Terlihat dengan jelas dada Alvian naik turun setelah aku menyebutkan nama dokter Ferdi. Aku panik dan takut sesuatu akan terjadi kepadanya. Roy masuk dan mendekati ranjang Alvian sembari melirik ke arahku.“Ya, Tuan.”“Jangan biarkan wanita ini masuk lagi. Bawa dia keluar dari ruanganku, CEPAT!” bentaknya.‘Tuan … saya ….”“DIAM …! Keluar dari sini atau aku menyuruh securiti menyeretmu, dasar wanita gatal!” bentaknya.Tes tes tesTubuhku terasa lemas mendengar tuduhan itu lagi yang ditunjukkan langsung ke arahku. Segera aku berlari keluar menuju ruang tunggu IGD. Sesak rasanya, mengingatkan aku beberapa tahun lalu saat dia menjatuhkan talak dan mengusirku dari rumah tanpa mendengar penjelasanku. Aku sudah memaafkannya tapi mengapa sekarang dia ulangi. Begitu rendahkah diriku di mata Alvian.Begitu tiba di ruang tunggu IGD aku duduk termenung. Merasa sangat bodoh mengharap sesuatu yang sudah lama terkubur. Rasa ini sangat sesak untuk dijabarkan sebagai rasa yang pernah kunikmati saat k
Kutepis bayangan Alvian yang sudah mengusirku. Sesekali keluar air mata tanpak bisa kutahan. Sakit … tapi buat apa menangisi pria yang tidak punya perasaan itu. Lebih baik aku fokus dengan kesembuhan Andini. Dia permata hatiku saat ini, masa depanku bersamanya.Selama 3 jam menunggu akhirnya Andini keluar dari ruang operasi. Tubuh mungilnya terbaring dengan selang infus di lengan dan sebagian ke monitor jantung. Hatiku lega meski sedih melihat anakku sdalam keadaan seperti ini. Seandainya bisa aku saja yang menggantikan rasa sakit itu.Terlihat tubuh Andini menggeliat meringis menatapku. Bibirnya kering berusaha mengucapkan panggilan yang lirih dengan memanggilku Ibu. Tubuhku bergetar melihat dia lemah tak berdaya tangan kecilnya menggapai meraih wajahku yang mulai berair. Sungguh pemandangan yang yang tidak bisa kugambarkan saat ini. Seandainya dia bisa menjerit dan menangis aku akan lebih merasa lega. Tapi Andini hanya diam dan meringis. Apa yang sedang dia rasakan tidak dapat dikel
“Tuan, jangan sakiti anak saya. Dia tidak bersalah,” ucapku dengan hati-hati.Kembali Alvian tertawa meski lirih. Dia menatap Andini, entah apa yang dirasakannya setelah menyentuh lengan mungil anakku. Aku sangat khawatir tapi Roy memberi isyarat supaya aku tidak mengusik Tuannya.Setelah beberapa menit bersama dengan Andini, Alvian keluar dengan tatapan tajam ke arahku. Ingin aku menyusulnya tapi tangan kekar Ferdi menarikku agar aku tidak mengikutinya. Akupun menurut, Alvian yang terlihat marah tidak mungkin menerima apapun alasanku saat ini. Sedangkan Roy hanya diam tidak memberikan penjelasan kepadaku.Aku pasrah, yang penting saat ini kondisi Andini sudah selesai dioperasi dan menuju pemulihan. Mereka keluar ruangan dengan meninggalkan sejuta tanya. Aku tidak mengerti mengapa Alvian sampai datang ke ruang rawat Andini. Jangan-jangan dia akan bermaksud jahat dengan menculik Andini.“Apa yang kemu pikirkan, Riana? Jangan terpengaruh dengan kedatangan mantan suamimu. Yang penting se
Daripada pikiranku dipusingkan oleh sikap Ferdi mending aku berpikir positif. Jika yang dilakukan oleh Ferdi itu adalah untuk menolong anakku semata. Tidak ada maksud tersembunyi yang menyebabkan kerugian di pihakku. Apalagi kami baru saling kenal dan terlihat unsur indikasi buruk dari laki-laki itu.Setelah beberapa hari dirawat akhirnya Andini diperbolehkan untuk pulang. Aku bingung apakah kubawa ke apartemen milik Alvian atau mengontrak. Dilema yang sekarang melanda pikiranku. Sedangkan sampai hari ini aku tidak ada kontak dengan Alvian maupun Roy asistennya.“Apa aku harus menemui mereka untuk meminta pertolongan lagi. Mau ditaruh mana mukaku setelah sikap Tuan Alvian yang dingin seolah tidak perduli dengan anaknya.”Tiba-tiba aku teringat dengan tes DNA yang diminta oleh Alvian. Kemarin sempat dibatalkan karena rasa percaya Alvian bahwa Andini adalah darah dagingnya. Dengan tes DNA mungkin aku bisa meminta sedikit kelonggaran untuk tinggal sementara di apartement miliknya.Sebelu
Sepeninggal Weni aku terisak dalam diam. Tidak ingin anakku melihat apa yang sudah terjadi pada orang dewasa yang ada di sekitarnya. Rasa bersalah menghinggapi relung hati saat tidak bisa menjadi orang tua yang sempurna kepada Andini. Di usia yang masih balita dia sudah mengalami banyak cobaan hanya karena ulah manusia yang tidak punya hati. “Tenang, Sayang. Mereka tidak akan mengganggu kita lagi. Kita akan pergi secepatnya dari sini. Kamu harus cepat sehat supaya cepat pergi dari orang-orang itu,” hiburku kepada Andini supaya dia tenang. Jauh di lubuk hati terdalam aku menyesal belum memberitahukan keberadaan Andini kepada keluargaku. Apa ini adalah dosaku yang menyembunyikan kondisiku kepada mereka. Tapi rasanya aku tidak sanggup melihat kekecewaan ayah dan ibu yang sudah sakit-sakitan untuk menanggung beban hidupku saat ini. Mempunyai anak tanpa suami akan membuat kedua orang tuaku akan bertambah rasa sedihnya, aku tidak sanggup melihat air mata mereka lagi. Terkadang aku berpiki
Sumpah, demi apapun itu, aku tidak ingin hubungan ini berakhir tanpa sebab yang jelas antara aku dan Alvian. Siapa yang mampu melupakan laki-laki yang sudah memberiku keturunan. Meski banyak laki-laki di luar sana sering memintaku untuk hidup bersama, tetap papa dari anakku tidak akan kulupakan begitu mudah. Apalagi perpisahan kami dilandasi kesalahpahaman yang sampai sekarang belum bisa kujelaskan. Masalah semakin rumit jika Alvian salah paham akan kehadiran Ferdi yang membantu proses penyembuhan Andini. Kulihat matanya tidak bohong ada kekecewaan terpancar di sana. “Berulang kali aku menjelaskan padamu, Riana. Kita harus hadapi Mama. Bagaimanapun dia adalah orang yang sudah melahirkanku, jangan sampai aku durhaka dengan mengecewakannya.” “Baiklah, jika itu pilihan Tuan. Aku tidak memaksa, tapi lepaskan kami. Aku bisa hidup dengan Andini tanpa Tuan.” “Kamu membuatku kecewa berulangkali, Riana,” ucap Alvian dengan tatapan tajam. “Ya, kalau begitu lepaskan kami.” Aku tetap bergemi
Ferdi menatapku dengan tatapan yang tidak dapat kuartikan. Apa ini yang harus kubayar setelah kebaikan yang dilakukan kepada anakku. Apapun itu, jika untuk kebaikan Andini pasti kulakukan.“Aku mendapat surat pindah tugas ke Kalimantan. Kalau kamu bersedia untuk ikut denganku dengan senang hati aku akan mengurus kepindahanmu.”“A-apa, tapi kenapa?”Ferdi menarik napas dan menghembuskan pelan. Sejurus kemudian dia menatapku penuh misteri. Kulihat bola mata yang hitam terdapat gumpalan air bening yang hendak jatuh, ada apa dengannya?“Aku hanya tidak ingin kamu dalam kesulitan. Mendengar dirimu bercerita tentang kehidupanmu selama ini aku turut prihatin. Berjuang seorang diri akibat keegoisan laki-laki yang tidak bisa bijak dalam mengambil keputusan. Kamu terjebak dalm situasi rumit, Riana. Tidak ada orang yang membantumu.”“Aku bisa berusaha sendiri.”“Aku sudah terlanjur mengenalmu. Seandainya kita tidak bertemu,tentu hal berbeda. Aku ikut merasakan penderitaan yang kamu rasakan saat
“Silakan masuk, Dokter Ferdi,” sapaku dengan gelar lelaki itu secara lengkap. Kami duduk di ruang tamu dengan perasaan senang. Akhirnya aku terbebas dari pantauan keluarga Alvian. Rencana kedepan belum kutentukan saat ini. yang terpenting adalah pergi sejauh mungkin mumpung ada kesempatan. Dengan kedatangan Ferdi ke rumh membuktikan jika dia serius untuk membantuku keluar dari masalah yang selama ini menjeratku. “Kalian ngobrol dulu, aku mau lihat Andini di dalam,” kataku beranjak ke kamar Andini. Bocah yang masih balita itu terlihat tersenyum dengan memainkan boneka pemberian Ferdi beberapa waktu lalu. Banyak boneka yang dikirimkan oleh Roy setelah dia keluar dari rumah sakit. Sesak jika mengingat sikap Alvian yang seolah tak perduli dengan anak sendiri. Di mana pikiran lelaki itu sebenarnya, masih mau jadi boneka mamanya sendiri. Beberapa waktu berlalu, Ferdi sudah menentukan jadwal keberangkatan kami ke Kalimantan. Berulangkali Sari mengingatkan aku supaya memberi kabar kepada A
Kami saat ini sedang berkumpul untuk merayakan unversari pernikahanku dengan Alvian. Gedung mewah menjadi momen kebahagiaan kami yang sudah mengaruhi bahtera rumag tangga selama 15 tahun. Undangan para kolega dan sahabat kami berikan memperingati kebahgiaan kami saat ini. Aku dan Alvian berdiri menatap para tamu yang datang. Sari dengan keluarganya, Siti dengan calon tunagannya. Hari yang membuat kami bahagia setelah melewati semuanya dengan penuh ketegangan selama ini. Cahaya lampu kristal yang berkilauan menerangi ruangan ballroom yang megah. Alunan musik romantis mengalun merdu diiringi tarian para tamu undangan. Di tengah keramaian, aku dan Alvian berdiri bergandengan tangan, saling menatap dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Malam ini adalah malam spesial, malam di mana kami merayakan 15 tahun pernikahan kami. Lima belas tahun telah berlalu sejak kami mengucapkan janji suci pernikahan hanya di depan para saksi dan keluarga. Perjalanan pernikahan kami tidak selalu mulus. Ada rin
Sebagai manusia, kita hanya punya rencana. Selebihnya adalah Tuhan yang punya kuasa. Aku dan Alvian tidak hentinya bersyukur dengan kondisi kami saat ini. denga cobaan yang sering datang silih berganti dengan keterbatasan kemampuan akhirnya kami berhasil melewati semua ini dengan baik. Perjodohan dari sebuah perjanjian yang menjadikan kami pelajaran hidup yang tidak bisa digantikan. Benih-benih cinta tumbuh seiring perjalanan cinta yang luar biasa. Kami tidak sangka jika akan dipertemukan dalam situasi sepertisaat ini di mana Alvian yang uasianya jauh di atasku menjadi suamiku dengan semua ketulusan dan kasih sayangnya. Di malam hari, saat bulan bersinar kami mengungkapkan rasa cinta dengan dari dalam diri dengan penuh kekaguman. Aku memandangi Alvian dengan penuh kasih sayang. Kubalut tubuh polos kami dalam selimut tebal dengan mengungkapkan kata-kata mesra. “Mas, tak pernah kubayangkan perjodohan yang awalnya terasa asing dan penuh keraguan ini, justru mengantarkan kita pada cinta
Lima tahun berlalu, persahabatanku dengan Sari dan Hendra tidak pernah putus meski mereka tidak lagi menjadi bagian milik kami. Sari membuka usaha baru dengan toko makanan sebagai pendamping butiknya yang masih kecil dengan Hendra. Ditambah kedua orang tuanya ikut membantu usahanya seperti ayah dan ibuku. Sari dan Hendra bagaikan dua pasang sepatu yang serasi. Sejak awal pernikahan mereka, mereka selalu saling mendukung dan bahu membahu dalam segala hal. Semangat kewirausahaan yang mereka miliki mendorong mereka untuk membangun usaha bersama. Awalnya, mereka memulai usaha kecil-kecilan di rumah. Sari, dengan bakat memasaknya yang luar biasa, mulai membuat kue dan camilan rumahan. Hendra, yang pandai dalam hal pemasaran dan penjualan, mempromosikan produk Sari melalui media sosial dan menjajaki pasar online. Usaha mereka yang kecil perlahan-lahan mulai berkembang. Kue dan camilan Sari mendapat banyak pujian dari pelanggan karena kelezatan dan kualitasnya. Hendra pun berhasil memperlu
Alvian, dengan tekad dan kegigihannya, berhasil mengembangkan perusahaan milik Yeni hingga mencapai puncak kejayaan. Perusahaan yang dulunya hanya sebuah usaha kecil di Medan, kini telah menjelma menjadi raksasa di bidangnya, dengan jangkauan yang mendunia. Alvian melangkah dengan penuh keyakinan dan tekad di lorong-lorong kantor pusat perusahaan Yeni. Dasi yang rapi dan kemeja putihnya tak lekang oleh keringat yang membasahi dahinya. Tatapan matanya tajam dan berbinar, memancarkan aura optimisme yang tak tergoyahkan. Langkahnya tegas dan penuh tujuan, seolah-olah dia tahu persis ke mana dia ingin pergi dan apa yang ingin dia capai. Di balik kesuksesan Alvian, tersembunyi sebuah perjuangan panjang dan penuh rintangan. Dia memulai karirnya di perusahaan Yeni sebagai karyawan biasa, dengan gaji yang pas-pasan dan jam kerja yang panjang. Namun, dia tidak pernah puas dengan keadaan yang ada. Dia selalu memiliki mimpi besar untuk membawa perusahaan Yeni ke puncak kejayaan. “Mas, melihat
Andini dan Aldo, dua buah hatiku, tumbuh dengan pesat, mekar menjadi tunas-tunas cerdas dan berprestasi. Kecerdasan mereka bagaikan mentari pagi, menerangi setiap langkah mereka. Di bangku sekolah, mereka selalu bersinar, menorehkan prestasi demi prestasi. Andini, si sulung, dengan kecerdasannya yang analitis, selalu unggul dalam bidang matematika dan sains. Ia bagaikan kompas yang selalu menunjukkan arah yang tepat, memecahkan setiap soal dengan kejelian dan logika yang luar biasa. Malam hari di ruang keluarga, setelah makan malam. Aku dan Alvian duduk di sofa, menikmati teh hangat sambil berbincang tentang anak-anak. "Mas, kamu lihat Andini dan Aldo hari ini? Mereka benar-benar luar biasa!" "Iya, aku juga perhatikan. Prestasi mereka di sekolah selalu membanggakan." "Andini, si sulung, makin jago aja nih di bidang matematika. Dia selalu mendapatkan nilai sempurna di setiap ujian." "Iya, dia memang cerdas dan tekun belajar. Aku yakin dia akan menjadi seorang yang sukses di masa de
Akhirnya Sari dan Hendra mendapatkan kebahagiaan dengan pernikahannya. Kami sekeluarga sangat senang dengan kondisi Sari yang telah diterima oleh kedua orang tuanya pasca penolakan. Mereka tetap bekerja di butik milikku. Hendra sedikir demi sedikit diajari oleh Alvian tentang cara membuka usaha baru agar tidak dipandang rendah oleh kedua mertuanya. Dia mengajarkan bagaimana bertanggung jawab kepada keluarga besar Sari yang tinggal bersamanya. Setahun berlalu, kami, aku dan Sari memiliki keluarga yang bahagia dengan pencapaian masing-masing. Aku tidak lagi memperkerjakan Sari di butik karena dia sudah memilih usaha barunya bersama suami meski hanya kecil-kecilan. Kedua orng tuanya sudah mulai menerima Hendra yang menyayangi Sari dan keluarganya tanpa pilih kasih. Sari juga sudah dikaruniai seorang anak dari pernikahannya. Hawa hangat pagi hari menyelimuti rumah kecil Sari dan Hendra. Suara tawa riang anak mereka, Dinda, terdengar dari ruang tamu. Sari sedang menyiapkan sarapan di dapu
Pernikahan Sari dan Hendra dilangsungkan dengan khidmat dan penuh kebahagiaan. Suasana dipenuhi dengan tawa, haru, dan doa dari keluarga dan teman-teman yang hadir. Sari yang terlihat cantik dan anggun dalam balutan gaun pengantin putih, tak henti-hentinya memancarkan aura kebahagiaan. Hendra pun tampak gagah dan berseri-seri di sisinya.Suara musik pernikahan mengalun merdu mengiringi langkah kaki Sari yang anggun menuju altar. Gaun putihnya yang berkilauan bagaikan gaun putri, memantulkan cahaya lampu yang menerangi ruangan. Hendra, sang mempelai pria, sudah menunggunya dengan penuh kerinduan di altar.Upacara pernikahan dipimpin oleh seorang penghulu yang terkenal bijaksana. Doa-doa dipanjatkan untuk kelancaran pernikahan mereka dan agar mereka selalu dilimpahi kebahagiaan."Sari, maukah kau menjadi istriku?" tanya Hendra dengan suara mantap."Ya, Hendra," jawab Sari dengan suara bergetar karena haru. "Aku bersedia menjadi istrimu."Suara tepuk tangan dan sorak-sorai menggema di ru
Melihat betapa rumitnya hubungan mereka, aku tak kuasa untuk melepaskan masalah ini. Sari sudah banyak membantuku selama aku dalam kesulitan. Demi sahabat aku dan Alvian akan berbicara dengan kedua orangtuanya Sari. Usia Sari sudah waktunya untuk berumah tangga. Selama ini ia selalu menghindar dari perkotaan karena tidak cocok dan tidak cinta dengan calon suaminya. Cinta tidak dapat dipaksakan, demikian juga dengan hati. Pengalaman mengajarkan aku untuk tidak memaksaku diri atas cinta. Kalau cinta seimbang dan sama-ada rasa tidak masalah. Tetapi jika cinta bertepuk sebelah tangan, jangan berharap akan bahagia untuk selamanya. "Sayang, kita harus bantu Sari. Aku ingin dia bersama dengan Hendra. Dia lelaki baik yang selama ini aku kenal. Alvian yang sering bersama anak-anak menoleh ke arahku. Aku belum cerita tentang Sari dan masalahnya. Andini dan Aldo yang bermain akhirnya masuk ke dalam kamar. Mereka tahu kedua orang tuanya sedang membicarakan masalah serius. Inilah kelebihan anak
Cahaya rembulan menembus jendela kamar Sari, menemaninya yang terduduk di atas ranjang. Air mata membasahi pipinya, membasahi surat yang baru saja dia baca. Surat itu berisi penolakan keras dari orang tuanya terhadap hubungannya dengan Hendra."Aku bingung harus bagaimana, Riana. Orang tuaku tidak merestui hubungan aku dengan Hendra. Hatiku terasa bagaikan teriris pisau. Aku tak habis pikir mengapa orang tuaku begitu menentang hubunganku dengan Hendra. Bagiku, Hendra adalah cinta sejati, pria yang selalu membuatku bahagia dan selalu ada untukku.”Aku mengusap punggung Sari yang baru bercerita setelah aku mendesaknya. Awalnya dia menolak tak ingin hubungannya yang belum mendapat restu diketahui oleh publik. Bagaimanapun Sari adalah orang terdekat yang membantuku selama ini. Dalam keadaan susah sekalipun dia tidak pernah pergi dari sisiku.Di tengah kesedihan yang tak berujung, Sari teringat padaku yang tadi memergoki mereka sedang berdua di dalam ruangan. Meski aku tidak ingin ikut cam