Di dalam gereja tua yang sepi, Elena selesai merawat luka-luka Rafael. Suara hujan di luar mulai mereda, meninggalkan keheningan yang berat. Rafael tetap diam, matanya menatap kosong ke depan, sementara pikiran-pikiran kelam bergema di kepalanya.
Elena mengamati pria yang duduk di depannya. Ada sesuatu yang berbeda tentangnya—sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Luka-lukanya lebih parah daripada yang terlihat, tetapi ia tampak memikul beban yang jauh lebih besar daripada rasa sakit fisik. “Aku tidak tahu siapa kau,” kata Elena akhirnya, memecah keheningan. “Tapi aku tahu seseorang yang terluka ketika aku melihatnya. Dan kau terluka, bukan hanya di luar.” Rafael menoleh perlahan, menatap Elena dengan mata yang penuh dengan kelelahan. “Apa yang membuatmu berpikir aku akan menceritakannya padamu?” tanyanya datar. Elena tersenyum kecil, menyimpan alat-alat medisnya ke dalam tas. “Karena aku pernah terluka juga. Dan aku tahu, berbicara kadang membantu.” **** Rafael menghela napas panjang, menunduk sambil memainkan tongkat kayunya yang kini tergeletak di pangkuannya. “Kau tidak akan mengerti,” katanya pelan. “Ini bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan mudah.” “Kau mungkin akan terkejut dengan apa yang bisa aku pahami,” jawab Elena. Ia duduk di bangku di seberang Rafael, tangan di atas pangkuannya, memberi ruang tetapi tetap dekat. Rafael mengangkat kepalanya, menatap ke arah altar gereja yang berdebu. Suaranya terdengar lirih ketika ia mulai berbicara. “Aku kehilangan segalanya. Segala yang membuatku menjadi diriku. Aku... tidak tahu siapa aku sekarang.” Elena mendengarkan dengan sabar, membiarkannya melanjutkan. “Aku dulu memiliki tujuan, kekuatan, tempat yang aku sebut rumah,” lanjut Rafael. “Tapi sekarang, aku bahkan tidak tahu apa yang aku lakukan di sini. Aku adalah bayangan dari diriku yang dulu. Dan sejujurnya, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan.” “Kadang-kadang, kehilangan sesuatu berarti kita harus menemukan sesuatu yang baru,” kata Elena lembut. “Aku kehilangan keluargaku lima tahun yang lalu dalam kecelakaan mobil. Rasanya seperti seluruh duniaku hancur. Tapi perlahan, aku menemukan cara untuk melanjutkan hidup.” Rafael menoleh, tatapannya penuh keraguan. “Dan kau berpikir aku bisa melakukan hal yang sama?” “Semua orang bisa,” jawab Elena yakin. “Tapi kau harus membiarkan dirimu percaya bahwa itu mungkin.” **** Elena berdiri dan berjalan ke arah altar, menyalakan salah satu lilin yang tersisa. “Kau tahu, aku datang ke gereja ini setiap kali aku merasa dunia terlalu berat. Tempat ini mungkin sudah tua dan hampir runtuh, tapi di sini aku merasa ada harapan.” “Harapan,” Rafael mengulangi kata itu dengan getir. “Kau tahu betapa rapuhnya harapan itu?” Elena menatapnya dengan penuh empati. “Tentu saja aku tahu. Harapan adalah hal paling sulit untuk dipegang ketika semuanya terasa salah. Tapi tanpa harapan, kita tidak punya apa-apa.” Rafael berdiri perlahan, mendekati Elena di altar. “Aku tidak tahu apakah aku punya harapan,” katanya. “Yang aku tahu, aku telah kehilangan terlalu banyak untuk percaya lagi.” Elena menatapnya dengan serius. “Kau mungkin tidak punya harapan untuk dirimu sendiri, tapi apa kau punya harapan untuk orang lain?” Pertanyaan itu menghantam Rafael seperti pukulan. Ia terdiam, pikirannya melayang ke wajah-wajah yang ia coba lindungi di masa lalu—dan ke misi yang diberikan kepadanya sebelum ia jatuh ke bumi. **** Setelah beberapa saat, Rafael mengangguk kecil. “Mungkin,” katanya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Mungkin aku bisa percaya pada orang lain, meskipun aku tidak percaya pada diriku sendiri.” “Itu awal yang baik,” jawab Elena sambil tersenyum. “Kau tidak harus berjalan sendirian.” Elena kembali duduk, dan Rafael akhirnya merasa cukup nyaman untuk duduk di sampingnya. Untuk pertama kalinya, ada sedikit kelegaan di wajahnya, meskipun masih dihiasi bayangan kesedihan. “Apa kau tinggal di sini?” tanya Rafael. “Tidak,” jawab Elena. “Aku bekerja sebagai perawat di sebuah klinik kecil di kota ini. Gereja ini hanya tempatku berlindung ketika aku butuh waktu untuk berpikir.” Rafael menatap Elena dengan rasa ingin tahu. “Kenapa kau membantu orang lain?” Elena terdiam sejenak sebelum menjawab. “Karena aku tahu bagaimana rasanya tidak punya siapa pun yang peduli. Dan aku tidak ingin orang lain merasakan itu.” Jawabannya membuat Rafael tertegun. Ia menyadari bahwa meskipun ia telah kehilangan sayapnya, ia masih memiliki tanggung jawab untuk melindungi yang lemah. Mungkin, dengan bantuan Elena, ia bisa menemukan kembali tujuan itu. **** Ketika malam semakin larut, Rafael bangkit berdiri, menggenggam tongkatnya. “Aku harus pergi,” katanya. “Ada sesuatu yang harus aku lakukan.” Elena memandangnya dengan khawatir. “Kau bahkan belum sepenuhnya sembuh.” “Aku tidak punya pilihan,” jawab Rafael tegas. “Tapi terima kasih. Apa yang kau lakukan malam ini... aku tidak akan melupakannya.” Elena tersenyum kecil. “Kalau kau butuh bantuan, kau tahu di mana mencariku.” Rafael menatapnya untuk terakhir kali sebelum melangkah keluar dari gereja. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia berhenti dan berkata, “Elena, terima kasih telah mengingatkanku bahwa aku masih bisa memiliki harapan.” Elena mengangguk. “Dan terima kasih telah mempercayai aku, meskipun hanya untuk malam ini.” Ketika Rafael melangkah kembali ke kegelapan kota, ia merasa sesuatu yang berbeda. Luka di tubuhnya mungkin belum sepenuhnya sembuh, tetapi luka di jiwanya mulai mendapatkan cahaya kecil yang baru.Hujan telah reda, menyisakan udara dingin dan bau aspal basah. Rafael berjalan menyusuri jalanan kota yang sepi. Langkahnya berat, dan pikirannya dipenuhi keraguan. Pertemuan dengan Elena tadi memberikan sedikit cahaya dalam pikirannya yang gelap, tetapi pertanyaan tentang misi dan tujuannya masih menggantung tanpa jawaban.Saat ia melangkah di trotoar yang gelap, Rafael mendengar suara samar di kejauhan. Suara itu terdengar seperti tangisan—lemah dan putus asa. Ia berhenti, memusatkan pendengarannya. Suara itu semakin jelas, berasal dari sebuah gang sempit di sisi jalan.Rafael menghela napas, melirik tongkat kayunya. "Apa lagi sekarang?" gumamnya pelan, sebelum melangkah masuk ke gang itu.****Di ujung gang, ia menemukan seorang anak laki-laki kecil, duduk meringkuk di antara tumpukan kardus basah. Anak itu tampak kedinginan, tubuhnya gemetar, dan wajahnya penuh dengan air mata. Rafael mendekat perlahan, lututnya berlutut untuk menyamakan tinggi."Hei," panggil Rafael lembut. "Apa
Malam telah larut ketika Rafael dan Liam akhirnya tiba di sebuah klinik kecil di pinggiran kota, tempat Elena bekerja. Ruang tunggu tampak kosong, dengan hanya satu lampu redup yang menerangi ruangan. Elena muncul dari ruang belakang, ekspresi terkejut bercampur lega menghiasi wajahnya saat melihat Rafael berdiri di sana bersama seorang anak kecil.“Rafael?” Elena mendekat, mengamati wajah mereka yang lelah. “Kau baik-baik saja? Dan... siapa anak ini?”“Namanya Liam,” jawab Rafael pelan. “Dia butuh tempat yang aman untuk malam ini.”Elena memandang Liam yang berdiri di belakang Rafael, matanya memancarkan ketakutan yang dalam. Tanpa bertanya lebih jauh, Elena mengangguk dan mempersilakan mereka masuk ke ruang belakang. “Kalian bisa istirahat di sini malam ini,” katanya lembut.Rafael membantu Liam duduk di salah satu kursi, memastikan anak itu nyaman sebelum beralih ke Elena. “Terima kasih,” katanya dengan nada tulus. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada.”Elena me
Angin dingin bertiup kencang saat fajar menyingsing, membawa aroma lembab dari hujan semalam. Di klinik kecil yang sunyi, Liam berdiri di dekat jendela, matanya terpaku pada jalan yang mulai sibuk dengan lalu lalang. Wajahnya yang kecil terlihat tegang, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Rafael," panggil Liam pelan, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku merasa ada yang salah." Rafael, yang sedang memeriksa tongkat kayunya, menoleh dengan alis terangkat. "Apa maksudmu, Liam?" Aku... aku tidak tahu," jawab Liam, menunduk. "Hanya saja, aku merasa ada sesuatu yang mendekat. Sesuatu yang buruk." Elena, yang sedang membersihkan meja di sudut ruangan, berhenti dan menatap mereka. "Kau pikir ini ada hubungannya dengan cahaya yang kau miliki?" tanyanya lembut. Liam mengangguk pelan. "Mungkin.” Rafael menatap Liam dengan serius, mencoba membaca ekspresi anak itu. "Jika firasatmu benar, maka kita harus bersiap-siap." Namun, bahkan sebelum Rafael selesai berbicara, sebua
Di ruang kecil klinik, Elena dengan hati-hati membersihkan luka Rafael yang masih berdarah. Wajahnya serius, tetapi tangannya tetap lembut saat ia mengoleskan salep ke luka di punggung Rafael. Rafael duduk di kursi kayu, berusaha menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.“Ini akan terasa sedikit perih,” kata Elena sambil mengusap luka dengan kain steril.“Aku pernah merasakan yang lebih buruk,” jawab Rafael dengan nada datar, meskipun wajahnya menegang saat cairan antiseptik menyentuh lukanya.Di sudut ruangan, Liam duduk diam di lantai, menggambar lingkaran kecil di atas debu dengan jarinya. Matanya terpaku pada Rafael, penuh rasa bersalah.“Maaf,” kata Liam pelan, memecah keheningan. “Aku membuatmu terluka.”Rafael menoleh ke arah Liam, mencoba tersenyum meskipun rasa sakit masih jelas di wajahnya. “Ini bukan salahmu, Liam.”“Tapi kalau aku tidak ada, Azariel tidak akan datang,” jawab Liam dengan nada lemah.“Kau tidak boleh berpikir seperti itu,” kata Elena tegas, menatap Liam.
Angin dingin menyapu jalanan saat Rafael, Elena, dan Liam meninggalkan klinik kecil yang telah menjadi tempat perlindungan mereka. Rafael memimpin di depan, tongkat kayunya menggantung di sisi tubuhnya, sementara Elena berjalan di samping Liam, menggenggam tangan kecilnya untuk menenangkan kegelisahan anak itu. “Kau yakin ini ide yang baik?” tanya Elena, memecah keheningan yang berat. Rafael menoleh ke arahnya. “Kita tidak punya pilihan. Jika kita tetap di sini, Azariel pasti akan menemukan kita lagi. Kita butuh jawaban—dan tempat ini tidak memilikinya.” “Tapi ke mana kita harus pergi?” tanya Liam pelan. Rafael berhenti sejenak, memandangi Liam dengan mata yang penuh ketegasan. “Aku tidak tahu pasti,” jawabnya. “Tapi aku ingat sesuatu dari mimpi itu. Ada sebuah tempat yang disebut Bukit Cahaya. Suara itu mengatakan bahwa di sana, kita bisa menemukan kebenaran tentang cahayamu.” Liam mengangguk, meskipun rasa takut masih menghiasi wajahnya. “Aku akan ikut denganmu.” Elena me
Kabut tebal menyelimuti udara saat mereka tiba di kaki Bukit Cahaya. Matahari hampir tidak terlihat, hanya meninggalkan bayangan samar di langit. Liam berdiri di tengah-tengah Rafael dan Elena, memandangi bukit yang menjulang tinggi di depan mereka dengan rasa cemas. “Itu jauh lebih besar dari yang kubayangkan,” gumam Liam. “Dan lebih berbahaya,” tambah Rafael dengan nada serius. “Bukit ini tidak akan membiarkan siapa pun naik tanpa alasan yang kuat. Kita harus berhati-hati.” Elena menatap bukit itu dengan rasa khawatir. “Apa yang kita cari di sini benar-benar sepadan dengan risikonya?” “Kalau kita ingin melawan Azariel, kita butuh jawaban,” jawab Rafael sambil memegang tongkat kayunya lebih erat. “Dan jawabannya ada di atas sana.” Dengan tekad yang semakin kuat, mereka mulai mendaki. Jalanan berbatu licin oleh embun, dan setiap langkah terasa semakin berat. Suara hening yang aneh menyelimuti tempat itu, seolah seluruh dunia menahan napas. Ketika mereka mencapai pertengahan
Di puncak Bukit Cahaya, Liam berdiri dengan tangan yang gemetar, matanya memandang cahaya lembut yang memancar dari tanah di bawahnya. Energi itu terasa kuat dan hangat, seolah-olah menyambutnya. Elena berdiri di belakangnya, menatap kagum, sementara Rafael datang tertatih-tatih, tubuhnya penuh luka, tetapi tekad di matanya tidak surut. “Apa ini?” tanya Liam dengan suara berbisik. “Kenapa aku merasa... seolah aku adalah bagian dari cahaya ini?” “Elena, bawa Liam mendekat,” kata Rafael lemah, menunjuk ke sebuah lingkaran bercahaya di tengah puncak. “Itu adalah inti dari Bukit Cahaya. Di sana kita akan menemukan jawaban.” Liam melangkah maju dengan hati-hati, tetapi langkahnya terhenti ketika udara di sekitar mereka tiba-tiba berubah. Angin kencang berputar, menciptakan suara gemuruh yang menakutkan. Dari kabut di sekitar puncak, muncul Azariel, dengan senyum licik di wajahnya dan matanya bersinar merah. “Aku sudah bilang aku akan menemukan kalian,” kata Azariel dengan suara ding
Kabut di puncak Bukit Cahaya mulai memudar, meninggalkan suasana yang lebih tenang namun sarat akan rasa lelah. Cahaya lembut yang sebelumnya menyelimuti puncak kini berangsur hilang, menyisakan suasana yang hening dan dingin. Rafael, Elena, dan Liam duduk di dekat lingkaran cahaya yang sudah meredup, masing-masing mencoba memulihkan kekuatan mereka. Liam menggenggam lututnya, menunduk dengan kepala yang berat. Cahaya yang baru saja ia gunakan meninggalkan rasa kosong di dalam dirinya. Tubuhnya gemetar, bukan karena cuaca dingin, tetapi karena beban emosional yang perlahan menghimpit. “Liam,” panggil Elena dengan nada lembut. Ia duduk di sampingnya, menyentuh bahu anak itu dengan lembut. “Apa kau baik-baik saja?” Liam tidak segera menjawab. Matanya terpaku pada tanah, seolah-olah mencari sesuatu yang tidak ada di sana. Akhirnya, ia menggeleng pelan. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya.” Rafael, yang sedang membersihkan luka di lengannya, menoleh ke arah Liam. “Kau mela
Liam berdiri sendirian di tengah kegelapan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara selain detak jantungnya yang terdengar begitu keras di telinganya. Ia merasa terisolasi, seolah-olah dunia telah meninggalkannya. Tubuhnya gemetar, tidak karena dingin, tetapi karena rasa takut yang merayap di dalam dirinya.“Liam...” sebuah suara berbisik, dingin dan tajam. Suara itu datang dari mana-mana, seakan-akan kegelapan itu sendiri berbicara padanya.“Kau tidak cukup kuat.”****Liam mencoba melangkah maju, tetapi kakinya terasa berat, seperti terjebak dalam lumpur yang tidak terlihat. “Aku... aku tidak akan menyerah,” katanya pelan, meskipun suaranya bergetar.Suara itu tertawa kecil. “Kau hanya seorang anak kecil. Apa yang bisa kau lakukan melawan kegelapan? Kau bahkan tidak bisa melindungi dirimu sendiri.”Tiba-tiba, kegelapan di sekitarnya berubah. Liam menemukan dirinya berada di tengah sebuah desa yang hancur, tempat yang ia kenal sebagai kampung halamannya. Rumah-rumah terbakar, dan penduduk
Elena berdiri di tengah desa yang tampak seperti desanya dulu—tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Tetapi desa itu kini hancur, hanya tersisa puing-puing dan abu yang tertiup angin. Udara di sekitar terasa berat, membawa aroma hangus yang menusuk hidung. Suara tangisan dan jeritan samar terdengar, meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya. “Elena...” sebuah suara memanggil, lembut tetapi penuh duka. Elena menoleh, matanya membelalak saat melihat sosok seorang wanita tua berjalan ke arahnya. Itu adalah ibunya, dengan pakaian yang pernah ia kenakan di hari terakhir mereka bersama. Wajahnya penuh luka, tetapi matanya dipenuhi rasa kecewa. “Kenapa kau meninggalkan kami?” tanya ibunya, suaranya gemetar. “Kau pergi dan kami semua hancur.” **** Elena terdiam, tubuhnya membeku. Kata-kata ibunya terasa seperti belati yang menusuk jantungnya. “Aku... aku tidak punya pilihan,” katanya pelan, mencoba menahan air matanya. “Aku harus pergi untuk mengejar kehidupan yang lebih baik.” “Dan deng
Rafael berdiri di tengah medan perang yang pernah ia kenal dengan baik. Tanah di sekitarnya basah oleh darah, senjata patah berserakan, dan udara dipenuhi aroma logam serta asap. Suara teriakan para prajurit menggema, tetapi tidak ada seorang pun yang terlihat. Ia menggenggam tongkat patahnya, matanya menyapu sekeliling dengan waspada.“Ini... ini tidak mungkin,” gumam Rafael, tubuhnya tegang. “Aku sudah meninggalkan tempat ini bertahun-tahun lalu.”Namun, suara yang familiar menyambutnya dari belakang. “Kau tidak pernah benar-benar meninggalkan kami, Rafael.”Rafael berbalik dan menemukan sosok yang sangat dikenalnya—kaptennya dari masa lalu, seorang pria dengan baju zirah perak dan pedang yang kini berkarat. Wajahnya tampak lelah tetapi penuh amarah.“Kau meninggalkan kami,” katanya, matanya yang dulu bersinar penuh kepercayaan kini suram. “Kau lari ketika kami paling membutuhkamu.”****Rafael menatap kaptennya dengan perasaan bersalah yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku tidak lari,
Rafael, Elena, dan Liam tersedot ke dalam pusaran energi yang diciptakan oleh Penjaga Nexus. Tubuh mereka terasa ringan, seolah melayang di udara, tetapi mereka tahu ini bukan perjalanan biasa. Udara dipenuhi cahaya putih yang berputar, bercampur dengan bayangan samar yang menyelimuti mereka.“Hanya mereka yang benar-benar memiliki hati murni yang bisa bertahan,” suara Penjaga bergema di sekitar mereka. “Tunjukkan bahwa kalian layak untuk menerima cahaya ini.”Ketika pusaran berhenti, mereka menemukan diri mereka berdiri di tempat yang berbeda. Sebuah dataran kosong membentang tanpa batas, diterangi oleh cahaya pucat dari atas. Namun, di kejauhan, mereka bisa melihat tiga pintu besar berdiri berjajar, masing-masing memancarkan aura yang berbeda.****Rafael melangkah maju, menatap ketiga pintu itu dengan penuh perhatian. Pintu pertama bercahaya lembut seperti sinar bulan, pintu kedua bersinar seperti matahari, dan pintu ketiga dikelilingi oleh bayangan yang bergerak pelan.“Kita harus
Langit malam penuh bintang, tetapi bagi Rafael, Elena, dan Liam, suasana tidak lagi terasa damai. Suara di benteng Azariel masih bergema di pikiran mereka, memperingatkan bahwa ancaman yang lebih besar tengah menunggu. Rafael tahu mereka tidak bisa melawan ancaman ini sendirian. “Kita butuh bantuan,” kata Rafael dengan nada tegas, memecah keheningan di sekitar perapian kecil yang mereka buat di tengah desa. “Bantuan dari siapa?” tanya Elena, duduk di samping Liam yang masih terdiam, memegang bunga dari penduduk desa. “Kita bahkan tidak tahu apa yang sedang kita hadapi.” Rafael memandang api yang berkedip-kedip di depannya. “Ada makhluk lain di dunia ini,” katanya pelan. “Makhluk yang pernah melayani cahaya, tetapi memilih menyembunyikan diri setelah kegelapan mulai menguasai segalanya.” “Penjaga Cahaya?” tanya Liam, mengangkat wajahnya dengan ekspresi penasaran. “Seperti di cerita-cerita itu?” Rafael mengangguk. “Mereka nyata. Dan kita harus menemukannya sebelum terlambat.” ****
Ruangan itu kini menjadi terang, tidak ada lagi bayangan yang mengintai di sudut. Altar di tengah ruangan memancarkan cahaya lembut yang membawa kehangatan, seolah-olah menyembuhkan luka yang ada. Rafael, Elena, dan Liam berdiri bersama, menatap altar itu dengan perasaan lega, meskipun rasa lelah masih tergambar di wajah mereka. “Apakah ini akhirnya?” tanya Elena, memecah keheningan. “Apa Azariel benar-benar sudah lenyap?” Rafael menghela napas panjang, menurunkan tongkat patahnya. “Untuk saat ini, dia sudah tidak ada. Tapi kegelapan tidak pernah benar-benar hilang. Akan selalu ada bagian darinya yang mencoba kembali.” “Tapi kita berhasil, kan?” Liam menatap mereka, tubuhnya masih memancarkan cahaya kecil yang perlahan memudar. “Kita menghentikannya.” Rafael menatap anak itu, lalu tersenyum kecil. “Kita berhasil, Liam. Kau melakukannya. Kau membawa harapan.” Rafael menatap Liam dengan penuh kebanggaan. “Kau tidak hanya membawa harapan, Liam. Kau juga membuktikan bahwa cahaya
Ketika Rafael membuka matanya, ia menemukan dirinya berada di tempat yang aneh—sebuah dataran gelap yang terasa tak berbatas, dengan langit yang dipenuhi kabut tebal. Cahaya tongkatnya redup, hampir padam, dan tubuhnya terasa berat seolah-olah setiap langkah menguras energi. “Elena? Liam?” panggil Rafael, suaranya menggema di kehampaan. Tidak ada jawaban. Ia melangkah maju, mencoba memahami tempat ini. Tanah di bawahnya terasa seperti bayangan padat, bergerak pelan setiap kali ia melangkah. Jauh di depan, ia bisa melihat cahaya samar, seperti obor yang berkedip di tengah kegelapan. “Semuanya tidak berakhir di sini,” gumamnya, memutuskan untuk mengikuti cahaya itu. **** Sementara itu, Elena terbangun di tempat yang berbeda. Ia dikelilingi oleh bayangan hidup yang bergerak mendekat, mata merah mereka menyala dalam kegelapan. Elena berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemah, dan pikirannya dipenuhi suara bisikan yang mencoba menanamkan ketakutan. “Kau tidak bisa menyelama
Ruangan itu berubah menjadi arena pertempuran yang berbahaya. Dindingnya bergetar, dan bayangan gelap yang hidup bergerak seperti ular, melingkari Rafael, Elena, dan Liam. Di tengah ruangan, Azariel berdiri tegak, tubuhnya memancarkan aura kegelapan yang menekan udara hingga terasa sulit bernapas. “Kalian tidak bisa melawanku,” kata Azariel, suaranya bergema seperti ribuan bisikan. “Cahaya kalian lemah, sementara aku adalah kegelapan yang abadi.” Rafael, meskipun terluka, menggenggam tongkat patahnya lebih erat. Ia melangkah maju, berdiri di depan Elena dan Liam. “Kegelapanmu mungkin abadi,” katanya, suaranya tegas meskipun ada sedikit rasa lelah. “Tapi cahaya tidak pernah berhenti melawan.” Azariel mengangkat tongkatnya, menciptakan gelombang energi gelap yang meluncur langsung ke arah mereka. Rafael mengangkat tongkatnya untuk melindungi timnya, tetapi energi gelap itu terlalu kuat. Perisai cahaya yang ia ciptakan mulai retak. “Rafael, kita tidak bisa menahan ini lebih lama!” te
Rafael dan Liam berdiri di tengah aula besar yang dipenuhi bayangan hidup, bergerak seperti makhluk lapar yang mengawasi setiap langkah mereka. Di depan mereka, Azariel berdiri dengan tongkat hitamnya yang kini memancarkan aura kegelapan yang luar biasa. Di belakang Azariel, Elena terjebak dalam sangkar bayangan, tubuhnya tampak lemah tetapi matanya masih menyiratkan keberanian.“Kalian akhirnya sampai,” kata Azariel, suaranya dingin dan penuh ejekan. “Tapi sayangnya, perjalanan kalian berakhir di sini.”“Kembalikan Elena,” kata Rafael dengan tegas, meskipun tubuhnya masih terluka dari pertempuran sebelumnya. “Ini bukan tentang dia. Kau hanya ingin membuktikan bahwa kau lebih kuat dari cahaya.”Azariel tersenyum licik. “Lebih kuat dari cahaya? Aku adalah kegelapan itu sendiri, Rafael. Tidak ada yang bisa melawanku.”Azariel melancarkan serangan pertama, mengayunkan tongkatnya untuk menciptakan gelombang energi gelap yang meluncur ke arah Rafael dan Liam. Rafael mencoba melindungi mere