Godaan seorang pelanggan wanita yang datang ke butikku cukup membuat mentalku down. Dia terlihat senang melihatku yang sedang hamil tanpa ditemani suami dan bekerja seorang diri. Mina, pelanggan baru yang terlihat aneh setelah beberapa kali memesan baju ke butikku."Wah, Riana, kamu hamil besar?" tanya pelanggan wanita itu dengan nada mengejek. "Selamat ya!"Aku tersenyum dengan canggung. "Terima kasih," jawabku."Tapi, di mana suamimu?" tanya pelanggan wanita itu dengan tatapan yang penuh selidik. "Kenapa dia tidak menemanimu?" Merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu tapi aku tidak ingin menjelaskan tentang keberadaan Alvian kepada orang asing. Mengapa mereka mengusik ranah pribadiku? Barangkali inilah dampak dari orang yang sedang membuat branding di medsod. Usahaku lancar dengan meawarkan produk karyaku di sana. Aku harus bisa menjaga sikap agar mereka tidak masuk dan mengusik kehidupanku."Suamiku sedang sibuk kerja," jawabku dengan singkat.Namun, pelanggan wanita itu tidak pu
Rasa pedih dan marah menyelimuti hatiku saat mengetahui kenyataan pahit tentang Maya. Perempuan yang selama ini kuanggap sebagai pembeli ternyata memiliki niat terselubung. Dia bukan konsumen yang mengagumi karyaku, melainkan seorang pedagang yang ingin mengeruk keuntungan besar dari hasil jerih payahku.Dua bulan lalu aku bertemu dengan Maya sebagai pengagum karyaku. Maya datang kepadaku dengan senyum manis dan pujian setinggi langit untuk bajuku. Dia terkesan dengan desain dan kualitasnya, dan aku pun senang hati menjualnya kepadanya. Namun, di balik sikap ramahnya, dia ternyata menyimpan agenda lain.Sebuah bazaar seni yang ramai dikunjungi orang. Di sebuah stand kecil, aku memamerkan deretan baju hasil karyaku yang penuh warna dan desain unik.Maya dengan senyum manis, "Wow, baju-bajunya keren banget! Desainnya unik dan warnanya cantik-cantik.""Terima kasih! Saya senang Anda menyukainya.""Saya Maya, boleh saya coba beberapa baju?""Tentu saja, silakan!" jawabku dengan bangga men
Meskipun Maya telah memohon maaf dengan berlinang air mata, rasa kecewa dan amarahku masih membara. Kepercayaan yang telah kubangun dengan susah payah runtuh dalam sekejap, dan aku tak bisa begitu saja melupakan pengkhianatannya.Aku menatapnya dengan dingin. Rasa kecewa dan amarah masih membara di dalam diriku. Kepercayaan yang telah kubangun dengan susah payah runtuh dalam sekejap, dan aku tak bisa begitu saja melupakan pengkhianatannya.Maya mendekatku dengan air mata yang mengalir di pipinya. Wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya bergetar karena ketakutan."Maafkan aku," isaknya dengan pilu. "Aku... aku khilaf,” ucapnya sekali lagi saat tahu aku mengajukan tuntukan ke pengadilan. Takut pula rupanya wanita yang penuh dengan tipu muslihat hanya ingin memperdaya wanita hamil seperti diriku.Aku menatapnya dengan dingin. Rasa kecewa dan amarah masih membara di dalam diriku. Kepercayaan yang telah kubangun dengan susah payah runtuh dalam sekejap, dan aku tak bisa begitu saja melupakan peng
Di tengah ruang sidang yang megah dan penuh dengan atmosfer tegang, Anton, pengacaraku yang setia, berdiri dengan penuh keyakinan. Tatapan matanya yang tajam tertuju pada Maya dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Raut wajahnya serius, menunjukkan tekadnya untuk memperjuangkan hak-hakku.Anton melangkah maju dengan langkah yang tegas. Tubuhnya tegap, menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Dia membuka dokumen-dokumen bukti yang telah dia kumpulkan dengan susah payah."Hakim yang terhormat," Anton memulai dengan suara yang tegas dan lantang. Tubuhnya tegap, menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. "Hari ini, saya berdiri di sini untuk mewakili klien saya, Riana, yang telah menjadi korban penipuan dan pengkhianatan oleh Maya dan teman-temannya."Maya dan teman-temannya terlihat gelisah. Mereka sesekali melirik Anton dengan tatapan penuh ketakutan. Wajah mereka pucat pasi, menunjukkan rasa panik dan ketakutan bersama dengan teman-temannya.Anton tak gentar. Dia terus saja b
Beberapa hari setelah persidangan, aku mulai melakukan penyelidikan kecil-kecilan. Aku ingin mengetahui identitas pemilik tatapan itu dan apa hubungannya dengan Maya. Aku yakin bahwa dia bukan orang sembarangan dan memiliki peran penting dalam rencana balas dendam Maya.Penyelidikanku membawaku kepada sebuah fakta yang mengejutkan. Pemilik tatapan itu adalah salah satu anak buah Weni, mertuaku yang masih bersembunyi. Weni adalah dalang di balik penipuan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh Maya. Dia telah lama menyimpan dendam padaku dan ingin menghancurkanku.Aku tak bisa melupakan tatapan itu. Tatapan dingin dan menusuk yang seolah-olah ingin menerobos ke dalam jiwaku. Aku yakin bahwa tatapan itu bukan tatapan biasa, dan pemiliknya memiliki peran penting dalam rencana balas dendam Maya.Aku pun mulai melakukan penyelidikan kecil-kecilan. Aku mencari informasi tentang Maya dan orang-orang di sekitarnya. Aku ingin mengetahui siapa yang membantunya dalam penipuan dan pengkhianatan ter
5 tahun berlaluUang memang segalanya. Semenjak aku memiliki uang untuk mencari keberadaan Alvian, suamiku terasa begitu mudah dengan membayar orang-orang yang kompeten. Setelah beberapa bulan mengurus kasus di butik, akhirnya aku mendapatkan informasi lagi tentang keberadaan Alvian yang disembunyikan oleh Weni. Informasi yang aku dapatkan cukup mengejutkan. Ternyata Alvian disembunyikan di sebuah vila terpencil di pinggiran kota. Jantungku berdebar kencang. Akhirnya, setelah sekian lama aku akan bertemu kembali dengan suamiku. Tanpa membuang waktu, aku langsung menyewa detektif swasta untuk membantuku menemukan vila tersebut. Detektif swasta itu bekerja dengan sangat profesional dan dalam beberapa hari saja, dia berhasil menemukan lokasi vila tersebut.Aku pun segera bergegas menuju vila tersebut. Rasa gugup dan tak sabar bercampur aduk di dalam diriku. Aku tak sabar untuk bertemu kembali dengan Alvian dan menjelaskan semua kesalahpahaman yang terjadi.Sejak beberapa bulan terakhir
Hatiku berdebar kencang saat melihat Alvian, suamiku tercinta, melangkah kembali ke rumah setelah 5 tahun menghilang. Rasa haru dan bahagia membanjiri diriku, tak tertahan lagi. Alvian tampak kurus dan pucat, bekas trauma penculikan masih terlihat jelas di wajahnya. Namun, senyum Andini dan Aldo, anak-anak kami, bagaikan mentari pagi yang menerangi jiwanya. Saat Alvian melangkah masuk ke rumah, aku langsung memeluknya erat. Tubuhnya terasa kaku dan dingin, menandakan rasa takut dan trauma yang masih menghantui. Aku membelai lembut rambutnya dan mencium keningnya, mencoba memberikan rasa aman dan nyaman. Andini memeluk Alvian dengan erat, air matanya mengalir membasahi pipinya. Aldo, dengan tingkah polos dan lucunya, menari-nari di sekitar Alvian, berusaha menarik perhatian sang ayah. Aldo belum mengenal sosok Alvian. Aku menjelaskan jika selama dia menghilang aku hamil dan lahirlah Aldo. Alvian tersenyum meski terlihat masih kebingungan. Matanya menatap ke sekeliling ruangan dengan
Di tengah kebahagiaan bersama Alvian, aku tak henti-hentinya memikirkan masa depan keluarga kami. Ingin membangun kehidupan yang indah dan stabil bersama Alvian dan anak-anak, Andini dan Aldo. Namun, aku sadar bahwa kami tidak bisa hanya mengandalkan Alvian yang saat ini masih dalam pemulihan pasca kecelakaan dan amnesia. Aku ingin membantu Alvian untuk mendapatkan kembali apa yang menjadi hak kita, termasuk perusahaan yang pernah ditangani sebelum amnesia.Aku mulai pencarian dengan mengunjungi beberapa kebun dan percetakan yang dulu dikelola Alvian. Dia bertemu dengan para karyawan lama yang masih mengenalnya dan Alvian. Mereka menceritakan banyak kisah tentang masa lalu Alvian dan Yeni, tentang bagaimana mereka berdua membangun perusahaan dari nol dengan kerja keras dan dedikasi. Riana terharu mendengar kisah-kisah tersebut, dan dia semakin yakin bahwa Alvian adalah pria yang luar biasa dan pantas mendapatkan yang terbaik.Melangkah masuk ke sebuah percetakan tua, "Permisi, apakah