Malam ini Kana terpaksa harus keluar rumah. Ibunya tak bisa pulang karena menjaga nenek yang sedang sakit. Sementara itu bahan makanan di rumah sudah habis. Ia harus mendatangi salah satu supermarket yang ada di dekat rumahnya, paling tidak ia bisa makan mie instan untuk mengisi perutnya.
"Akhirnya kelihatan juga tuh supermarket!"Kana menghela napasnya pelan, supermarket sudah ada di depan mata. Entah mengapa ia sangat lelah, mungkin karena belum makan sejak pulang dari sekolah. Ia pun mempercepat langkahnya agar cepat tiba di sana. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sebelum menyebrang ke tempat tujuannya tersebut. Sekiranya sudah aman, ia langsung membelah jalan itu dengan santai.Bruk!!Kana merasa tubuhnya seperti melayang beberapa detik. Lalu detik berikutnya, ia merasa tubuhnya menghantam jalan begitu keras. Tubuhnya sangat kaku, nafasnya tersengal-sengal. Ia bisa melihat sebuah mobil yang entah berasal dari mana suKana tetap memaksakan dirinya untuk datang ke sekolah. Edo sudah kembali pergi setelah mengantarnya ke rumah jam 4 pagi. Ia tidak suka berlama-lama di rumah sakit. Selain aromanya tidak sedap, biayanya juga akan lebih mahal. Maka dari itu ia memutuskan untuk pulang. Lagi pula perawatan sudah cukup untuk membuatnya kembali sehat.Kana menyusuri koridor sekolah dengan kepala yang menunduk. Sejak memasuki gerbang, semua murid menatapnya dengan aneh. Mungkin karena masih ada perban yang menempel di kepalanya. Ia sebisa mungkin tak mendengarkan cibiran yang menyelinap masuk ke telinganya."Kepala lo kenapa, Na?!"Kana langsung mengangkat kepalanya. Ia melihat Mirna yang tengah berlari ke arahnya. Wajah sahabatnya itu terlihat sangat cemas. Ia menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman manis. Ia tak ingin membuat sahabatnya khawatir."Lo ga boleh sekolah pokoknya, Na! Ayo pulang!" seru Mirna dengan wajah cemasnya.
Note : Karena banyaknya kontra di part ini, maka author memutuskan untuk merevisinya. Begitu juga dengan bab selanjutnya. Maaf jika membuat kalian menjadi tidak nyaman. Selamat membaca~ ~~~ "Na, lo disuruh ke perpustakaan sama Bu Endang," ujar teman sekelasnya yang bernama Putri. Kana tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Oke. Terima kasih, Put." Setelah mengucapkan itu, Kana segera bergegas menuju perpustakaan. Hari ini Mirna tak datang ke sekolah karena ayahnya sakit. Biasanya sahabatnya itu akan selalu mengikutinya jika harus keluar kelas di jam pelajaran. Katanya, dia bisa di jadikan sebagai penjaga jika ada yang menyakitinya. Kana tersenyum tipis mengingat sahabatnya tersebut. Ia berniat akan datang ke rumah Mirna pulang sekolah nanti. Ini bisa di bilang kunjungan pertamanya, selama bersahabat ia tak pernah datang ke rumah sahabatnya tersebut. "Kok gelap," gumam Kana dengan bingung.
Kana terdiam di depan rumahnya saat melihat sosok Gilang sudah bertengger di atas motor. Ia sengaja tak menjawab telepon dari cowok itu agar bisa menjauhinya. Tapi yang terjadi, cowok itu malah datang ke rumahnya. Gilang turun dari motornya, lalu menghampiri Kana. "Na, kenapa telepon gue ditolak?" Kana membuang tatapannya ke segala arah. "Ngapain ke sini?" "Jemput lo." Gilang tersenyum lalu menggenggam lengan Kana. "Lo ga rindu sama gue?" Kana menggelengkan kepalanya. "Sama sekali ga rindu." Gilang terkekeh pelan. "Jangan lupa besok gue ada pertandingan. Jangan nonton Drama Korea lagi." Kana tak menjawab, ia melepaskan tangannya yang digenggam oleh Gilang. Ia berjalan terlebih dahulu menuju motor yang selalu berhasil membuatnya kesulitan. Namun cowok itu nampaknya sangat peka. Gilang membantunya untuk naik ke atas motor ters
Kana sama sekali tak keluar dari kamarnya sejak pulang sekolah. Ia masih terus memikirkan apa yang terjadi pada Gilang hari ini. Mungkin sebaiknya ia yang jatuh saat itu. Ia tak seharusnya mencari tumpuan agar tak terjatuh. Kini Gilang yang harus menjadi korban dari tingkahnya. Ia memejamkan kedua matanya, tiba-tiba ponsel didekat kepalanya bergetar. Ia langsung bangun untuk melihat siapa yang meneleponnya.Saat melihat nama Edo, ia langsung menerima panggilan tersebut. Suara berat cowok itu langsung memasuki telinganya. Sudah cukup lama Kana tidak mendengar suara ini."Apa kabar, Na?" sapa Edo.Kana menghela napasnya, "Gue ga baik, Kak. Banyak masalah belakangan ini.""Masalah apa?" tanya Edo."Gue jadi sasaran bully gara-gara dekat sama Gi—""Sudah gue bilang, jangan dekat-dekat Gilang! Hidup lo jadi sulit sejak dekat sama dia," potong Edo."Gue juga baru saja bikin Gilang cedera. Pada
Matahari begitu menyengat, namun lapangan SMA Permata Putri masih tetap dipadati para murid yang ingin menyaksikan pertandingan basket. Begitu juga dengan Kana, ia duduk di pinggir lapangan seorang diri. Ilham terlihat melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Ilham merupakan salah satu pemain yang cukup berbakat di tim tersebut."Semangat, Ham!" teriak Kana.Ilham hanya membalasnya dengan cengiran, ia membuat jarinya membentuk lambang hati. Kana pun ikut membentuk jarinya seperti itu. Tanpa mereka sadari, Fahri menatap dengan iri."Lo ga semangatin gue, Na?" tanya Fahri.Kana mengedikkan bahunya. "Kepala lo tuh masih putih!"Fahri langsung mengusap belakang kepalanya. Benar saja, masih ada tepung di belakang kepalanya. Ia langsung berlari menuju kran air yang terletak di dekat tempat duduk Kana. Ia langsung membasahi belakang kepalanya dengan air, kemudian ia mengibas-ngibas rambutnya hingga air menyiprat ke segala arah.
Kana mengamati selembar kertas itu dengan mata berkaca-kaca. Ia tak menyangka insiden beberapa hari yang lalu itu berhasil membuat hidupnya menjadi berantakan. Ibunya hanya bisa menunduk sambil menangis. Kana memeluk ibunya tersebut. Ia tak henti-hentinya meminta maaf pada ibunya. "Besok kita urus ke sekolah ya, Na," ujar ibunya. Kana menganggukkan kepalanya dengan senyum yang dipaksakan. "Kamu tidak perlu bersekolah di sana lagi," gumam ibunya pelan. Kana membeku di tempatnya. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menangis di dalam pelukan ibunya. Sebenarnya isi surat itu hanya memberitahukan masa skors selama satu minggu. Tapi ternyata ibunya lebih memilih untuk memindahkannya dari sekolah itu. Ibunya langsung melepas pelukannya. "Kita pindah ke kampung ayah kamu, Na." Kana mengangguk dengan terpaksa. Lalu ia segera pergi ke kamarnya. Sejujurnya, Kana sama sekali tidak berniat untuk pindah sekolah. Ia ya
Gilang terus berdiri di depan gerbang sampai hampir menunjukkan pukul 7 pagi. Ia terus menatap semua murid yang memasuki gerbang tersebut. Ia rela berdiri seperti pajangan hanya untuk menunggu Kana. Ia ingin segera meminta maaf kejadian beberapa hari yang lalu. Mungkin seharusnya ia tak mengajukan hukuman skors untuk Kana. Hari ini sudah seminggu sejak masa skors diberikan padanya. Gilang benar-benar merasa bersalah. Ia harus segera minta maaf sebelum menyesal. Gilang langsung menghadang Fahri yang baru saja datang. Ia langsung menarik cowok itu ke pinggir lapangan.Fahri yang ditarik pun hanya bisa menatap Gilang dengan bingung. Ia mengerjapkan matanya sesaat. Ia langsung melepaskan tangannya tersebut."Kenapa lo?" tanya Fahri."Kok Kana belum datang?" tanya Gilang.Fahri mengedikkan bahunya. "Mungkin telat. Lo kayak ga tau dia aja."Gilang mendesis pelan, ia mengusap wajahnya kasar. "Ini hari senin, Ri. Ga mungkin di
Kana melintasi gerbang SMA Buara dengan sangat hati-hati. Ia sudah tak melihat siapa pun disekitarnya. Pasti semua murid sudah pulang, maka dari itu ia akan aman tanpa gangguan. Ia merentangkan kedua tangannya seolah baru bebas dari penjara. Ia menyusuri jalan yang begitu sepi menuju rumahnya. Sebenarnya jarak dari rumah Kana ke sekolah cukup dekat. Tidak seperti saat bersekolah di SMA Permata Putri. Ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Ia menoleh sekilas, berjaga-jaga jika itu sosok yang sedang ia hindari. Tapi ternyata hanyalah dua orang pria yang mungkin berusia 40 tahunan. Kana kembali fokus pada langkahnya."Ayu tenan," gumam salah satu pria tersebut.Kana mulai merasa ada sesuatu yang tidak baik. Ia mulai mempercepat langkahnya. Tapi ia merasa dua orang yang ada di belakangnya itu semakin melangkah cepat. Ia merasa seperti sedang dikejar oleh sesuatu. Ia kembali mempercepat langkahnya, tapi kedua orang itu tidak mau kalah. Kana menolehkan kepalan
Halo semuanya.Author Fit menerbitkan beberapa karya baru loh. Kalian lebih suka cerita romance atau thriller guys? Jujur aja, sebenarnya saya lebih handal menulis cerita horor/thriller. Setiap harinya saya merasa tidak pernah mengalami writer block. Tapi jika saya hanya mengikuti keinginan pribadi,cerita saya tidak akan laku di pasarannya. Hampir semua platform mengedepankan cerita romance.Oh iya, saya juga menulis di beberapa platform lainnya. mohon dukungannya untuk para pembaca ^^Sekian, untuk School Diary season 2 akan rilis bulan depan. Sedikit bocoran, judulnya akan berubah karena di season 2 lebih membahas tentang kehidupan setelah sekolah.Terima kasih atas perhatiannya ^^Terima kasih.Salam author Fit.
Kini 6 bulan berlalu usai pertemuan terakhirnya dengan Gilang, kini Kana sedikit demi sedikit sudah bisa melupakan cowo itu. Rasa yang dahulu menumpuk hingga setinggi gunung, kini mulai sirna. Buktinya, ia bisa duduk tenang walau nama Gilang terpampang di layar ponselnya. Cowo itu sudah berkali-kali menghubunginya, namun ia enggan untuk menjawab panggilan tersebut."Kana, ponselnya tolong dimatikan."Kana menatap ponselnya sebentar, lalu ia mengangguk. Ia langsung mematikan ponselnya tanpa memikirkan bagaimana perasaan Gilang saat ini. Dewi yang duduk di sebelah Kana hanya bisa tersenyum tipis. Ia sudah mengetahui cukup banyak terkait cowo bernama Gilang.Masa lalu Kana yang cukup menyakitkan."Nanti pulang sekolah kita belajar bareng, 'kan?" kata Dewi setengah berbisik.Kana menoleh ke arah Dewi, lalu ia mengangguk mantap. "Jelas.""Gapapa tuh teleponmu dimatiin? Gilang engga akan datang ke sini, 'kan?" tanya Dewi.Kana mengedikkan b
"Menggambar itu harus pakai perasaan, Do. Biar orang yang lihat gambar kamu, bisa tau gimana perasaanmu."Begitu kata bibi selama proses pembelajaran awal. Edo menggambar garis yang tak beraturan dengan perasaan yang masih abu-abu. Ia tersenyum lebar saat melihat hasil gambarnya. Ia menunjukkannya pada sang bibi. Wajah bibinya sangat terkejut melihat gambar yang ada di kertas tersebut."Kamu kelas berapa sih, Do?" tanya bibinya yang langsung merampas kertas itu dari tangan Edo.Edo menggaruk tengkuknya. "Sudah lulus SMA, Bi.""Terus kenapa gambar kamu kayak anak SD?" tanya bibinya dengan kesal.Edo tersenyum tipis sambil mengangkat bahunya. Ia memang sama sekali tidak memiliki bakat dalam hal seni seperti itu. Bibinya memberikan kertas baru yang masih kosong pada keponakannya itu. Edo menyambar kertas itu dengan semangat yang membara. Ia tidak boleh gagal lagi. Kegagalannya itu pasti karena perasaannya belum tertuang k
Melihat Kana yang memejamkan matanya membuat Ferdi tak bisa menahan tawa. Ia langsung menjauh dan mundur dua langkah. Setelah itu Kana membuka matanya. Ia menatap Ferdi dengan kesal. Ia bergegas pergi, namun dengan cepat Ferdi menahan tangannya."Mau ke mana cantik?" goda Ferdi.Kana mendecak sebal. "Diam lo!"Dalam satu tarikan, Kana sudah ada di samping Ferdi."Apa sih?" tanya Kana dengan marah.Ferdi menghela napasnya pelan. Ia menggenggam kedua lengan Kana dengan lembut."Sebenarnya ada yang mau gue omongin sama lo, Na. Udah ya jangan marah lagi," kata Ferdi.Kana menjawabnya hanya dengan anggukan pelan. Setelah itu Ferdi melepas sebelah tangannya. Ia mengambil sesuatu dari sakunya. Ia meletakkannya di telapak tangan Kana. Ternyata sebuah kalung perak dengan lambang hati. Kana menatap Ferdi dengan bingung."Ini apa?" tanya Kana.Ferdi tersenyum tipis. "Ini bakwan,
Hari ini Gilang sudah berangkat ke Yogyakarta. Ia akan mengurus pendaftaran kuliahnya di salah satu universitas yang cukup ternama. Alasan utamanya memilih Yogyakarta adalah untuk bisa lebih dekat dengan Kana. Walaupun teman-temannya sudah bersikeras untuk memaksanya agar tetap ke Kanada, tapi cinta sudah membutakannya. Ia lebih memilih Kana."Hubungi papa kalau sudah selesai," kata papanya ketika sudah tiba di depan gerbang kampus.Gilang mendesis pelan. "Aku sudah besar pa, aku bisa pulang sendiri."Papanya mengangguk pelan. Apa yang dikatakan oleh putranya itu memang benar. Setelah kepergian papanya, Gilang segera memasuki universitas pilihannya tersebut. Deretan gedung yang besar langsung memanjakan kedua matanya. Ia menyusuri kawasan itu dan mencari tempat pembayaran. Setelah ditemukan, ia sangat terkejut saat melihat sosok Ren yang sudah lebih dahulu mengantri di loket pembayaran. Cewek itu menoleh, lalu terkejut saat melihat kehadiran Gi
Waktu berlalu begitu cepat, Kana sedang bersiap pergi menghadiri acara perpisahan di sekolahnya. Sebentar lagi ia akan berpisah dengan Ferdi. Sebenarnya ia tak ingin berpisah, tapi cowok itu harus segera pergi ke Kanada. Ia berhasil mendapat beasiswa yang diinginkannya selama ini. Kana tidak bisa lagi menghalangi langkah Ferdi. Ia melihat gerbang sekolah yang terbuka lebar. Suasana begitu meriah, terutama saat kumpulan balon terikat di dekat tiang bendera. Balon itu nantinya akan terbangkan setelah wisuda selesai.Kana berlari kecil saat melihat Dewi yang melambaikan tangan ke arahnya. Cewek itu mengenakan seragam putih abu-abu dilengkapi almamater. Sahabatnya itu bertugas untuk menjaga pintu masuk bersama anggota osis lainnya. Kana tersenyum lebar lalu merangkul bahu Dewi. Walau mereka saling mengenal kurang dari satu tahun, tapi kedekatan mereka tidak diragukan lagi."Kamu udah ketemu sama Kak Ferdi?" tanya Kana.Dewi menggelengkan kepalanya.
Kana dan Ferdi sudah berada di dalam travel. Mereka memutuskan untuk langsung pulang walau hari sudah sangat larut. Selain karena tidak memiliki tempat tujuan, Kana juga sudah tidak ingin berada di sana. Ia lebih suka berada di rumah barunya. Hanya di rumah itulah ia bisa merasakan ketenangan walau tanpa harus diusik orang Gilang. Kana melirik Ferdi yang duduk di sampingnya, cowok itu nampak sudah memejamkan matanya. Kini menyisakan Kana seorang diri yang masih terjaga. Ia mengambil ponselnya, lalu membuka sosial media. Tiba-tiba ada permintaan pesan, ia pun langsung membukanya. Kana mendengus pelan, hidupnya sudah tidak lagi tenang. Cowok itu kembali akan menghantui kesehariannya seperti dahulu. Tanpa membuang waktu, Kana langsung memblokir akun tersebut."Siapa?"Kana menoleh ke arah Ferdi yang baru membuka matanya. Lalu ia menggeleng sambil tersenyum lebar. Kana kembali memasukkan ponsel ke tasnya. Namun Ferdi dengan cepat menahan ponsel itu sebelum masu
Kana tiba di depan rumah sakit yang berada tak cukup jauh dari SMA Permata Putri. Ia dan Ferdi langsung menuju ruang rawat Gilang yang sudah diberitahukan oleh Mirna. Ia setengah berlari memasuki lift yang sebentar lagi tertutup. Untungnya, orang di dalam lift membiarkannya masuk terlebih dahulu. Kana melirik Ferdi yang sedari tadi hanya diam. Cowok itu menundukkan kepalanya."Terima kasih, Kak," gumam Kana.Ferdi beralih menatap Kana dengan senyum lebarnya. "Kesurupan hantu lift lo? Tumben manggil gue gitu."Kana terkekeh pelan. "Kayaknya iya."Ferdi melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kita ga bisa pulang hari ini, Na. Sudah hampir jam 10 malam."Kana mengangguk pelan. "Kita bisa tidur di rumah sakit.""Apa ga sebaiknya lo tidur di rumah Mirna? Biar gue yang di rumah sakit," ujar Ferdi.Kana tersenyum lebar lalu menepuk bahu Ferdi cukup keras. Ia benar-benar tidak berpiki
Gilang membuka matanya dengan perlahan. Pandangannya terasa memburam, semuanya abu-abu. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, barulah pengelihatannya berwarna. Ia melihat Faiz yang sedang menatapnya dengan cemas. Ada juga Kevin yang terus menundukkan kepalanya memandang ponsel. Gilang memaksa tubuhnya untuk bangkit, tapi ternyata sangat sulit."Jangan gerak dulu, Lang!" ucap Faiz.Gilang menghela napasnya pelan, ia kembali merebahkan tubuhnya di posisi yang paling nyaman. Ia memejamkan kedua matanya. Kejadian beberapa jam yang lalu kembali terlintas di otaknya. Ia sempat melihat mobil yang menabraknya tersebut. Honda Jazz berwarna merah terang. Tapi ia sama sekali tak ingat plat mobil tersebut. Jika mencarinya hanya berbekal nama dan warna mobil itu, pasti akan sangat sulit. Tak hanya ada satu atau dua orang yang memiliki mobil seperti itu."Lo ingat?" tanya Faiz.Gilang menggelengkan kepalanya. "Gue cuma ingat warna mobilnya."