Kana mengamati selembar kertas itu dengan mata berkaca-kaca. Ia tak menyangka insiden beberapa hari yang lalu itu berhasil membuat hidupnya menjadi berantakan. Ibunya hanya bisa menunduk sambil menangis. Kana memeluk ibunya tersebut. Ia tak henti-hentinya meminta maaf pada ibunya.
"Besok kita urus ke sekolah ya, Na," ujar ibunya.Kana menganggukkan kepalanya dengan senyum yang dipaksakan."Kamu tidak perlu bersekolah di sana lagi," gumam ibunya pelan.Kana membeku di tempatnya. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menangis di dalam pelukan ibunya. Sebenarnya isi surat itu hanya memberitahukan masa skors selama satu minggu. Tapi ternyata ibunya lebih memilih untuk memindahkannya dari sekolah itu.Ibunya langsung melepas pelukannya. "Kita pindah ke kampung ayah kamu, Na."Kana mengangguk dengan terpaksa. Lalu ia segera pergi ke kamarnya. Sejujurnya, Kana sama sekali tidak berniat untuk pindah sekolah. Ia yaGilang terus berdiri di depan gerbang sampai hampir menunjukkan pukul 7 pagi. Ia terus menatap semua murid yang memasuki gerbang tersebut. Ia rela berdiri seperti pajangan hanya untuk menunggu Kana. Ia ingin segera meminta maaf kejadian beberapa hari yang lalu. Mungkin seharusnya ia tak mengajukan hukuman skors untuk Kana. Hari ini sudah seminggu sejak masa skors diberikan padanya. Gilang benar-benar merasa bersalah. Ia harus segera minta maaf sebelum menyesal. Gilang langsung menghadang Fahri yang baru saja datang. Ia langsung menarik cowok itu ke pinggir lapangan.Fahri yang ditarik pun hanya bisa menatap Gilang dengan bingung. Ia mengerjapkan matanya sesaat. Ia langsung melepaskan tangannya tersebut."Kenapa lo?" tanya Fahri."Kok Kana belum datang?" tanya Gilang.Fahri mengedikkan bahunya. "Mungkin telat. Lo kayak ga tau dia aja."Gilang mendesis pelan, ia mengusap wajahnya kasar. "Ini hari senin, Ri. Ga mungkin di
Kana melintasi gerbang SMA Buara dengan sangat hati-hati. Ia sudah tak melihat siapa pun disekitarnya. Pasti semua murid sudah pulang, maka dari itu ia akan aman tanpa gangguan. Ia merentangkan kedua tangannya seolah baru bebas dari penjara. Ia menyusuri jalan yang begitu sepi menuju rumahnya. Sebenarnya jarak dari rumah Kana ke sekolah cukup dekat. Tidak seperti saat bersekolah di SMA Permata Putri. Ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Ia menoleh sekilas, berjaga-jaga jika itu sosok yang sedang ia hindari. Tapi ternyata hanyalah dua orang pria yang mungkin berusia 40 tahunan. Kana kembali fokus pada langkahnya."Ayu tenan," gumam salah satu pria tersebut.Kana mulai merasa ada sesuatu yang tidak baik. Ia mulai mempercepat langkahnya. Tapi ia merasa dua orang yang ada di belakangnya itu semakin melangkah cepat. Ia merasa seperti sedang dikejar oleh sesuatu. Ia kembali mempercepat langkahnya, tapi kedua orang itu tidak mau kalah. Kana menolehkan kepalan
Tak terasa, sudah lebih dari 5 bulan Kana berada di SMA Buara. Tapi tetap saja ia masih belum lancar menggunakan bahasa daerah Yogyakarta, karena author juga ga terlalu bisa. Untungnya ada Ferdi yang juga bernasib sama dengannya. Sejak insiden dikejar om-om, Kana dan Ferdi menjadi cukup dekat. Tapi sebenarnya mereka tidak dekat, hanya saja Ferdi terus bertingkah seolah mereka sudah menjadi teman dekat. Contohnya saat ini, cowok itu terus mengikutinya bahkan sampai ke depan toilet."Lo harus nonton gue main, Na. Walaupun waktu itu gue kalah lawan SMA Permata Putri, tapi skill gue ini cukup di atas rata-rata loh," kata Ferdi.Kana tersenyum miris, lalu ia menunjuk ke pintu toilet. "Lo mau dipukulin sama cewek?"Ferdi menggelengkan kepalanya. "Gue kan cuma nunggu di sini."Kana menghela napasnya pelan, lalu ia segera masuk ke dalam toilet tersebut. Nampak dua orang siswi yang sedang sibuk merias wajahnya, padahal larangan keras menggu
Hari minggu ini Kana tidak punya kegiatan apa pun selain merebahkan tubuhnya di sofa yang begitu nyaman. Ia bisa melihat ibunya yang berlalu lalang di depannya. Kana hanya bisa diam saja walau ibunya itu cukup mengganggu aktivitasnya menonton televisi.Tiba-tiba ibunya berhenti dan duduk di sofa yang kosong. Wajahnya terlihat ingin mengatakan sesuatu. Tapi yang dilakukan ibunya hanya diam dengan tatapan kosong. Kana pun langsung bangun dan menatap ibunya tersebut."Ada apa, Bu?" tanya Kana.Ibunya menarik kedua sudut bibirnya dengan paksa. "Ga ada apa-apa, Na. Kamu sudah makan?"Kana menganggukkan kepalanya. "Baru saja selesai. Ibu sudah makan?"Ibunya mengangguk pelan. Kana memicingkan kedua matanya. Kali ini ia yakin bahwa ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh ibunya tersebut. Ia bangun dan mendekati sofa yang diduduki oleh ibunya."Ibu ada masalah, ya?" tanya Kana.Ibunya menggeleng pelan d
Kana mengunci dirinya di dalam ruang ganti khusus pegawai tersebut. Sesekali ia mengintip keadaan di luar melalui celah lubang kunci. Ia masih bisa melihat sosok Gilang yang menatap lurus ke ruangan tersebut. Ia benar-benar sudah tidak bisa menemui cowok itu lagi. Jantungnya yang berdetak tak karuan itu tanpa terasa membuat hatinya sakit. Kana menundukkan kepalanya, ucapan terakhir dari Gilang masih terngiang di kepalanya. Ia menarik napasnya sesaat, lalu mengembuskannya secara perlahan."Kana, kamu kenapa, Nduk?" tanya Bu Ningsih dengan nada khawatir.Kana sama sekali tak bisa mengatakan apa pun. Rasanya begitu sesak sampai sulit untuk berbicara. Ia sudah terlalu banyak merasakan luka yang dibuat oleh cowok itu. Setelah pergi menjauh dari Gilang, ia merasa hidupnya menjadi lebih baik. Bahkan ia sudah tak lagi membuang air matanya untuk satu kata yang bernama cinta tersebut."Na, tolong keluar."Kana memejamkan kedua matanya. Ia me
Lebih dari dua bulan setelah pertemuannya dengan Gilang, Kana sudah mampu melupakan kejadian itu. Ia mampu menjalani hari seperti biasanya, tapi tanpa gelar miss bad luck. Kana yang sekarang sudah sangat jauh dari kata sial. Ia benar-benar hidup layaknya remaja pada umumnya. Memiliki banyak teman, mendapat cukup banyak prestasi, dan disayangi guru."Gue tunggu di depan gerbang," ujar Ferdi.Kana tersenyum tipis, ia mengangguk pelan. Satu hal yang membuatnya merasa bahagia adalah kehadiran Ferdi. Awal pertemuan mereka memang tidak begitu baik, tapi seiring berjalannya waktu mereka bisa berteman baik. Kana menghela napasnya pelan. Memang benar mereka hanya teman, tapi entah mengapa hatinya terasa sakit. Padahal ia sudah berjanji untuk tidak berharap pada siapa pun lagi.Kana berjalan menyusuri koridor menuju ruang kepala sekolah. Sedangkan Ferdi sudah melesat pergi ke arah gerbang. Ia sudah semakin dekat dengan cowok itu. Perasaan lebih dari tema
Gilang membuka matanya dengan perlahan. Pandangannya terasa memburam, semuanya abu-abu. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, barulah pengelihatannya berwarna. Ia melihat Faiz yang sedang menatapnya dengan cemas. Ada juga Kevin yang terus menundukkan kepalanya memandang ponsel. Gilang memaksa tubuhnya untuk bangkit, tapi ternyata sangat sulit."Jangan gerak dulu, Lang!" ucap Faiz.Gilang menghela napasnya pelan, ia kembali merebahkan tubuhnya di posisi yang paling nyaman. Ia memejamkan kedua matanya. Kejadian beberapa jam yang lalu kembali terlintas di otaknya. Ia sempat melihat mobil yang menabraknya tersebut. Honda Jazz berwarna merah terang. Tapi ia sama sekali tak ingat plat mobil tersebut. Jika mencarinya hanya berbekal nama dan warna mobil itu, pasti akan sangat sulit. Tak hanya ada satu atau dua orang yang memiliki mobil seperti itu."Lo ingat?" tanya Faiz.Gilang menggelengkan kepalanya. "Gue cuma ingat warna mobilnya."
Kana tiba di depan rumah sakit yang berada tak cukup jauh dari SMA Permata Putri. Ia dan Ferdi langsung menuju ruang rawat Gilang yang sudah diberitahukan oleh Mirna. Ia setengah berlari memasuki lift yang sebentar lagi tertutup. Untungnya, orang di dalam lift membiarkannya masuk terlebih dahulu. Kana melirik Ferdi yang sedari tadi hanya diam. Cowok itu menundukkan kepalanya."Terima kasih, Kak," gumam Kana.Ferdi beralih menatap Kana dengan senyum lebarnya. "Kesurupan hantu lift lo? Tumben manggil gue gitu."Kana terkekeh pelan. "Kayaknya iya."Ferdi melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kita ga bisa pulang hari ini, Na. Sudah hampir jam 10 malam."Kana mengangguk pelan. "Kita bisa tidur di rumah sakit.""Apa ga sebaiknya lo tidur di rumah Mirna? Biar gue yang di rumah sakit," ujar Ferdi.Kana tersenyum lebar lalu menepuk bahu Ferdi cukup keras. Ia benar-benar tidak berpiki