Jaima duduk gelisah di taman, dia terbangun pagi ini dan menyadari kalau Hasbi sudah tidak ada di sampingnya. Semalam dia sangat gelisah namun entah kenapa kantuk menyerang dengan begitu kuat dan dia tertidur begitu saja.
“Nyonya..” Imas mencoba memanggil Jaima untuk kesekian kalinya, dia tengah menyisiri rambut nyonya mudanya. Mereka berjalan-jalan di taman belakang rumah, hal yang tidak pernah bisa Jaima lakukan ketika ibu mertuanya sedang ada di rumah.
Wanita paruh baya itu akan marah dan membentak Jaima berkeliling di daerahnya.
“Nyonya…”
Tubuh Jaima bergerak, dia menooleh ke belakang dan menatap Imas kebingungan.
“Imas, kok bisa aku tidur di samping Hasbi?” Dia bertanya dengan w
Dari sekian banyak hal yang paling tidak Hasbi sukai, akhir-akhir ini sikap ibunya yang begitu mengganggunya. Dia sadar ibunya begitu membenci Jaima, apa yang terjadi pada pernikahan ibunya membuat Lisa membenci orang dari kalangan rendahan.Jaima termasuk di dalamnya.Namun, mendengar bahwa ibunya tidak menganggap anak yang di dalam kandungan sebagai cucunya sendiri membuat Hasbi jadi tersinggung. Bagaimanapun, anak itu adalah anak kandungnya. Dia menikahi Jaima karena ingin memiliki anak itu, lantas kalau ibunya tidak menganggap anak itu sebagai cucu lalu untuk apa semuanya?Ibunya selalu mencari cara untuk mengintimidasi Jaima, selama beberapa waktu Jaima dibebastugaskan untuk menghadiri acara-acara dan Arianti mengatakan Jaima sama sekali tidak keluar dari kamarnya selama ada ibunya di dalam rumah.
Jaima berada di dalam kamar setelah mandi, waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah kembali makan eskrim, Hasbi mengajaknya untuk melihat beberapa baju bayi.“Nyonya besar sudah membelikan baju-baju bayi untuk anak ini..” Ucapnya pelan di depan Hasbi, pria itu menatapnya bingung.“Ya memangnya kenapa? Kalau mau beli ya beli saja.”Maka mereka berdua pergi ke toko baju bayi dan membeli beberapa, barang-barang bayinya yang mereka beli datang beberapa jam kemudian. Hasbi sibuk menata kamar bayi sedangkan Jaima tidur siang, semakin kesini keinginan tidurnya begitu tinggi.Ibu mertuanya sedang berada di luar negeri, kali ini memakan waktu cukup lama. Satu bulan. Lisa mengikuti acara perjal
Hasbi melepaskan kecupan itu, menatap Jaima sesaat dia kembali mencium bibir wanita itu. Perlahan dia menciumi leher Jaima, wanita itu bergerak sedikit, Hasbi menghentikan kecupannya. Tidak ada tanda-tanda Jaima terbangun, dia melanjutkan kecupan demi kecupan di wajah dan leher Jaima.Kini birahinya sudah semakin naik, dia mencium bibir Jaima hingga wanita itu membuka mata dan terlonjak kaget.“H..Hasbi..”Mata keduanya bertemu, Hasbi menatapnya seperti singa kehausan. Pandangan pria itu turun menuju bibir Jaima, dengan perlahan dia kembali mencium Jaima, melumat bibir wanita itu dalam-dalam seperti tengah kelaparan. Dia menjilati setiap sudut rongga mulut Jaima.Wanita itu gemetar.“Hasbi..” Dia merin
Imas memandang punggung nyonya mudanya dari dalam kamar, si nyonya muda tengah duduk di dekat balkon, matanya jauh memandang hamparan pohon taman belakang yang terlihat jelas dari balkon kamarnya sendiri.Tengah malam tadi Imas mendapat telepon langsung dari tuannya sendiri, pria itu meminta secepat mungkin datang dan mengurus Jaima. Dengan hati yang berdegup dan pikiran kacau balau Imas datang, wanita itu mendapati nyonya mudanya menangis dalam selimut dengan tubuh telanjang.Seluruh tubuh nyonya mudanya penuh dengan tanda kemerahan, lelehan sperma masih keluar dari dalam lubang vaginanya. Dia terlihat begitu berantakan.Tangan Imas mengepal, seandainya dia memiliki kekuasaan, rasanya ingin sekali membawa nyonya mudanya pergi jauh. Bagi Imas tidak adil kalau wanita sebaik nyonya muda diperlakukan semena-mena.
Noah menatap Jaima, wanita itu tersenyum di depannya dengan sedikit canggung. Pria itu bisa melihat bagaimana mata Jaima sedikit bengkak dan memerah, meskipun sedikit namun Noah bisa melihat beberapa tanda merah di balik syal yang menempel di leher jenjangnya.Aneh.“Saya kemarin mengajak ibu Garini berjalan-jalan.” Noah berkata, berusaha membuat topik agar Jaima tidak merasa canggung di depannya.Wanita itu menoleh, “Benarkah? Terima kasih banyak! Ibu pasti senang sekali.” Katanya ceria. Mata yang sendu tadi berubah menjadi berbinar, Noah sempat terkejut melihat perubahan signifikan itu.Dia tersenyum.“Sedari tadi saya hanya bisa melihat mendung di mata anda..”
Perut Jaima terasa begitu sakit, mulasnya sampai membuat dia bahkan tidak bisa duduk dengan nyaman. Rasa sakit yang belum pernah dia rasakan, dia terus meringis. Selama perjalanan Noah berada di sampingnya, sumpah mati Jaima berusaha untuk tidak mencengkram tangan pria itu.Namun refleknya berkata lain, dia mencengkram dengan kencang lengan pria itu sambil terus melenguh kesakitan.“Benar dokter, air ketubannya sudah pecah.” Suara Imas terdengar, menelepon dokter yang menangani Jaima. Dia berusaha menghubungi Hasbi namun belum ada jawaban.“Jaima, Jaima, kamu pasti baik-baik saja.” Noah menatap Jaima dengan wajah khawatir, dia menggenggam balik tangan yang terus mencengkramnya dengan kuat.“Maaf, tapi ini begitu menyakitkan…” Ujar wanita itu dengan keringat mengucur dari kepala sambil menutup mata.Perjalanan memakan waktu cukup lama, dan dalam jangka waktu itu juga Jaima meringis dan menangis di dalam mobil. Noah berada disana, mengepal jari jemari Jaima, bahkan mengelap keringat. Or
Darah Hasbi setengah mendidih ketika memasuki ruangan dan melihat Noah tengah menggenggam tangan Jaima, wanita itu sudah dipastikan tidak sadar apa yang sedang terjadi, Jaima meraung kesakitan dan si keparat itu mengambil kesempatan.“Pergi!” Hasbi menahan sumpah serapah yang ingin keluar dari mulutnya, giginya bergemeratak melihat bagaimana Noah terlihat begitu khawatir.Apa pedulinya? Ini istri Hasbi.“Pak Hasbi, pembukaan ibu Jaima sudah hampir lengkap jadi kami akan membuka bajunya dan mulai persiapan untuk kelahiran bayi ya pak.” Salah satu perawat berkata sambil membuka baju Jaima, Hasbi dengan cekatan membantu.Isi kepalanya begitu penuh.Dia tengah melakukan rapat penting dengan para petinggi ketika Arianti memberitahunya kalau Jaima dilarikan ke Rumah Sakit karena ketubannya pecah, dia hampir lupa kalau tengah berada di tengah rapat. Tubuhnya bereaksi cepat, dia langsung berdiri. Membuat seluruh mata memandangnya.“Maaf, istri saya melahirkan. Saya harus pergi.”Bahkan suara
Netra Jaima menyusuri sosok yang berada di gendongannya.“Selamat ibu Jaima, bayi ibu laki-laki, sehat.” Adalah kalimat yang terdengar ketika dia membuka mata untuk pertama kalinya setelah sakit yang panjang dan rasa linu sekujur tubuh. Bayinya terbungkus kain dengan rapi, bulu mata yang panjang, hidung yang sudah terlihat tinggi, bibir yang penuh. Indah. Bayinya bukan hanya tampan namun juga indah.Ini adalah bayinya, bayi laki-laki yang setiap malam mengganggu tidurnya. Bayi yang berada di dalam kandungannya selama sembilan bulan, bayi yang sebelumnya dia pikir untuk menghilangkannya.Jaima mengelus pipinya, lembut.Bayi itu menggeliat di dalam pelukannya, bibirnya naik keatas diikuti dengan kedua alisnya. Bibirnya mengecap-ngecap seolah tengah menghisap sesuatu.“Dia pasti lapar..” Gumamnya pelan.Jaima mengeluarkan salah satu payudaranya, seperti yang pernah diajarkan di kelas parenting beberapa bulan sebelum kelahiran si bayi dia berusaha memperbaiki posisi tidur dan menyodorkan
Jaima kembali dengan kesibukannya, percakapannya dengan Hasbi terakhir adalah dua minggu lalu ketika dia meminta pengasuh untuk Rama. Tiga hari kemudian pengasuh itu datang, seorang wanita paruh baya yang suaranya begitu lembut.Imas bilang kalau ibu mertuanyalah yang memilihkan, dalam dua minggu terakhir sudah tiga kali Rama diasuh oleh si pengasuh dan semuanya berjalan dengan lancar. Si pengasuh meskipun sudah tua namun juga cekatan dalam urusan elektronik, dia tidak pernah absen mengirimkan kabar pada Jaima apa yang tengah Rama lakukan selama Jaima berada diluar.“Tuan Hasbi pulang ke apartemennya dengan nona Tanaya..” Kata Imas ketika Jaima bertanya.Jaima hanya mengangguk, berpura-pura mengerti meskipun perasaannya sakit.
“Apa maksudmu?” Tanaya mengerenyitkan dahinya, merasa tidak senang dengan apa yang baru saja dia dengar. Kedua tangannya saling menyilang di dada, kakinya bertumpu satu sama lain dan punggungnya bersadar di kursi.Dia menatap Noah dengan tatapan tidak percaya, sedangkan pria di depannya tengah menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan.“Aku sudah mengatakannya.”“Ulangi.”Noah menyimpan cangkir diatas meja, menatap balik Tanaya.“Aku tidak ingin campur lagi untuk mengambil Jaima dari sisi Hasbi.”“Jangan gila!” Tanaya berkata, dengan wajah serius.“Aku tidak ingin me
Seminggu berlalu semenjak kedatangan Tanaya ke Rumah Sakit dan membuat gaduh, percekcokan Hasbi dan Tanaya tidak berhenti disana. Setelah kepergian Tanaya dan kembali ke ruangan, Jaima bersikap seolah tidak terjadi apapun. Wanita itu tidak bertanya, Hasbi tidak menjelaskan apapun.Semuanya berlalu begitu saja untuknya dan Jaima.Sedangkan Tanaya masih terus menuntutnya untuk segera melepaskan Jaima setelah apa yang wanita itu katakan ketika Tanaya datang ke ruangan Rama. Tanaya merasa ucapan Jaima sudah sangat keterlaluan, Hasbi sendiri ingin Tanaya melupakan hal itu.Percekcokan demi percekcokan yang seperti tidak ada ujungnya.Dilain sisi, Rama sudah kembali ceria. Tawa dan celotehannya sudah mulai mengisi rumah, Jaima tidak memberitahu Hasbi kalau ibu mertuanya datang
“Tidak, dia bukan anakmu..”Tanaya menoleh bersamaan dengan Hasbi, Jaima menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia membuang muka dengan cepat sedangkan Imas meminta kedua orang itu keluar karena tangisan Rama yang begitu nyaring.Dada Jaima begitu kencang berdetak. Tangannya gemetar ketika dia memeluk Rama, menenangkan anak itu meskipun dirinya sendiri tidak merasa tenang.Kedua orang itu dengan jelas mendengarnya.Kalimat itu keluar begitu saja tanpa dia sadari ketika dia melihat Tanaya masuk ke dalam ruangan dan memanggil Rama, mengklaim bocah itu sebagai anaknya.“Nyonya..”“Mereka mendengarnya ‘kan? Mereka mendengar aku mengatakan hal itu?&r
Ini hari ketiga Rama ada di Rumah Sakit, kondisinya sudah jauh lebih baik. Anak-anak memang cepat pulih, dia sudah berteriak-teriak lagi dan tertawa lagi, sudah mulai mau makan namun susu lebih utama.Jaima menundukkan kepalanya, tenggorokannya terasa tercekat, dia bisa mendengar Rama berceloteh riang diatas tempat tidur. Anak itu mengeluarkan suara dengan kata-kata yang tidak bisa dimengerti, dia terdengar begitu senang.Namun dilain sisi, Jaima begitu tegang. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat.“Apa yang dokter bilang?” Suara si ibu mertua terdengar dari samping tempat tidur Rama, membuat bulu kuduk Jaima meremang.Dia tidak pernah berpikir kalau Lisa Sarkara akan mengunjungi Rama. Sejauh ini, tidak pernah sekalipun dia berpikir kalau ibu mertuanya menyuka
Hasbi mengambil selimut yang ada di dalam lemari di ruangan kamar VVIP rawat inap yang mereka tempati. Dia membawa selimut itu untuk menutupi badan Jaima, wanita itu tertidur setelah menangis cukup lama. Hasbi duduk di samping Jaima, menatap wajahnya.Wajah itulah yang membuatnya penasaran ketika pertama kali melihat di hotel, wajah yang masih terlihat sama meskipun dia sudah menjadi miliknya. Matanya terlihat begitu sembab dan memerah. Jari jemari Hasbi menyusuri wajah itu tanpa menyentuhnya, dia takut Jaima terbangun.“Maafkan aku..” Bisiknya perlahan.Dia meminta maaf untuk banyak hal, termasuk karena sudah tidak pulang ke rumah dan tidak memperhatikan wanita itu sama sekali. Perasaan Hasbi berantakan, namun dia tidak bisa meninggalkan Tanaya dan dia merasa sangat bersalah pada Jaima. Dia tidak ingin
Ini sudah seminggu semenjak terakhir Jaima melihat Hasbi. Entah kenapa pria itu selalu tidak pernah ada di rumah setelah kepulangannya terakhir bersama Tanaya.Jaima bertanya pada Imas apakah Hasbi mendatangi kamar Rama ketika dia tidak ada, tapi Imas bilang pria itu sama sekali tidak menghampirinya. Foto yang diunggah di sosial media Hasbi semuanya stok foto lama mereka. Jaima jadi bertanya-tanya apakah pria itu akan kembali fokus pada Tanaya?Jaima tidak masalah jika tidak diperhatikan, tapi, bukankah Rama perlu perhatiannya?Dia tidak mengerti dengan perubahan Hasbi yang terlalu mendadak.Jaima berjalan dari dalam kamarnya menuju kamar Rama, suasana rumah seperti biasa heningnya. Beberapa hari lalu ibu mertuanya pergi ke Guam untuk menghadiri sebuah acara, mertuanya a
“Semua yang harus aku tanda tangani sudah kulakukan, untuk pemberkasan pinjaman kemungkinan besar selain permintaan Mahatma yang lainnya akan kuserahkan pada bawahan lain.” Noah menatap layar laptopnya, dia tengah berada di hotel untuk beberapa hari ke depan karena Piacevole tengah membuka toko baru.Toko perhiasan yang sudah ditunggu oleh orang-orang Indonesia itu akhirnya menandatangani kesepakatan dengan Piacevole.Dia melakukan rapat daring dengan beberapa bawahan serta sang kakek.Permasalahan di dalam BMG benar-benar membuat seluruh orang fokus pada BANK terlebih dahulu, rayap-rayap yang diduga ada di dalam lebih dari lima orang di beberapa cabang. Mereka tengah mengumpulkan bukti apakah Mahatma terkait dengan hal itu atau tidak.“Bagaimana dengan
Hasbi menatap ponselnya sekali lagi, siang ini ketika dia keluar dari kamar bersama Tanaya dia tidak menemukan Jaima dimanapun. Arianti memberitahunya kalau wanita itu tengah menghadiri acara sosial di Piacevole.Tidak ada pesan dari Jaima yang memberitahukan kalau wanita itu membawa Rama bersamanya. Biasanya wanita itu akan menghubunginya untuk meminta bantuan menjaga si kecil karena dia harus menghadiri acara sosial.Hasbi menghela napas.Wanita itu mungkin sudah tahu kalau malam tadi Hasbi menghabiskannya bersama Tanaya.Dia memijat keningnya sekarang, rasa bersalah kembali menjalar di dalam dadanya.Apakah dia seharusnya meminta maaf?“Ah, sialan.. Kenapa juga aku harus minta maaf?” Tanpa sadar dia menggumamkan kalimat itu, membuat Arianti menoleh.“Maksud tuan muda?”Hasbi menggeleng pelan, mengalihkan wajahnya karena merasa sudah melakukan hal bodoh. Dia terlalu khawatir sampai semua yang dia pikirkan tidak sengaja keluar dari mulutnya begitu saja.“Apa…” Hasbi menjeda kalimatny