**Rencana pernikahan?Karan tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Pria muda di hadapannya itu tidak tampak sedang bercanda. Rencana pernikahan apa yang ia bicarakan?"Ma-maaf? Saya nggak ngerti apa yang–""Apa Pak Karan nggak ada rencana kembali ke kantor? Kami akan dengan senang hati menunggu kedatangan bapak lagi. Saya yakin, kinerja perusahaan juga akan lebih baik kalau bapak kerja lagi.""Itu ....""Bu Nevia kayaknya kehilangan banget, Pak. Kasihan. Perempuan sebaik Ibu Nevia sayang banget kalau Bapak tinggalkan."Kepala Karan yang tadinya tidak apa-apa mendadak kembali pusing. Bayang-bayang buram seperti berkelebatan memenuhi benaknya. Ia tidak bisa menebak bayangan apa itu, sebab segalanya terasa sangat buram. Tapi sungguh, kepalanya pusing."Kiran?" Ia menyebut nama itu pelan. Nama yang belakangan selalu terasa menjadi oase ketika ia tenggelam dalam keadaan sulit seperti ini. "Kiran, cepat ke sini.""Bapak, mau titip salam sama ibu Nevia, nggak? Saya masih akan balik kantor
**“Mas, ini udah siang. Aku harus bangun. Sanaan dikit, dong!”“Hmm ….”“Please, ah, nanti aku telat ke kantor, loh, Mas.”Kiran mendorong-dorong tubuh sang suami agar menjauh darinya, meski lelaki itu keras kepala dan justru kian menempel.“Mas, ish!”“Kamu mau pergi hari ini, Ki?” Karan akhirnya mengijinkan sang istri menjauh sedikit. Ia berusaha membuka matanya yang terasa perih.“Aku kan mesti ke kantor, Mas." Kiran tersenyum, ia menangkup pipi pria di sampingnya itu dengan kedua tangan. Menikmati indahnya paras meski yang bersangkutan baru saja bangun tidur. Ah, di mata Kiran, Karan tidak pernah tidak tampan. Namun, lelaki itu cemberut sebab ia tidak ingin tinggal di rumah sendirian hari ini. “Nggak bisakah besok atau besok atau besok aja kamu perginya, Ki? Aku nggak mau kamu tinggalin.”Kiran terkekeh pelan, justru senang sekali dengan mode manja sang suami yang seperti ini. Ia menggusak lembut rambut pria itu dengan penuh sayang.“Ada kewajiban yang aku harus kerjakan lah, M
**“Remnya nggak berfungsi!” Kiran berteriak keras, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Namun satu yang pasti berada dalam benaknya, maut berada di depan mata. Sebenarnya jika hanya dirinya yang terancam, ia tidak peduli. Namun sekarang ia sedang berada di jalan umum dan mungkin akan melibatkan banyak orang jika terjadi kecelakaan.“Tolong!” Perempuan itu menjerit, mengharap bantuan yang sepertinya mustahil. “Ya Tuhan, tolong!”Keringat dingin mengalir membasahi punggung Kiran. Ia menggeleng, berusaha mengumpulkan kembali akal sehatnya. Terbayang wajah sang suami beserta kedua mertua, entah apa yang akan terjadi jika dirinya mati di sini. Terutama Karan, yang belakangan tampak tak bisa sama sekali jauh dari dirinya.“Nggak, aku nggak bisa mati sekarang!” Dua tetes air mata meluncur membasahi pipi sementara Kiran masih berusaha menginjak pedal gas.Perempatan ramai itu sudah tampak di depan sana. Kedua iris gelap perempuan itu membeliak gugup untuk memindai daerah sekitar. Ada semak
**“Maaf ya, Mas. Kita terpaksa menginap di sini malam ini. Biar mobilnya besok dicek dan dibawa ke bengkel dulu sama Ayah. Kalo semuanya baik, nanti kita langsung pulang.” Kiran berkata dengan murung kepada sang suami. Yang segera mendapat tanggapan hangat dari yang bersangkutan.“Nggak usah mikirin hal itu, Ki. Selama sama kamu, di manapun tempatnya, aku baik-baik aja, kok.”Kiran tersenyum terpaksa. Sebenarnya ia pun agak sungkan berada di rumah mertuanya seperti ini, tapi bagaimana lagi, ia sendiri merasa seluruh tubuhnya sakit akibat kecelakaan nahas tadi.“Sini, duduk dekat aku.” Karan menunjuk tempat di sampingnya. Lelaki itu sedang berada di atas ranjang dan bersandar pada headboard, sementara Kiran masih duduk di depan meja rias.“Ayah dan Ibu belum tidur, Mas. Masih nonton tivi kayaknya.”“Loh, emangnya kenapa?” Karan tersenyum menggoda. “Kan cuma duduk di sini. Emangnya kamu mau yang lain?”Tak pelak, wajah Kiran merah padam mendengar candan tersebut. Dengan enggan ia melan
**“Tidak ada yang menyuruhku. Aku melakukannya karena melihat dia mengkhianati kakakku. Aku kesal sekali, dia seenaknya merebut tunangan orang dan masih bisa berjalan dengan wajah tegak.”Kata-kata itu seperti terngiang-ngiang di telinga Kiran. Perempuan itu mengusap wajahnya dengan lelah. Tubuhnya terasa nyeri di banyak bagian setelah apa yang terjadi hari ini.Hari ini.Gadis pegawai magang yang ternyata adalah pelaku utama dan satu-satunya perusakan rem mobil Kiran itu sudah dibawa petugas kepolisian. Entahlah, sampai pada ia mengakui perbuatannya saja, Kiran sudah sangat pusing dan hampir pingsan. Maka, Karan berinisiatif membawa sang istri pulang dan menyerahkan urusannya kepada Herman saja.“Kamu nggak apa-apa, Ki?” Karan bertanya dengan khawatir. Ia memandangi wajah sang istri yang tampak pucat.“Nggak apa-apa.” Kiran tersenyum. Ia menggeser posisinya agar sang suami bisa menyusul duduk di atas ranjang.“Masih pusing? Badannya masih sakit?”“Berhentilah khawatir, Mas. Aku ngga
**“Saya ucapkan selamat ya, Bapak dan Ibu. Ibu Kiran saat ini sedang mengandung.”Karan tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Setengah tidak menyangka, sebab terlalu terkejut dengan apa yang dokter katakan. Pria itu menatap pria berjas putih itu dan istrinya bergantian.“Mengandung, Dok?”“Ya, benar. Usia kandungannya masih sekitar lima minggu, jadi masih awal sekali,” terang dokter tampan itu dengan senyum yang tak pernah luntur dari bibir.“Kiran?” Karan menoleh kepada sang istri yang juga sama-sama sedang terkejut. “Kiran, kamu dengar itu? Kamu … kamu ….”Kiran hanya bisa menutup mulut dengan telapak tangan. Ia balas memandang sang suami yang terlihat nyaris menangis.“Kiran, kamu mengandung.”“Iya, Mas.”“Anakku?”“Ish! Apa maksudmu bertanya begitu? Kamu suamiku, ya jelas saja ini anakmu. Yang benar sajalah.” Belum sempat Kiran melanjutkan rasa kesalnya, ia sudah tercekat hingga nyaris kehabisan napas sebab sang suami dengan gerakan tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan.“Mas!”
**SUV berwarna putih itu berhenti di halaman parkir sebuah restoran yang cukup mewah. Setelahnya, empat orang keluar dari sana. Herman dan Soraya, serta anak dan menantu mereka, Karan dan Kiran.“Ibu, kita nggak perlu ke tempat yang seperti ini,” kata Kiran dengan gugup. Sepasang netranya mengarah kepada bangunan estetik berpenerangan temaram yang berada di depannya. Kiran sedang memikirkan bill-nya nanti. Dari penampakan tempatnya saja, sudah bisa ditebak jika ini restoran mahal.“Kenapa enggak?” timpal Soraya dengan senyum mengembang. “Ibu pikir-pikir, ternyata kita belum pernah makan malam bersama di luar sejak kalian menikah.”Kiran hanya bisa tertawa miris. Makan malam bersama? Bahkan makan malam bersama Karan saja, dulu Kiran tidak pernah. Pria itu tidak pernah makan di rumah. Sepulang kantor, ia lantas mengunci diri di kamar hingga pagi dan tiba waktu untuk berangkat bekerja kembali. Begitu terus setiap hari.“Yah, tetap saja, ini agak berlebihan, Bu,” ujar Kiran kemudian, yan
**“Karan, ini aku, Nevia? Nggak bisakah kamu ingat aku? Sedikitpun?”Karan sama sekali tidak berkedip saat kedua matanya mengarah lurus kepada perempuan di hadapannya. Pria itu bergeming, merasakan sensasi aneh dalam perutnya yang menjalar hingga seluruh tubuh.“Anda … siapa?”Perempuan jelita itu tampak nyaris menangis lagi kala Karan bersuara demikian. Dengan wajah memohon ia membersit air mata yang sudah luruh di kedua pipi. Ia menggeleng pelan.“Sama sekali nggak bisa ingat?” Ia mengulangi. “Kamu lupakan begitu saja lima tahun yang pernah kita lewati bersama?“Saya minta maaf, tapi saya harus pergi.” Karan berujar dengan gugup. Ia menunjuk keranjang belanjaannya. “Istri saya sedang menunggu di rumah. Kasihan, dia sedang mengandung, jadi saya tidak bisa meninggalkannya berlama-lama.”Tanpa sedikitpun Karan bisa menduga sebelumnya, tangis perempuan itu pecah dengan suara sangat keras. Membuatnya membelalakkan mata sebab rasa terkejut yang tiba-tiba. Sialnya, seluruh pasang mata yan
**Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt
**Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s
**“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya
**Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k
**Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y
**“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.
**Kiran menemukan Mila sedang berada di dapur rumah. Perempuan itu tidak peduli sang tante sedang apa, ia menabrak tubuhnya dan memeluknya dari belakang. Diam dengan posisi seperti itu sampai beberapa saat waktu berlalu. “Kiran, hei … kok tiba-tiba?”Kiran tenggelamkan wajahnya di punggung sang tante sembari mendengung tidak jelas. Entah apa yang ia katakan.“Apa, sih? Tante nggak dengar kamu ngomong apa. Sini, biar Tante balik badan dulu, eh!”Perempuan itu mundur perlahan, membiarkan Mila membalikkan tubuh dan menghadap ke arahnya. Menemukan wajah yang lebih muda terlihat membara seperti sedang terkena demam.“Kamu baik-baik saja? Kok wajahnya merah begitu? Apa jangan-jangan kamu kedinginan? Karan biarin kamu di luar ruangan terlalu lama?”Tadinya, Kiran kan berpamitan untuk bertemu dengan Karan sebentar. Ketika pulang, kenapa keadaannya seperti ini?“Tante ….”“Gimana, Ki?”“Aku nggak menemukan alasan untuk menolak dia lagi.”Nah, sampai di titik ini, Mila akhirnya mengerti walau
**“Axel sudah sembuh, Mama. Ayo kita pulang sekarang.”Bocah manis itu berujar dengan gembira setelah dua hari penuh berada di rumah sakit. Ia sudah kembali sehat dan ceria seperti biasa.“Mama, Axel mau sekolah. Axel boleh sekolah, kan?”“Jangan dulu.” Kiran mengusap surai hitamnya yang lembut. “Besok saja, ya. Kalau badannya sudah benar-benar enakan.”“Tapi sekarang nggak ada Rei-Sensei ya, Mama?” Axel bergumam, wajahnya mendadak murung saat menyebut nama Reita. “Nggak ada yang antar Axel dan ajakin Axel jalan-jalan beli taiyaki lagi.”“Kan bisa sama Mama,” hibur Kiran sembari memberikan senyuman manis lagi. Dua tahun dekat seperti ayah dan anak, tak pelak meninggalkan kenangan yang pasti sulit dilupakan oleh bocah itu.“Kenapa Rei-Sensei pergi ya, Mama?”“Kan Rei-Sensei sudah bilang kalau mau sekolah lagi, Nak. Beliau sedang mengejar cita-cita, jadi kita semua harus mendukung.”“Nggak ada yang ajak Axel jalan-jalan lagi.”“Siapa bilang? Kan bisa jalan-jalan sama Papa.”Sepasang ib
**Kiran sungguh tidak ingin. Ia tidak ingin mendengar suara mantan suaminya, terutama pada tengah malam seperti ini. Namun suara rengekan lemah dari sang putra membuatnya tidak memiliki pilihan lain.“Telepon aja,” desak Mila, “Nggak ada salahnya, pun. Ini demi anak kalian.”Anak kalian? Betapa anehnya istilah itu. Kiran yang susah payah membesarkan Axel sendirian rasanya tidak rela jika ada yang menyebut bocah manis itu anak orang lain.“Kiran, ayolah. Apa lagi yang kamu tunggu?”“Baiklah, baiklah.” Kesal, namun Kiran tidak bisa menolak. Ia kemudian menjauh sementara mendial nomor ponsel Karan yang sebelumnya sudah disimpan Mila di sana. Setengah berharap pria itu sudah jauh terlelap dan tidak akan mengangkat panggilannya. Namun apa yang terjadi, justru pada dengung nada sambung detik pertama, teleponnya seketika diangkat.“Kiran?” Suara husky itu terdengar dari seberang, membuat Kiran buru-buru berdehem untuk mengatasi gugup. “Ada apa, Kiran? Kenapa menelepon malam-malam?”“Sorry,