**"Apa kamarnya sekotor itu?"Kiran yang baru saja sampai di kaki tangga, tentu saja tidak seketika mengerti saat suaminya bertanya demikian. Sebenarnya, karena ia sedang sibuk memikirkan ini dan itu. Maka dari saat Karan bertanya, ia jadi sedikit linglung."Kamu kecapean, kah? Sini, duduk sini dulu." Karan meraih tangan istrinya dan membawanya duduk berhadapan di meja counter dapur. "Apa kamarnya sekotor itu, sampai kamu butuh waktu berjam-jam buat bersihkan?""Oh, iyakah?" Kiran menanggapi, ia serius tidak merasa, berapa lama waktu sudah berlalu. "Maaf kalau aku kelamaan di atas, Mas. Kamu jadi kerjain semuanya sendirian."Karan tersenyum. Ia menggusak lembut surai perempuan di hadapannya itu. "Maaf juga, kamu jadi bersihin kamarku sendirian. Capek banget, ya?""Nggak, kok. Nggak banyak yang perlu dibersihkan. Karena pada dasarnya, emang kamu orangnya rapi.""Terus, kok lama?""Aku seneng aja berada di kamar kamu."Itu benar. Selain debu, Kiran tidak menemukan apapun yang bisa ia b
**Rencana pernikahan?Karan tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Pria muda di hadapannya itu tidak tampak sedang bercanda. Rencana pernikahan apa yang ia bicarakan?"Ma-maaf? Saya nggak ngerti apa yang–""Apa Pak Karan nggak ada rencana kembali ke kantor? Kami akan dengan senang hati menunggu kedatangan bapak lagi. Saya yakin, kinerja perusahaan juga akan lebih baik kalau bapak kerja lagi.""Itu ....""Bu Nevia kayaknya kehilangan banget, Pak. Kasihan. Perempuan sebaik Ibu Nevia sayang banget kalau Bapak tinggalkan."Kepala Karan yang tadinya tidak apa-apa mendadak kembali pusing. Bayang-bayang buram seperti berkelebatan memenuhi benaknya. Ia tidak bisa menebak bayangan apa itu, sebab segalanya terasa sangat buram. Tapi sungguh, kepalanya pusing."Kiran?" Ia menyebut nama itu pelan. Nama yang belakangan selalu terasa menjadi oase ketika ia tenggelam dalam keadaan sulit seperti ini. "Kiran, cepat ke sini.""Bapak, mau titip salam sama ibu Nevia, nggak? Saya masih akan balik kantor
**“Mas, ini udah siang. Aku harus bangun. Sanaan dikit, dong!”“Hmm ….”“Please, ah, nanti aku telat ke kantor, loh, Mas.”Kiran mendorong-dorong tubuh sang suami agar menjauh darinya, meski lelaki itu keras kepala dan justru kian menempel.“Mas, ish!”“Kamu mau pergi hari ini, Ki?” Karan akhirnya mengijinkan sang istri menjauh sedikit. Ia berusaha membuka matanya yang terasa perih.“Aku kan mesti ke kantor, Mas." Kiran tersenyum, ia menangkup pipi pria di sampingnya itu dengan kedua tangan. Menikmati indahnya paras meski yang bersangkutan baru saja bangun tidur. Ah, di mata Kiran, Karan tidak pernah tidak tampan. Namun, lelaki itu cemberut sebab ia tidak ingin tinggal di rumah sendirian hari ini. “Nggak bisakah besok atau besok atau besok aja kamu perginya, Ki? Aku nggak mau kamu tinggalin.”Kiran terkekeh pelan, justru senang sekali dengan mode manja sang suami yang seperti ini. Ia menggusak lembut rambut pria itu dengan penuh sayang.“Ada kewajiban yang aku harus kerjakan lah, M
**“Remnya nggak berfungsi!” Kiran berteriak keras, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Namun satu yang pasti berada dalam benaknya, maut berada di depan mata. Sebenarnya jika hanya dirinya yang terancam, ia tidak peduli. Namun sekarang ia sedang berada di jalan umum dan mungkin akan melibatkan banyak orang jika terjadi kecelakaan.“Tolong!” Perempuan itu menjerit, mengharap bantuan yang sepertinya mustahil. “Ya Tuhan, tolong!”Keringat dingin mengalir membasahi punggung Kiran. Ia menggeleng, berusaha mengumpulkan kembali akal sehatnya. Terbayang wajah sang suami beserta kedua mertua, entah apa yang akan terjadi jika dirinya mati di sini. Terutama Karan, yang belakangan tampak tak bisa sama sekali jauh dari dirinya.“Nggak, aku nggak bisa mati sekarang!” Dua tetes air mata meluncur membasahi pipi sementara Kiran masih berusaha menginjak pedal gas.Perempatan ramai itu sudah tampak di depan sana. Kedua iris gelap perempuan itu membeliak gugup untuk memindai daerah sekitar. Ada semak
**“Maaf ya, Mas. Kita terpaksa menginap di sini malam ini. Biar mobilnya besok dicek dan dibawa ke bengkel dulu sama Ayah. Kalo semuanya baik, nanti kita langsung pulang.” Kiran berkata dengan murung kepada sang suami. Yang segera mendapat tanggapan hangat dari yang bersangkutan.“Nggak usah mikirin hal itu, Ki. Selama sama kamu, di manapun tempatnya, aku baik-baik aja, kok.”Kiran tersenyum terpaksa. Sebenarnya ia pun agak sungkan berada di rumah mertuanya seperti ini, tapi bagaimana lagi, ia sendiri merasa seluruh tubuhnya sakit akibat kecelakaan nahas tadi.“Sini, duduk dekat aku.” Karan menunjuk tempat di sampingnya. Lelaki itu sedang berada di atas ranjang dan bersandar pada headboard, sementara Kiran masih duduk di depan meja rias.“Ayah dan Ibu belum tidur, Mas. Masih nonton tivi kayaknya.”“Loh, emangnya kenapa?” Karan tersenyum menggoda. “Kan cuma duduk di sini. Emangnya kamu mau yang lain?”Tak pelak, wajah Kiran merah padam mendengar candan tersebut. Dengan enggan ia melan
**“Tidak ada yang menyuruhku. Aku melakukannya karena melihat dia mengkhianati kakakku. Aku kesal sekali, dia seenaknya merebut tunangan orang dan masih bisa berjalan dengan wajah tegak.”Kata-kata itu seperti terngiang-ngiang di telinga Kiran. Perempuan itu mengusap wajahnya dengan lelah. Tubuhnya terasa nyeri di banyak bagian setelah apa yang terjadi hari ini.Hari ini.Gadis pegawai magang yang ternyata adalah pelaku utama dan satu-satunya perusakan rem mobil Kiran itu sudah dibawa petugas kepolisian. Entahlah, sampai pada ia mengakui perbuatannya saja, Kiran sudah sangat pusing dan hampir pingsan. Maka, Karan berinisiatif membawa sang istri pulang dan menyerahkan urusannya kepada Herman saja.“Kamu nggak apa-apa, Ki?” Karan bertanya dengan khawatir. Ia memandangi wajah sang istri yang tampak pucat.“Nggak apa-apa.” Kiran tersenyum. Ia menggeser posisinya agar sang suami bisa menyusul duduk di atas ranjang.“Masih pusing? Badannya masih sakit?”“Berhentilah khawatir, Mas. Aku ngga
**“Saya ucapkan selamat ya, Bapak dan Ibu. Ibu Kiran saat ini sedang mengandung.”Karan tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Setengah tidak menyangka, sebab terlalu terkejut dengan apa yang dokter katakan. Pria itu menatap pria berjas putih itu dan istrinya bergantian.“Mengandung, Dok?”“Ya, benar. Usia kandungannya masih sekitar lima minggu, jadi masih awal sekali,” terang dokter tampan itu dengan senyum yang tak pernah luntur dari bibir.“Kiran?” Karan menoleh kepada sang istri yang juga sama-sama sedang terkejut. “Kiran, kamu dengar itu? Kamu … kamu ….”Kiran hanya bisa menutup mulut dengan telapak tangan. Ia balas memandang sang suami yang terlihat nyaris menangis.“Kiran, kamu mengandung.”“Iya, Mas.”“Anakku?”“Ish! Apa maksudmu bertanya begitu? Kamu suamiku, ya jelas saja ini anakmu. Yang benar sajalah.” Belum sempat Kiran melanjutkan rasa kesalnya, ia sudah tercekat hingga nyaris kehabisan napas sebab sang suami dengan gerakan tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan.“Mas!”
**SUV berwarna putih itu berhenti di halaman parkir sebuah restoran yang cukup mewah. Setelahnya, empat orang keluar dari sana. Herman dan Soraya, serta anak dan menantu mereka, Karan dan Kiran.“Ibu, kita nggak perlu ke tempat yang seperti ini,” kata Kiran dengan gugup. Sepasang netranya mengarah kepada bangunan estetik berpenerangan temaram yang berada di depannya. Kiran sedang memikirkan bill-nya nanti. Dari penampakan tempatnya saja, sudah bisa ditebak jika ini restoran mahal.“Kenapa enggak?” timpal Soraya dengan senyum mengembang. “Ibu pikir-pikir, ternyata kita belum pernah makan malam bersama di luar sejak kalian menikah.”Kiran hanya bisa tertawa miris. Makan malam bersama? Bahkan makan malam bersama Karan saja, dulu Kiran tidak pernah. Pria itu tidak pernah makan di rumah. Sepulang kantor, ia lantas mengunci diri di kamar hingga pagi dan tiba waktu untuk berangkat bekerja kembali. Begitu terus setiap hari.“Yah, tetap saja, ini agak berlebihan, Bu,” ujar Kiran kemudian, yan