"Ibu lo kemana, Na?" tanya Gilang.
Kana yang sedang merapihkan barang di dapur itu menoleh sekilas. "Pergi ke rumah nenek."
Gilang menganggukan kepalanya, sedangkan matanya terus mengawasi gerak-gerik perempuan tersebut. Perempuan itu berulang kali berjongkok dan berdiri merapihkan peralatan dapur yang tergeletak di lantai. Ia perlahan mendekati Kana yang masih sibuk dengan kegiatannya. Lalu ia secepat mungkin menahan lengan Kana. Hal itu tentu saja membuat Kana menatapnya dengan bingung.
"Kenapa?" tanya Kana.
"Lo hampir pegang pisau." ujar Gilang yang langsung menarik tangannya.
Kana menganggukan kepalanya. "Gue juga lihat kok ada pisau."
Gilang mendesis pelan. "Maka dari itu, Na. Lo lihat ada pisau, tapi tetap lo pegang. Kalau tangan lo luka gimana?"
Kana mengedikan bahunya. "Pasti mengerikan banget ya, Lang. Tapi sayangnya usia gue sudah terlalu tua buat ceroboh kayak gitu."
"Tuaan gue." ujar Gilang.
Kana mendecih pel
Kana menatap laki-laki di sampingnya itu dengan sebal. Saat ini ia tak ingin bertemu dengan laki-laki ini, tapi nampaknya ia tak punya pilihan lain. "Jadi apa yang mau lo bicarakan sama gue?" tanya Kana. "Soal semalam--" Kana membelalakan kedua matanya. "Gak! Itu ga perlu dibicarakan sekarang!" "Lah, kenapa? Gue yakin lo pasti kepikiran soal semalam. Iya, 'kan? " tanya Gilang. Kana menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Gue sama sekali ga kepikiran. Gue ngerti lo cuma bingung. Makanya--" "Gue sama sekali ga bingung saat itu. Gue seng--" Kana langsung membekap mulut Gilang dengan telapak tangannya. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Ia sama sekali tak ingin membicarakan kejadian semalam. Perlahan ia melepaskan tangannya saat laki-laki itu sudah tak mengatakan apa pun. "Gue suka sama lo, Na," gumam Gilang. Tubuh Kana membeku, ia sama sekali tak bisa bergerak saat mendengar ucapan
"Kana! Posisi tangan mu salah!"Kana mendengus sebal menatap Gilang yang berdiri di sampingnya. Sedangkan yang ditatap itu hanya menaikan sebelah alisnya dengan bingung."Tangan lo salah, Na ...," bisik Gilang.Kana tersenyum tipis sambil berkata, "Mata lo juga salah!""Kana, Mengapa kamu berteriak pada Gilang?" tanya Bu Endang yang mengawasi mereka di pinggir lapangan.Kana menggelengkan kepalanya lemah. Ia melirik Gilang yang terus menatap tiang bendera. Untuk pertama kali ia melihat sosok populer itu di hukum seperti ini. Andai saja ia tidak terlalu menikmati permainan cowok ini. Pasti mereka tidak akan di hukum."Na ...," panggil Gilang lirih.Kana menoleh sekilas. "Kenapa?""Gue ga mau putus, Na ...." Gilang menarik ujung seragam Kana dengan tangan bebasnya. "Gue sayang sama lo. Serius ....""Gilang! Tangan kamu genit banget ya!" teriak Bu Endang dengan suata nya
Kana menyapukan pandangannya ke segala arah. Hamparan rumput hijau yang cukup luas membentang dari depan gerbang sampai teras rumah berwarna biru muda. Untuk pertama kalinya ia melihat rumah yang begitu nyaman untuk ditempati oleh manusia."Ini rumah lo?" tanya Kana.Gilang yang sedang memarkir motornya pun menjawab, "Iya, sorry ya ga mewah.""Menurut gue ga penting mewah atau sederhana. Yang penting lo nyaman tinggal disana," ujar Kana sambil tersenyum.Mendengar ucapan cewek itu, Gilang pun tersenyum. Ia mengamit lengan Kana dan menariknya masuk ke dalam rumah. Ia tak menemukan siapapun di dalam rumah selain kucing yang langsung menghambur ke arahnya."Papa lo kemana?" tanya Kana.Gilang mengedikan bahunya. "Gue juga ga tahu. Mungkin papa lagi pergi sama adik gue."Kana sontak menoleh ke arah Gilang. "Lo punya adik? Kok gue ga tahu?""Tapi sekarang sudah tahu, 'kan?" kata Gilang
Bugh! Kana menarik nafasnya dalam-dalam. Hari nya baru dimulai beberapa jam yang lalu, tapi sudah di sambut hal yang buruk. Sebuah bola plastik menghantam belakang kepalanya cukup keras. Ia mengusap belakang kepalanya yang terasa sakit. Lalu ia menolehkan kepalanya ke arah bola itu berasal. Kana dapat melihat beberapa cowo dari kelas X menatapnya sambil tertawa. Ia ingin marah, tapi melihat jumlah mereka akhirnya ia pun memutuskan untuk melanjutkan langkahnya menuju ke kelas. Sepanjang perjalanan menuju kelas, Kana selalu saja mendengar bisikan-bisikan yang menyebut namanya. Sekilas ia mendengar ucapan yang tak enak di dengar tentangnya. Tapi sebisa mungkin ia menulikan telinganya. Saat tiba di depan kelas, Kana melihat Edo yang sedang berdiri di depan kelasnya. Pikirannya lagi-lagi mengingat kejadian semalam. Tapi ia yakin Edo tak akan mengingatnya karena mabuk. "Na," panggil Edo. Kana menarik kedua sudur bibir
"Kalau lo ga bisa jaga hati, lebih baik lo putus sama Gilang!"Teriakan cewek di hadapannya itu terdengar menggema di dalam toilet. Belum genap jam 10, tapi harinya sudah seburuk ini. Kepalanya terhuyung saat rambutnya di tarik dari segala arah. Bahkan kepalanya berulang kali di tampar. Walau kepalanya terasa sakit, tapi ia menyempatkan waktu untuk melirik badge nama cewek itu.Rena Anggraeni.Kana sangat mengenal cewek ini. Rena satu-satunya cewek yang bisa dekat dengan Gilang untuk waktu yang lama. Mereka berteman sejak taman kanak-kanak. Maka dari itu banyak rumor yang sempat mengatakan bahwa mereka berpacaran. Padahal mereka hanya bersahabat.Di belakang Rena berdiri 2 cewek yang seperti bodyguardnya. Sedangkan 1 cewek lagi berjaga di depan pintu toilet, memastikan tak ada yang masuk ke sana."Lo ga pantas sama Gilang, Na!" seru Rena.Rena tersenyum kecut menatap wajah Kana. "Gue sudah terlalu la
Sudah dua hari sejak pertemuan terakhirnya dengan Kana. Sampai saat ini Gilang hanya bisa memandangi cewek itu dari kejauhan. Cewek itu terlihat tak sehat, bahkan terlihat lebih kurus dari biasanya. Apa mungkin cewek itu tak makan martabak sejak pertemuan terakhirnya?Kini Gilang sudah tak punya alasan untuk bertanya tentang keadaan Kana. Ia juga sudah tak punya alasan untuk mendatangi cewek itu lagi, apalagi menariknya keluar dari kantin. Padahal sebelumnya rutinitas itu selalu ia lakukan. Memaksa Kana sudah menjadi kebiasaan baginya.Kana mengalihkan tatapannya ke meja Gilang. Tatapan mereka tanpa sengaja bertemu. Mereka bisa saling merasakan luka mendalam lewat tatapan tersebut."Na, lo besok datang kan?" tanya Ilham.Kana segera mengalihkan tatapannya ke arah Ilham, lalu mengangguk. "Gue bareng sama Mirna."Ilham bertepuk tangan sekali dengan senyum lebar. "Oke berarti cukup orang ya. Kalau ada yang berhalangan bis
Kana dengan malas membuka matanya saat merasakan tubuhnya diguncang. Walau terpaksa, tapi ia tetap membuka kedua matanya. Ia melihat sosok Gilang sedang berdiri di sampingnya."Ayo pulang, Na."Kana tersenyum tipis dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih. Lalu ia menganggukkan kepalanya. Ia bangun dari ranjang tersebut, tapi kepalanya terasa sangat nyeri. Apa mungkin karena ia terlalu banyak tidur?"Aduh ... kepala gue sakit," rintihnya.Gilang berbalik lalu membungkuk. "Naik, kita harus segera pergi dari sini sebelum ada yang lihat."Kana menatap punggung Gilang dengan ragu. "Lo yakin? Gue berat loh."Gilang mendengus sebal. "Cepat naik."Mendengar Gilang yang sudah mulai tak ramah, akhirnya Kana memberanikan naik ke punggung cowok tersebut. Lalu dengan perlahan cowok itu mulai berjalan meninggalkan ruang UKS."Tas--""Di motor gue."Kana tersenyum
Kana menggeliat di atas tempat tidurnya. Dering ponsel begitu mengganggu tidurnya. Ia pun dengan malas membuka kedua matanya. Pandangannya masih terasa samar, ia menggunakan tangan kanannya untuk meraih ponsel di meja. Setelah mendapatkan apa yang dicari, ia pun menggeser layar ponselnya. "Halo," ucap Kana dengan suara lemah. "Na, lo ga lupa kan kalau gue ada pertandingan basket?" Kana mengernyitkan dahinya saat mendengar suara cowok. Ia belum sempat melihat siapa yang meneleponnya sepagi ini. "Hah?" ujar Kana. "Lo masih tidur?" "Ini siapa?" tanya Kana. "Lo jawab telepon ga lihat namanya dulu?" Kana pun menjauhkan ponselnya. Ia memicingkan matanya menatap layar ponsel, walau samar ia bisa melihat nama Gilang penuh dengan huruf kapital di layar ponselnya. Kana mendeham pelan lalu mendekatkan kembali ponsel ke telinganya. "Pertandingan apa?" tanya Kana.