Hujan telah reda, menyisakan udara dingin dan bau aspal basah. Rafael berjalan menyusuri jalanan kota yang sepi. Langkahnya berat, dan pikirannya dipenuhi keraguan. Pertemuan dengan Elena tadi memberikan sedikit cahaya dalam pikirannya yang gelap, tetapi pertanyaan tentang misi dan tujuannya masih menggantung tanpa jawaban.
Saat ia melangkah di trotoar yang gelap, Rafael mendengar suara samar di kejauhan. Suara itu terdengar seperti tangisan—lemah dan putus asa. Ia berhenti, memusatkan pendengarannya. Suara itu semakin jelas, berasal dari sebuah gang sempit di sisi jalan. Rafael menghela napas, melirik tongkat kayunya. "Apa lagi sekarang?" gumamnya pelan, sebelum melangkah masuk ke gang itu. **** Di ujung gang, ia menemukan seorang anak laki-laki kecil, duduk meringkuk di antara tumpukan kardus basah. Anak itu tampak kedinginan, tubuhnya gemetar, dan wajahnya penuh dengan air mata. Rafael mendekat perlahan, lututnya berlutut untuk menyamakan tinggi. "Hei," panggil Rafael lembut. "Apa yang kau lakukan di sini sendirian?" Anak itu mengangkat wajahnya, menatap Rafael dengan mata besar yang dipenuhi ketakutan. Ia mundur sedikit, mencoba menjauh, tetapi tidak punya tempat untuk lari. “Jangan takut,” kata Rafael, menurunkan tongkatnya ke tanah sebagai tanda bahwa ia tidak berniat menyakiti. “Aku tidak akan melukaimu. Apa kau tersesat?” Anak itu menggeleng pelan, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Rafael dengan mata yang penuh rasa sakit. Rafael menyadari bahwa anak ini tidak hanya ketakutan—ia juga kelaparan dan kedinginan. “Namamu siapa?” tanya Rafael, mencoba membuatnya merasa nyaman. “Liam,” jawab anak itu pelan, suaranya hampir tidak terdengar. “Liam,” Rafael mengulangi namanya dengan lembut. “Apa yang terjadi padamu? Di mana keluargamu?” Liam tidak menjawab, tetapi air matanya mulai mengalir lagi. Rafael menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana menghadapi seorang anak kecil. Tapi ada sesuatu tentang Liam yang membuatnya merasa harus melindunginya. **** Ketika Rafael mencoba mendekat untuk membantu Liam berdiri, sesuatu yang aneh terjadi. Cahaya kecil mulai bersinar dari tangan Liam, membuat Rafael terkejut. Cahaya itu hangat, lembut, tetapi juga kuat. Liam tampak tidak menyadarinya, tetapi Rafael bisa merasakan energi yang luar biasa terpancar dari anak itu. “Apa ini?” Rafael bertanya dengan suara pelan. Matanya memperhatikan cahaya itu dengan hati-hati. Liam menunduk, seolah menyadari bahwa sesuatu yang aneh sedang terjadi. “Aku tidak tahu,” katanya dengan suara gemetar. “Ini selalu terjadi... ketika aku takut.” Cahaya itu semakin terang, menyelimuti Liam seperti pelindung. Rafael menoleh ke arah jalan utama ketika mendengar suara langkah kaki. Dari bayangan, muncul tiga pria bertubuh besar, wajah mereka penuh kebencian. “Di sana dia!” teriak salah satu dari mereka. “Itu anaknya! Dia yang kita cari!” Rafael segera berdiri, melindungi Liam di belakangnya. “Apa yang kalian inginkan darinya?” tanya Rafael dengan nada tegas. “Dia membawa malapetaka!” teriak pria itu. “Dia berbahaya, dan dia harus dihentikan!” **** Salah satu pria menyerang lebih dulu, mencoba menerobos Rafael untuk mencapai Liam. Rafael mengayunkan tongkat kayunya, menangkis serangan itu dengan gerakan cepat. Namun, dua pria lainnya datang bersamaan, membuat Rafael kewalahan. “Liam, lari!” teriak Rafael sambil menahan salah satu pria. “Tapi—” Liam ragu-ragu. “Pergi sekarang!” Rafael berteriak lagi, suara kerasnya membuat Liam akhirnya berlari ke ujung gang. Rafael bertarung mati-matian, tubuh manusianya terasa lemah dibanding lawannya. Namun, ketika salah satu pria hampir melayangkan pukulan terakhir, cahaya dari Liam tiba-tiba memancar dengan kuat. Cahaya itu begitu terang sehingga membuat para pria mundur, menutup mata mereka dengan tangan. “Apa ini?” salah satu dari mereka berteriak, panik. Cahaya itu menyapu seluruh gang, membuat ketiga pria itu jatuh ke tanah sebelum akhirnya melarikan diri. Rafael berdiri di sana, terengah-engah, sementara Liam berdiri di ujung gang, menatap tangannya sendiri dengan kebingungan. **** Ketika semuanya kembali tenang, Rafael mendekati Liam yang masih gemetar. “Kau baik-baik saja?” tanya Rafael. Liam mengangguk pelan. “Apa yang terjadi? Apa itu... aku?” “Itu cahaya,” jawab Rafael. “Sesuatu yang istimewa dalam dirimu. Tapi aku tidak tahu apa itu, atau kenapa kau memilikinya.” Liam menunduk, merasa malu. “Semua orang bilang aku aneh. Mereka bilang aku adalah kutukan.” Rafael menghela napas, menatap anak kecil itu dengan penuh rasa bersalah. Ia tahu bahwa melindungi Liam berarti menghadapi lebih banyak bahaya seperti ini. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa meninggalkan anak itu sendirian. “Mungkin mereka salah,” kata Rafael akhirnya. “Cahaya itu... bukan kutukan. Itu adalah anugerah. Tapi itu juga berarti kau membutuhkan perlindungan.” Liam mengangkat kepalanya, menatap Rafael dengan mata yang penuh harapan. “Kau tidak akan meninggalkanku, kan?” Pertanyaan itu menusuk hati Rafael. Ia tahu misi utamanya adalah melawan Azariel dan menyelesaikan tugasnya. Tetapi bagaimana ia bisa meninggalkan seorang anak yang tidak memiliki siapa pun untuk melindunginya? “Aku tidak akan meninggalkanmu,” kata Rafael dengan suara tegas. “Kita akan mencari tahu tentang cahaya itu bersama-sama.” **** Rafael membawa Liam keluar dari gang, memastikan tidak ada lagi bahaya yang mengintai. Mereka berjalan bersama dalam keheningan, tetapi di dalam hati Rafael, konflik mulai tumbuh. Ia tahu bahwa membawa Liam bersamanya akan membuat misinya lebih sulit. Tapi di sisi lain, ia merasa bahwa melindungi Liam adalah bagian dari misi itu sendiri. “Ke mana kita akan pergi?” tanya Liam akhirnya. “Kita akan mencari tempat yang aman,” jawab Rafael. “Dan setelah itu, kita akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu.” Liam mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya. Di dalam hati Rafael, sebuah keputusan telah dibuat. Apa pun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan Liam terluka. Dan meskipun ia tidak tahu apa yang akan datang, ia tahu satu hal pasti—cahaya di dalam Liam adalah kunci untuk sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan.Malam telah larut ketika Rafael dan Liam akhirnya tiba di sebuah klinik kecil di pinggiran kota, tempat Elena bekerja. Ruang tunggu tampak kosong, dengan hanya satu lampu redup yang menerangi ruangan. Elena muncul dari ruang belakang, ekspresi terkejut bercampur lega menghiasi wajahnya saat melihat Rafael berdiri di sana bersama seorang anak kecil.“Rafael?” Elena mendekat, mengamati wajah mereka yang lelah. “Kau baik-baik saja? Dan... siapa anak ini?”“Namanya Liam,” jawab Rafael pelan. “Dia butuh tempat yang aman untuk malam ini.”Elena memandang Liam yang berdiri di belakang Rafael, matanya memancarkan ketakutan yang dalam. Tanpa bertanya lebih jauh, Elena mengangguk dan mempersilakan mereka masuk ke ruang belakang. “Kalian bisa istirahat di sini malam ini,” katanya lembut.Rafael membantu Liam duduk di salah satu kursi, memastikan anak itu nyaman sebelum beralih ke Elena. “Terima kasih,” katanya dengan nada tulus. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada.”Elena me
Angin dingin bertiup kencang saat fajar menyingsing, membawa aroma lembab dari hujan semalam. Di klinik kecil yang sunyi, Liam berdiri di dekat jendela, matanya terpaku pada jalan yang mulai sibuk dengan lalu lalang. Wajahnya yang kecil terlihat tegang, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Rafael," panggil Liam pelan, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku merasa ada yang salah." Rafael, yang sedang memeriksa tongkat kayunya, menoleh dengan alis terangkat. "Apa maksudmu, Liam?" Aku... aku tidak tahu," jawab Liam, menunduk. "Hanya saja, aku merasa ada sesuatu yang mendekat. Sesuatu yang buruk." Elena, yang sedang membersihkan meja di sudut ruangan, berhenti dan menatap mereka. "Kau pikir ini ada hubungannya dengan cahaya yang kau miliki?" tanyanya lembut. Liam mengangguk pelan. "Mungkin.” Rafael menatap Liam dengan serius, mencoba membaca ekspresi anak itu. "Jika firasatmu benar, maka kita harus bersiap-siap." Namun, bahkan sebelum Rafael selesai berbicara, sebua
Di ruang kecil klinik, Elena dengan hati-hati membersihkan luka Rafael yang masih berdarah. Wajahnya serius, tetapi tangannya tetap lembut saat ia mengoleskan salep ke luka di punggung Rafael. Rafael duduk di kursi kayu, berusaha menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.“Ini akan terasa sedikit perih,” kata Elena sambil mengusap luka dengan kain steril.“Aku pernah merasakan yang lebih buruk,” jawab Rafael dengan nada datar, meskipun wajahnya menegang saat cairan antiseptik menyentuh lukanya.Di sudut ruangan, Liam duduk diam di lantai, menggambar lingkaran kecil di atas debu dengan jarinya. Matanya terpaku pada Rafael, penuh rasa bersalah.“Maaf,” kata Liam pelan, memecah keheningan. “Aku membuatmu terluka.”Rafael menoleh ke arah Liam, mencoba tersenyum meskipun rasa sakit masih jelas di wajahnya. “Ini bukan salahmu, Liam.”“Tapi kalau aku tidak ada, Azariel tidak akan datang,” jawab Liam dengan nada lemah.“Kau tidak boleh berpikir seperti itu,” kata Elena tegas, menatap Liam.
Angin dingin menyapu jalanan saat Rafael, Elena, dan Liam meninggalkan klinik kecil yang telah menjadi tempat perlindungan mereka. Rafael memimpin di depan, tongkat kayunya menggantung di sisi tubuhnya, sementara Elena berjalan di samping Liam, menggenggam tangan kecilnya untuk menenangkan kegelisahan anak itu. “Kau yakin ini ide yang baik?” tanya Elena, memecah keheningan yang berat. Rafael menoleh ke arahnya. “Kita tidak punya pilihan. Jika kita tetap di sini, Azariel pasti akan menemukan kita lagi. Kita butuh jawaban—dan tempat ini tidak memilikinya.” “Tapi ke mana kita harus pergi?” tanya Liam pelan. Rafael berhenti sejenak, memandangi Liam dengan mata yang penuh ketegasan. “Aku tidak tahu pasti,” jawabnya. “Tapi aku ingat sesuatu dari mimpi itu. Ada sebuah tempat yang disebut Bukit Cahaya. Suara itu mengatakan bahwa di sana, kita bisa menemukan kebenaran tentang cahayamu.” Liam mengangguk, meskipun rasa takut masih menghiasi wajahnya. “Aku akan ikut denganmu.” Elena me
Kabut tebal menyelimuti udara saat mereka tiba di kaki Bukit Cahaya. Matahari hampir tidak terlihat, hanya meninggalkan bayangan samar di langit. Liam berdiri di tengah-tengah Rafael dan Elena, memandangi bukit yang menjulang tinggi di depan mereka dengan rasa cemas. “Itu jauh lebih besar dari yang kubayangkan,” gumam Liam. “Dan lebih berbahaya,” tambah Rafael dengan nada serius. “Bukit ini tidak akan membiarkan siapa pun naik tanpa alasan yang kuat. Kita harus berhati-hati.” Elena menatap bukit itu dengan rasa khawatir. “Apa yang kita cari di sini benar-benar sepadan dengan risikonya?” “Kalau kita ingin melawan Azariel, kita butuh jawaban,” jawab Rafael sambil memegang tongkat kayunya lebih erat. “Dan jawabannya ada di atas sana.” Dengan tekad yang semakin kuat, mereka mulai mendaki. Jalanan berbatu licin oleh embun, dan setiap langkah terasa semakin berat. Suara hening yang aneh menyelimuti tempat itu, seolah seluruh dunia menahan napas. Ketika mereka mencapai pertengahan
Di puncak Bukit Cahaya, Liam berdiri dengan tangan yang gemetar, matanya memandang cahaya lembut yang memancar dari tanah di bawahnya. Energi itu terasa kuat dan hangat, seolah-olah menyambutnya. Elena berdiri di belakangnya, menatap kagum, sementara Rafael datang tertatih-tatih, tubuhnya penuh luka, tetapi tekad di matanya tidak surut. “Apa ini?” tanya Liam dengan suara berbisik. “Kenapa aku merasa... seolah aku adalah bagian dari cahaya ini?” “Elena, bawa Liam mendekat,” kata Rafael lemah, menunjuk ke sebuah lingkaran bercahaya di tengah puncak. “Itu adalah inti dari Bukit Cahaya. Di sana kita akan menemukan jawaban.” Liam melangkah maju dengan hati-hati, tetapi langkahnya terhenti ketika udara di sekitar mereka tiba-tiba berubah. Angin kencang berputar, menciptakan suara gemuruh yang menakutkan. Dari kabut di sekitar puncak, muncul Azariel, dengan senyum licik di wajahnya dan matanya bersinar merah. “Aku sudah bilang aku akan menemukan kalian,” kata Azariel dengan suara ding
Kabut di puncak Bukit Cahaya mulai memudar, meninggalkan suasana yang lebih tenang namun sarat akan rasa lelah. Cahaya lembut yang sebelumnya menyelimuti puncak kini berangsur hilang, menyisakan suasana yang hening dan dingin. Rafael, Elena, dan Liam duduk di dekat lingkaran cahaya yang sudah meredup, masing-masing mencoba memulihkan kekuatan mereka. Liam menggenggam lututnya, menunduk dengan kepala yang berat. Cahaya yang baru saja ia gunakan meninggalkan rasa kosong di dalam dirinya. Tubuhnya gemetar, bukan karena cuaca dingin, tetapi karena beban emosional yang perlahan menghimpit. “Liam,” panggil Elena dengan nada lembut. Ia duduk di sampingnya, menyentuh bahu anak itu dengan lembut. “Apa kau baik-baik saja?” Liam tidak segera menjawab. Matanya terpaku pada tanah, seolah-olah mencari sesuatu yang tidak ada di sana. Akhirnya, ia menggeleng pelan. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya.” Rafael, yang sedang membersihkan luka di lengannya, menoleh ke arah Liam. “Kau mela
Angin malam berembus lembut ketika Elena membuka pintu apartemen kecil mereka. Namun, ketenangan itu sirna ketika ia melihat sosok Rafael di ambang pintu. Tubuhnya penuh luka, napasnya berat, dan tongkat kayunya hampir patah sepenuhnya. Tanpa berkata apa-apa, Rafael tersungkur, tubuhnya jatuh dengan bunyi yang menggetarkan hati. “Elena!” panggil Liam dari sudut ruangan, matanya melebar saat melihat kondisi Rafael. Ia segera berlari mendekat, tetapi Elena menghentikannya. “Liam, ambil kotak obat. Cepat!” Elena bergegas berlutut di samping Rafael, tangannya yang terlatih mulai memeriksa luka-luka yang terlihat. Luka bakar menghiasi lengan dan dadanya, dengan darah yang menodai pakaiannya. “Rafael, apa yang terjadi?” tanya Elena dengan nada panik. Rafael membuka matanya perlahan, bibirnya bergerak pelan. “Azariel...” gumamnya. “Dia semakin kuat. Aku mencoba menghentikannya... tapi aku gagal.” Elena menggertakkan giginya, mencoba menyembunyikan rasa frustrasi dan ketakutannya. “K
Langit di atas Nexus Eterna berubah menjadi lautan energi bercahaya. Cahaya putih dan bayangan hitam bercampur dalam pusaran besar yang memancarkan kekuatan luar biasa. Di tengah medan perang, Liam, Elena, Rafael, dan para penjaga Nexus berdiri menghadapi sosok raksasa, Manifestasi Ketidakseimbangan.Makhluk itu melangkah maju, setiap jejaknya menciptakan gelombang kehancuran. Suaranya menggema seperti ribuan bisikan kegelapan. “Kau telah menciptakan Nexus Eterna, tetapi itu hanya mempercepat kehancuran dunia. Keseimbangan adalah ilusi. Cahaya dan bayangan tidak bisa hidup berdampingan.”****Liam, meskipun lemah, melangkah maju dengan tongkat Primordial Lumina di tangannya. “Kau salah. Cahaya dan bayangan adalah bagian dari dunia ini. Tanpa keduanya, dunia tidak akan bertahan.”Elena memegang pedangnya erat. “Kami tidak akan membiarkanmu mengambil Nexus. Dunia ini telah berjuang terlalu keras untuk mencapai keseimbangan.”Rafael, dengan sayap malaikatnya yang bercahaya, melancarkan s
Bayangan besar yang mengintai langit semakin jelas. Sosok itu tampak seperti raksasa yang terbentuk dari campuran cahaya dan kegelapan, dengan mata merah menyala yang memancarkan kehancuran. Tanah di sekitar Nexus bergetar hebat, menunjukkan kekuatan luar biasa yang dibawa oleh ancaman ini.“Liam, ini bukan ancaman biasa,” kata Rafael dengan suara tegas sambil menghunus pedangnya. “Kita harus bersiap untuk perang besar. Nexus tidak bisa jatuh.”Liam, meskipun terlihat lemah, berdiri tegak dengan tongkat Primordial Lumina di tangannya. “Aku tahu. Tapi kekuatanku semakin terkuras. Aku membutuhkan semua orang untuk melindungi Nexus sementara aku mencari cara menghentikan makhluk itu.”Elena memegang pedangnya erat. “Kami tidak akan membiarkanmu melakukannya sendiri. Nexus ini adalah simbol perjuangan kita semua.”****Makhluk-makhluk dimensi lain mulai menyerang dengan jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Pasukan penjaga Nexus, yang dipimpin oleh Elena dan Rafael, berusa
Setelah menyatukan Nexus Cahaya Tertinggi, Liam, Elena, dan Rafael kembali ke dunia asal mereka melalui portal yang terbuka di tengah dimensi Nexus. Namun, dunia yang mereka kenal sudah tidak sama.Langit biru yang biasanya cerah kini dihiasi oleh garis-garis emas dan hitam, memancarkan keseimbangan yang aneh namun indah. Angin yang berhembus membawa aura damai, tetapi tetap terasa adanya kewaspadaan yang mengintai.Di Nexus Eterna, cahaya dan bayangan kini berputar dalam harmoni sempurna, memancarkan energi yang membuat setiap penjaga merasa lebih kuat namun juga lebih bertanggung jawab.****Para pemimpin dari komunitas yang tersebar mulai berdatangan ke Nexus untuk melihat perubahan ini. Salah satu pemimpin, seorang wanita tua bernama Miria dari Dataran Utara, berbicara dengan rasa takjub.“Apa yang telah kau lakukan, Liam? Dunia ini terasa berbeda, seolah-olah beban besar telah diangkat.”Liam, yang masih terlihat lemah setelah proses penyatuan Nexus, tersenyum tipis. “Keseimbanga
Liam, Elena, dan Rafael melangkah keluar dari portal, memasuki ruang yang tampak tak berbatas. Langit di atas mereka adalah lautan bintang yang terus bergerak, sementara lantai di bawah kaki mereka adalah cermin raksasa yang memantulkan bayangan setiap langkah. Di tengah ruang itu, sebuah bola energi raksasa melayang, memancarkan cahaya dan bayangan yang saling berputar. Bola itu adalah inti dari Nexus Cahaya Tertinggi, sumber energi yang telah mereka cari. Namun, ada sesuatu yang aneh—inti itu tampak tidak stabil, dengan retakan yang menyebar di permukaannya. “Ini dia,” kata Rafael dengan suara rendah. “Inti Nexus Tertinggi. Tempat di mana keseimbangan sejati harus ditegakkan.” Elena memandang inti itu dengan mata penuh kekaguman sekaligus kekhawatiran. “Tapi mengapa itu retak? Apa artinya?” Liam melangkah maju, merasakan energi yang luar biasa dari inti itu. “Retakan ini adalah tanda bahwa dunia kita tidak dalam keseimbangan. Jika kita tidak bisa memperbaikinya, Nexus Eterna
Setelah melewati portal, Liam, Elena, dan Rafael tiba di dimensi baru yang terasa aneh. Langit di atas mereka setengah bersinar terang dengan cahaya putih murni, sementara setengah lainnya tenggelam dalam kegelapan yang tidak tertembus. Tanah di bawah mereka terus berubah, kadang bersinar terang seperti kristal, kadang menjadi bayangan pekat yang menyerap cahaya di sekitarnya. Setiap langkah mereka terasa seperti melangkah di antara dua dunia yang berlawanan, tetapi tetap saling terkait. “Elena, Rafael, berhati-hatilah,” kata Liam, menggenggam tongkatnya lebih erat. “Tempat ini… terasa seperti keseimbangan itu sendiri.” Rafael mengangguk, matanya tajam memindai sekeliling. “Ini adalah Dimensi Cahaya dan Bayangan. Tempat ini mencerminkan konflik dalam dirimu sendiri, Liam, dan juga dalam dunia yang kau coba selamatkan.” Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka mulai bergolak. Dari sisi terang, sosok-sosok bercahaya muncul. Mereka berbentuk manusia, tetapi tanpa fitur wajah, hanya tubuh y
Ketika Liam, Rafael, dan Elena melangkah melalui portal menuju dimensi berikutnya, dunia di sekitar mereka berubah drastis. Dimensi baru ini adalah hamparan luas yang berkilauan dengan cahaya emas. Bangunan tinggi menyerupai kuil-kuil besar mengambang di udara, dan di kejauhan, air terjun bercahaya mengalir tanpa henti.Namun, meskipun terlihat damai, ada sesuatu yang aneh. Udara terasa berat, dan waktu seolah-olah berhenti. Tidak ada angin, tidak ada suara, dan setiap langkah mereka terasa seperti melawan kekuatan yang tak terlihat.Rafael memandang sekeliling dengan hati-hati. “Ini adalah Dimensi Keabadian. Tempat ini adalah refleksi dari kekekalan, tetapi juga penjara bagi mereka yang terjebak dalam kesombongan abadi.”****Ketika mereka melangkah lebih jauh, suara yang lembut tetapi memikat mulai terdengar di sekitar mereka. Suara itu berbicara dalam berbagai bahasa, masing-masing menawarkan sesuatu yang sangat diinginkan oleh pendengarnya.“Liam, kau bisa menjadi dewa jika kau te
Udara dingin di Dimensi Bayangan terasa menusuk hingga ke tulang. Pohon-pohon hitam yang menyerupai tangan raksasa bergerak pelan, seolah-olah hidup. Liam, Elena, Rafael, dan para penjaga Nexus berdiri di tengah hutan yang tak berujung, menghadapi bayangan besar yang melayang di udara.Bayangan itu berbicara dengan suara yang menggema, memantul di antara pepohonan. “Dimensi ini adalah ujian untukmu, Pembawa Cahaya. Jika kau tidak bisa melewatinya, kau akan terjebak di sini selamanya.”Tanah di sekitar mereka mulai retak, membentuk lingkaran energi hitam yang memisahkan Liam dari Rafael dan Elena. Sebelum ada yang sempat bereaksi, lingkaran itu menutup rapat, meninggalkan Liam sendirian di tengah kegelapan.****Di dalam lingkaran, bayangan mulai membentuk sosok-sosok yang akrab bagi Liam. Ia melihat Elena berdiri dengan tubuh berlumuran darah, berteriak minta tolong. Kemudian, Rafael muncul dengan sayap yang terbakar, menatap Liam dengan penuh kebencian.“Ini semua salahmu,” kata baya
Setelah pertempuran di Hutan Gelap, suasana kembali mencekam. Dunia kini menghadapi ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bayangan raksasa yang memimpin serangan mulai menyebarkan kegelapan ke seluruh penjuru. Nexus Eterna, meskipun masih berdiri, menunjukkan tanda-tanda kelelahan, bergetar lebih sering dari sebelumnya.Rafael memberi tahu Liam bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan ancaman ini adalah menemukan Nexus Cahaya Tertinggi—sumber energi kuno yang bahkan melampaui Nexus Eterna. Namun, letaknya tersembunyi di balik dimensi yang tidak dapat diakses oleh manusia biasa.****Liam, Elena, Rafael, dan para penjaga Nexus berkumpul di lokasi Nexus Eterna untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Rafael mengeluarkan peta kuno yang dipenuhi dengan simbol-simbol aneh dan bercahaya.“Ini adalah Peta Cahaya,” kata Rafael sambil membentangkannya di atas meja. “Peta ini menunjukkan jalur menuju Nexus Cahaya Tertinggi. Tetapi perjalanan ini akan membawa kita melalui dimensi-dimen
Pagi hari terasa berat setelah malam yang penuh mimpi buruk bagi Liam. Udara dingin di desa utama terasa lebih pekat dari biasanya, seolah-olah sesuatu yang tidak kasat mata sedang mengintai. Para penjaga baru Nexus yang dilatih Liam dan Elena mulai bersiap untuk menjalankan tugas mereka, tetapi ketenangan itu terasa seperti bayangan sebelum badai.Liam berdiri di puncak bukit kecil yang menghadap desa, memandang Nexus Eterna yang memancarkan cahaya samar dari kejauhan. Cahaya itu terasa lebih lemah daripada sebelumnya, seperti lilin yang hampir padam.Elena bergabung dengannya di puncak bukit, membawa kabar buruk. “Liam, kita mendapat laporan dari Dataran Timur. Salah satu komunitas yang baru saja kita selamatkan… hilang begitu saja. Tidak ada jejak.”Liam menoleh dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Apa maksudmu hilang? Tidak ada tanda-tanda serangan?”Elena menggeleng. “Hanya ada bekas bayangan hitam di tanah, seperti sesuatu yang menyerap kehidupan di sana.”Liam merasakan getaran