**“Saya ucapkan selamat ya, Bapak dan Ibu. Ibu Kiran saat ini sedang mengandung.”Karan tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Setengah tidak menyangka, sebab terlalu terkejut dengan apa yang dokter katakan. Pria itu menatap pria berjas putih itu dan istrinya bergantian.“Mengandung, Dok?”“Ya, benar. Usia kandungannya masih sekitar lima minggu, jadi masih awal sekali,” terang dokter tampan itu dengan senyum yang tak pernah luntur dari bibir.“Kiran?” Karan menoleh kepada sang istri yang juga sama-sama sedang terkejut. “Kiran, kamu dengar itu? Kamu … kamu ….”Kiran hanya bisa menutup mulut dengan telapak tangan. Ia balas memandang sang suami yang terlihat nyaris menangis.“Kiran, kamu mengandung.”“Iya, Mas.”“Anakku?”“Ish! Apa maksudmu bertanya begitu? Kamu suamiku, ya jelas saja ini anakmu. Yang benar sajalah.” Belum sempat Kiran melanjutkan rasa kesalnya, ia sudah tercekat hingga nyaris kehabisan napas sebab sang suami dengan gerakan tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan.“Mas!”
**SUV berwarna putih itu berhenti di halaman parkir sebuah restoran yang cukup mewah. Setelahnya, empat orang keluar dari sana. Herman dan Soraya, serta anak dan menantu mereka, Karan dan Kiran.“Ibu, kita nggak perlu ke tempat yang seperti ini,” kata Kiran dengan gugup. Sepasang netranya mengarah kepada bangunan estetik berpenerangan temaram yang berada di depannya. Kiran sedang memikirkan bill-nya nanti. Dari penampakan tempatnya saja, sudah bisa ditebak jika ini restoran mahal.“Kenapa enggak?” timpal Soraya dengan senyum mengembang. “Ibu pikir-pikir, ternyata kita belum pernah makan malam bersama di luar sejak kalian menikah.”Kiran hanya bisa tertawa miris. Makan malam bersama? Bahkan makan malam bersama Karan saja, dulu Kiran tidak pernah. Pria itu tidak pernah makan di rumah. Sepulang kantor, ia lantas mengunci diri di kamar hingga pagi dan tiba waktu untuk berangkat bekerja kembali. Begitu terus setiap hari.“Yah, tetap saja, ini agak berlebihan, Bu,” ujar Kiran kemudian, yan
**“Karan, ini aku, Nevia? Nggak bisakah kamu ingat aku? Sedikitpun?”Karan sama sekali tidak berkedip saat kedua matanya mengarah lurus kepada perempuan di hadapannya. Pria itu bergeming, merasakan sensasi aneh dalam perutnya yang menjalar hingga seluruh tubuh.“Anda … siapa?”Perempuan jelita itu tampak nyaris menangis lagi kala Karan bersuara demikian. Dengan wajah memohon ia membersit air mata yang sudah luruh di kedua pipi. Ia menggeleng pelan.“Sama sekali nggak bisa ingat?” Ia mengulangi. “Kamu lupakan begitu saja lima tahun yang pernah kita lewati bersama?“Saya minta maaf, tapi saya harus pergi.” Karan berujar dengan gugup. Ia menunjuk keranjang belanjaannya. “Istri saya sedang menunggu di rumah. Kasihan, dia sedang mengandung, jadi saya tidak bisa meninggalkannya berlama-lama.”Tanpa sedikitpun Karan bisa menduga sebelumnya, tangis perempuan itu pecah dengan suara sangat keras. Membuatnya membelalakkan mata sebab rasa terkejut yang tiba-tiba. Sialnya, seluruh pasang mata yan
**"Apa kamu nggak apa-apa kalau hari ini di rumah sendirian?" Karan bertanya dengan cemas. Pagi ini, ketika ia akan berangkat ke kantor sang ayah sebab beberapa hari belakangan mulai bekerja di sana. "Tenang aja, Mas. Lagian kenapa, sih?" "Jangan ke mana-mana, oke? Di rumah saja. Hubungi aku kalau terjadi sesuatu. Aku akan segera pulang kalau kamu butuh aku, Kiran.""Aku nggak akan mengganggu kerja kamu." Kiran terkekeh pelan. "Udah, sana berangkat. Nanti kamu terlambat, loh." Pria itu mengangguk. Ia mendekat untuk mengecup kening sang istri, lalu menunduk untuk mencium perutnya yang masih rata sembari berbisik. "Baby, jaga Mama, oke?" Oh, manis sekali, sepagi ini. Kiran melambaikan tangan ketika mengantar sang suami ke depan pintu. Ia menunggu hingga mobil yang dikemudikan pria itu menghilang di belokan. Oh, benar sekali, Karan sekarang sudah cukup mahir mengendarai mobil sehingga Kiran membiarkan suaminya itu mengemudi sendiri ke kantor sang ayah yang tidak terlalu jauh dari ka
**Karan membereskan berkas-berkas yang bertebaran di atas meja ruang meeting. Senyumnya tersungging kala mengingat meeting yang ia pimpin beberapa saat yang lalu mendapat respon bagus dari para staff yang lain. Karena kinerja ya ia tunjukkan, dan bukan semata-mata karena dirinya adalah putra pemilik perusahaan kecil ini. Ya, Karan pikir itu bagus mengingat bagaimana kondisinya saat ini, yang masih harus terus mempelajari ulang banyak hal baru. “Sebentar, aku nelepon Kiran dulu. Kira-kira dia lagi apa ya, di rumah? Udah makan apa belum? Ini udah masuk jam makan siang.”Sementara bergegas keluar, ia menempelkan ponsel di telinga. Beberapa kali dengungan nada sambung, namun sama sekali tidak diangkat. Kening Karan berkerut karenanya.“Kiran kemana– aakh!”Berkas-berkas yang telah Karan rapikan jatuh bertebaran di atas lantai setelah tergelincir dari pegangannya. Ia menunduk dengan jemari menekan kening sebab rasa sakit menyengat yang mendadak saja menyerang kepalanya.“Ini ketiga kalin
**PRAAANG!“Mas Karan?”Kiran melompat bangun dari atas sofa, tanpa sadar melemparkan ponsel di tangannya ke segala arah demi mendengar suara benda pecah barusan.“Mas, ada apa? Astaga Mas, kamu kenapa?” Kedua netra perempuan itu membola saat melihat sang suami sudah duduk berjongkok di depan kaca wastafel kamar mandi sembari mencengkeram kepala. Bekas pecahan mug masih berserakan di sekitar sana.“Ki-Kiran ….”“Mas, kenapa?” Kiran berseru kaget, perempuan itu buru-buru membantu sang suami untuk berdiri dan kemudian membawanya ke kursi counter dapur yang berada tak jauh dari sana.“Kepalaku sakit,” desis Karan, masih memegangi kening dengan telapak tangan. Wajahnya pucat pasi bersimbah keringat. Ini buruk, Kiran tahu itu.“Sebentar, aku bikin minuman hangat buat kamu biar bisa kurangin rasa sakitnya, ya.” Segera, setelah memastikan sang suami duduk dengan baik, Kiran melesat untuk membuatkan secangkir chamomile tea beraroma lembut. Ia serahkan minuman hangat itu kepada suaminya denga
**Seharusnya, Kiran meminta kepada sang suami untuk mampir ke rumah orang tuanya malam ini adalah untuk bicara hati ke hati dengan Soraya terkait apa-apa yang telah dokter sampaikan di rumah sakit tadi. Namun, apalah daya, ia harus rela menahan malu sebab ketika baru datang, prianya itu malah menyeretnya ke dalam kamar.Maka, di sanalah Kiran sekarang. Terengah-engah di bawah kungkungan lengan suaminya dengan peluh bercucuran serta desah yang sekuat tenaga berusaha ia tahan. Meski mungkin baik Soraya maupun Herman sangat amat maklum jika sampai mendengar berbagai nada-nada aneh dari dalam kamar sang putra, tetap saja Kiran bisa mati saking malunya jika itu sampai terjadi.“M-Mas– akh–”Sial sekali, bahkan sepatah kata pun gagal Kiran ucapkan sebab sang suami terus menggempurnya tanpa henti sebab euforia yang hampir ia dapatkan. Tidak, mereka dapatkan. Sebab nyatanya perempuan itu pun hampir sampai pada tujuan yang keduanya tengah kejar hingga berantakan seperti itu.“Sebentar lagi,”
**Lingerie.Perlahan, Karan menarik keluar benda itu dari gantungan. Kebetulan sekali, hanya itu satu-satunya yang tergantung di dalam lemari, jadi tak ada yang lain yang bisa menarik perhatiannya.“Ini milik Kiran?” bisiknya seraya melirik ke arah ranjang di mana sang istri sedang bergulung di dalam selimut dengan mata terpejam. Sudah tidur rupanya.“Kenapa rasanya ini familiar? Padahal aku belum pernah lihat dia pakai ini?”Karan membolak -balik baju berbahan satin dan tile berwarna ivory yang tipis menerawang itu. Pita putih yang berjuntai-juntai di banyak bagian terasa seperti melilit ingatannya.Tidak, bukan bayangan sang istri yang tengah mengenakan benda itu yang ada dalam benak Kiran, namun ada bayangan lain.Saya terima nikahnya …“Ouch!” Kemudian, mendadak sekali sengatan rasa sakit yang hebat menusuk satu sisi kepala Karan tanpa ampun. Lingerie dalam pegangannya mendadak jatuh ke lantai tanpa suara, bersamaan dengan tubuhnya yang ia harus sandarkan dengan sangat hati-hati