Selama beberapa minggu setelah kepergian Alvian, Aku hidup sendirian membesarkan anak mereka tanpa tunjangan ekonomi. Weni, mama Alvian, tiba-tiba menghilang setelah kecelakaan, membawa semua harta dan tabungan mereka. Aku terpaksa bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dan anakku.Dulu, ketika Weni menjalani proses persidangan entah mengapa dia dibebaskan dengan syarat atas kasus penculikan anakku waktu itu. Hanya Aldi gadungan yang masuk penjara dan temannya yang ikut bersama Aldi waktu itu. Aku sendiri tidak paham dengan proses pengadilan semua aku serahkan kepada suamiku. Jadilah Weni bebas berkeliaran di umum dan sesekali muncul di kantor suamiku selama ini.Aku yang tidak paham dengan Perusahaan memilih diam dan percaya kepada suamiku. Apalagi Perusahaan itu nanti akan jatuh ke tangan Andini anak kami. Ternyata aku ditipu, entah siapa yang bodoh aku atau Alvain yang terlalu lembek dengan mama sendiri.Di tengah kesedihan dan kesulitannya, Aku tetap tak berhenti mencari buk
Aku mulai membersihkan dan merapikan ruang kerja di rumah menata alat-alat jahit dengan rapi dan memastikan semuanya dalam kondisi baik. Melangkah ke ruang kerja, yang selama ini terbengkalai setelah menikah dengan Alvian. Debu menyelimuti ruangan, dan alat-alat jahit yang dulu berkilau kini kusam dan berkarat.Sebuah rasa haru menyelimutiku saat melihat mesin jahit kesayangan, tempat dulu menuangkan kreativitas dan menghasilkan karya-karya indah. Perlahan, mulai membersihkan ruangan. Debu di lap, alat-alat jahit di poles, dan kenangan tentang Alvian mulai terlintas di benakku.Dia ingat bagaimana Alvian selalu meminta berhenti dalam dalam usaha yang aku geluti meski dia tahu aku mempunyai bakat di bidang ini. Menjadi model pertama untuk baju-bajuku sendiri, dan bagaimana selalu memberikan ide-ide kreatif untuk desain baru yang terlintas sesui dengan tren masa kini.Aku tersenyum getir. Alvian memang belum kembali aku akan tetap menunggunya sampai sisa umurku. Dengan tekad yang bulat,
Di balik gemerlap butik, tersembunyi sebuah perburuan cinta yang penuh misteri. Aku, sang pemilik butik, tak henti-hentinya mencari keberadaan Alvian, suamiku yang disembunyikan oleh Weni, sang ibu mertua yang penuh manipulasi.Suasana butik ramai dikunjungi pelanggan. Aku dengan senyum melayani mereka dengan penuh kesabaran. Namun, di balik senyuman ini, tersembunyi rasa cemas dan khawatir. Pikiran terus tertuju pada Alvian, suamiku yang tak kunjung kembali."Riana, kamu baik-baik saja?" tanya Sari, sahabatku yang datang ke butik."Aku baik-baik saja, Sari. Terima kasih sudah perhatian," jawabku, berusaha menyembunyikan kesedihan."Tapi, aku lihat kamu tampak murung. Ada apa?" tanya Sari dengan penuh perhatian.Aku menghela napas panjang. "Aku masih belum tahu keberadaan Mas Alvian. Aku khawatir dia dalam bahaya."Sari memelukku dengan erat. "Jangan khawatir, Riana. Aku yakin kamu akan segera menemukan suamimu. Aku akan selalu membantumu."Selama ini aku terus mencari informasi tenta
Godaan seorang pelanggan wanita yang datang ke butikku cukup membuat mentalku down. Dia terlihat senang melihatku yang sedang hamil tanpa ditemani suami dan bekerja seorang diri. Mina, pelanggan baru yang terlihat aneh setelah beberapa kali memesan baju ke butikku."Wah, Riana, kamu hamil besar?" tanya pelanggan wanita itu dengan nada mengejek. "Selamat ya!"Aku tersenyum dengan canggung. "Terima kasih," jawabku."Tapi, di mana suamimu?" tanya pelanggan wanita itu dengan tatapan yang penuh selidik. "Kenapa dia tidak menemanimu?" Merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu tapi aku tidak ingin menjelaskan tentang keberadaan Alvian kepada orang asing. Mengapa mereka mengusik ranah pribadiku? Barangkali inilah dampak dari orang yang sedang membuat branding di medsod. Usahaku lancar dengan meawarkan produk karyaku di sana. Aku harus bisa menjaga sikap agar mereka tidak masuk dan mengusik kehidupanku."Suamiku sedang sibuk kerja," jawabku dengan singkat.Namun, pelanggan wanita itu tidak pu
Rasa pedih dan marah menyelimuti hatiku saat mengetahui kenyataan pahit tentang Maya. Perempuan yang selama ini kuanggap sebagai pembeli ternyata memiliki niat terselubung. Dia bukan konsumen yang mengagumi karyaku, melainkan seorang pedagang yang ingin mengeruk keuntungan besar dari hasil jerih payahku.Dua bulan lalu aku bertemu dengan Maya sebagai pengagum karyaku. Maya datang kepadaku dengan senyum manis dan pujian setinggi langit untuk bajuku. Dia terkesan dengan desain dan kualitasnya, dan aku pun senang hati menjualnya kepadanya. Namun, di balik sikap ramahnya, dia ternyata menyimpan agenda lain.Sebuah bazaar seni yang ramai dikunjungi orang. Di sebuah stand kecil, aku memamerkan deretan baju hasil karyaku yang penuh warna dan desain unik.Maya dengan senyum manis, "Wow, baju-bajunya keren banget! Desainnya unik dan warnanya cantik-cantik.""Terima kasih! Saya senang Anda menyukainya.""Saya Maya, boleh saya coba beberapa baju?""Tentu saja, silakan!" jawabku dengan bangga men
Meskipun Maya telah memohon maaf dengan berlinang air mata, rasa kecewa dan amarahku masih membara. Kepercayaan yang telah kubangun dengan susah payah runtuh dalam sekejap, dan aku tak bisa begitu saja melupakan pengkhianatannya.Aku menatapnya dengan dingin. Rasa kecewa dan amarah masih membara di dalam diriku. Kepercayaan yang telah kubangun dengan susah payah runtuh dalam sekejap, dan aku tak bisa begitu saja melupakan pengkhianatannya.Maya mendekatku dengan air mata yang mengalir di pipinya. Wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya bergetar karena ketakutan."Maafkan aku," isaknya dengan pilu. "Aku... aku khilaf,” ucapnya sekali lagi saat tahu aku mengajukan tuntukan ke pengadilan. Takut pula rupanya wanita yang penuh dengan tipu muslihat hanya ingin memperdaya wanita hamil seperti diriku.Aku menatapnya dengan dingin. Rasa kecewa dan amarah masih membara di dalam diriku. Kepercayaan yang telah kubangun dengan susah payah runtuh dalam sekejap, dan aku tak bisa begitu saja melupakan peng
Di tengah ruang sidang yang megah dan penuh dengan atmosfer tegang, Anton, pengacaraku yang setia, berdiri dengan penuh keyakinan. Tatapan matanya yang tajam tertuju pada Maya dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Raut wajahnya serius, menunjukkan tekadnya untuk memperjuangkan hak-hakku.Anton melangkah maju dengan langkah yang tegas. Tubuhnya tegap, menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Dia membuka dokumen-dokumen bukti yang telah dia kumpulkan dengan susah payah."Hakim yang terhormat," Anton memulai dengan suara yang tegas dan lantang. Tubuhnya tegap, menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. "Hari ini, saya berdiri di sini untuk mewakili klien saya, Riana, yang telah menjadi korban penipuan dan pengkhianatan oleh Maya dan teman-temannya."Maya dan teman-temannya terlihat gelisah. Mereka sesekali melirik Anton dengan tatapan penuh ketakutan. Wajah mereka pucat pasi, menunjukkan rasa panik dan ketakutan bersama dengan teman-temannya.Anton tak gentar. Dia terus saja b
Beberapa hari setelah persidangan, aku mulai melakukan penyelidikan kecil-kecilan. Aku ingin mengetahui identitas pemilik tatapan itu dan apa hubungannya dengan Maya. Aku yakin bahwa dia bukan orang sembarangan dan memiliki peran penting dalam rencana balas dendam Maya.Penyelidikanku membawaku kepada sebuah fakta yang mengejutkan. Pemilik tatapan itu adalah salah satu anak buah Weni, mertuaku yang masih bersembunyi. Weni adalah dalang di balik penipuan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh Maya. Dia telah lama menyimpan dendam padaku dan ingin menghancurkanku.Aku tak bisa melupakan tatapan itu. Tatapan dingin dan menusuk yang seolah-olah ingin menerobos ke dalam jiwaku. Aku yakin bahwa tatapan itu bukan tatapan biasa, dan pemiliknya memiliki peran penting dalam rencana balas dendam Maya.Aku pun mulai melakukan penyelidikan kecil-kecilan. Aku mencari informasi tentang Maya dan orang-orang di sekitarnya. Aku ingin mengetahui siapa yang membantunya dalam penipuan dan pengkhianatan ter