Kana mengunci dirinya di dalam ruang ganti khusus pegawai tersebut. Sesekali ia mengintip keadaan di luar melalui celah lubang kunci. Ia masih bisa melihat sosok Gilang yang menatap lurus ke ruangan tersebut. Ia benar-benar sudah tidak bisa menemui cowok itu lagi. Jantungnya yang berdetak tak karuan itu tanpa terasa membuat hatinya sakit. Kana menundukkan kepalanya, ucapan terakhir dari Gilang masih terngiang di kepalanya. Ia menarik napasnya sesaat, lalu mengembuskannya secara perlahan.
"Kana, kamu kenapa, Nduk?" tanya Bu Ningsih dengan nada khawatir.Kana sama sekali tak bisa mengatakan apa pun. Rasanya begitu sesak sampai sulit untuk berbicara. Ia sudah terlalu banyak merasakan luka yang dibuat oleh cowok itu. Setelah pergi menjauh dari Gilang, ia merasa hidupnya menjadi lebih baik. Bahkan ia sudah tak lagi membuang air matanya untuk satu kata yang bernama cinta tersebut."Na, tolong keluar."Kana memejamkan kedua matanya. Ia meLebih dari dua bulan setelah pertemuannya dengan Gilang, Kana sudah mampu melupakan kejadian itu. Ia mampu menjalani hari seperti biasanya, tapi tanpa gelar miss bad luck. Kana yang sekarang sudah sangat jauh dari kata sial. Ia benar-benar hidup layaknya remaja pada umumnya. Memiliki banyak teman, mendapat cukup banyak prestasi, dan disayangi guru."Gue tunggu di depan gerbang," ujar Ferdi.Kana tersenyum tipis, ia mengangguk pelan. Satu hal yang membuatnya merasa bahagia adalah kehadiran Ferdi. Awal pertemuan mereka memang tidak begitu baik, tapi seiring berjalannya waktu mereka bisa berteman baik. Kana menghela napasnya pelan. Memang benar mereka hanya teman, tapi entah mengapa hatinya terasa sakit. Padahal ia sudah berjanji untuk tidak berharap pada siapa pun lagi.Kana berjalan menyusuri koridor menuju ruang kepala sekolah. Sedangkan Ferdi sudah melesat pergi ke arah gerbang. Ia sudah semakin dekat dengan cowok itu. Perasaan lebih dari tema
Gilang membuka matanya dengan perlahan. Pandangannya terasa memburam, semuanya abu-abu. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, barulah pengelihatannya berwarna. Ia melihat Faiz yang sedang menatapnya dengan cemas. Ada juga Kevin yang terus menundukkan kepalanya memandang ponsel. Gilang memaksa tubuhnya untuk bangkit, tapi ternyata sangat sulit."Jangan gerak dulu, Lang!" ucap Faiz.Gilang menghela napasnya pelan, ia kembali merebahkan tubuhnya di posisi yang paling nyaman. Ia memejamkan kedua matanya. Kejadian beberapa jam yang lalu kembali terlintas di otaknya. Ia sempat melihat mobil yang menabraknya tersebut. Honda Jazz berwarna merah terang. Tapi ia sama sekali tak ingat plat mobil tersebut. Jika mencarinya hanya berbekal nama dan warna mobil itu, pasti akan sangat sulit. Tak hanya ada satu atau dua orang yang memiliki mobil seperti itu."Lo ingat?" tanya Faiz.Gilang menggelengkan kepalanya. "Gue cuma ingat warna mobilnya."
Kana tiba di depan rumah sakit yang berada tak cukup jauh dari SMA Permata Putri. Ia dan Ferdi langsung menuju ruang rawat Gilang yang sudah diberitahukan oleh Mirna. Ia setengah berlari memasuki lift yang sebentar lagi tertutup. Untungnya, orang di dalam lift membiarkannya masuk terlebih dahulu. Kana melirik Ferdi yang sedari tadi hanya diam. Cowok itu menundukkan kepalanya."Terima kasih, Kak," gumam Kana.Ferdi beralih menatap Kana dengan senyum lebarnya. "Kesurupan hantu lift lo? Tumben manggil gue gitu."Kana terkekeh pelan. "Kayaknya iya."Ferdi melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kita ga bisa pulang hari ini, Na. Sudah hampir jam 10 malam."Kana mengangguk pelan. "Kita bisa tidur di rumah sakit.""Apa ga sebaiknya lo tidur di rumah Mirna? Biar gue yang di rumah sakit," ujar Ferdi.Kana tersenyum lebar lalu menepuk bahu Ferdi cukup keras. Ia benar-benar tidak berpiki
Kana dan Ferdi sudah berada di dalam travel. Mereka memutuskan untuk langsung pulang walau hari sudah sangat larut. Selain karena tidak memiliki tempat tujuan, Kana juga sudah tidak ingin berada di sana. Ia lebih suka berada di rumah barunya. Hanya di rumah itulah ia bisa merasakan ketenangan walau tanpa harus diusik orang Gilang. Kana melirik Ferdi yang duduk di sampingnya, cowok itu nampak sudah memejamkan matanya. Kini menyisakan Kana seorang diri yang masih terjaga. Ia mengambil ponselnya, lalu membuka sosial media. Tiba-tiba ada permintaan pesan, ia pun langsung membukanya. Kana mendengus pelan, hidupnya sudah tidak lagi tenang. Cowok itu kembali akan menghantui kesehariannya seperti dahulu. Tanpa membuang waktu, Kana langsung memblokir akun tersebut."Siapa?"Kana menoleh ke arah Ferdi yang baru membuka matanya. Lalu ia menggeleng sambil tersenyum lebar. Kana kembali memasukkan ponsel ke tasnya. Namun Ferdi dengan cepat menahan ponsel itu sebelum masu
Waktu berlalu begitu cepat, Kana sedang bersiap pergi menghadiri acara perpisahan di sekolahnya. Sebentar lagi ia akan berpisah dengan Ferdi. Sebenarnya ia tak ingin berpisah, tapi cowok itu harus segera pergi ke Kanada. Ia berhasil mendapat beasiswa yang diinginkannya selama ini. Kana tidak bisa lagi menghalangi langkah Ferdi. Ia melihat gerbang sekolah yang terbuka lebar. Suasana begitu meriah, terutama saat kumpulan balon terikat di dekat tiang bendera. Balon itu nantinya akan terbangkan setelah wisuda selesai.Kana berlari kecil saat melihat Dewi yang melambaikan tangan ke arahnya. Cewek itu mengenakan seragam putih abu-abu dilengkapi almamater. Sahabatnya itu bertugas untuk menjaga pintu masuk bersama anggota osis lainnya. Kana tersenyum lebar lalu merangkul bahu Dewi. Walau mereka saling mengenal kurang dari satu tahun, tapi kedekatan mereka tidak diragukan lagi."Kamu udah ketemu sama Kak Ferdi?" tanya Kana.Dewi menggelengkan kepalanya.
Hari ini Gilang sudah berangkat ke Yogyakarta. Ia akan mengurus pendaftaran kuliahnya di salah satu universitas yang cukup ternama. Alasan utamanya memilih Yogyakarta adalah untuk bisa lebih dekat dengan Kana. Walaupun teman-temannya sudah bersikeras untuk memaksanya agar tetap ke Kanada, tapi cinta sudah membutakannya. Ia lebih memilih Kana."Hubungi papa kalau sudah selesai," kata papanya ketika sudah tiba di depan gerbang kampus.Gilang mendesis pelan. "Aku sudah besar pa, aku bisa pulang sendiri."Papanya mengangguk pelan. Apa yang dikatakan oleh putranya itu memang benar. Setelah kepergian papanya, Gilang segera memasuki universitas pilihannya tersebut. Deretan gedung yang besar langsung memanjakan kedua matanya. Ia menyusuri kawasan itu dan mencari tempat pembayaran. Setelah ditemukan, ia sangat terkejut saat melihat sosok Ren yang sudah lebih dahulu mengantri di loket pembayaran. Cewek itu menoleh, lalu terkejut saat melihat kehadiran Gi
Melihat Kana yang memejamkan matanya membuat Ferdi tak bisa menahan tawa. Ia langsung menjauh dan mundur dua langkah. Setelah itu Kana membuka matanya. Ia menatap Ferdi dengan kesal. Ia bergegas pergi, namun dengan cepat Ferdi menahan tangannya."Mau ke mana cantik?" goda Ferdi.Kana mendecak sebal. "Diam lo!"Dalam satu tarikan, Kana sudah ada di samping Ferdi."Apa sih?" tanya Kana dengan marah.Ferdi menghela napasnya pelan. Ia menggenggam kedua lengan Kana dengan lembut."Sebenarnya ada yang mau gue omongin sama lo, Na. Udah ya jangan marah lagi," kata Ferdi.Kana menjawabnya hanya dengan anggukan pelan. Setelah itu Ferdi melepas sebelah tangannya. Ia mengambil sesuatu dari sakunya. Ia meletakkannya di telapak tangan Kana. Ternyata sebuah kalung perak dengan lambang hati. Kana menatap Ferdi dengan bingung."Ini apa?" tanya Kana.Ferdi tersenyum tipis. "Ini bakwan,
"Menggambar itu harus pakai perasaan, Do. Biar orang yang lihat gambar kamu, bisa tau gimana perasaanmu."Begitu kata bibi selama proses pembelajaran awal. Edo menggambar garis yang tak beraturan dengan perasaan yang masih abu-abu. Ia tersenyum lebar saat melihat hasil gambarnya. Ia menunjukkannya pada sang bibi. Wajah bibinya sangat terkejut melihat gambar yang ada di kertas tersebut."Kamu kelas berapa sih, Do?" tanya bibinya yang langsung merampas kertas itu dari tangan Edo.Edo menggaruk tengkuknya. "Sudah lulus SMA, Bi.""Terus kenapa gambar kamu kayak anak SD?" tanya bibinya dengan kesal.Edo tersenyum tipis sambil mengangkat bahunya. Ia memang sama sekali tidak memiliki bakat dalam hal seni seperti itu. Bibinya memberikan kertas baru yang masih kosong pada keponakannya itu. Edo menyambar kertas itu dengan semangat yang membara. Ia tidak boleh gagal lagi. Kegagalannya itu pasti karena perasaannya belum tertuang k