update, kasih komentar biar otornya semangat yaaa
Setelah memikirkan banyak hal aku memutuskan untuk beristirahat sembari menunggu kendaraan yang menjemput kami di hotel transit. Kadang aku berpikir mengapa hidupku sangat rumit. Hanya untuk bertahan mencari sesuap nasi untuk anakku mengapa mereka sangat jahat. Mengingat aku masuk ke keluarga Alvian karena butuh pekerjaan dan berakhir seperti ini. Terasa mereka menjebakku padahal aku hanya ingin membalas budi baik Sang Nyonya rumah. Jika dibandingkan dengan pengorbananku dengan melahirkan keturuan Alvian sangat tidak setimpal. Diusiaku yang masih muda dipaksa menikah dengan orang yang tidak aku cintai sama sekali. Beginikan nasib orang yang tidak punya sepertiku? Dibuang setelah mereka mendapatkan harta Sang Nyonya rumah. Berulang kali keplaku menggeleng, serasa tak percaya jika aku sampai di detik ini. Perjalananku masih panjang untuk masa depan anakku, aku tidak akan menyerah. “Tuan Alvian, mana janjimu dulu? Harusnya kamu lindungi kami dari kejahatan mama kamu,” gumamku menitikka
Kami memulai perjalanan menuju kampung tempat Ferdi bertugas yang baru. Sepanjang perjalanan tidak banyak yang diceritakan lantaran pemandangan alam yang kami jumpai benar-benar menghipnotis pikiran kami untuk menikmatinya. Baru kali ini aku pergi dengan perjalanan yang jauh hingga memakan waktu lama. Tidak terbersit sedikitpun untuk pergi dari keluargaku. Pasti ibu dan ayahku sedang menunggu kabar dariku yang hampir sebulan tidak sempat berbicara meski lewat telpon. Hanya pesan kepada mereka dan kedua adikku yang kukabarkan, bahwa aku dalma keadaan baik-baik saja. Dan untuk sementara belum bisa mengirimkan uang jatah bulanan yang seperti biasa karena kendala ekonomi. Mereka selalu mengerti tentang keadaanku, hanya aku yang belum sanggup bercerita tentang kondisiku yang sudah punya anak saat ini. Dari Bandara Udara Internasional Syamsudin Noor kami menuju ke daerah Kabupaten Kotabaru, salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan. Ibukota kabupaten ini terletak di ujung utara p
“Kamu mau masakin Kak Ferdi?” tanyaku tak percaya. “Ya, ayolah Ri. Aku mau pe-de-ke-te dengan dokter muda itu. Jangan sampai kedahuluan orang lain datang memikatnya. Apalagi kamu, jangan sampai aku kalah saing dengan janda beranak satu.” Sari tertawa menepul pundakku. Miris, di saat seperti ini dia bisa bercanda. Bukan masalah saingan denganku yang tidak level jika dibandingkan dengan banyak gadis di luar sana. Tapi bagaimana jika Ferdi punya calon istri yang sebentar lagi akan dipinang. Aku tidak ingin Sari patah hati. Kutanggapi perkataan Sari sebagai candaan. Selama ini dia tidak pernah merasa aku adalah saingan yang perlu diperhitungkan untuk mendapatkan calon suami. Dengan statusku yang janda beranak satu pasti sudah kalah saing sebelum maju duluan. Lagian aku tidak memikirkan untuk mencari papa baru untuk Andini saat ini. Aku hanya ingin hidup tenang berdua dengan anakku. “Mbak Riana, Andini susah tidur. Panggil-panggil papanya.” Andini yang sejak tadi bersama dengan Siti ti
Aku tetap mendengarkan cerita Roy tentang sikap Alvian yang akhir-akhir ini banyak masalah. Kepergianku menambah dampak psikoligisnya semakin terpuruk. Dia pikir aku tidak akan pergi sejauh ini, dan tetap tinggal di apartement. “Roy, please! Jangan kamu cerita tentang Tuan kamu yang seakan membutihkanku. Kamu tahu sikapnya terakhir sangat membuatku kecewa. Jika memang dia mau memperbaiki hubungan kita tentu bisa bersikap tegas.” “Nona, saya sudah beberapa kali bilang. Kalau Tuan Alvian cinta dengan Nona. Terbukti sejak berpisah dengan Nona beliau tidak pernah bermain perempuan. Tuan Alvian tipe lelaki setia,” kata Roy. “Bohong, kalau memang itu sifat Tuan kamu tentunya dia menentang mamanya. Tapi ini tidak, Roy. Aku bisa apa, selain hanya mempertahankan anakku dan tidak ingin disakiti lagi oleh mamanya dan Dewi.” "Nona, Tuan Alvian bukan tipe lelaki yang mudah menunjukkan perasaannya. Beliau terlahir dari keluarga terhormat, di mana ego dan gengsi menjadi harga mati. Mungkin cara b
Kebahagiaanku dan Alvian yang baru dirajut kembali bagaikan istana pasir di tepi pantai. Indah dan menawan, namun rapuh dihantam ombak kenyataan. Munculnya Weni, mama Alvian, bagaikan badai yang mengancam untuk merobohkan istana cinta kami. Weni kembali tidak menyetujui hubunganku dan Alvian meski mereka sudah memiliki Andini, sebagai cucunya. Dia masih terpaku pada keinginannya untuk menjodohkan Alvian dengan Dewi. Bagi Weni, Dewi adalah satu-satunya wanita yang pantas untuk Alvian. Weni tidak tinggal diam. Dia melancarkan berbagai strategi untuk memisahkanku dan Alvian. Dia berusaha menjelek-jelekkanku di depan Alvian, dan secara diam-diam mengatur pertemuan Alvian dengan Dewi. Hal itu tentu membuat Alvian marah dan semakin benci terhadap mamanya. Suatu hari, Aku menerima telepon dari Weni. Suaranya dingin dan menusuk. “Riana, dengarkan baik-baik. Jauhi Alvian. Kamu tidak pantas untuknya. Pernikahan kalian tidak akan pernah bahagia." Aku terpaku, hati kembali serasa diremas. Perk
Sari yang menyukai Ferdi sangat terkejut melihat Weni yang mengadukan perilakuku kepada Sari. Hal ini tentu kubantah dengan mengatakan hal yang sesungguhnya mengenai Ferdi kepada sahabatku itu. Aku tidak ngin terjadi kesalah pahaman terjadi antara kami. Selama ini Sari sudah banyak membantuku untuk mengasuh Andini dan mendukung hubunganku dengan Alvian. Dia sahabat terbaikku satu-satunya disaat aku terpuruh. “Sari, tolong dengarkan aku. Aku tidak mempunyai hubungan apapaun dengan Dokter Ferdi. Dia yang kena hasutan Mama Weni entah bagaimana caranya,” kataku memohon. “Tapi, Ri. Semua foto yang dikirimkan ke aku itu bukan editan. Sayang sekali aku menghapusnya karena kesal.” “Apa kamu lebih percaya dengan foto-foto itu?” tanyaku tak percaya. Sari terdiam menatapku. Dalam hitungan detik dia berdiri menjauh dan meninggalkanku seorang diri. Aku bingung di saat hubunganku dengan Alvian sudah membaik dan segera kembali ke Surabaya ternyata ada saja yang menjadi batu sandungan. Aku tidak m
Hatiku terasa perih mendengar Sari mengatakan bahwa dia belum memaafkan aku dan tidak ingin tinggal bersama denganku lagi. Aku tahu dia masih terluka dan kecewa dengan fitnah yang dilontarkan oleh Mama mertuaku, Weni. Aku berusaha untuk menenangkannya, tapi dia tetap kukuh dengan keputusannya. Dia mengatakan bahwa dia butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan pikirannya. Aku tak bisa memaksanya untuk tinggal bersamaku. Aku tahu dia butuh waktu untuk menyembuhkan lukanya. Sari tak berkata apa-apa. Dia hanya memelukku erat dan kemudian menutup pintu rumah. Aku melihat pintu yang tertutup rapat. Kulangkahkan kaki pulang dengan perasaan kosong. Persahabatan kami sungguh diuji dengan fitnah dari Weni. Sampai kapa aku terus berada pada masalah rumit yang tek bertepi. Aku kembali ke rumah sendirian. Rumah yang terasa begitu kosong tanpa Sari. Aku duduk di sofa dan termenung. Aku memikirkan semua yang telah terjadi. Semenjak beberapa hari dia pergi hanya celoteh Andini anakku dan Siti yan
Pintu rumah diketuk, aku bangit dan melupakan apa yang dilakukan oleh Alvian dan Dewi. Berusaha berpikir positif dengan peristiwa di luar kendali. Aku percaya Alvia tidak akan mengkhianatiku dan kembali dengan istrinya. “Sari, ada apa?” Aku terkejut melihat Sari berdiri di depan pintu dengan mata sembab. Kuraih tubuhnya mengajaknya masuk rumah. hingga beberapa menit dia tidak biacra hingga menatapku dan minta maaf atas sikapnya selama ini. aku pikir sikap Sari sangat plin plan tapi tak masalah yang penting persahabatan kami tetap terjalin tanpa gangguan orang laai. “Riana, aku minta maaf. Sebenarnya aku sangat cemburu dan benci kepadamu saat ini. tapi aku sekarang tidak punya siapa-siapa di sini. Aku hanya punya kamu, terserah jika setelah ini kamu mengusirku dari sini aku pasrah.” “Sebentar, kamu bicara apa. Ayok cerita jangan dipendam sendiri.” Kemudian dengan terbata-bata diiringi dengan isak tangis Sari menceritakan kejadian yang baru dialami. Dia bertemu dengan Ferdi dan meng