Angin dingin bertiup kencang saat fajar menyingsing, membawa aroma lembab dari hujan semalam. Di klinik kecil yang sunyi, Liam berdiri di dekat jendela, matanya terpaku pada jalan yang mulai sibuk dengan lalu lalang. Wajahnya yang kecil terlihat tegang, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Rafael," panggil Liam pelan, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku merasa ada yang salah." Rafael, yang sedang memeriksa tongkat kayunya, menoleh dengan alis terangkat. "Apa maksudmu, Liam?" Aku... aku tidak tahu," jawab Liam, menunduk. "Hanya saja, aku merasa ada sesuatu yang mendekat. Sesuatu yang buruk." Elena, yang sedang membersihkan meja di sudut ruangan, berhenti dan menatap mereka. "Kau pikir ini ada hubungannya dengan cahaya yang kau miliki?" tanyanya lembut. Liam mengangguk pelan. "Mungkin.” Rafael menatap Liam dengan serius, mencoba membaca ekspresi anak itu. "Jika firasatmu benar, maka kita harus bersiap-siap." Namun, bahkan sebelum Rafael selesai berbicara, sebuah suara dingin dan menggema terdengar dari luar. "Tidak ada yang bisa mempersiapkan diri untuk kedatanganku.” Rafael membeku. Suara itu terlalu familiar-dalam dan mengintimidasi, seperti gemuruh badai yang menghancurkan. Ketika ia berbalik ke arah pintu, sosok seorang pria berdiri di ambang pintu. Matanya bersinar merah, dengan senyum dingin yang menghiasi wajahnya. Azariel. **** "Rafael," Azariel memanggil dengan nada mengejek. "Lama tidak berjumpa. Atau mungkin aku harus mengatakan... selamat datang di kehancuranmu." Elena mundur, matanya melebar saat ia melihat sosok yang memancarkan aura mengancam. Liam merapatkan diri ke Rafael, tubuhnya bergetar karena ketakutan. "Aku tahu kau akan datang," kata Rafael tegas, meskipun suaranya mengandung nada waspada. la mengangkat tongkat kayunya, bersiap untuk apa pun yang akan terjadi. "Begitu defensif," balas Azariel, melangkah masuk dengan santai. "Aku hanya di sini untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku." "Milikmu?" Rafael menatapnya tajam. "Liam bukan milikmu." Azariel tertawa kecil. "Oh, Rafael, kau begitu naif. Anak itu bukan hanya milikku. Dia adalah kunci untuk segalanya-dan aku tidak akan membiarkan cahayanya menghalangi rencanaku." Liam bersembunyi di belakang Rafael, tetapi Azariel mengangkat tangannya, dan bayangan gelap mulai menjalar di lantai, bergerak ke arah mereka seperti ular. **** Rafael maju, melindungi Elena dan Liam. Dengan satu gerakan cepat, ia mengayunkan tongkatnya ke arah bayangan, menciptakan kilatan cahaya yang menghentikan gerakan mereka. "Liam, Elena, pergi sekarang!" teriak Rafael tanpa menoleh. "Tapi-" Elena mencoba membantah. "Pergi!" Rafael mengulangi dengan nada memerintah. Elena meraih tangan Liam dan menariknya keluar dari ruangan, meninggalkan Rafael sendirian dengan Azariel. "Begitu heroik," kata Azariel dengan senyum mengejek. "Tapi kita berdua tahu bagaimana ini akan berakhir." Rafael tidak menjawab. la menyerang dengan tongkatnya, mencoba menyerang Azariel dengan cahaya yang dipancarkan dari ujung tongkat. Namun, Azariel hanya tersenyum dan mengangkat tangannya. Dengan satu gerakan, ia menciptakan dinding bayangan yang menahan serangan Rafael dengan mudah. "Kau lebih lemah dari yang aku kira," kata Azariel sambil melangkah maju. "Menjadi manusia telah merampas semua kekuatanmu, Rafael. Kau tidak lebih dari makhluk yang rapuh sekarang." Rafael mengayunkan tongkatnya lagi, tetapi Azariel menghindar dengan mudah. Dengan satu pukulan kuat dari tangan Azariel, Rafael terlempar ke dinding, membuat retakan besar pada tembok di belakangnya. Rafael terhuyung bangun, darah mengalir dari sudut bibirnya. Tubuhnya terasa seperti dihantam batu raksasa, tetapi ia tetap berdiri. "Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Liam," katanya dengan suara serak. Azariel mendekat, wajahnya menunjukkan rasa kasihan yang palsu. "Kau benar-benar tidak tahu kapan harus menyerah, bukan?" Dengan satu gerakan tangan, Azariel menciptakan bola bayangan yang meluncur langsung ke arah Rafael. Rafael mengangkat tongkatnya untuk menangkis, tetapi kekuatan bola itu terlalu besar. la terpental kembali ke lantai, merasakan rasa sakit yang luar biasa menjalar di seluruh tubuhnya. "Aku bisa menghabisimu sekarang," kata Azariel sambil berjalan mendekat. "Tapi di mana kesenangannya? Tidak, Rafael. Aku ingin kau hidup cukup lama untuk menyaksikan dunia ini jatuh ke dalam kegelapan." Azariel membungkuk, berbicara dengan nada rendah namun mengancam. "Aku akan menemukan anak itu, dan ketika aku melakukannya, tidak ada yang bisa menghentikanku." Dengan kata-kata terakhir itu, Azariel menghilang dalam semburan bayangan, meninggalkan Rafael yang terbaring lemah di lantai. **** Beberapa saat kemudian, Elena berlari kembali ke dalam ruangan, dengan Liam di belakangnya. Ketika ia melihat Rafael tergeletak di lantai, tubuhnya penuh luka, ia segera berlutut di sampingnya. "Rafael! Kau baik-baik saja?" tanya Elena dengan nada panik. "Aku... tidak apa-apa," jawab Rafael pelan, meskipun rasa sakit terlihat jelas di wajahnya. "Liam... apakah dia aman?" Elena mengangguk. "Dia aman, untuk sekarang. Tapi kau tidak bisa melindunginya jika kau mati di sini." Dengan bantuan Elena, Rafael berdiri perlahan. Setiap gerakan terasa seperti tusukan, tetapi ia menahan rasa sakitnya. Ia menatap Liam, yang berdiri dengan wajah penuh rasa bersalah. "Maafkan aku," kata Liam pelan. "Ini semua salahku." "Bukan salahmu," kata Rafael tegas, meskipun suaranya lemah. "Azariel datang bukan karena kesalahanmu. Dia datang karena dia takut padamu -takut pada cahaya yang kau miliki." Liam menatap Rafael, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak ingin menyakiti siapa pun." "Kau tidak akan," kata Rafael, meletakkan tangannya di bahu Liam. "Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi. Itu janjiku.” **** Setelah Rafael beristirahat, mereka bertiga berkumpul di ruang kecil di klinik. Rafael memandangi tongkatnya yang kini retak akibat pertempuran. la tahu bahwa pertarungan ini baru permulaan. "Kita harus bersiap," kata Rafael akhirnya. "Azariel akan kembali, dan kali ini dia tidak akan datang sendirian." Elena menatap Rafael dengan serius. "Apa yang bisa kita lakukan? Kita bahkan tidak tahu seberapa kuat dia." "Kita harus menemukan jawaban," jawab Rafael. "Tentang Liam, tentang cahaya itu, dan tentang bagaimana kita bisa melawan Azariel."Di ruang kecil klinik, Elena dengan hati-hati membersihkan luka Rafael yang masih berdarah. Wajahnya serius, tetapi tangannya tetap lembut saat ia mengoleskan salep ke luka di punggung Rafael. Rafael duduk di kursi kayu, berusaha menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.“Ini akan terasa sedikit perih,” kata Elena sambil mengusap luka dengan kain steril.“Aku pernah merasakan yang lebih buruk,” jawab Rafael dengan nada datar, meskipun wajahnya menegang saat cairan antiseptik menyentuh lukanya.Di sudut ruangan, Liam duduk diam di lantai, menggambar lingkaran kecil di atas debu dengan jarinya. Matanya terpaku pada Rafael, penuh rasa bersalah.“Maaf,” kata Liam pelan, memecah keheningan. “Aku membuatmu terluka.”Rafael menoleh ke arah Liam, mencoba tersenyum meskipun rasa sakit masih jelas di wajahnya. “Ini bukan salahmu, Liam.”“Tapi kalau aku tidak ada, Azariel tidak akan datang,” jawab Liam dengan nada lemah.“Kau tidak boleh berpikir seperti itu,” kata Elena tegas, menatap Liam.
Angin dingin menyapu jalanan saat Rafael, Elena, dan Liam meninggalkan klinik kecil yang telah menjadi tempat perlindungan mereka. Rafael memimpin di depan, tongkat kayunya menggantung di sisi tubuhnya, sementara Elena berjalan di samping Liam, menggenggam tangan kecilnya untuk menenangkan kegelisahan anak itu. “Kau yakin ini ide yang baik?” tanya Elena, memecah keheningan yang berat. Rafael menoleh ke arahnya. “Kita tidak punya pilihan. Jika kita tetap di sini, Azariel pasti akan menemukan kita lagi. Kita butuh jawaban—dan tempat ini tidak memilikinya.” “Tapi ke mana kita harus pergi?” tanya Liam pelan. Rafael berhenti sejenak, memandangi Liam dengan mata yang penuh ketegasan. “Aku tidak tahu pasti,” jawabnya. “Tapi aku ingat sesuatu dari mimpi itu. Ada sebuah tempat yang disebut Bukit Cahaya. Suara itu mengatakan bahwa di sana, kita bisa menemukan kebenaran tentang cahayamu.” Liam mengangguk, meskipun rasa takut masih menghiasi wajahnya. “Aku akan ikut denganmu.” Elena me
Kabut tebal menyelimuti udara saat mereka tiba di kaki Bukit Cahaya. Matahari hampir tidak terlihat, hanya meninggalkan bayangan samar di langit. Liam berdiri di tengah-tengah Rafael dan Elena, memandangi bukit yang menjulang tinggi di depan mereka dengan rasa cemas. “Itu jauh lebih besar dari yang kubayangkan,” gumam Liam. “Dan lebih berbahaya,” tambah Rafael dengan nada serius. “Bukit ini tidak akan membiarkan siapa pun naik tanpa alasan yang kuat. Kita harus berhati-hati.” Elena menatap bukit itu dengan rasa khawatir. “Apa yang kita cari di sini benar-benar sepadan dengan risikonya?” “Kalau kita ingin melawan Azariel, kita butuh jawaban,” jawab Rafael sambil memegang tongkat kayunya lebih erat. “Dan jawabannya ada di atas sana.” Dengan tekad yang semakin kuat, mereka mulai mendaki. Jalanan berbatu licin oleh embun, dan setiap langkah terasa semakin berat. Suara hening yang aneh menyelimuti tempat itu, seolah seluruh dunia menahan napas. Ketika mereka mencapai pertengahan
Di puncak Bukit Cahaya, Liam berdiri dengan tangan yang gemetar, matanya memandang cahaya lembut yang memancar dari tanah di bawahnya. Energi itu terasa kuat dan hangat, seolah-olah menyambutnya. Elena berdiri di belakangnya, menatap kagum, sementara Rafael datang tertatih-tatih, tubuhnya penuh luka, tetapi tekad di matanya tidak surut. “Apa ini?” tanya Liam dengan suara berbisik. “Kenapa aku merasa... seolah aku adalah bagian dari cahaya ini?” “Elena, bawa Liam mendekat,” kata Rafael lemah, menunjuk ke sebuah lingkaran bercahaya di tengah puncak. “Itu adalah inti dari Bukit Cahaya. Di sana kita akan menemukan jawaban.” Liam melangkah maju dengan hati-hati, tetapi langkahnya terhenti ketika udara di sekitar mereka tiba-tiba berubah. Angin kencang berputar, menciptakan suara gemuruh yang menakutkan. Dari kabut di sekitar puncak, muncul Azariel, dengan senyum licik di wajahnya dan matanya bersinar merah. “Aku sudah bilang aku akan menemukan kalian,” kata Azariel dengan suara ding
Kabut di puncak Bukit Cahaya mulai memudar, meninggalkan suasana yang lebih tenang namun sarat akan rasa lelah. Cahaya lembut yang sebelumnya menyelimuti puncak kini berangsur hilang, menyisakan suasana yang hening dan dingin. Rafael, Elena, dan Liam duduk di dekat lingkaran cahaya yang sudah meredup, masing-masing mencoba memulihkan kekuatan mereka. Liam menggenggam lututnya, menunduk dengan kepala yang berat. Cahaya yang baru saja ia gunakan meninggalkan rasa kosong di dalam dirinya. Tubuhnya gemetar, bukan karena cuaca dingin, tetapi karena beban emosional yang perlahan menghimpit. “Liam,” panggil Elena dengan nada lembut. Ia duduk di sampingnya, menyentuh bahu anak itu dengan lembut. “Apa kau baik-baik saja?” Liam tidak segera menjawab. Matanya terpaku pada tanah, seolah-olah mencari sesuatu yang tidak ada di sana. Akhirnya, ia menggeleng pelan. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya.” Rafael, yang sedang membersihkan luka di lengannya, menoleh ke arah Liam. “Kau mela
Angin malam berembus lembut ketika Elena membuka pintu apartemen kecil mereka. Namun, ketenangan itu sirna ketika ia melihat sosok Rafael di ambang pintu. Tubuhnya penuh luka, napasnya berat, dan tongkat kayunya hampir patah sepenuhnya. Tanpa berkata apa-apa, Rafael tersungkur, tubuhnya jatuh dengan bunyi yang menggetarkan hati. “Elena!” panggil Liam dari sudut ruangan, matanya melebar saat melihat kondisi Rafael. Ia segera berlari mendekat, tetapi Elena menghentikannya. “Liam, ambil kotak obat. Cepat!” Elena bergegas berlutut di samping Rafael, tangannya yang terlatih mulai memeriksa luka-luka yang terlihat. Luka bakar menghiasi lengan dan dadanya, dengan darah yang menodai pakaiannya. “Rafael, apa yang terjadi?” tanya Elena dengan nada panik. Rafael membuka matanya perlahan, bibirnya bergerak pelan. “Azariel...” gumamnya. “Dia semakin kuat. Aku mencoba menghentikannya... tapi aku gagal.” Elena menggertakkan giginya, mencoba menyembunyikan rasa frustrasi dan ketakutannya. “K
Kabut pagi di kaki Bukit Cahaya perlahan memudar, memberikan pemandangan lembah yang luas dan damai. Rafael, Elena, dan Liam berdiri di dekat sisa-sisa lingkaran cahaya tempat mereka bertarung melawan Azariel. Cahaya lembut yang tersisa tampak memantulkan energi yang unik, seolah tempat itu masih menyimpan rahasia yang belum terungkap. “Kita kembali ke sini,” gumam Elena, matanya menyapu lingkaran bercahaya yang redup. “Aku harap ini layak.” “Ini harus layak,” kata Rafael dengan nada tegas. “Oran bilang, tempat ini adalah pintu gerbang ke rahasia terbesar tentang cahaya. Jika kita ingin memahami kekuatan Liam, kita harus menemukan jawabannya di sini.” Liam berdiri diam, tangannya gemetar ringan. Ia masih merasakan sisa energi dari pertempuran sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda sekarang. Cahaya di dalam dirinya tampak bergetar, seolah-olah merespons sesuatu yang ada di sekitar mereka. “Ada yang aneh,” kata Liam pelan. “Aku merasa... seperti tempat ini berbicara padaku.”
Kabut kelam menyelimuti kota saat Rafael, Elena, dan Liam kembali dari Bukit Cahaya. Jalanan yang biasanya sibuk tampak sunyi, tetapi ada sesuatu yang mengintai di balik keheningan itu—suatu rasa gelap yang menusuk. “Tempat ini terasa berbeda,” gumam Elena, matanya menyapu jalan-jalan yang sepi. Rafael mengangguk, matanya tajam memindai setiap sudut. “Ini bukan kebetulan. Azariel pasti sudah ada di sini.” Liam menggenggam tangan Elena lebih erat. Ia bisa merasakan hawa dingin di sekitarnya, tetapi yang lebih menakutkan adalah bisikan-bisikan yang samar terdengar, seolah berasal dari bayangan di sekeliling mereka. **** Di tengah kota, Azariel berdiri di atas menara tinggi, menatap penduduk kota dengan mata merah yang bersinar. Tangannya terangkat, dan bayangan hitam menyebar seperti kabut, merasuki pikiran mereka satu per satu. Bisikan-bisikan kegelapan mulai memenuhi pikiran penduduk, menanamkan rasa benci dan ketidakpercayaan. “Rafael adalah ancaman,” suara itu bergema dal
Liam berdiri sendirian di tengah kegelapan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara selain detak jantungnya yang terdengar begitu keras di telinganya. Ia merasa terisolasi, seolah-olah dunia telah meninggalkannya. Tubuhnya gemetar, tidak karena dingin, tetapi karena rasa takut yang merayap di dalam dirinya.“Liam...” sebuah suara berbisik, dingin dan tajam. Suara itu datang dari mana-mana, seakan-akan kegelapan itu sendiri berbicara padanya.“Kau tidak cukup kuat.”****Liam mencoba melangkah maju, tetapi kakinya terasa berat, seperti terjebak dalam lumpur yang tidak terlihat. “Aku... aku tidak akan menyerah,” katanya pelan, meskipun suaranya bergetar.Suara itu tertawa kecil. “Kau hanya seorang anak kecil. Apa yang bisa kau lakukan melawan kegelapan? Kau bahkan tidak bisa melindungi dirimu sendiri.”Tiba-tiba, kegelapan di sekitarnya berubah. Liam menemukan dirinya berada di tengah sebuah desa yang hancur, tempat yang ia kenal sebagai kampung halamannya. Rumah-rumah terbakar, dan penduduk
Elena berdiri di tengah desa yang tampak seperti desanya dulu—tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Tetapi desa itu kini hancur, hanya tersisa puing-puing dan abu yang tertiup angin. Udara di sekitar terasa berat, membawa aroma hangus yang menusuk hidung. Suara tangisan dan jeritan samar terdengar, meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya. “Elena...” sebuah suara memanggil, lembut tetapi penuh duka. Elena menoleh, matanya membelalak saat melihat sosok seorang wanita tua berjalan ke arahnya. Itu adalah ibunya, dengan pakaian yang pernah ia kenakan di hari terakhir mereka bersama. Wajahnya penuh luka, tetapi matanya dipenuhi rasa kecewa. “Kenapa kau meninggalkan kami?” tanya ibunya, suaranya gemetar. “Kau pergi dan kami semua hancur.” **** Elena terdiam, tubuhnya membeku. Kata-kata ibunya terasa seperti belati yang menusuk jantungnya. “Aku... aku tidak punya pilihan,” katanya pelan, mencoba menahan air matanya. “Aku harus pergi untuk mengejar kehidupan yang lebih baik.” “Dan deng
Rafael berdiri di tengah medan perang yang pernah ia kenal dengan baik. Tanah di sekitarnya basah oleh darah, senjata patah berserakan, dan udara dipenuhi aroma logam serta asap. Suara teriakan para prajurit menggema, tetapi tidak ada seorang pun yang terlihat. Ia menggenggam tongkat patahnya, matanya menyapu sekeliling dengan waspada.“Ini... ini tidak mungkin,” gumam Rafael, tubuhnya tegang. “Aku sudah meninggalkan tempat ini bertahun-tahun lalu.”Namun, suara yang familiar menyambutnya dari belakang. “Kau tidak pernah benar-benar meninggalkan kami, Rafael.”Rafael berbalik dan menemukan sosok yang sangat dikenalnya—kaptennya dari masa lalu, seorang pria dengan baju zirah perak dan pedang yang kini berkarat. Wajahnya tampak lelah tetapi penuh amarah.“Kau meninggalkan kami,” katanya, matanya yang dulu bersinar penuh kepercayaan kini suram. “Kau lari ketika kami paling membutuhkamu.”****Rafael menatap kaptennya dengan perasaan bersalah yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku tidak lari,
Rafael, Elena, dan Liam tersedot ke dalam pusaran energi yang diciptakan oleh Penjaga Nexus. Tubuh mereka terasa ringan, seolah melayang di udara, tetapi mereka tahu ini bukan perjalanan biasa. Udara dipenuhi cahaya putih yang berputar, bercampur dengan bayangan samar yang menyelimuti mereka.“Hanya mereka yang benar-benar memiliki hati murni yang bisa bertahan,” suara Penjaga bergema di sekitar mereka. “Tunjukkan bahwa kalian layak untuk menerima cahaya ini.”Ketika pusaran berhenti, mereka menemukan diri mereka berdiri di tempat yang berbeda. Sebuah dataran kosong membentang tanpa batas, diterangi oleh cahaya pucat dari atas. Namun, di kejauhan, mereka bisa melihat tiga pintu besar berdiri berjajar, masing-masing memancarkan aura yang berbeda.****Rafael melangkah maju, menatap ketiga pintu itu dengan penuh perhatian. Pintu pertama bercahaya lembut seperti sinar bulan, pintu kedua bersinar seperti matahari, dan pintu ketiga dikelilingi oleh bayangan yang bergerak pelan.“Kita harus
Langit malam penuh bintang, tetapi bagi Rafael, Elena, dan Liam, suasana tidak lagi terasa damai. Suara di benteng Azariel masih bergema di pikiran mereka, memperingatkan bahwa ancaman yang lebih besar tengah menunggu. Rafael tahu mereka tidak bisa melawan ancaman ini sendirian. “Kita butuh bantuan,” kata Rafael dengan nada tegas, memecah keheningan di sekitar perapian kecil yang mereka buat di tengah desa. “Bantuan dari siapa?” tanya Elena, duduk di samping Liam yang masih terdiam, memegang bunga dari penduduk desa. “Kita bahkan tidak tahu apa yang sedang kita hadapi.” Rafael memandang api yang berkedip-kedip di depannya. “Ada makhluk lain di dunia ini,” katanya pelan. “Makhluk yang pernah melayani cahaya, tetapi memilih menyembunyikan diri setelah kegelapan mulai menguasai segalanya.” “Penjaga Cahaya?” tanya Liam, mengangkat wajahnya dengan ekspresi penasaran. “Seperti di cerita-cerita itu?” Rafael mengangguk. “Mereka nyata. Dan kita harus menemukannya sebelum terlambat.” ****
Ruangan itu kini menjadi terang, tidak ada lagi bayangan yang mengintai di sudut. Altar di tengah ruangan memancarkan cahaya lembut yang membawa kehangatan, seolah-olah menyembuhkan luka yang ada. Rafael, Elena, dan Liam berdiri bersama, menatap altar itu dengan perasaan lega, meskipun rasa lelah masih tergambar di wajah mereka. “Apakah ini akhirnya?” tanya Elena, memecah keheningan. “Apa Azariel benar-benar sudah lenyap?” Rafael menghela napas panjang, menurunkan tongkat patahnya. “Untuk saat ini, dia sudah tidak ada. Tapi kegelapan tidak pernah benar-benar hilang. Akan selalu ada bagian darinya yang mencoba kembali.” “Tapi kita berhasil, kan?” Liam menatap mereka, tubuhnya masih memancarkan cahaya kecil yang perlahan memudar. “Kita menghentikannya.” Rafael menatap anak itu, lalu tersenyum kecil. “Kita berhasil, Liam. Kau melakukannya. Kau membawa harapan.” Rafael menatap Liam dengan penuh kebanggaan. “Kau tidak hanya membawa harapan, Liam. Kau juga membuktikan bahwa cahaya
Ketika Rafael membuka matanya, ia menemukan dirinya berada di tempat yang aneh—sebuah dataran gelap yang terasa tak berbatas, dengan langit yang dipenuhi kabut tebal. Cahaya tongkatnya redup, hampir padam, dan tubuhnya terasa berat seolah-olah setiap langkah menguras energi. “Elena? Liam?” panggil Rafael, suaranya menggema di kehampaan. Tidak ada jawaban. Ia melangkah maju, mencoba memahami tempat ini. Tanah di bawahnya terasa seperti bayangan padat, bergerak pelan setiap kali ia melangkah. Jauh di depan, ia bisa melihat cahaya samar, seperti obor yang berkedip di tengah kegelapan. “Semuanya tidak berakhir di sini,” gumamnya, memutuskan untuk mengikuti cahaya itu. **** Sementara itu, Elena terbangun di tempat yang berbeda. Ia dikelilingi oleh bayangan hidup yang bergerak mendekat, mata merah mereka menyala dalam kegelapan. Elena berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemah, dan pikirannya dipenuhi suara bisikan yang mencoba menanamkan ketakutan. “Kau tidak bisa menyelama
Ruangan itu berubah menjadi arena pertempuran yang berbahaya. Dindingnya bergetar, dan bayangan gelap yang hidup bergerak seperti ular, melingkari Rafael, Elena, dan Liam. Di tengah ruangan, Azariel berdiri tegak, tubuhnya memancarkan aura kegelapan yang menekan udara hingga terasa sulit bernapas. “Kalian tidak bisa melawanku,” kata Azariel, suaranya bergema seperti ribuan bisikan. “Cahaya kalian lemah, sementara aku adalah kegelapan yang abadi.” Rafael, meskipun terluka, menggenggam tongkat patahnya lebih erat. Ia melangkah maju, berdiri di depan Elena dan Liam. “Kegelapanmu mungkin abadi,” katanya, suaranya tegas meskipun ada sedikit rasa lelah. “Tapi cahaya tidak pernah berhenti melawan.” Azariel mengangkat tongkatnya, menciptakan gelombang energi gelap yang meluncur langsung ke arah mereka. Rafael mengangkat tongkatnya untuk melindungi timnya, tetapi energi gelap itu terlalu kuat. Perisai cahaya yang ia ciptakan mulai retak. “Rafael, kita tidak bisa menahan ini lebih lama!” te
Rafael dan Liam berdiri di tengah aula besar yang dipenuhi bayangan hidup, bergerak seperti makhluk lapar yang mengawasi setiap langkah mereka. Di depan mereka, Azariel berdiri dengan tongkat hitamnya yang kini memancarkan aura kegelapan yang luar biasa. Di belakang Azariel, Elena terjebak dalam sangkar bayangan, tubuhnya tampak lemah tetapi matanya masih menyiratkan keberanian.“Kalian akhirnya sampai,” kata Azariel, suaranya dingin dan penuh ejekan. “Tapi sayangnya, perjalanan kalian berakhir di sini.”“Kembalikan Elena,” kata Rafael dengan tegas, meskipun tubuhnya masih terluka dari pertempuran sebelumnya. “Ini bukan tentang dia. Kau hanya ingin membuktikan bahwa kau lebih kuat dari cahaya.”Azariel tersenyum licik. “Lebih kuat dari cahaya? Aku adalah kegelapan itu sendiri, Rafael. Tidak ada yang bisa melawanku.”Azariel melancarkan serangan pertama, mengayunkan tongkatnya untuk menciptakan gelombang energi gelap yang meluncur ke arah Rafael dan Liam. Rafael mencoba melindungi mere