Kana tetap memaksakan dirinya untuk datang ke sekolah. Edo sudah kembali pergi setelah mengantarnya ke rumah jam 4 pagi. Ia tidak suka berlama-lama di rumah sakit. Selain aromanya tidak sedap, biayanya juga akan lebih mahal. Maka dari itu ia memutuskan untuk pulang. Lagi pula perawatan sudah cukup untuk membuatnya kembali sehat.
Kana menyusuri koridor sekolah dengan kepala yang menunduk. Sejak memasuki gerbang, semua murid menatapnya dengan aneh. Mungkin karena masih ada perban yang menempel di kepalanya. Ia sebisa mungkin tak mendengarkan cibiran yang menyelinap masuk ke telinganya."Kepala lo kenapa, Na?!"Kana langsung mengangkat kepalanya. Ia melihat Mirna yang tengah berlari ke arahnya. Wajah sahabatnya itu terlihat sangat cemas. Ia menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman manis. Ia tak ingin membuat sahabatnya khawatir."Lo ga boleh sekolah pokoknya, Na! Ayo pulang!" seru Mirna dengan wajah cemasnya.Note : Karena banyaknya kontra di part ini, maka author memutuskan untuk merevisinya. Begitu juga dengan bab selanjutnya. Maaf jika membuat kalian menjadi tidak nyaman. Selamat membaca~ ~~~ "Na, lo disuruh ke perpustakaan sama Bu Endang," ujar teman sekelasnya yang bernama Putri. Kana tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Oke. Terima kasih, Put." Setelah mengucapkan itu, Kana segera bergegas menuju perpustakaan. Hari ini Mirna tak datang ke sekolah karena ayahnya sakit. Biasanya sahabatnya itu akan selalu mengikutinya jika harus keluar kelas di jam pelajaran. Katanya, dia bisa di jadikan sebagai penjaga jika ada yang menyakitinya. Kana tersenyum tipis mengingat sahabatnya tersebut. Ia berniat akan datang ke rumah Mirna pulang sekolah nanti. Ini bisa di bilang kunjungan pertamanya, selama bersahabat ia tak pernah datang ke rumah sahabatnya tersebut. "Kok gelap," gumam Kana dengan bingung.
Kana terdiam di depan rumahnya saat melihat sosok Gilang sudah bertengger di atas motor. Ia sengaja tak menjawab telepon dari cowok itu agar bisa menjauhinya. Tapi yang terjadi, cowok itu malah datang ke rumahnya. Gilang turun dari motornya, lalu menghampiri Kana. "Na, kenapa telepon gue ditolak?" Kana membuang tatapannya ke segala arah. "Ngapain ke sini?" "Jemput lo." Gilang tersenyum lalu menggenggam lengan Kana. "Lo ga rindu sama gue?" Kana menggelengkan kepalanya. "Sama sekali ga rindu." Gilang terkekeh pelan. "Jangan lupa besok gue ada pertandingan. Jangan nonton Drama Korea lagi." Kana tak menjawab, ia melepaskan tangannya yang digenggam oleh Gilang. Ia berjalan terlebih dahulu menuju motor yang selalu berhasil membuatnya kesulitan. Namun cowok itu nampaknya sangat peka. Gilang membantunya untuk naik ke atas motor ters
Kana sama sekali tak keluar dari kamarnya sejak pulang sekolah. Ia masih terus memikirkan apa yang terjadi pada Gilang hari ini. Mungkin sebaiknya ia yang jatuh saat itu. Ia tak seharusnya mencari tumpuan agar tak terjatuh. Kini Gilang yang harus menjadi korban dari tingkahnya. Ia memejamkan kedua matanya, tiba-tiba ponsel didekat kepalanya bergetar. Ia langsung bangun untuk melihat siapa yang meneleponnya.Saat melihat nama Edo, ia langsung menerima panggilan tersebut. Suara berat cowok itu langsung memasuki telinganya. Sudah cukup lama Kana tidak mendengar suara ini."Apa kabar, Na?" sapa Edo.Kana menghela napasnya, "Gue ga baik, Kak. Banyak masalah belakangan ini.""Masalah apa?" tanya Edo."Gue jadi sasaran bully gara-gara dekat sama Gi—""Sudah gue bilang, jangan dekat-dekat Gilang! Hidup lo jadi sulit sejak dekat sama dia," potong Edo."Gue juga baru saja bikin Gilang cedera. Pada
Matahari begitu menyengat, namun lapangan SMA Permata Putri masih tetap dipadati para murid yang ingin menyaksikan pertandingan basket. Begitu juga dengan Kana, ia duduk di pinggir lapangan seorang diri. Ilham terlihat melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Ilham merupakan salah satu pemain yang cukup berbakat di tim tersebut."Semangat, Ham!" teriak Kana.Ilham hanya membalasnya dengan cengiran, ia membuat jarinya membentuk lambang hati. Kana pun ikut membentuk jarinya seperti itu. Tanpa mereka sadari, Fahri menatap dengan iri."Lo ga semangatin gue, Na?" tanya Fahri.Kana mengedikkan bahunya. "Kepala lo tuh masih putih!"Fahri langsung mengusap belakang kepalanya. Benar saja, masih ada tepung di belakang kepalanya. Ia langsung berlari menuju kran air yang terletak di dekat tempat duduk Kana. Ia langsung membasahi belakang kepalanya dengan air, kemudian ia mengibas-ngibas rambutnya hingga air menyiprat ke segala arah.
Kana mengamati selembar kertas itu dengan mata berkaca-kaca. Ia tak menyangka insiden beberapa hari yang lalu itu berhasil membuat hidupnya menjadi berantakan. Ibunya hanya bisa menunduk sambil menangis. Kana memeluk ibunya tersebut. Ia tak henti-hentinya meminta maaf pada ibunya. "Besok kita urus ke sekolah ya, Na," ujar ibunya. Kana menganggukkan kepalanya dengan senyum yang dipaksakan. "Kamu tidak perlu bersekolah di sana lagi," gumam ibunya pelan. Kana membeku di tempatnya. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menangis di dalam pelukan ibunya. Sebenarnya isi surat itu hanya memberitahukan masa skors selama satu minggu. Tapi ternyata ibunya lebih memilih untuk memindahkannya dari sekolah itu. Ibunya langsung melepas pelukannya. "Kita pindah ke kampung ayah kamu, Na." Kana mengangguk dengan terpaksa. Lalu ia segera pergi ke kamarnya. Sejujurnya, Kana sama sekali tidak berniat untuk pindah sekolah. Ia ya
Gilang terus berdiri di depan gerbang sampai hampir menunjukkan pukul 7 pagi. Ia terus menatap semua murid yang memasuki gerbang tersebut. Ia rela berdiri seperti pajangan hanya untuk menunggu Kana. Ia ingin segera meminta maaf kejadian beberapa hari yang lalu. Mungkin seharusnya ia tak mengajukan hukuman skors untuk Kana. Hari ini sudah seminggu sejak masa skors diberikan padanya. Gilang benar-benar merasa bersalah. Ia harus segera minta maaf sebelum menyesal. Gilang langsung menghadang Fahri yang baru saja datang. Ia langsung menarik cowok itu ke pinggir lapangan.Fahri yang ditarik pun hanya bisa menatap Gilang dengan bingung. Ia mengerjapkan matanya sesaat. Ia langsung melepaskan tangannya tersebut."Kenapa lo?" tanya Fahri."Kok Kana belum datang?" tanya Gilang.Fahri mengedikkan bahunya. "Mungkin telat. Lo kayak ga tau dia aja."Gilang mendesis pelan, ia mengusap wajahnya kasar. "Ini hari senin, Ri. Ga mungkin di
Kana melintasi gerbang SMA Buara dengan sangat hati-hati. Ia sudah tak melihat siapa pun disekitarnya. Pasti semua murid sudah pulang, maka dari itu ia akan aman tanpa gangguan. Ia merentangkan kedua tangannya seolah baru bebas dari penjara. Ia menyusuri jalan yang begitu sepi menuju rumahnya. Sebenarnya jarak dari rumah Kana ke sekolah cukup dekat. Tidak seperti saat bersekolah di SMA Permata Putri. Ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Ia menoleh sekilas, berjaga-jaga jika itu sosok yang sedang ia hindari. Tapi ternyata hanyalah dua orang pria yang mungkin berusia 40 tahunan. Kana kembali fokus pada langkahnya."Ayu tenan," gumam salah satu pria tersebut.Kana mulai merasa ada sesuatu yang tidak baik. Ia mulai mempercepat langkahnya. Tapi ia merasa dua orang yang ada di belakangnya itu semakin melangkah cepat. Ia merasa seperti sedang dikejar oleh sesuatu. Ia kembali mempercepat langkahnya, tapi kedua orang itu tidak mau kalah. Kana menolehkan kepalan
Tak terasa, sudah lebih dari 5 bulan Kana berada di SMA Buara. Tapi tetap saja ia masih belum lancar menggunakan bahasa daerah Yogyakarta, karena author juga ga terlalu bisa. Untungnya ada Ferdi yang juga bernasib sama dengannya. Sejak insiden dikejar om-om, Kana dan Ferdi menjadi cukup dekat. Tapi sebenarnya mereka tidak dekat, hanya saja Ferdi terus bertingkah seolah mereka sudah menjadi teman dekat. Contohnya saat ini, cowok itu terus mengikutinya bahkan sampai ke depan toilet."Lo harus nonton gue main, Na. Walaupun waktu itu gue kalah lawan SMA Permata Putri, tapi skill gue ini cukup di atas rata-rata loh," kata Ferdi.Kana tersenyum miris, lalu ia menunjuk ke pintu toilet. "Lo mau dipukulin sama cewek?"Ferdi menggelengkan kepalanya. "Gue kan cuma nunggu di sini."Kana menghela napasnya pelan, lalu ia segera masuk ke dalam toilet tersebut. Nampak dua orang siswi yang sedang sibuk merias wajahnya, padahal larangan keras menggu