"Kalau lo ga bisa jaga hati, lebih baik lo putus sama Gilang!"
Teriakan cewek di hadapannya itu terdengar menggema di dalam toilet. Belum genap jam 10, tapi harinya sudah seburuk ini. Kepalanya terhuyung saat rambutnya di tarik dari segala arah. Bahkan kepalanya berulang kali di tampar. Walau kepalanya terasa sakit, tapi ia menyempatkan waktu untuk melirik badge nama cewek itu.Rena Anggraeni.Kana sangat mengenal cewek ini. Rena satu-satunya cewek yang bisa dekat dengan Gilang untuk waktu yang lama. Mereka berteman sejak taman kanak-kanak. Maka dari itu banyak rumor yang sempat mengatakan bahwa mereka berpacaran. Padahal mereka hanya bersahabat.Di belakang Rena berdiri 2 cewek yang seperti bodyguardnya. Sedangkan 1 cewek lagi berjaga di depan pintu toilet, memastikan tak ada yang masuk ke sana."Lo ga pantas sama Gilang, Na!" seru Rena.Rena tersenyum kecut menatap wajah Kana. "Gue sudah terlalu laSudah dua hari sejak pertemuan terakhirnya dengan Kana. Sampai saat ini Gilang hanya bisa memandangi cewek itu dari kejauhan. Cewek itu terlihat tak sehat, bahkan terlihat lebih kurus dari biasanya. Apa mungkin cewek itu tak makan martabak sejak pertemuan terakhirnya?Kini Gilang sudah tak punya alasan untuk bertanya tentang keadaan Kana. Ia juga sudah tak punya alasan untuk mendatangi cewek itu lagi, apalagi menariknya keluar dari kantin. Padahal sebelumnya rutinitas itu selalu ia lakukan. Memaksa Kana sudah menjadi kebiasaan baginya.Kana mengalihkan tatapannya ke meja Gilang. Tatapan mereka tanpa sengaja bertemu. Mereka bisa saling merasakan luka mendalam lewat tatapan tersebut."Na, lo besok datang kan?" tanya Ilham.Kana segera mengalihkan tatapannya ke arah Ilham, lalu mengangguk. "Gue bareng sama Mirna."Ilham bertepuk tangan sekali dengan senyum lebar. "Oke berarti cukup orang ya. Kalau ada yang berhalangan bis
Kana dengan malas membuka matanya saat merasakan tubuhnya diguncang. Walau terpaksa, tapi ia tetap membuka kedua matanya. Ia melihat sosok Gilang sedang berdiri di sampingnya."Ayo pulang, Na."Kana tersenyum tipis dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih. Lalu ia menganggukkan kepalanya. Ia bangun dari ranjang tersebut, tapi kepalanya terasa sangat nyeri. Apa mungkin karena ia terlalu banyak tidur?"Aduh ... kepala gue sakit," rintihnya.Gilang berbalik lalu membungkuk. "Naik, kita harus segera pergi dari sini sebelum ada yang lihat."Kana menatap punggung Gilang dengan ragu. "Lo yakin? Gue berat loh."Gilang mendengus sebal. "Cepat naik."Mendengar Gilang yang sudah mulai tak ramah, akhirnya Kana memberanikan naik ke punggung cowok tersebut. Lalu dengan perlahan cowok itu mulai berjalan meninggalkan ruang UKS."Tas--""Di motor gue."Kana tersenyum
Kana menggeliat di atas tempat tidurnya. Dering ponsel begitu mengganggu tidurnya. Ia pun dengan malas membuka kedua matanya. Pandangannya masih terasa samar, ia menggunakan tangan kanannya untuk meraih ponsel di meja. Setelah mendapatkan apa yang dicari, ia pun menggeser layar ponselnya. "Halo," ucap Kana dengan suara lemah. "Na, lo ga lupa kan kalau gue ada pertandingan basket?" Kana mengernyitkan dahinya saat mendengar suara cowok. Ia belum sempat melihat siapa yang meneleponnya sepagi ini. "Hah?" ujar Kana. "Lo masih tidur?" "Ini siapa?" tanya Kana. "Lo jawab telepon ga lihat namanya dulu?" Kana pun menjauhkan ponselnya. Ia memicingkan matanya menatap layar ponsel, walau samar ia bisa melihat nama Gilang penuh dengan huruf kapital di layar ponselnya. Kana mendeham pelan lalu mendekatkan kembali ponsel ke telinganya. "Pertandingan apa?" tanya Kana.
Gilang tiba di depan rumahnya tepat pukul 1 siang. Ia tak pulang sendirian, di belakangnya sudah berdiri 4 anggota tim basketnya. Ada Faiz, Kevin, Fahri, dan Ilham. Mereka berencana untuk merayakan kemenangan timnya.Gilang mempersilahkan mereka untuk duduk di kursi yang sudah tersedia. Lalu ia pun pamit untuk mengganti pakaiannya. Setibanya di dalam kamar, ia teringat dengan Kana. Cewek itu lagi-lagi berhasil membuatnya merasa resah, pikirannya menjadi tak tenang. Ia mengusap wajahnya dengan kasar."Gue ga bisa biarkan lo dekat sama Edo," gumam Gilang pelan.Gilang teringat dengan kedua sahabat Kana yang ada di rumahnya. Ia bisa saja mencari informasi tentang cewek itu melalui kedua orang tersebut. Ia pun segera keluar dari kamarnya."Gue lagi di rumah Gilang. Kenapa, Na?"Gilang langsung menoleh ke sumber suara tersebut. Ia melihat Ilham yang berdiri di bibir pintu utama. Nampaknya cowok itu sedang mengobrol dengan K
Matahari sudah kembali menyapa semua orang. Kana sedang duduk di ruang tamu. Sesekali ia menatap wajahnya di layar ponsel. Ia sudah bangun sejak matahari belum menunjukkan sinarnya. Ia merasa semuanya seperti deja vu. Ia sudah pernah menunggu Edo, namun hasilnya cukup menyedihkan. Ia berharap kejadian itu tak akan terulang kembali.Waktu terus berjalan, sudah lebih dari 30 menit ia menunggu kedatangan Edo. Tapi nampaknya cowok itu tak kunjung datang. Lagi dan lagi, penantiannya menjadi sia-sia. Ia pun memutuskan untuk menghubungi cowok itu agar dapat mengetahui alasannya tak kunjung datang. Panggilan langsung di jawab, ia memilih untuk diam tanpa mengatakan apapun."Na," sapa Edo terlebih dahulu."Kak Edo dimana?" tanya Kana.Edo terdiam sejenak, lalu terdengar helaan nafas pelan. "Maaf, Na. Gue ga bisa ke sana."Kana terkekeh pelan. "Santai, Kak. Gue sudah biasa.""Jangan begitu--""Gue tutup
Kana menolehkan kepalanya ke segala arah. Ia sudah tiba di sekolah saat gerbang masih terkunci. Tujuannya hanya satu, mencari Edo yang dari semalam tak bisa dihubungi. Waktu terus berjalan, sudah banyak murid yang tiba di sekolah. Tapi orang yang dicari olehnya belum juga menunjukkan batang hidungnya.Tak lama ia melihat Gilang yang datang bersama Mirna. Ia sudah biasa saja melihat kedekatan dua orang itu. Sahabatnya pun sudah mengatakan bahwa hubungan mereka hanya teman dekat. Maka dari itu ia sudah tak mengambil pusing hubungan keduanya."Tumben lo sudah datang, gantiin satpam?" ledek Gilang."Lo lihat Kak Edo ga?" tanya Kana tanpa menjawab pertanyaan cowok itu.Gilang menggelengkan kepalanya. "Emangnya kenapa? Lo ada urusan apa sama dia?"Kana menggelengkan kepalanya. Ia mengambil langkah seribu menuju kelas, lalu menyambar tasnya. Setelah itu ia berlari keluar dari lingkungan sekolah. Ia bahkan tak memperdulikan se
Edo tiba di rumahnya setelah memaksa sopir kepercayaan ayahnya. Namun kondisi rumahnya sudah sepi dan gerbang sudah terkunci. Ia yakin Kana dan Faiz sudah pergi. Ia pun menyuruh sopir itu untuk kembali melanjutkan perjalanan.Saat di tengah perjalanan, mata Edo menangkap sosok Kana yang sedang berjalan dengan langkah gontai. Ia pun menyuruh sopir itu untuk menghentikan mobil. Setelah itu ia berlari ke arah cewek yang menarik perhatiannya tersebut."Na!" panggilnya dengan suara lantang.Kana menoleh hingga memperlihatkan mata sembabnya. Melihat kondisi cewek itu membuat Edo merasa sangat bersalah dan menyesal dengan pilihannya.Edo berlari kecil menghampiri Kana yang terus bergeming di tempatnya. Ia pun segera memeluk tubuh mungil cewek itu. Walau pun jalan cukup ramai, tapi itu sama sekali tak membuatnya malu. Rasa rindunya sudah berhasil mengalahkan semua rasa malunya."Kak Edo," gumam Kana pelan.Edo men
Dua hari sejak kepergian Edo membuat Kana merasa kehilangan. Ia mengingat moment kebersamaan dengan cowok itu. Tapi semuanya kini sudah menghilang. Bahkan Gilang juga perlahan sudah mulai menjauhinya. Mungkin ini buah dari keserakahannya.Kana menatap malas papan tulis di depan kelas itu. Ia enggan mencatat semua huruf yang ada disana, tapi dengan terpaksa ia mencatatnya. Tatapan elang Bu Endang seakan siap menerkam siapa pun yang tidak mencatat tugasnya."Kana!"Kana sontak bangun dari kursinya. "Iya, Bu.""Tumben kamu mencatat," ujar Bu Endang.Kana tersenyum tipis. "Iya, Bu. Sebentar lagi kan mau kelas 3."Bu Endang tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya. Namun hal itu justru mengingatkan kesan terakhir yang ditinggalkan oleh Gilang. Setelah memberi pujian semacam hinaan, cowok itu menghilang entah kemana. Kana kembali duduk di kursinya dan kembali mencatat sebelum bu Endang berubah pikiran.