Akankah suami saya berhasil melewati masa kritis ini? Apakah saya harus kehilangan dia untuk selamanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiran saya. Akankah saya mampu menjadi istri dan ibu yang kuat tanpa dia?Hari-hari setelah kabar komplikasi suami saya terasa bagaikan mimpi buruk. Rasa takut dan keputusasaan menyelimuti hati saya dan keluarga. Dokter menjelaskan bahwa infeksi yang diderita suami saya sangat parah dan dia membutuhkan perawatan intensif.Ruang ICU, Rumah Sakit, dokter dengan wajah serius, nada suara pelan namun tegas. "Nona, kondisi Tuan Alvian saat ini sangat kritis. Infeksi yang dideritanya telah menyebar ke seluruh tubuh dan melemahkan organ-organ vitalnya. Kami akan melakukan segala upaya untuk menyelamatkannya, namun perlu diingat bahwa risikonya sangat tinggi."Aku terduduk lemas, air mata mengalir deras. "Dokter, tolong lakukan apa pun yang bisa Anda lakukan untuk menyelamatkan suami saya. Saya mohon..."Ayah dan Faris saling berpegangan tangan,
Setelah beberapa minggu dirawat akhirnya Alvian diperbolehkan pulang. Suasana di ruangan pasien tampak ceria dengan dilepasnya semua atribut selang yang menempel di tubuh suamiku.Di ruang rawat pasien rumah sakit dokter tersenyum lebar. "Tuan Alvian, kabar baik! Kondisimu sudah stabil dan kamu diperbolehkan pulang ke rumah hari ini."Alvian tersenyum mengembang. "Alhamdulillah, Dok. Terima kasih banyak atas perawatannya."Aku pun menangis haru. "Syukurlah, Mas. Akhirnya kamu bisa pulang ke rumah."Aku memeluk erat suamiku dengan napas lega. Setelah sekian lama kami menunggu akhirnya bahagia itu datang menjemput kami. Aku sadar usia kami sangat jauh tapi rasa cinta kami sangat dekat, bahkan tidak terpisah meski cobaan silih berganti menimpa hubungan ini.Faris melompat dan senyum lebar, tawa, dan air mata. "Mas Alvian! Aku senang sekali kamu sembuh dan diperbolehkan pulang cepat!"Dokter menulis catatan. "Sebelum pulang, ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan. Kamu masih harus mi
Awalnya, Weni begitu bahagia saat Dewi menjadi istri pilihan Alvian, pria yang dicintainya. Dewi tampak sempurna cantik, cerdas, dan penuh perhatian. Weni bahkan rela mengalah dan membelanya dengan menjauhkan aku dan merelakan Alvian untuk Dewi, demi kebahagiaan anak sahabatnya.“Di ruangan ini 6 tahun yang lalu, suasana di ruangan dipenuhi dengan kehangatan dan kebahagiaan. Mama dan Dewi tertawa bersama, saling bercerita tentang impian mereka untuk masa depan,” Alvian mulai bercerita.“Mas diam saja dan menurut perintah Mama?” tanyaku penasaran.“Terpaksa, kamu tahu aku pernah cerita jika aku dijebak Dewi. Tak kusangka mereka bersekongkol selama ini. Aku sangat bodoh, saking sayangnya rasa cintaku pada mama sampai buat tidak melihat ketulusanmu selama merawat Yeni. Aku sangat menyesal, Riana.”“Sudahlah jangan diingat lagi. Sekarang aku kasihan mendengar kondisi mama saat ini. Kasihan dia, kata Hendra kondisinya parah,” lanjut Alvian menarik napas panjang.“Kenapa dengan mama, apa ya
Setelah menuntaskan hasrat kami di kantor kami dengan cepat membersihkan kekacauan yang ada di ruangan. Kertas berserakan tanpa sadar kena dorong tangan Alvian yang meraba ke mana-mana. Kami tersenyum puas atas penyatuan yang tidak terencana kali ini.“Sensasinya sangat beda,” kata Alvian tertawa lebar.Aku tersipu malu membersihkan diri dan mengganti pakaian yang sudah kusut. Kami berdua mandi bersama sembari mengulang percintaan yang tiada habisnya. Selama menikah dengan Alvian baru kali ini aku bercinta di kantor milik Yeni.Sembari saling menyabun aku menatap Alvian dengan intens di bawah shower. Dia balik menatapku dengan bibir yang basah terkena air. Terlihat sangat seksi di mataku, aku ingin tidak pernah putus rasa ini.“Aku mencintaiku, Mas. Kamu sangat tampan,” ujarku tanpa melu memujinya.“Aku juga, Sayang. Rasanya aku tidak ingin pulang, kita menginap saja di sini,” katanya jahil.“Nakal, anak-anak pasti akan mencari kita.”“Hmm, aku jadwalkan untuk kita bulan mau, bagaiman
Aku tak sangka jika Dewi sampai melakukan hal sekeji itu. Selama kami berteman sejak SMP dia memang manipulatif dengan berbagai hal yang menyangkut kesenangannya. Aku tidak heran ketika kami bertemu dalam perjalanan ke Perkebunan waktu itu. Dia ingin membuat Alvian jauh dan tidak bertemu denganku.Ingatanku melayang pada kejadian yang tanpa sengaja. Mana mungkin kita bertemu di luar rencana dan Dewi menawarkan kebaikan dengan membayar hotel trasit waktu itu. Setelah aku analisa ternyata dia hanya ingin mencari informasi tentangku memastikan aku mengandung anak Alvian atau tidak.Beruntung aku tiba di Perkebunan dengan selamat. Berkat Sari aku dapat melewati hari-hari terberatku selama tinggal hampir satu tahun di sana.“Riana, Mama minta maaf jika selama ini Mama banyak salah terhadapmu,”Weni yang terbaring di ranjang menggenggam tanganku. Berulangkali mengucap kata maaf kujawab dengan anggukan. Sering terdengar isak tangis lirih di bibir Wanita yang sudah berumur itu.“Al, mama min
Aku dan Alvian saling menatap. Ayah pernah bercerita jika Weni yang merupakan wanita di masa lalu pernah berselingkuh dan akhirnya mereka berpisah. Aku jadi berpikir, jika hal ini yang menyebabkan Weni tidak mau menjalin hubungan dengan ayah lagi.“Lantas apa yang Mama lakukan?” tanya Alvian dengan nada bergetar.“Mama … Mama jadi simpanan pria kaya. Hanya itu yang dapat Mama lakukan , karena mencari pekerjaan sangat sulit dan Sandiaza belum bisa memberikan nafkah. Kami masih sekolah. Tidak mungkin kami melanjutkan hubungan saat itu. Mama pikir Sandiaza akan lebih baih jika berpisah denganku.”“Jadi … jadi Mama sangat menderita saat itu?” tanya Alvian menggenggam erat tangan Weni.“Tidak juga. Mama menikmati menjadi simpanannya dengan begitu masih bisa mengurusmu dengan baik. Aku berjanji untuk menjadikan anakku seutuhnya karena aku sudah divonis dokter tidak bisa punya anak.”“Ma …!” ucap Alvian tercekat.“Mama menderita penyakit serius dalam rahim saat remaja. Karena tidak punya uan
“Mama, aku ….”“Riana, Mama minta maaf. Mungkin umurku tidak panjang lagi. Mama hanya minta tolong, jika tidak sempat bertemu dengan ayahmu, tolong mintakan maaf kepada ayah. Mama tidak bermaksud untuk meninggalkan dia dan berselingkuh darinya. Mama terpaksa melakukan itu,” ucapnya dengan memohon.“Ma, apa Mama minta bertemu dengan ayah. Aku aku akan minta Ayah ke sini,” kataku kepada Weni.“Tidak perlu, Nak. Mama sudah sangat senang Alvian masih menganggap Mama sebagai keluarganya. Setelah jahat kepada kalian. Ternyata hatimu seputih mutiara. Mama salah, sudah membuang berlian sepertimu.”Kami berpelukan dengan hangat. Baru kali ini aku merasakan Weni berbeda dari yang selama ini yang aku kenal. Dia menatapku berulangkali dan memeluk, setelahnya pamit masuk ke kamar bersama dengan Alvian. Kubiarkan pintu terbuka, karena secara agama mereka bukan mukhrim dan tidak boleh berdekatan. Demi menjaga perasaan Weni dan Alvian aku membiarkan mereka berdua saat ini.Di bawah remang-remang lam
Di samping ranjang Weni, di ruang rawat rumah sakit yang bersih namun terasa dingin dan steril. Di atas ranjang, Weni terbaring lemah dengan selang infus tertancap di tangannya. Wajahnya pucat dan terlihat lelah, namun matanya masih berbinar dengan semangat hidup. Di samping ranjang, aku dan Alvian duduk menemaninya. Aku menggenggam tangan Weni dengan erat, sedangkan Alvian duduk di kursi sampingku dengan tatapan cemas.Aku melihatnya sedih dan khawatir, namun berusaha untuk tetap tegar. Aku menggenggam tangan Weni dengan erat, seolah ingin memberikannya kekuatan. Sesekali, aku mengusap air mata yang mengalir di pipiku.Alvian terlihat cemas dan gelisah. Dia mondar-mandir di ruangan, sesekali berhenti untuk melihat Weni dengan tatapan penuh kasih sayang. Dia mengusap dahinya berkali-kali, menunjukkan rasa khawatirnya.Weni terlihat lemah dan lelah, namun matanya masih berbinar dengan semangat hidup. Dia tersenyum tipis saat melihat aku dan Alvian, seolah ingin memberikan kami ketenang