**Kiran terdiam. Yang ia takutkan akhirnya terjadi. Bagaimanapun, ia memang harus menceritakan tentang Nevia suatu saat. Dan sekarang ternyata saat itu tiba."Kiran, apa pertanyaanku bikin kamu nggak nyaman? Aku minta maaf kalau begitu." Karan berkata dengan serius. Wajahnya mendung kelabu. "Tapi aku bener-bener penasaran.""Kenapa? Mau membandingkan aku sama dia? Oh, udah pasti aku kalah jauh, Mas. Dia cantik seperti bidadari."Karan buru-buru menggeleng keras. "Bukan, bukan begitu. Aku cuma penasaran. Lagi pun, meski kamu bilang dia secantik bidadari, tapi buat aku, kamu yang paling cantik."Segera saja, kedua pipi Kiran kembali merona. Ia mengalihkan pandang dan tidak bisa menahan senyum. Karan menyebutnya cantik."Aku nggak bohong," sambung pria itu seraya mendekatkan posisinya ke arah Kiran. Ia pandangi wajah perempuan itu lekat. Ia mendekat untuk kembali mendaratkan ciuman mesra di atas bibirnya. "Kamu yang paling cantik. Dan lebih-lebih lagi malam ini. Maaf kalau mungkin aku t
**"Loh, Pak Karan nggak apa-apa?"Karan menghela napas berkali-kali. Berusaha menahan pening yang tiba-tiba menghampiri kepalanya. Tidak, ia harus mengendalikan diri dan tidak boleh menyusahkan istrinya di tempat ini."Pak, Karan, saya–""Maaf, saya harus ke toilet. Permisi." Ia berucap sembari bangkit dari kursinya. Meninggalkan si gadis yang kebingungan ke arah sudut ruangan di mana papan bertuliskan toilet berada. Ia di sana, membasuh muka dan menghela napas berkali-kali. Meredakan gemuruh misterius yang seperti memenuhi gendang telinga meski nyatanya ruangan itu sunyi senyap."Aku nggak apa-apa," bisiknya kepada diri sendiri. " Please, aku nggak apa-apa. Aku nggak boleh terus begini. Aku harus lawan.""Ah, Pak Karan!" Oh, sial sekali. Ternyata gadis itu masih ada di sana. Ia mencegat Karan yang kembali ke mejanya untuk mengambil buku yang tadi ia pinjam."Ini saya baru nelepon Kak Nevia. Katanya dia kok nggak tau kalo Pak Karan ada di sini?""Ah?""Tapi katanya dia juga mau langs
**"Bener, Ki? Aku cinta sama dia?"Kiran menelan saliva. Sungguh, ini terasa menyesakkan. Bukankah ia sudah bertekad untuk tidak mengatakan kebohongan kepada Karan? Tapi lihatlah itu, betapa pria rupawan itu sudah terlihat agak bimbang hanya dengan Kiran mengatakan bahwa Karan mencintai Nevia?Haruskah Kiran menjadi egois dan berdusta saja?Tapi aku adalah istrimu yang sah, Mas. Apakah aku salah jika aku berdusta? Aku hanya ingin mempertahankan kamu. Mempertahankan rumah tangga kita."Sebenarnya, Mas. Nevia memaksa mendekatimu meski kita sudah menikah. Laki-laki mana yang nggak tertarik sama gadis secantik dia, sementara seperti yang aku bilang, kamu nggak cinta sama aku. Nevia bisa menggunakan kesempatan itu buat ngambil alih keadaan. Dia ngerebut kamu dari aku."Tidak, tidak, tidak. Kiran memejamkan mata dengan rasa bersalah membakar habis dirinya dari dalam. Sebesar itu dusta yang ia sudah ucapkan. Namun sekali lagi, Kiran melakukannya sebab ia harus mempertahankan rumah tangga y
**Matahari sudah berpijar dengan terang di luar sana, namun Kiran enggan untuk beranjak. Ia terlalu nyaman, bergelung dalam pelukan lelaki yang telah bertahun-tahun memiliki hatinya. Hangat terasa, membuat Kiran bagai melayang di antara awan-awan kapas."Kenap nggak mau bangun, hm?"Kiran terkesiap. Ternyata suaminya tahu bahwa dirinya tadi sempat membuka mata sebentar."Aku nggak keberatan kamu pandangin kayak tadi. Justru seneng. Kenapa malah pura-pura pejamin mata?" Lelaki itu tersenyum menggoda, membuat wajah Kiran bersemu tanpa ampun. Ternyata Karan tahu bahwa ia sedang terkagum-kagum memperhatikan wajahnya."Kamu ganteng, Mas." Akhirnya, Kiran bertutur dengan jujur."Iya, aku tau.""Aku suka banget.""Kalau nggak ganteng, masihkah tetep suka?"Kiran mengangkat alis. Pertanyaan macam apa itu? Nah, meski demikian, ia kembali tersenyum. Ia tangkup kedua pipi tirus Karan dengan kedua tangan. "Kalau itu adalah kamu, mau gimanapun adanya, aku tetap akan suka.""Masih pagi, Ki.""Kena
**"Apa kamarnya sekotor itu?"Kiran yang baru saja sampai di kaki tangga, tentu saja tidak seketika mengerti saat suaminya bertanya demikian. Sebenarnya, karena ia sedang sibuk memikirkan ini dan itu. Maka dari saat Karan bertanya, ia jadi sedikit linglung."Kamu kecapean, kah? Sini, duduk sini dulu." Karan meraih tangan istrinya dan membawanya duduk berhadapan di meja counter dapur. "Apa kamarnya sekotor itu, sampai kamu butuh waktu berjam-jam buat bersihkan?""Oh, iyakah?" Kiran menanggapi, ia serius tidak merasa, berapa lama waktu sudah berlalu. "Maaf kalau aku kelamaan di atas, Mas. Kamu jadi kerjain semuanya sendirian."Karan tersenyum. Ia menggusak lembut surai perempuan di hadapannya itu. "Maaf juga, kamu jadi bersihin kamarku sendirian. Capek banget, ya?""Nggak, kok. Nggak banyak yang perlu dibersihkan. Karena pada dasarnya, emang kamu orangnya rapi.""Terus, kok lama?""Aku seneng aja berada di kamar kamu."Itu benar. Selain debu, Kiran tidak menemukan apapun yang bisa ia b
**Rencana pernikahan?Karan tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Pria muda di hadapannya itu tidak tampak sedang bercanda. Rencana pernikahan apa yang ia bicarakan?"Ma-maaf? Saya nggak ngerti apa yang–""Apa Pak Karan nggak ada rencana kembali ke kantor? Kami akan dengan senang hati menunggu kedatangan bapak lagi. Saya yakin, kinerja perusahaan juga akan lebih baik kalau bapak kerja lagi.""Itu ....""Bu Nevia kayaknya kehilangan banget, Pak. Kasihan. Perempuan sebaik Ibu Nevia sayang banget kalau Bapak tinggalkan."Kepala Karan yang tadinya tidak apa-apa mendadak kembali pusing. Bayang-bayang buram seperti berkelebatan memenuhi benaknya. Ia tidak bisa menebak bayangan apa itu, sebab segalanya terasa sangat buram. Tapi sungguh, kepalanya pusing."Kiran?" Ia menyebut nama itu pelan. Nama yang belakangan selalu terasa menjadi oase ketika ia tenggelam dalam keadaan sulit seperti ini. "Kiran, cepat ke sini.""Bapak, mau titip salam sama ibu Nevia, nggak? Saya masih akan balik kantor
**“Mas, ini udah siang. Aku harus bangun. Sanaan dikit, dong!”“Hmm ….”“Please, ah, nanti aku telat ke kantor, loh, Mas.”Kiran mendorong-dorong tubuh sang suami agar menjauh darinya, meski lelaki itu keras kepala dan justru kian menempel.“Mas, ish!”“Kamu mau pergi hari ini, Ki?” Karan akhirnya mengijinkan sang istri menjauh sedikit. Ia berusaha membuka matanya yang terasa perih.“Aku kan mesti ke kantor, Mas." Kiran tersenyum, ia menangkup pipi pria di sampingnya itu dengan kedua tangan. Menikmati indahnya paras meski yang bersangkutan baru saja bangun tidur. Ah, di mata Kiran, Karan tidak pernah tidak tampan. Namun, lelaki itu cemberut sebab ia tidak ingin tinggal di rumah sendirian hari ini. “Nggak bisakah besok atau besok atau besok aja kamu perginya, Ki? Aku nggak mau kamu tinggalin.”Kiran terkekeh pelan, justru senang sekali dengan mode manja sang suami yang seperti ini. Ia menggusak lembut rambut pria itu dengan penuh sayang.“Ada kewajiban yang aku harus kerjakan lah, M
**“Remnya nggak berfungsi!” Kiran berteriak keras, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Namun satu yang pasti berada dalam benaknya, maut berada di depan mata. Sebenarnya jika hanya dirinya yang terancam, ia tidak peduli. Namun sekarang ia sedang berada di jalan umum dan mungkin akan melibatkan banyak orang jika terjadi kecelakaan.“Tolong!” Perempuan itu menjerit, mengharap bantuan yang sepertinya mustahil. “Ya Tuhan, tolong!”Keringat dingin mengalir membasahi punggung Kiran. Ia menggeleng, berusaha mengumpulkan kembali akal sehatnya. Terbayang wajah sang suami beserta kedua mertua, entah apa yang akan terjadi jika dirinya mati di sini. Terutama Karan, yang belakangan tampak tak bisa sama sekali jauh dari dirinya.“Nggak, aku nggak bisa mati sekarang!” Dua tetes air mata meluncur membasahi pipi sementara Kiran masih berusaha menginjak pedal gas.Perempatan ramai itu sudah tampak di depan sana. Kedua iris gelap perempuan itu membeliak gugup untuk memindai daerah sekitar. Ada semak