Di kantor polisi aku, Sari, Dewi, dan Anita terlibat dalam perkelahian sengit. Suara teriakan dan pukulan memenuhi ruangan. Petugas kewalahan melerai kami. Seperti balsa denadam aku melakukan aksi heroic. Hingga petugas menarik kami dengan ancaman.Aku diam dengan napas memburu. Setelah petugas lalai aku kembali menyerang Dewi dengan penuh amarah."Kau akan membayar semua yang kau lakukan padaku, Dewi!"Dengan beringas kuterjang tubuh yang seperti gitar menggoda kau madam. Rupanya dia berniat merayu para lelaki yang ada di sana. Cuih … murahan sekali dengan memanfaatkan tubuhnya yang kotor.Dewi menangkis seranganku dengan tangkas. "Aku tidak akan pernah kalah darimu, Riana!"Dewi dengan beringas berusaha menarikku. Tapi aku belum mau kalah. Petugas kembali menarik kami. Entah kekuatan dari mana ku tidak gentar jika mereka ikut menghukumku kali ini. Siapa yang tidak marah jika usaha yang dirintis diobrak-abrik oleh orang lain.Sari mencoba melerai kami "Hentikan! Kalian berdua harus t
Malam itu saat terjadinya kecelakaan, Dokter mendiagnosis Alvian dengan cedera otak traumatis yang parah. Dampaknya, kemampuannya untuk berbicara, bergerak, dan bahkan memahami lingkungan sekitarnya, menjadi sangat terbatas. Hatiku hancur melihat keadaannya. Alvian, yang dulu ceria dan penuh tawa, kini terjebak dalam dunianya sendiri. Di balik tembok putih rumah sakit, Alvian terbaring tak berdaya. Tubuhnya terbelenggu mesin-mesin penunjang kehidupan, wajahnya pucat pasi dengan selang oksigen yang menjuntai di hidungnya. Matanya yang dulu berbinar penuh semangat, kini kosong menatap langit-langit ruangan. Dokter mendiagnosis Alvian dengan cedera otak traumatis yang parah akibat kecelakaan yang dialaminya. Dokter yang baru saja selesai memeriksa Alvian melangkah keluar dari ruangan, raut wajahnya diliputi kesedihan. "Cedera otak traumatis yang parah," katanya lirih kepada kami yang menunggu dengan cemas. "Kemungkinan pemulihannya kecil, dan..." Suaranya tercekat, tak sanggup melanjutk
Beberapa tahun lalu, sebelum aku menjadi seperti sekarang ini. Aku butuh uang untuk biaya pengobatan orang tuaku. Aku mendapat tawaran untuk menjadi perawat pribadi untuk istri Alvian. Saat itu aku baru lulus keperawatan dan belum mendapat pekerjaan, Yeni datang memintaku menjadi perawat untuknya. Selama 3 tahun aku melakukan tugasku dengan baik. Bahkan Yeni menganggapku adik sendiri. Dia tidak punya keluarga selain Alvian suaminya.Di rumah sakit, ruang rawat inap. Waktu itu aku sedang duduk di samping ranjang tempat tidur orang tuaku yang sedang sakit sedih dan khawatir melihat kondisi kedua orang tuaku yang sakit bergantian.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan seorang wanita cantik bernama Yeni masuk.Dengan suara hangat menyapa, “Riana, bagaimana keadaan orang tuamu?”Tentu aku terkejut melihat wanita yang baru aku kenal ketika sama-sama masuk ke dalam rumah sakit. Wanita yang bersama suaminya yang terlihat angkuh dan dingin. Yeni datang ke rumah sakit untuk pengobatan dirinya. T
Peristiwa itu yang menyebabkan aku tidak suka dengan sikap Weni. Sebagai orang tua seharusnya mengarahkan anak ke jalan yang benar, bukan merampas hak yang buka seharusnya hanya untuk mengejar napsu dunia. Berulangkali Weni mencoba merampas harta milik Yeni tapi sering gagal. Alvian yang semula percaya dengan ibunya kini alah menjadi korban akibat keserahan ibunya sendiri.Hari ini adalah jadwal pengobatan Alvian yang seharusnya sudah dioperasi akibat cerdera pada otaknya. Infeksi pada jaringan tersebut membutuhkan kondisi yang lebih baik. meski berulangkali drop tapi menurut dokter Alvian bisa melakukan operasi sedot cairan yang ada di kepala. Alvian terlihat membuka mata sadar dari pingsannya.Udara pagi di rumah sakit membawa aroma steril yang menusuk. Alvian yang berada di ranjang pasien, terlihat gugup dan cemas bercampur aduk di benaknya. Hari ini adalah jadwal operasi pengangkatan cairan di kepalanya, sebuah prosedur krusial pasca kecelakaannya beberapa bulan lalu.Cedera otak
Akankah suami saya berhasil melewati masa kritis ini? Apakah saya harus kehilangan dia untuk selamanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiran saya. Akankah saya mampu menjadi istri dan ibu yang kuat tanpa dia?Hari-hari setelah kabar komplikasi suami saya terasa bagaikan mimpi buruk. Rasa takut dan keputusasaan menyelimuti hati saya dan keluarga. Dokter menjelaskan bahwa infeksi yang diderita suami saya sangat parah dan dia membutuhkan perawatan intensif.Ruang ICU, Rumah Sakit, dokter dengan wajah serius, nada suara pelan namun tegas. "Nona, kondisi Tuan Alvian saat ini sangat kritis. Infeksi yang dideritanya telah menyebar ke seluruh tubuh dan melemahkan organ-organ vitalnya. Kami akan melakukan segala upaya untuk menyelamatkannya, namun perlu diingat bahwa risikonya sangat tinggi."Aku terduduk lemas, air mata mengalir deras. "Dokter, tolong lakukan apa pun yang bisa Anda lakukan untuk menyelamatkan suami saya. Saya mohon..."Ayah dan Faris saling berpegangan tangan,
Setelah beberapa minggu dirawat akhirnya Alvian diperbolehkan pulang. Suasana di ruangan pasien tampak ceria dengan dilepasnya semua atribut selang yang menempel di tubuh suamiku.Di ruang rawat pasien rumah sakit dokter tersenyum lebar. "Tuan Alvian, kabar baik! Kondisimu sudah stabil dan kamu diperbolehkan pulang ke rumah hari ini."Alvian tersenyum mengembang. "Alhamdulillah, Dok. Terima kasih banyak atas perawatannya."Aku pun menangis haru. "Syukurlah, Mas. Akhirnya kamu bisa pulang ke rumah."Aku memeluk erat suamiku dengan napas lega. Setelah sekian lama kami menunggu akhirnya bahagia itu datang menjemput kami. Aku sadar usia kami sangat jauh tapi rasa cinta kami sangat dekat, bahkan tidak terpisah meski cobaan silih berganti menimpa hubungan ini.Faris melompat dan senyum lebar, tawa, dan air mata. "Mas Alvian! Aku senang sekali kamu sembuh dan diperbolehkan pulang cepat!"Dokter menulis catatan. "Sebelum pulang, ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan. Kamu masih harus mi
Awalnya, Weni begitu bahagia saat Dewi menjadi istri pilihan Alvian, pria yang dicintainya. Dewi tampak sempurna cantik, cerdas, dan penuh perhatian. Weni bahkan rela mengalah dan membelanya dengan menjauhkan aku dan merelakan Alvian untuk Dewi, demi kebahagiaan anak sahabatnya.“Di ruangan ini 6 tahun yang lalu, suasana di ruangan dipenuhi dengan kehangatan dan kebahagiaan. Mama dan Dewi tertawa bersama, saling bercerita tentang impian mereka untuk masa depan,” Alvian mulai bercerita.“Mas diam saja dan menurut perintah Mama?” tanyaku penasaran.“Terpaksa, kamu tahu aku pernah cerita jika aku dijebak Dewi. Tak kusangka mereka bersekongkol selama ini. Aku sangat bodoh, saking sayangnya rasa cintaku pada mama sampai buat tidak melihat ketulusanmu selama merawat Yeni. Aku sangat menyesal, Riana.”“Sudahlah jangan diingat lagi. Sekarang aku kasihan mendengar kondisi mama saat ini. Kasihan dia, kata Hendra kondisinya parah,” lanjut Alvian menarik napas panjang.“Kenapa dengan mama, apa ya
Setelah menuntaskan hasrat kami di kantor kami dengan cepat membersihkan kekacauan yang ada di ruangan. Kertas berserakan tanpa sadar kena dorong tangan Alvian yang meraba ke mana-mana. Kami tersenyum puas atas penyatuan yang tidak terencana kali ini.“Sensasinya sangat beda,” kata Alvian tertawa lebar.Aku tersipu malu membersihkan diri dan mengganti pakaian yang sudah kusut. Kami berdua mandi bersama sembari mengulang percintaan yang tiada habisnya. Selama menikah dengan Alvian baru kali ini aku bercinta di kantor milik Yeni.Sembari saling menyabun aku menatap Alvian dengan intens di bawah shower. Dia balik menatapku dengan bibir yang basah terkena air. Terlihat sangat seksi di mataku, aku ingin tidak pernah putus rasa ini.“Aku mencintaiku, Mas. Kamu sangat tampan,” ujarku tanpa melu memujinya.“Aku juga, Sayang. Rasanya aku tidak ingin pulang, kita menginap saja di sini,” katanya jahil.“Nakal, anak-anak pasti akan mencari kita.”“Hmm, aku jadwalkan untuk kita bulan mau, bagaiman