Kana harus terjebak di lapangan sekolah saat semua siswa sudah pulang ke rumah. Mata Kana terus menatap dengan bosan ke arah kedua laki-laki yang sedang menyapu lapangan. Mereka sesekali terlihat bertengkar karena masalah perbatasan. Kana menghela nafasnya berat, entah sudah berapa laka ia duduk di pinggir lapangan. Kana pun memutuskan untuk menghampiri Gilang yang paling dekat dengannya. Kana menepuk bahu Gilang yang sedang fokus menyapu lapangan bagiannya.
"Gue mau pulang." ujar Kana.
Gilang mendelikkan kedua matanya saat mendengar ucapan Kana. Lalu ia menggelengkan kepalanya.
"Ga boleh, Na. Lo ga lihat gue luka-luka gini karena lo!" protes Gilang dengan suara cukup keras.
Edo yang semula sedang menyapu pun mulai menoleh ke arah Kana dan Gilang yang terlibat perselisihan. Ia memilih tetap di tempatnya dan mendengarkan saja.
"Gue ga minta lo bertengkar kayak gini." ujar Kana pelan.
Gilang menoleh ke arah Edo dan menudingkan jari telunjuknya
"Ibu lo kemana, Na?" tanya Gilang.Kana yang sedang merapihkan barang di dapur itu menoleh sekilas. "Pergi ke rumah nenek."Gilang menganggukan kepalanya, sedangkan matanya terus mengawasi gerak-gerik perempuan tersebut. Perempuan itu berulang kali berjongkok dan berdiri merapihkan peralatan dapur yang tergeletak di lantai. Ia perlahan mendekati Kana yang masih sibuk dengan kegiatannya. Lalu ia secepat mungkin menahan lengan Kana. Hal itu tentu saja membuat Kana menatapnya dengan bingung."Kenapa?" tanya Kana."Lo hampir pegang pisau." ujar Gilang yang langsung menarik tangannya.Kana menganggukan kepalanya. "Gue juga lihat kok ada pisau."Gilang mendesis pelan. "Maka dari itu, Na. Lo lihat ada pisau, tapi tetap lo pegang. Kalau tangan lo luka gimana?"Kana mengedikan bahunya. "Pasti mengerikan banget ya, Lang. Tapi sayangnya usia gue sudah terlalu tua buat ceroboh kayak gitu.""Tuaan gue." ujar Gilang.Kana mendecih pel
Kana menatap laki-laki di sampingnya itu dengan sebal. Saat ini ia tak ingin bertemu dengan laki-laki ini, tapi nampaknya ia tak punya pilihan lain. "Jadi apa yang mau lo bicarakan sama gue?" tanya Kana. "Soal semalam--" Kana membelalakan kedua matanya. "Gak! Itu ga perlu dibicarakan sekarang!" "Lah, kenapa? Gue yakin lo pasti kepikiran soal semalam. Iya, 'kan? " tanya Gilang. Kana menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Gue sama sekali ga kepikiran. Gue ngerti lo cuma bingung. Makanya--" "Gue sama sekali ga bingung saat itu. Gue seng--" Kana langsung membekap mulut Gilang dengan telapak tangannya. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Ia sama sekali tak ingin membicarakan kejadian semalam. Perlahan ia melepaskan tangannya saat laki-laki itu sudah tak mengatakan apa pun. "Gue suka sama lo, Na," gumam Gilang. Tubuh Kana membeku, ia sama sekali tak bisa bergerak saat mendengar ucapan
"Kana! Posisi tangan mu salah!"Kana mendengus sebal menatap Gilang yang berdiri di sampingnya. Sedangkan yang ditatap itu hanya menaikan sebelah alisnya dengan bingung."Tangan lo salah, Na ...," bisik Gilang.Kana tersenyum tipis sambil berkata, "Mata lo juga salah!""Kana, Mengapa kamu berteriak pada Gilang?" tanya Bu Endang yang mengawasi mereka di pinggir lapangan.Kana menggelengkan kepalanya lemah. Ia melirik Gilang yang terus menatap tiang bendera. Untuk pertama kali ia melihat sosok populer itu di hukum seperti ini. Andai saja ia tidak terlalu menikmati permainan cowok ini. Pasti mereka tidak akan di hukum."Na ...," panggil Gilang lirih.Kana menoleh sekilas. "Kenapa?""Gue ga mau putus, Na ...." Gilang menarik ujung seragam Kana dengan tangan bebasnya. "Gue sayang sama lo. Serius ....""Gilang! Tangan kamu genit banget ya!" teriak Bu Endang dengan suata nya
Kana menyapukan pandangannya ke segala arah. Hamparan rumput hijau yang cukup luas membentang dari depan gerbang sampai teras rumah berwarna biru muda. Untuk pertama kalinya ia melihat rumah yang begitu nyaman untuk ditempati oleh manusia."Ini rumah lo?" tanya Kana.Gilang yang sedang memarkir motornya pun menjawab, "Iya, sorry ya ga mewah.""Menurut gue ga penting mewah atau sederhana. Yang penting lo nyaman tinggal disana," ujar Kana sambil tersenyum.Mendengar ucapan cewek itu, Gilang pun tersenyum. Ia mengamit lengan Kana dan menariknya masuk ke dalam rumah. Ia tak menemukan siapapun di dalam rumah selain kucing yang langsung menghambur ke arahnya."Papa lo kemana?" tanya Kana.Gilang mengedikan bahunya. "Gue juga ga tahu. Mungkin papa lagi pergi sama adik gue."Kana sontak menoleh ke arah Gilang. "Lo punya adik? Kok gue ga tahu?""Tapi sekarang sudah tahu, 'kan?" kata Gilang
Bugh! Kana menarik nafasnya dalam-dalam. Hari nya baru dimulai beberapa jam yang lalu, tapi sudah di sambut hal yang buruk. Sebuah bola plastik menghantam belakang kepalanya cukup keras. Ia mengusap belakang kepalanya yang terasa sakit. Lalu ia menolehkan kepalanya ke arah bola itu berasal. Kana dapat melihat beberapa cowo dari kelas X menatapnya sambil tertawa. Ia ingin marah, tapi melihat jumlah mereka akhirnya ia pun memutuskan untuk melanjutkan langkahnya menuju ke kelas. Sepanjang perjalanan menuju kelas, Kana selalu saja mendengar bisikan-bisikan yang menyebut namanya. Sekilas ia mendengar ucapan yang tak enak di dengar tentangnya. Tapi sebisa mungkin ia menulikan telinganya. Saat tiba di depan kelas, Kana melihat Edo yang sedang berdiri di depan kelasnya. Pikirannya lagi-lagi mengingat kejadian semalam. Tapi ia yakin Edo tak akan mengingatnya karena mabuk. "Na," panggil Edo. Kana menarik kedua sudur bibir
"Kalau lo ga bisa jaga hati, lebih baik lo putus sama Gilang!"Teriakan cewek di hadapannya itu terdengar menggema di dalam toilet. Belum genap jam 10, tapi harinya sudah seburuk ini. Kepalanya terhuyung saat rambutnya di tarik dari segala arah. Bahkan kepalanya berulang kali di tampar. Walau kepalanya terasa sakit, tapi ia menyempatkan waktu untuk melirik badge nama cewek itu.Rena Anggraeni.Kana sangat mengenal cewek ini. Rena satu-satunya cewek yang bisa dekat dengan Gilang untuk waktu yang lama. Mereka berteman sejak taman kanak-kanak. Maka dari itu banyak rumor yang sempat mengatakan bahwa mereka berpacaran. Padahal mereka hanya bersahabat.Di belakang Rena berdiri 2 cewek yang seperti bodyguardnya. Sedangkan 1 cewek lagi berjaga di depan pintu toilet, memastikan tak ada yang masuk ke sana."Lo ga pantas sama Gilang, Na!" seru Rena.Rena tersenyum kecut menatap wajah Kana. "Gue sudah terlalu la
Sudah dua hari sejak pertemuan terakhirnya dengan Kana. Sampai saat ini Gilang hanya bisa memandangi cewek itu dari kejauhan. Cewek itu terlihat tak sehat, bahkan terlihat lebih kurus dari biasanya. Apa mungkin cewek itu tak makan martabak sejak pertemuan terakhirnya?Kini Gilang sudah tak punya alasan untuk bertanya tentang keadaan Kana. Ia juga sudah tak punya alasan untuk mendatangi cewek itu lagi, apalagi menariknya keluar dari kantin. Padahal sebelumnya rutinitas itu selalu ia lakukan. Memaksa Kana sudah menjadi kebiasaan baginya.Kana mengalihkan tatapannya ke meja Gilang. Tatapan mereka tanpa sengaja bertemu. Mereka bisa saling merasakan luka mendalam lewat tatapan tersebut."Na, lo besok datang kan?" tanya Ilham.Kana segera mengalihkan tatapannya ke arah Ilham, lalu mengangguk. "Gue bareng sama Mirna."Ilham bertepuk tangan sekali dengan senyum lebar. "Oke berarti cukup orang ya. Kalau ada yang berhalangan bis
Kana dengan malas membuka matanya saat merasakan tubuhnya diguncang. Walau terpaksa, tapi ia tetap membuka kedua matanya. Ia melihat sosok Gilang sedang berdiri di sampingnya."Ayo pulang, Na."Kana tersenyum tipis dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih. Lalu ia menganggukkan kepalanya. Ia bangun dari ranjang tersebut, tapi kepalanya terasa sangat nyeri. Apa mungkin karena ia terlalu banyak tidur?"Aduh ... kepala gue sakit," rintihnya.Gilang berbalik lalu membungkuk. "Naik, kita harus segera pergi dari sini sebelum ada yang lihat."Kana menatap punggung Gilang dengan ragu. "Lo yakin? Gue berat loh."Gilang mendengus sebal. "Cepat naik."Mendengar Gilang yang sudah mulai tak ramah, akhirnya Kana memberanikan naik ke punggung cowok tersebut. Lalu dengan perlahan cowok itu mulai berjalan meninggalkan ruang UKS."Tas--""Di motor gue."Kana tersenyum
Halo semuanya.Author Fit menerbitkan beberapa karya baru loh. Kalian lebih suka cerita romance atau thriller guys? Jujur aja, sebenarnya saya lebih handal menulis cerita horor/thriller. Setiap harinya saya merasa tidak pernah mengalami writer block. Tapi jika saya hanya mengikuti keinginan pribadi,cerita saya tidak akan laku di pasarannya. Hampir semua platform mengedepankan cerita romance.Oh iya, saya juga menulis di beberapa platform lainnya. mohon dukungannya untuk para pembaca ^^Sekian, untuk School Diary season 2 akan rilis bulan depan. Sedikit bocoran, judulnya akan berubah karena di season 2 lebih membahas tentang kehidupan setelah sekolah.Terima kasih atas perhatiannya ^^Terima kasih.Salam author Fit.
Kini 6 bulan berlalu usai pertemuan terakhirnya dengan Gilang, kini Kana sedikit demi sedikit sudah bisa melupakan cowo itu. Rasa yang dahulu menumpuk hingga setinggi gunung, kini mulai sirna. Buktinya, ia bisa duduk tenang walau nama Gilang terpampang di layar ponselnya. Cowo itu sudah berkali-kali menghubunginya, namun ia enggan untuk menjawab panggilan tersebut."Kana, ponselnya tolong dimatikan."Kana menatap ponselnya sebentar, lalu ia mengangguk. Ia langsung mematikan ponselnya tanpa memikirkan bagaimana perasaan Gilang saat ini. Dewi yang duduk di sebelah Kana hanya bisa tersenyum tipis. Ia sudah mengetahui cukup banyak terkait cowo bernama Gilang.Masa lalu Kana yang cukup menyakitkan."Nanti pulang sekolah kita belajar bareng, 'kan?" kata Dewi setengah berbisik.Kana menoleh ke arah Dewi, lalu ia mengangguk mantap. "Jelas.""Gapapa tuh teleponmu dimatiin? Gilang engga akan datang ke sini, 'kan?" tanya Dewi.Kana mengedikkan b
"Menggambar itu harus pakai perasaan, Do. Biar orang yang lihat gambar kamu, bisa tau gimana perasaanmu."Begitu kata bibi selama proses pembelajaran awal. Edo menggambar garis yang tak beraturan dengan perasaan yang masih abu-abu. Ia tersenyum lebar saat melihat hasil gambarnya. Ia menunjukkannya pada sang bibi. Wajah bibinya sangat terkejut melihat gambar yang ada di kertas tersebut."Kamu kelas berapa sih, Do?" tanya bibinya yang langsung merampas kertas itu dari tangan Edo.Edo menggaruk tengkuknya. "Sudah lulus SMA, Bi.""Terus kenapa gambar kamu kayak anak SD?" tanya bibinya dengan kesal.Edo tersenyum tipis sambil mengangkat bahunya. Ia memang sama sekali tidak memiliki bakat dalam hal seni seperti itu. Bibinya memberikan kertas baru yang masih kosong pada keponakannya itu. Edo menyambar kertas itu dengan semangat yang membara. Ia tidak boleh gagal lagi. Kegagalannya itu pasti karena perasaannya belum tertuang k
Melihat Kana yang memejamkan matanya membuat Ferdi tak bisa menahan tawa. Ia langsung menjauh dan mundur dua langkah. Setelah itu Kana membuka matanya. Ia menatap Ferdi dengan kesal. Ia bergegas pergi, namun dengan cepat Ferdi menahan tangannya."Mau ke mana cantik?" goda Ferdi.Kana mendecak sebal. "Diam lo!"Dalam satu tarikan, Kana sudah ada di samping Ferdi."Apa sih?" tanya Kana dengan marah.Ferdi menghela napasnya pelan. Ia menggenggam kedua lengan Kana dengan lembut."Sebenarnya ada yang mau gue omongin sama lo, Na. Udah ya jangan marah lagi," kata Ferdi.Kana menjawabnya hanya dengan anggukan pelan. Setelah itu Ferdi melepas sebelah tangannya. Ia mengambil sesuatu dari sakunya. Ia meletakkannya di telapak tangan Kana. Ternyata sebuah kalung perak dengan lambang hati. Kana menatap Ferdi dengan bingung."Ini apa?" tanya Kana.Ferdi tersenyum tipis. "Ini bakwan,
Hari ini Gilang sudah berangkat ke Yogyakarta. Ia akan mengurus pendaftaran kuliahnya di salah satu universitas yang cukup ternama. Alasan utamanya memilih Yogyakarta adalah untuk bisa lebih dekat dengan Kana. Walaupun teman-temannya sudah bersikeras untuk memaksanya agar tetap ke Kanada, tapi cinta sudah membutakannya. Ia lebih memilih Kana."Hubungi papa kalau sudah selesai," kata papanya ketika sudah tiba di depan gerbang kampus.Gilang mendesis pelan. "Aku sudah besar pa, aku bisa pulang sendiri."Papanya mengangguk pelan. Apa yang dikatakan oleh putranya itu memang benar. Setelah kepergian papanya, Gilang segera memasuki universitas pilihannya tersebut. Deretan gedung yang besar langsung memanjakan kedua matanya. Ia menyusuri kawasan itu dan mencari tempat pembayaran. Setelah ditemukan, ia sangat terkejut saat melihat sosok Ren yang sudah lebih dahulu mengantri di loket pembayaran. Cewek itu menoleh, lalu terkejut saat melihat kehadiran Gi
Waktu berlalu begitu cepat, Kana sedang bersiap pergi menghadiri acara perpisahan di sekolahnya. Sebentar lagi ia akan berpisah dengan Ferdi. Sebenarnya ia tak ingin berpisah, tapi cowok itu harus segera pergi ke Kanada. Ia berhasil mendapat beasiswa yang diinginkannya selama ini. Kana tidak bisa lagi menghalangi langkah Ferdi. Ia melihat gerbang sekolah yang terbuka lebar. Suasana begitu meriah, terutama saat kumpulan balon terikat di dekat tiang bendera. Balon itu nantinya akan terbangkan setelah wisuda selesai.Kana berlari kecil saat melihat Dewi yang melambaikan tangan ke arahnya. Cewek itu mengenakan seragam putih abu-abu dilengkapi almamater. Sahabatnya itu bertugas untuk menjaga pintu masuk bersama anggota osis lainnya. Kana tersenyum lebar lalu merangkul bahu Dewi. Walau mereka saling mengenal kurang dari satu tahun, tapi kedekatan mereka tidak diragukan lagi."Kamu udah ketemu sama Kak Ferdi?" tanya Kana.Dewi menggelengkan kepalanya.
Kana dan Ferdi sudah berada di dalam travel. Mereka memutuskan untuk langsung pulang walau hari sudah sangat larut. Selain karena tidak memiliki tempat tujuan, Kana juga sudah tidak ingin berada di sana. Ia lebih suka berada di rumah barunya. Hanya di rumah itulah ia bisa merasakan ketenangan walau tanpa harus diusik orang Gilang. Kana melirik Ferdi yang duduk di sampingnya, cowok itu nampak sudah memejamkan matanya. Kini menyisakan Kana seorang diri yang masih terjaga. Ia mengambil ponselnya, lalu membuka sosial media. Tiba-tiba ada permintaan pesan, ia pun langsung membukanya. Kana mendengus pelan, hidupnya sudah tidak lagi tenang. Cowok itu kembali akan menghantui kesehariannya seperti dahulu. Tanpa membuang waktu, Kana langsung memblokir akun tersebut."Siapa?"Kana menoleh ke arah Ferdi yang baru membuka matanya. Lalu ia menggeleng sambil tersenyum lebar. Kana kembali memasukkan ponsel ke tasnya. Namun Ferdi dengan cepat menahan ponsel itu sebelum masu
Kana tiba di depan rumah sakit yang berada tak cukup jauh dari SMA Permata Putri. Ia dan Ferdi langsung menuju ruang rawat Gilang yang sudah diberitahukan oleh Mirna. Ia setengah berlari memasuki lift yang sebentar lagi tertutup. Untungnya, orang di dalam lift membiarkannya masuk terlebih dahulu. Kana melirik Ferdi yang sedari tadi hanya diam. Cowok itu menundukkan kepalanya."Terima kasih, Kak," gumam Kana.Ferdi beralih menatap Kana dengan senyum lebarnya. "Kesurupan hantu lift lo? Tumben manggil gue gitu."Kana terkekeh pelan. "Kayaknya iya."Ferdi melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kita ga bisa pulang hari ini, Na. Sudah hampir jam 10 malam."Kana mengangguk pelan. "Kita bisa tidur di rumah sakit.""Apa ga sebaiknya lo tidur di rumah Mirna? Biar gue yang di rumah sakit," ujar Ferdi.Kana tersenyum lebar lalu menepuk bahu Ferdi cukup keras. Ia benar-benar tidak berpiki
Gilang membuka matanya dengan perlahan. Pandangannya terasa memburam, semuanya abu-abu. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, barulah pengelihatannya berwarna. Ia melihat Faiz yang sedang menatapnya dengan cemas. Ada juga Kevin yang terus menundukkan kepalanya memandang ponsel. Gilang memaksa tubuhnya untuk bangkit, tapi ternyata sangat sulit."Jangan gerak dulu, Lang!" ucap Faiz.Gilang menghela napasnya pelan, ia kembali merebahkan tubuhnya di posisi yang paling nyaman. Ia memejamkan kedua matanya. Kejadian beberapa jam yang lalu kembali terlintas di otaknya. Ia sempat melihat mobil yang menabraknya tersebut. Honda Jazz berwarna merah terang. Tapi ia sama sekali tak ingat plat mobil tersebut. Jika mencarinya hanya berbekal nama dan warna mobil itu, pasti akan sangat sulit. Tak hanya ada satu atau dua orang yang memiliki mobil seperti itu."Lo ingat?" tanya Faiz.Gilang menggelengkan kepalanya. "Gue cuma ingat warna mobilnya."