untuk pulang. Aku bingung apakah kubawa ke apartemen milik Alvian atau mengontrak. Dilema yang sekarang melanda pikiranku. Sedangkan sampai hari ini aku tidak ada kontak dengan Alvian maupun Roy asistennya.“Apa aku harus menemui mereka untuk meminta pertolongan lagi. Mau ditaruh mana mukaku setelah sikap Tuan Alvian yang dingin seolah tidak perduli dengan anaknya.”Tiba-tiba aku teringat dengan tes DNA yang diminta oleh Alvian. Kemarin sempat dibatalkan karena rasa percaya Alvian bahwa Andini adalah darah dagingnya. Dengan tes DNA mungkin aku bisa meminta sedikit kelonggaran untuk tinggal sementara di apartement miliknya.Sebelu
Sepeninggal Weni aku terisak dalam diam. Tidak ingin anakku melihat apa yang sudah terjadi pada orang dewasa yang ada di sekitarnya. Rasa bersalah menghinggapi relung hati saat tidak bisa menjadi orang tua yang sempurna kepada Andini. Di usia yang masih balita dia sudah mengalami banyak cobaan hanya karena ulah manusia yang tidak punya hati. “Tenang, Sayang. Mereka tidak akan mengganggu kita lagi. Kita akan pergi secepatnya dari sini. Kamu harus cepat sehat supaya cepat pergi dari orang-orang itu,” hiburku kepada Andini supaya dia tenang. Jauh di lubuk hati terdalam aku menyesal belum memberitahukan keberadaan Andini kepada keluargaku. Apa ini adalah dosaku yang menyembunyikan kondisiku kepada mereka. Tapi rasanya aku tidak sanggup melihat kekecewaan ayah dan ibu yang sudah sakit-sakitan untuk menanggung beban hidupku saat ini. Mempunyai anak tanpa suami akan membuat kedua orang tuaku akan bertambah rasa sedihnya, aku tidak sanggup melihat air mata mereka lagi. Terkadang aku berpiki
Sumpah, demi apapun itu, aku tidak ingin hubungan ini berakhir tanpa sebab yang jelas antara aku dan Alvian. Siapa yang mampu melupakan laki-laki yang sudah memberiku keturunan. Meski banyak laki-laki di luar sana sering memintaku untuk hidup bersama, tetap papa dari anakku tidak akan kulupakan begitu mudah. Apalagi perpisahan kami dilandasi kesalahpahaman yang sampai sekarang belum bisa kujelaskan. Masalah semakin rumit jika Alvian salah paham akan kehadiran Ferdi yang membantu proses penyembuhan Andini. Kulihat matanya tidak bohong ada kekecewaan terpancar di sana. “Berulang kali aku menjelaskan padamu, Riana. Kita harus hadapi Mama. Bagaimanapun dia adalah orang yang sudah melahirkanku, jangan sampai aku durhaka dengan mengecewakannya.” “Baiklah, jika itu pilihan Tuan. Aku tidak memaksa, tapi lepaskan kami. Aku bisa hidup dengan Andini tanpa Tuan.” “Kamu membuatku kecewa berulangkali, Riana,” ucap Alvian dengan tatapan tajam. “Ya, kalau begitu lepaskan kami.” Aku tetap bergemi